"Akhirnya sampai juga!"
Sakti menurunkan Laras dari punggungnya, pendekar itu nampak cukup kelelahan setelah menggendong putri Juragan Seno dari sungai hingga akhirnya sampai di depan pendopo tempat tinggal Laras. Gadis cantik itu masih meringis kesakitan ketika kakinya menapak tanah, bagian pergelangan kakinya mulai bengkak setelah sebelumnya terhimpit pohon dan batu kali.
"Terima kasih sudah mengantarku pulang, capek ya?" Tanya Laras saat melihat Sakti menyeka keringat dari dahi dan wajahnya.
"Lumayan, ternyata tubuhmu lebih berat dibanding sekarung beras, hehehehe." Seloroh Sakti dengan mimik muka jenaka, ucapan yang membuat wajah Laras berubah sebal karena sepanjang perjalanan dari hutan menuju rumahnya, Sakti selalu saja meledeknya dengan ejekan-ejekan ringan yang tak jarang membuatnya kesal sekaligus tertawa.
Gerbang pendopo yang tinggi besar, terbuka dari dalam. Beberapa centeng dan abdi dalem yang bekerja pada Juragan Seno berlari tergesa mendekati Sakti dan Laras. Menyusul di belakang mereka Nyai Daimah dan sang adipati.
"Laras..!! Kau kenapa Nduk..???!" Nyai Daimah tampak begitu khawatir saat mendapati putrinya tak dapat berdiri sempurna akibat luka di kaki. Wanita itu menghampiri putri satu-satunya dan mulai melihat secara seksama apakah ada luka lain pada tubuh Laras.
"Nggak apa-apa Bu, Aku cuma jatuh tadi saat bermain di hutan." Ujar Laras, dia melirik ke arah Sakti yang nampak tersenyum setelah mendengar alasannya pada Nyai Daimah.
"Jatuh? Jatuh gimana?" Kali ini mata Nyai Daimah menatap sosok Sakti yang baru pertama kali ini dilihatnya.
"Heh Sakti! Kau apakan puteriku!" Hardik Juragan Seno penuh amarah. Adipati itu masih ingat betul bagaimana dengan sombongnya Sakti meninggalkan arena tarung jagad.
"Pak, Bu, Sakti yang menolongku. Kalau nggak ada dia, mungkin sampai sekarang Aku masih ada di hutan." Laras mencoba menjelaskan keberadaan Sakti saat ini. Sakti sendiri masih bersikap tenang meskipun Juragan Seno sudah menuduhnya macama-macam terhadap Laras.
"Bu, bawa dia masuk ke dalam!" Tanpa menghiraukan Laras, Juragan Seno langsung memerintahkan istrinya untuk membawa puteri semata wayang mereka masuk ke dalam pendopo.
"Pak, dengarkan dulu penjelasanku." Laras memohon.
"Masuk kataku!" Hardik Juragan Seno, Nyai Daimah dan beberapa abdi dalem langsung memapah tubuh Laras masuk ke dalam pendopo, meninggalkan Sakti dan Juragan Seno yang dikelilingi para centeng-centengnya. Laras masih menatap khawatir pada pendekar yang sudah menolongnya itu, tapi Laras tak bisa berbuat banyak.
"Dasar bajingan tengik! Berani-beraninya Kau sentuh puteriku! Asal Kau tau, kastamu itu rendah, tidak pantas menyentuh Laras yang akan jadi istri Pangeran Ontowijoyo!"
"Dengan segala hormat Juragan Seno, jika saya tidak menyentuh puteri anda, mana mungkin Saya bisa membawanya dari hutan sampai ke sini?"
"Kurang ajar ! Masih berani Kau menjawab? Mau cari mati Kau di sini?!" Hardik Juragan Seno penuh amarah, Sakti masih cukup tenang meskipun di hadapannya sudah berdiri beberapa centeng yang siap untuk menghunus pedang.
"Saya datang kesini bukan atas kemauan Saya sendiri. Tapi karena menolong Laras, kalau niat baik Saya membuat Juragan Seno tersinggung dan ingin menyelesaikan dengan cara lain, Saya siap menghadapinya."
"Bajingan! Pergi Kau dari sini! Jangan pernah menunjukkan batang hidungmu di hadapanku lagi!"
Diusir secara kasar bahkan tanpa menerima ucapan terima kasih sedikitpun karena menolong serta mengantar pulang Laras tak membuat Sakti sakit hati atau marah, pendekar itu hanya tersenyum simpul kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan halaman pendopo milik Juragan Seno.
***
PRAAANGGG.!!!
PRAANGGGGG!!
PRAAAANG!!!
"HIIIIAAAATTT...!!!" Seorang pria kekar melompat tinggi kemudian menghujamkan tombaknya ke leher lawannya yang berada dalam posisi terlentang karena sudah lebih dulu jatuh.
PRAAAANGGG!!!
HUUGGHH!!
BUUUGHHHHH..!!
Beruntung ujung tombak berhasil ditangkis oleh sang lawan, tapi tidak dengan ulu hatinya, sebuah tendangan dari si pria kekar berhasil membuat pria tadi berguling-guling. Sang pria kekar seperti tak mengenal ampun, dia kembali mengambil kuda-kuda untuk memulai serangan baru.
