******
Bab 1 :
9Please respect copyright.PENANAnx2XiwHKxH
"BANG!" teriak Talitha, suaranya menyerupai suara cicitan tikus-tikus di loteng rumah. Pengganti tikus-tikus yang sebenarnya tidak ada di rumahnya. "Bang Gavin! Astagaaa bang ntar gue terlambat kuliah nih!"
Berkali-kali Talitha mengecek jam tangan yang melingkar manis di tangannya, gadis itu mengembuskan napas tak sabaran seperti orang yang baru saja melakukan push-up. Diliriknya berkali-kali ke dalam rumah, belum ada tanda-tanda bahwa kakak lelakinya itu akan ke luar. Talitha yang berdiri pas di pintu itu menganga lebar ketika menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul delapan. Dia ada mata kuliah jam setengah sembilan hari ini! Niatnya sebelum jam delapan dia akan pergi bersama Basuki ke rumah tantenya Basuki yang baru pulang dari Yogyakarta. Sumpah! Lenyap sudah harapan ingin menggeledah oleh-oleh. Talitha mengerang hebat.
"Baang!! Ampun dah. Dosennya killer, neh! Bang, lo itu mandi atau ngeram, sih, di kamar mandi?! Putus sudah harapan..."
"Heh! Putus patas putus! Apanya yang putus!" Gavin dengan seragam kantornya sudah muncul di dekat Talitha, membuat Talitha mendadak tegang dan setelah sadar, ia mendongak seraya memelototi Gavin. "Ha, tuh dia udah selesai!" decak Talitha sembari menunjuk Gavin dengan telunjuknya.
Gavin hanya melewatinya. "Lo tuh kenapa sih, Ta? Diem aja napa coba? Ga tau abangnya lagi mandi tadi," ujar Gavin, dia tahu Talitha mengikutinya dari belakang. Gavin berjalan ke garasi dan masuk ke dalam mobilnya.
Talitha ikut masuk sembari mencibir, "Itu mandi apanya yang digosok? Masa mandi lamanya minta ampun."
Gavin melotot menghadap ke arah Talitha yang baru saja menutup pintu mobil, sekarang gadis itu sedang memasang seat-belt. "ITA!! Apa maksud lo?! Ini masih pagi, Dek, jangan buat gue emosi! Ampun punya adek kok..."
Talitha mengangkat alis sembari menghadap ke arah Gavin. Menatap Gavin yang sama sekali tidak seru untuk diajak berkelahi pagi ini. Talitha langsung menghadap ke depan. "Halah Bang... Udah, sih, yang terlambat itu gue! Sumpah, ini udah jam delapan, Bang! Delapan!"
Gavin memutar bola matanya, kemudian ia menghadap ke depan. Ia memilih untuk menghidupkan mesin mobilnya, kemudian keluar dari garasi dan akhirnya melaju keluar dari gerbang rumah itu. Gavin sempat turun untuk menutup gerbang rumah kembali sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam mobil.
Gavin mempercepat laju mobilnya setelah ia mengetahui bahwa ini sudah jam delapan. Dia sempat mengecek jam tangannya setelah Talitha berkata bahwa sekarang sudah jam delapan.
Talitha menatap Gavin, dia gelisah, tetapi dia mencoba untuk tenang karena dia tahu bila dia gelisah mungkin itu akan mengacaukan konsentrasi Gavin yang sedang mengemudi. Bila konsentrasi itu hilang, nanti malah akan semakin memperlambat sampainya dirinya ke kampus.
"Bang, emang lo ngapain tadi malem? Kok bisa telat gitu? Gak biasanya," ujar Talitha.
Gavin menatap Talitha sekilas, kemudian kembali fokus ke depan. "Gue capek banget. Semalem ngelembur karena kerjaan kayaknya jadi nge-double."
Talitha mengernyit. "Nge-double?"
"Iya. Bos Besar sakit dan kayaknya ga bisa masuk kerja lagi. Belum ada penggantinya juga. Jadi, para direktur bawahan yang bantu ngerjain untuk sementara dan alhasil kami para bawahannya juga tugasnya jadi lebih banyak. Katanya, sih, hari ini bos baru atau direktur utama penggantinya bakal dateng."
