"Paduka, apa rencana ini tidak bisa dibatalkan?" Raut kekhawatiran tergambar jelas pada wajah Mahapatih Sadewo.
"Kenapa? Kau takut?"
"Jika Paduka memberi titah pada hamba untuk membunuh seratus prajurit sekarang juga pasti akan Saya lakukan, tidak ada sedikitpun ketakutan dalam diri hamba. Tapi ini berbeda, membunuh satu-satunya pewaris tahta kerajaan...?" Raja Ontoseno melangkah pelan mendekati Mahapatih Sadewo, sorot matanya tajam.
"Ontowijoyo bukan pewaris tahtaku! Bajingan kecil itu sudah meniduri istriku! Menodai Ibunya sendiri! Apa itu bukan alasan kuat untuk segera membunuhnya? Hmmm?"
Tanpa disadari oleh Permaisuri Arkadewi dan Pangeran Ontowijoyo, hubungan terlarang mereka ternyata telah diketahui Raja Ontoseno. Penguasa Kerajaan Jenggolo tersebut mendiamkan skandal memalukan tersebut sambil menunggu momen yang tepat untuk menghabisi Pangeran Ontowijoyo, yang merupakan darah dagingnya sendiri. Kesempatan itu datang saat ini. Berbekal dalih melakukan kunjungan resmi Kerajaan, Permaisuri Arkadewi tak akan memiliki alasan untuk menahan kepergian puteranya, seperti yang sering dia lakukan ketika Pangeran Ontowijoyo hendak meninggalkan istana.
"Mohon ampun Paduka, tapi jika Pangeran Ontowijoyo meninggal, lalu siapa yang akan menjadi pewaris tahta kerajaan? Sementara paduka..." Mahapatih Sadewo tak berani meneruskan kalimatnya, menyinggung penyakit impotensi akut yang diderita oleh Raja Ontoseno sama saja seperti bertaruh nyawa.
"Kau pikir kenapa Aku harus menunggu selama ini untuk membunuh bajingan kecil itu? Aku menunggu selama ini karena Aku butuh waktu untuk menyembuhkan penyakitku Sadewo, dan sekarang Aku sudah sembuh! Aku bisa membuat wanita manapun hamil dari benihku! Jadi untuk pewaris tahta Jenggolo bukan masalah besar buatku."
Ternyata, selama setahun belakangan Raja Ontoseno berobat pada seorang tabib sakti di negeri seberang tanpa diketahui oleh siapapun di lingkungan istana. Bahkan Permaisuri Arkadewi pun tak mengetahui hal tersebut, penantian serta pengorbanan panjang selama setahun terakhir akhirnya terbayar tuntas. Penis sang Raja bisa berdiri kembali dan siap membuahi wanita manapun yang dia mau. Tapi, sebelum itu terjadi, Raja Ontoseno akan menuntaskan dendamnya terlebih dahulu pada Ontowijoyo dan tentu saja Permaisuri Arkadewi yang telah mengkhianatinya.
"Baik jika begitu Paduka, Saya akan melakukan titah Paduka." Mahapatih Sadewo membungkukan badannya di hadapan Raja Ontoseno, tanda tunduknya pada penguasa Kerajaan Jenggolo tersebut.
"Sadewo, lakukan ini dengan cepat, jangan biarkan Ontowijoyo menderita. Bagaimanapun dia adalah darah dagingku." Ujar Raja Ontoseno dengan raut wajah dingin.
"Siap Paduka, hamba akan mengingatnya."
***
Dua puluh pasukan berkuda dengan senjata lengkap sudah bersiap di halaman istana. Tak jauh dari sana sebuah kereta kuda mewah dengan panji kebesaran Kerajaan Jenggolo juga sudah menanti Pangeran Ontowijoyo yang akan melakukan perjalanan jauh menuju Desa Sumber. Pangeran Ontowijoyo ditemani oleh Raja Ontoseno serta Permaisuri Arkadewi keluar dari dalam istana. Kedua mata Permaisuri Arkadewi terlihat sembab setelah berlinang airmata karena melepas kepergian putera satu-satunya itu.
"Ingat pesan Ibu, selalu dengarkan apa yang dikatakan Mahapatih Sadewo. Jangan sekali-sekali melakukan sesuatu yang membahayakan nyawamu." Pesan Permaisuri Arkadewi.
"Baik Ibu, Aku akan mengingatnya. Doakan saja perjalananku lancar dan tak menemui bahaya apapun."
"Pasti! Ibu pasti mendoakanmu." Permaisuri Arkadewi kembali menyeka air matanya yang jatuh.