"Cukup!"
Teriak Raja Ontoseno yang sudah sejak tadi mengamati pertarungan antara puteranya, Pangeran Ontowijoyo dengan pria bertubuh kekar yang tak lain adalah panglima perang Kerajaan Jenggolo, Mahapatih Sadewo. Mendengar titah Raja, Mahapatih Sadewo langsung mengurungkan niatnya untuk kembali menyerang sang Pangeran.
Sudah menjadi sebuah rutinitas setiap dua hari sekali Mahapatih Sadewo menggembleng sang Pangeran dengan kemampuan beladiri. Berbulan-bulan lamanya sang pewaris tahta kerajaan itu ditempa dengan sangat keras secara fisik. Mahapatih sama sekali tak pandang bulu dalam melatih Pangeran Ontowijoyo, maka tak heran jika memar pukulan, lebam tendangan, hingga sayatan benda tajam sering mampir pada tubuh sang Pangeran.
Bukan tanpa alasan Mahapatih Sadewo melakukan hal tersebut, tak lain karena itu adalah titah langsung dari sang Raja. Sebagai satu-satunya pewaris tahta, Raja Ontoseno ingin mempersiapkan Pangeran Ontowijoyo menjadi pemimpin kerajaan dengan kemampuan beladiri yang mumpuni, sama seperti dirinya.
"Bangun! Musuhmu di luar sana tidak akan pernah memberimu waktu istirahat seperti ini!" Kata sang Raja saat menghampiri pangeran Ontowijoyo yang belum bangkit dari jatuhnya. Susah payah Pangeran Ontowijoyo berdiri, darah sudah mengucur dari sela-sela bibirnya.
"Sudah hampir delapan bulan Kau berlatih tapi tak sekalipun berhasil melukai Mahapatih. Bagaimana caramu kelak memimpin kerajaan jika tidak bisa melindungi dirimu sendiri?"
Pangeran Ontowijoyo hanya tertunduk lesu mendengar omelan dari sang raja, tak sekalipun dia berani menatap mata Ayahnya itu. Omelan Raja Ontowijoyo sudah menjadi makanan sehari-hari untuk menunjukkan ketidakpuasannya pada kualitas calon penggantinya kelak. Pangeran Ontowijoyo tak menutup mata akan hal itu, sedari kecil dia berusaha untuk terus memenuhi ekspektasi tinggi sang Ayah namun hingga dirinya beranjak dewasa belum juga bisa membuat Raja Ontowijoyo puas.
Menjadi satu-satunya calon pewaris tahta beban berat harus dipikul oleh Pangeran Ontowijoyo. Apalagi ekspektasi sang Ayahanda begitu tinggi dengan harapan Pangeran Ontowijoyo kelak tumbuh menjadi Raja dengan kemampuan seperti dirinya. Namun, sejak dulu Pangeran Ontowijoyo justru adalah antitesa dari sang Raja. Bagaimana tidak, ilmu kanuragan yang selalu dibanggakan oleh Raja Ontoseno ternyata tak begitu menarik minat Pangeran Ontowijoyo. Maka tak heran jika selama berbulan-bulan dilatih keras oleh Mahapatih Sadewo, Pangeran Ontowijoyo tetap saja belum bisa membuat Raja Ontoseno puas.
Pangeran Ontowijoyo justru menggandrungi dunia sastra dan ilmu politik. Berbagai macam kitab kuno yang ditulis oleh sastrawan mahsyur sudah dilahapnya hingga tuntas, dia juga berguru tentang tata kelola kerajaan dari perspektif politik serta budaya pada Mpu Cokro, seorang filsuf ternama yang sudah terkenal di seluruh pelosok kerajaan. Mungkin hanya sang Ibunda, Permaisuri Arkadewi, yang mendukung penuh Pangeran Ontowijoyo untuk memperdalam ilmu sastra serta politik. Namun demikian Permaisuri Arkadewi tak bisa berbuat banyak saat suaminya memaksa kehendak agar putera satu-satunya lebih mementingkan ilmu kanuragan daripada ilmu-ilmu yang lain.
"Mahapatih, kapan jadwal kunjunganmu ke Desa Sumber?" Tanya Raja Ontoseno.
"Besok pagi Saya dan pasukan akan berangkat Paduka."
"Bagus, kali ini ajak Ontowijoyo. Biar dia tau bagaimana rasanya hidup di luar istana. Semakin lama dia dimanjakan, maka dia tidak akan menjadi pria sejati."
Mata Pangeran Ontowijoyo langsung berbinar saat mendengar titah Ayahnya. Sudah lama sekali dia ingin keluar dari istana dan melihat dunia luar, namun selama ini selalu dicegah oleh Permaisuri Arkadewi dengan alasan keamanan.
"Tapi Paduka, apa tidak riskan mengajak Pangeran melakukan perjalanan jauh? Apalagi hutan Desa Sumber masih dikuasai oleh kelompok pemberontak." Mahapatih Sadewo menatap cemas, namun Pangeran Ontowijoyo justru terlihat senyum-senyum sendirian.