Talitha mengangguk-angguk, anehnya dia menatap Gavin seperti orang bodoh. "Hooh... Kasian banget ya, Bang, setau gue lo pernah bilang kalo direktur sana udah pada beristri... Berarti istrinya semakin sering ditinggal suaminya lah yak?"
Gavin menganga dan menatap adiknya dengan mata melebar. "Ya ampun, Dek! Jadi, dari tadi lo fokus ke situ, ya? Sumpah, nih anak gila banget ya Tuhan..."
"Wakakakakak!" Talitha tertawa terbahak-bahak, gadis itu menghadap ke depan dan memegangi perutnya. Gavin menggeleng, mencoba untuk fokus kembali ke jalanan yang ada di depannya, tetapi ia tetap meladeni tawa gila Talitha.
Akhirnya, Talitha berhenti tertawa. Namun, gadis itu masih memegangi perutnya. "Tapi, Bang, siapa pengganti direktur utamanya? Anaknya? Atau mungkin orang lain gitu?"
"Ntah. Katanya, sih...yang nerusin itu anak dari Bos Besar."
"Oh. Lo pernah liat, Bang?" tanya Talitha lagi. Gavin mengedikkan bahu. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya.
"Gak. Gue gak pernah liat. Yah, kalo gue, sih, gak masalah siapa pun orangnya. Asalkan perusahaan tetep maju, gitu. Hm...tapi kalo ga salah...katanya lagi, nih, ya, anak dari Bos Besar itu pindahan dari Taiwan. Ah, gatau gue ah."
Talitha melebarkan matanya. "Dari Taiwan? Wuih mantep! Pasti berkarisma banget, tuh! Dia punya istri, ya, Bang?"
Gavin memelotot ke arah Talitha. "Ita, plis. Pikiran lo tuh jaga dikit napa, Dek."
"Yee Abang mah! Tuh makanya jangan jomblo terus! Kalo Abang kagak jomblo, pasti ngerti, tuh, apa artinya seorang istri bhahaha!"
Gavin menjewer telinga Talitha, membuat Talitha mengerang kuat dan berteriak tak jelas. Gavin memelotot lagi. "Ampun gak lo, hah? Ampun gak?"
"Iya, Bang, iya, ampun—sumpah ampun Bang—aaaakk! Ampun!!! Bang!!"
Akhirnya, Gavin melepas telinga Talitha, menyisakan Talitha yang kini tengah mengusap-usap telinganya yang memerah.
Gavin mendengkus. "Lagian, kayak lo gak jomblo aja," ejek Gavin.
Talitha menatap Gavin dan cengar-cengir. "Kalo gue beda, Bang. Jomblo tapi kece. Udah jadi Hukum Kekekalan Alam."
"Astaga apaan tuh? Baru dengar gue." Gavin terkikik. "Pokoknya kalo lo pacaran harus lapor ke gue."
"Siskamling baru, nih. Lapor 24 jam." Talitha menggeleng. Menyadari bahwa Gavin tetap saja seperti biasa, overprotective.
"Hahahaha." Tawa Gavin terdengar membahana di dalam mobil. Setelah tertawa, Gavin pun mempercepat laju mobilnya.
Talitha juga diam, canda tawa dengan Gavin membuatnya melupakan kegelisahannya karena ia terlambat. Mendadak dia melupakan sejenak masalah oleh-oleh dari tantenya Basuki beserta masalah dosen killer yang akan masuk ke kelasnya pagi ini.
Mobil tetap melaju, tetapi kali ini ada masalah baru.
Macet.
Ini memang terlalu buruk. Macetnya Jakarta, kepulan asap knalpot dan panasnya mentari pagi ini sudah melengkapi penderitaan Gavin dan Talitha. Sudah setengah jam mereka terjebak di jalan, belum juga ada tanda-tanda macet akan berkurang. Tidak ada celah. Ini sudah jam setengah sembilan lewat lima belas menit. Memilih untuk ke luar jam segini memang sama saja dengan bunuh diri. Talitha bahkan sudah tak semangat lagi untuk mengikuti dua jam pertama mata kuliah hari ini. Sudahlah, pasrah saja.