"Tenang saja, ini hanya perjalanan biasa. Lagipula ada Sadewo yang akan menjaga putera kita. Bukan begitu Mahapatih?" Ujar Raja Ontoseno yang disambut anggukan kepala dari Mahapatih Sadewo.
"Saya pergi dulu kalau begitu." Ujar Pangeran Ontowijoyo sebelum melangkah menuju kereta kencana yang telah menunggunya.
Dari halaman istana Raja Ontoseno menatap arak-arakan pasukan kerajaan mulai pergi menjauh, penguasa kerajaan Jenggolo itu tersenyum simpul penuh arti kala satu persatu dari rombongan mulai tak terlihat lagi dari pandangan matanya. Bisa saja ini adalah hari terakhirnya dia bertemu dengan Pangeran Ontowijoyo.
***
Sementara itu di belakang gubuk milik Sakti, terdengar suara tawa pecah dari sepasang keturunan Adam yang berlainan jenis. Tubuh Laras yang mulus dan hanya ditutupi oleh selembar kain kemben sebatas dada terlihat belepotan lumpur setelah jatuh dari punggung Kangmas, kuda kesayangan Sakti.
"Hahahaha...! "
Sakti tertawa terpingkal-pingkal saat melihat tubuh Laras basah kuyup akibat terjatuh ke dalam kubangan air.
"Iiiihhh... Kau menyebalkan sekali Sakti!!! " Kata Laras kesal sesaat setelah bangkit dari kubangan lumpur, kulitnya yang putih sampai harus belepotan terkena lumpur. Sudah kelima kalinya gadis cantik itu gagal menaiki punggung Kangmas dan berakhir dengan berkubang lumpur.
"Hahahaha, sudah kubilang, Kangmas tidak menyukai wanita sepertimu, Hahahaha..! " Ejek Sakti sambil memegangi perutnya dan tertawa terbahak, menertawai tubuh Laras yang kotor.
"Hmmm.. Awas Kau ya! Nih makan tu lumpur!! " Teriak Laras sambil melempar segenggam lumpur ke muka Sakti.
PLOOKK!!!
Wajah Sakti menjadi kotor penuh tanah akibat lemparan itu, tawanya terhenti seketika.
"Puuueeehhh!!! Puueeehhh...!!!! " Sakti berusaha mengeluarkan lumpur yang masuk ke dalam mulutnya.
"Hahahaha...!!! Hahahahaha...!!! Lihat mukamu!!! Hahahaha!! " Kali ini giliran Laras yang tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah Sakti kotor akibat lemparannya.
"Aaarrgghhttt!!! Kau harus menerima hukuman!! " Teriak Sakti sambil berlari mengejar Laras.
"Hahahaha! Tangkap Aku kalau Kau bisa! Hahahaha...!" Ejek Laras sambil berlari menjauh menghindari kejaran Sakti.
Meskipun secara nyata Juragan Seno tak menyukai Sakti, tapi itu tak menyurutkan niat Laras untuk menemui Sakti meskipun dia harus pergi dari rumah secara diam-diam. Sakti semacam menjadi pelengkap bagi hidup Laras, gadis cantik itu merasa hanya dengan Sakti dia bisa menjadi lepas dan bebas, tidak ada lagi canggung saat bersanda gurau atau bahkan dalam hal saling mengejek. Berbeda saat dia bersama para teman-teman wanitanya, kodrat sebagai seorang puteri tunggal Adipati sekaligus tuan tanah di desa Sumber yang disegani banyak orang membuat Laras harus menjaga sikapnya, apalagi dia seorang gadis perempuan. Tapi jika bersama Sakti, Laras seolah menemukan jatidirinya yang baru, dia bisa menceritakan semua hal kepada pria yang dikenal sebagai seorang pendekar tangguh tersebut. Sakti juga mengajarkan banyak hal baru kepada Laras, cara berburu di hutan, gerakan-gerakan dasar dalam ilmu silat, sampai dengan cara menunggang kuda seperti hari ini.
"Hahhh!!! Akhirnya tertangkap juga Kau !" Sakti mendekap tubuh Laras dari belakang setelah beberapa saat dia diajak berlari mengitari halaman belakang gubuknya.
"Hahahahhaha..! Ampuunn Sakti..!" Laras merasakan geli di pinggul atasnya saat dengan sengaja Sakti menggelitiknya.
Tubuh Laras yang bergerak liar membuat keseimbangan Sakti tak sempurna, keduanya pun akhirnya jatuh berguling-guling di atas lumpur. Sakti kini berada di bawah tubuh Laras, keduanya tersenyum, mata mereka bertemu, bibir mereka seolah terkunci, ada debar yang sulit untuk diungkapkan. Lalu entah siapa yang memulainya, bibir mereka saling mendekat, semakin dekat...bertambah dekat...kemudian menempel dan merekapun saling berciuman.