"Bukankah itu tugasmu untuk melindungi Pangeran? Kenapa ? Apa Kau takut akan berhadapan dengan Laksmono?"
"Bu..Bukan begitu maksud hamba, tapi.."
"Tapi apa? Titahku sudah jelas, ajak Ontowijoyo ke Desa Sumber besok pagi."
"Baik Paduka, Hamba akan laksanakan perintah Paduka."
Laksmono adalah pemimpin begundal tengkorak hitam, salah satu kelompok pemberontak yang selalu bikin rusuh dan dianggap sebagai musuh tentara Kerajaan Jenggolo nomor satu. Kelompok itu menyasar para bangsawan kaya untuk dirampok dan diambil harta bendanya, sebagian besar mereka gunakan untuk membantu para warga Desa Sumber yang hidup dalam kemiskinan.
Laksmono sendiri sebelum menjadi pemimpin pemberontak, dulunya adalah tangan kanan Raja Ontoseno. Laksmono mengabdi penuh kesetiaan sebagai seorang Mahapatih Kerajaan Jenggolo. Namun kesetiaan itu sirna saat tipu daya serta fitnah keji dari Sadewo membuat Laksmono harus terusir dari istana kerajaan. Sepeninggal Laksmono, posisi Mahapatih yang lowong akhirnya diserahkan pada Sadewo.
***
Selepas makan malam Pangeran Ontowijoyo yang langsung bergegas menyiapkan beberapa barang yang akan dibawanya besok saat ikut dalam kunjungan ke Desa Sumber. Sang Pangeran sudah tak sabar menanti momen yang paling ditunggunya sejak dulu itu. Hidup terkukung dalam lingkungan istana, apalagi selalu dipaksa untuk mengikuti kehendak sang Ayahanda membuat Pangeran Ontowijoyo ingin segera pergi.
Apalagi Pangeran Ontowijoyo pernah mendengar jika di pelosok hutan Desa Sumber terdapat sebuah padepokan yang dimiliki oleh Mpu Birawa, pertapa tua yang dikenal sangat sakti serta bijak. Sang Pangeran ingin menjadi muridnya. Maka, kesempatan emas ini tidak akan pernah disia-siakan, Sang Pangeran berniat melarikan diri dari rombongan kerajaan saat pasukan yang menjaganya lengah kemudian mencari lokasi pendopo Mpu Birawa dan berguru di sana, lepas dari nama besar Raja Ontoseno.
"Kamu yakin akan ikut Mahapatih besok?" Suara merdu Permaisuri Arkadewi mengalihkan perhatian Pangeran Ontowijoyo, diletakkannya barang yang tengah disiapkan sebagai bekal perjalanan esok hari. Pemuda gagah itu kemudian menghampiri sang Ibunda yang berdiri dengan tatapan sedih, menatapnya di depan pintu kamar.
"Aku harus menuruti perintah Ayah, katanya, ini adalah salah satu cara untuk menempaku menjadi pria sejati yang bisa memimpin kerajaan Bu." Ujar Pangeran Ontowijoyo seraya menggenggam jemari Ibunya.
"Maafkan Ayahmu ya Le, selama ini dia terlalu keras kepadamu. Tapi, Ibu yakin dibalik sikapnya yang tegas dan keras seperti itu, ada maksud baik yang ditujukan kepadamu."
"Wijoyo mengerti kok Bu, Ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut."
"Kasihan Kamu Le, harus menanggung beban seberat ini. Kalau saja boleh, Ibu rela menggantikan posisimu." Pangeran Ontowijoyo langsung memeluk tubuh Permaisuri Arkadewi saat melihat mata bulat Ibundanya itu mula berkabut kemudian perlahan menjatuhkan airmata.
"Jangan bersedih Bu, doakan saja perjalanan Wijoyo besok lancar dan tak mengalami hambatan. Wijoyo akan kembali ke sini setelah semua urusan di Desa Sumber selesai."
"Ikuti perintah Mahapatih selama di perjalanan, jangan lakukan sesuatu yang berbahaya. Pokoknya Kamu harus..."
"Eeemmcchhhh...."
Kalimat Permaisuri Arkadewi terputus ketika tiba-tiba bibirnya sudah dipagut mesra oleh Pangeran Ontowijoyo. Bibir keduanya saling mengoles, menimpa, mencium, mengecup, menghisap, melumat. Permaisuri Arkadewi sadar betul kalau saat ini ia sedang dipeluk dan dicium oleh putera kandungnya sendiri. Jantung keduanya berdebar kencang, mereka saling tatap dengan pandangan yang menyala-nyala dibimbing oleh nafsu sejati seorang manusia. Tangan Pangeran Ontowijoyo perlahan menutup pintu kamarnya, lalu menggandeng tangan sang Permaisuri menuju ke peraduan untuk selanjutnya meneguk birahi bersama layaknya sepasang kekasih yang dimabuk cinta.
3286Please respect copyright.PENANAUZCj9tyNwi
BERSAMBUNG
Cerita "SANG PENDEKAR" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.48da2