"Ta, gimana, nih?" tanya Gavin tiba-tiba, setelah hanya suara desahan napas mereka yang sedari tadi mengisi keheningan di dalam mobil. Talitha menghela napas.
"Udah, deh, Bang. Ya terpaksa ga ikut. Ikut mata kuliah kedua jam dua belas nanti aja, daripada terlambat."
"Lho, kok gitu, sih, Dek? Pokoknya lo harus giat kalo kuliah!"
Talitha mengernyit. "Nahloh, yang bikin terlambat siapa, coba?"
"Iya iya, gue minta maaf," ujar Gavin sembari mendengkus. "tapi lo mau ngapain aja ntar nunggu sampe jam dua belas? Gak kering apa nunggu segitu lama?"
"Ga kering, mungkin berkerak. Ya tapi mungkin gue mau ke rumah tantenya Basuki aja heheh. Dia bawa oleh-oleh dari Yogya." Talitha tersenyum lebar kepada Gavin. Gavin menoyor kepala gadis itu.
"Makan aja yang lo pikirin, Dek! Perasaan tadi udah sarapan, masa mau ngembat oleh-oleh Tante Fera lagi? Udah sarapan belom, sih, sebenernya?"
"Belom. Belom lima kali." Talitha tertawa keras.
"Dasar kurang ajar nih anak... Petakilan!" Gavin menggeleng sembari menoyor lagi kepala Talitha, kemudian pria itu tergelak.
Menyadari macet mulai berkurang, Gavin langsung mencoba untuk menjalankan mobilnya dan akhirnya, Gavin sampai di Universitas Indonesia—tempat Talitha berkuliah—itu pada jam sembilan. Talitha turun dari mobil setelah pamit dengan Gavin. Kini tinggal Gavin yang mulai menghela napas dan memutar balik mobilnya. Sembari memutar balik mobilnya, Gavin pun melirik jam tangannya.
"Sial, gue ada rapat setengah jam lagi!" rutuknya.
9Please respect copyright.PENANAjp2MYS20hv
******
9Please respect copyright.PENANAMxPC4yyMqQ
Gavin melangkah dengan langkah lebar menuju ke depan pintu elegan berdaun dua di depannya, melangkah—nyaris berlari—sembari membenarkan dasinya. Ketika sudah sampai, Gavin berhenti dan berusaha untuk menegapkan tubuhnya. Dia menarik napas dalam. Seluruh kubikel direksi pengembangan sudah kosong, jadi ia langsung mengambil kesimpulan bahwa rapat sudah dimulai. Dia memang panik karena kali ini dihadiri oleh bos baru, namun ia berusaha untuk tenang.
Gavin mengembuskan napasnya kuat lewat mulut dan akhirnya membuka pintu ruangan yang ada di depannya.
Bertepatan dengan terbukanya pintu itu, tertatap pulalah oleh Gavin semua rekan kerja dari direksinya maupun direksi lain. Dia di sini adalah seorang ketua direksi pengembangan! Dan dia terlambat. Sial.
Gavin merunduk singkat, masuk dan menutup pintu kembali. Dia langsung menatap ke depan, ke tempat berdirinya calon Bos Besar nanti, tetapi di sana tidak ada orang. Hanya pasang mata dari seluruh direktur lain, ketua direksi, dan seluruh karyawan yang ada di Abraham Groups ini.
Gavin merundukkan kepala tatkala dia sudah sampai di barisan direktur. Dia melakukan itu dengan hormat dan penuh rasa penyesalan. "Maafkan saya, Pak. Saya terlambat."
Ada beberapa dari direktur-direktur itu yang menatapnya dengan tatapan sinis, tetapi ada juga yang mengangguk.
"Ya, cepatlah duduk. Direktur utama kita belum datang. Jangan melakukan hal yang sama untuk selanjutnya."
"Ya, Pak," ujar Gavin, dia lalu merundukkan kepala singkat. Gavin langsung berjalan dengan langkah lebar ke barisan ketua-ketua direksi, lalu ia langsung disambut oleh tatapan dari Revan, bahkan sebelum ia duduk. Rupanya Revan menyisihkan sebuah kursi untuknya, tepat di samping pria itu.