Ini adalah ciuman pertama mereka....
***
Rombongan pasukan berkuda yang mengawal Pangeran Ontowijoyo melewati jalanan kecil di tengah Desa Rejeki. Tak seperti namanya, hampir seluruh penduduk Desa Rejeki hidup dalam keadaan serba kekurangan. Hasil panen yang gagal ditambah penarikan pajak perang oleh kerajaan Jenggolo adaah penyebab utamanya. Di sepanjang jalan, Pangeran Ontowijoyo bisa melihat tubuh kurus anak-anak kecil yang kekurangan gizi, sementara para orang dewasa lebih banyak duduk termangu di depan gubuk-gubuk reot yang mereka tinggali, menganggur tanpa pekerjaan. Pangeran Ontowijoyo tentu terkejut melihat kenyataan yang demikian, karena hal ini berbeda jauh dengan apa yang dirasakannya di dalam istana.
Apa yang diceritakan atau dilaporkan oleh para adipati di tiap wilayah ternyata tak sesuai kenyataan. Buaian dongeng jika desa-desa di wilayah Kerajaan Jenggolo hidup makmur dan sejahtera ternyata hanyalah sebuah omong kosong belaka. Pangeran Ontowijoyo menduga jika ayahnya pun tak mengetahui hal ini. Selang beberapa waktu rombongan dari kerajaan Jenggolo berhenti di sebuah penginapan mengingat waktu sudah masuk sore hari, melanjutkan perjalanan ketika hari sudah gelap bukan ide yang tepat, terlebih ketika saat ini isu gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Laksmono menyebar luas.
Pemilik penginapan merasa begitu terhormat karena kedatangan tamu agung dari istana Jenggolo, maka dengan segenap daya dan upaya sang pemilik penginapan memberikan pelayanan sebaik mungkin. Kamar terbaik disediakan pada rombongan, khususnya pada Pangeran Ontowijoyo. Makanan serta minuman terenak disajikan seluruhnya.
"Paman, apakah setiap desa di wilayah kerajaan Jenggolo memiliki nasib yang sama?" Tanya Pangeran Ontowijoyo setelah menyelesaikan suapan terakhirnya.
"Maksudnya bagaimana Pangeran?"
"Maksudku, apakah di penduduk di semua desa berada dalam kondisi miskin?"
"Ah, itu tidak semua Pangeran. Hanya saja di desa ini memang paling parah karena sawah dari penduduk tak menghasilkan di musim panen. Untuk desa-desa lain Saya pikir dalam keadaan yang baik-baik saja." Terang Mahapatih Sadewo menutupi fakta sebenarnya.
"Kalau begitu kenapa istana masih saja menarik pajak perang di desa ini? Toh untuk hidup sehari-hari para penduduk pasti sudah sangat kesulitan karena gagal panen tadi." Pangeran Ontowijoyo nampaknya tak cukup puas dengan penjelasan yang diberikan oleh Mahapatih Sadewo, orang yang paling bertanggung jawab untuk mengumpulkan pajak.
"Saya hanya menjalankan perintah Raja, perihal kebijakan yang diambil Saya tidak tau menahu." Jawab Mahapatih Sadewo.
"Hmm, jadi Ayah tau keadaan sebenarnya di sini?"
"Raja pasti sudah menghitung untung dan ruginya untuk kerajaan Jenggolo, setuap keputusan juga tidak akan memuaskan semua orang."
"Ini bukan soal untung dan rugi menurutku, tapi soal kemanusiaan dan keberpihakan pada rakyat kecil. Seorang Raja harusnya bisa bersikap layaknya seorang bapak pada anaknya, bukan selalu memposisikan dirinya sebagai penguasa saja. Kelak, jika Aku sduah menjadi Raja maka kebijakan seperti ini pasti akan Aku hilangkan." Ujar Pangeran Ontowijoyo.
Mahapatih Sadewo kali ini tak lagi menanggapi pernyataan Pangeran Ontowijoyo. Dalam hati sang Mahapatih sudah menertawakan rencana agung sang sang Pangeran karena malam nanti dia akan membunuh pewaris tahta kerajaan Jenggolo tersebut seperti apa yang telah diperintahkan oleh Raja Ontoseno kepada dirinya.
1866Please respect copyright.PENANAt3bwgsJNfx
BERSAMBUNG
Cerita "SANG PENDEKAR" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI1866Please respect copyright.PENANAww48g983Sn
1866Please respect copyright.PENANA9Qrm1S6FqT