Ketika Gavin berhasil duduk dan mengeluarkan napas sedikit gugup, Revan pun menepuk pundaknya. Pria berusia dua puluh delapan yang menjabat sebagai ketua direksi pemasaran itu mulai berbicara pada Gavin. "Heh, Nyet. Lo dari mana aja, hah?"
"Kampret lo," jawab Gavin, ia menoleh pada Revan dan menggeram sendiri. "Gue abis nganter si Ita. Gue-nya, sih, yang kesiangan. Parah macetnya."
Revan menganga, hampir tertawa. "Dih, keliatan bener kalo lo gak pernah keluar di jam-jam telat gitu. Ya, deh, yang anak teladan! Bhahaha!" Revan tertawa, tetapi tidak keras. Dia masih tahu diri bahwa mereka kini sedang duduk di ruangan rapat besar. Nyaris seluruh karyawan Abraham Groups ada di ruangan ini! Bayangkan bagaimana besarnya ruangan ini. Seperti stadion namun tidak melingkar dan yah...tidak juga seperti panggung untuk anak band.
"Sialan lo." Gavin berdecak. Revan terkikik geli. Pria playboy itu kemudian kembali menepuk pundak Gavin. "Ita emang gak bangunin lo, ya? Ya emang, sih, akhir-akhir ini kerjaan nyapekin banget. Untung udah ada pengganti untuk Dirut."
Revan dan Ita memang sudah saling kenal, pasalnya Revan adalah sahabat Gavin yang sama gilanya dengan Gavin sendiri. Revan sering bermain ke rumah Gavin yang membuat Revan sudah seperti anggota dari keluarga Gavin, yaitu Keluarga Aryadinata.
Gavin mengangguk. "Ita mana mau bangunin gue. Wong biasanya juga gue yang malah bangunin tuh bocah kunyuk."
Revan tertawa terbahak-bahak. "Untuk hal ini gue sepihak sama Ita. Tuh anak emang adek yang paling ajaib."
"Kampret lo, Nyet. Itu Adek gue lo bilang ajaib maksud lo apa, hah?"
Revan tetap tertawa keras, tetapi hanya cukup bisa didengar oleh kumpulan ketua direksi saja.
Beberapa saat kemudian, pintu berdaun dua yang berada jauh di depan sana itu terbuka. Dari sana keluarlah sosok tegap seorang laki-laki dan sontak semua orang termasuk para direktur mulai berdiri dan menyambutnya dengan hormat.
Gavin juga berdiri dan dia melihat seorang laki-laki yang masuk dengan dibuntuti oleh seorang perempuan yang sepertinya adalah asistennya. Laki-laki itu kelihatan masih muda, sungguh muda. Namun, tubuh tegapnya sangat sempurna, jauh lebih tinggi dan berotot daripada Gavin sendiri. Walaupun begitu, dari jauh Gavin dapat melihat bahwa laki-laki itu memiliki perawakan yang tegap dan mengintimidasi. Bila dilihat dari situasinya, tidak terelakkan lagi bahwa lelaki itulah bos baru mereka. Direktur utama baru mereka.
Jadi...
9Please respect copyright.PENANAqkUFi5F2Jq
"Selamat pagi."
9Please respect copyright.PENANA9YBVoBVjK1
"Selamat pagi, Pak." Semua orang menjawab, tetapi tidak terlalu serentak karena tentu saja bukan dibuat-buat. Sepertinya, orang itu tidak terlalu mahir berbahasa Indonesia. Jadi, rumor itu benar? Gavin hanya berpikir, apakah rumor bahwa orang itu anak dari mantan dirut sebelumnya itu...benar juga? Semua orang akhirnya kembali duduk.
"Okay... Baiklah, kita mulai pertemuan hari ini. Perkenalkan, nama saya Marco Deon Abraham. Mulai sekarang saya akan menggantikan jabatan sebagai direktur utama di Abraham Groups ini. Saya mohon bantuan dan kerja sama kita semua untuk perusahaan ini. Saya akan melakukan yang terbaik dan mencoba untuk membangun kekeluargaan yang erat di dalam perusahaan."
Gavin mengangguk, menyadari bahwa orang-orang lain juga sudah mengerti. Rumor itu benar. Nama belakang Abraham sudah membuktikan bahwa lelaki tampan yang berdiri di depan sana, di balik podium itu, adalah anak dari Pak Abraham, dirut sebelumnya.
9Please respect copyright.PENANAlwTryaMZIk
Kurang apa lagi tuh anak, pikir Gavin.
9Please respect copyright.PENANAsjLcu37HqG
"Pada rapat hari ini, saya akan membahas apa rencana dan kebijakan perusahaan yang telah saya tetapkan, tentu saja ini berdasarkan pertimbangan direktur utama sebelumnya. Ada beberapa perubahan yang mencolok dan ada juga yang tidak, untuk kepentingan kemajuan perusahaan. Seperti yang kita ketahui, khususnya kepada bapak-bapak direktur sekalian, kini perusahaan otomotif kita..."
Gavin mulai mendengarkan presentasi direktur utama itu di depan sana, tepat setelah dirut itu memperkenalkan diri.
Setelah beberapa saat mendengarkan presentasi itu, Gavin jadi mendapatkan satu kesimpulan penting, yaitu orang yang bernama Marco Deon Abraham itu jauh, jauh lebih tegas dan adikuasa dibandingkan ayahnya, Pak Abraham.
Gavin yakin, Dirut itu pasti lebih muda darinya. Demi celana dalam Revan, ini menyebalkan sekali tatkala kau mengetahui bahwa ada orang yang lebih muda darimu, tetapi jauh lebih sukses.
9Please respect copyright.PENANAtf6Zzq0SzU
******
9Please respect copyright.PENANApmQWtkMng1
"ITAAAAA!!! YA AMPUN CAYANGKUU, LO KE MANA AJAAHH?!!" teriak Basuki, memecah gendang telinga semua orang yang lewat di koridor kampus saat itu. Talitha langsung menatapnya dengan tatapan nih-anak- enaknya-dibunuh pada Basuki.
Sesampainya di dekat Talitha yang sedang duduk dengan pose melamun di salah satu kursi yang entah mengapa ada di depan kelas Ekonomi, Basuki langsung memeluknya dengan dramatis. Entah mengapa Talitha sampai menyelonong jauh ke Fakultas Ekonomi padahal dia adalah anak Fakultas Teknik. Tepatnya Teknik Sipil.
Talitha menganga, tetapi dengan mimik wajah yang datar sedatar-datarnya, sampai akhirnya Basuki melepaskan pelukan gila itu. "Lo ke mana aja sih, Cyiiinn!! Kangen guee! Aaahh, tega lo. Aku mah apa atuh..."
"Sumpah, ngapa ada dangdut masuk di kalimat lo? Lo cowok apa cewek, sih, Bas? Sampe kapan, sih, lo mau jadi bencong terus?"
"Biarin dah," ucap Basuki seraya menjulurkan lidahnya di depan Talitha. Talitha ternganga sampai akhirnya mimik wajah Basuki berubah. Si Bencong itu tiba-tiba jadi sok berkuasa. "Dan helloow, Itaaa! Gue udah kasih tau elo booo, kalo lo harus panggil gue Nana. Na-Na. Bukan bas bes bos! Krik banget gue dengernya ih."
Talitha menyeringai, gadis itu langsung berdiri dan merangkul bahu Basuki dengan gaya dramatis.
"Iya deh, Nana Dalemku."
Basuki sontak saja memelotot. "SIALAN LO, ITAIK!!"
Talitha tertawa keras dan langsung berlari ke depan, menghindari kemarahan Basuki seraya tergelak. Sontak saja Basuki ikut berlari dan menyusul Talitha. Napasnya terengah-engah seiring ia menyamakan langkahnya dengan Talitha. Maklum, laki-laki jadi-jadian seperti Basuki kebanyakan jarang berolahraga.
Basuki mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, mengecek sebentar notifikasinya sebelum ia menatap Talitha dengan tatapan penasaran. "Lo kenapa ga masuk jam kuliah pagi tadi, Ta? Malah nunggu di Fakultas Ekonomi lagi tuh! Woow, apa banget sih lo. Ew."
"Gue telat. Gue nyampe kampus jam sembilan. Daripada gue dibunuh sama dosen? Ntar aja gue masuk mata kuliah kedua, jam dua belas. Oh iya, kita ke rumah tante lo, yuk, mumpung belum jam dua belas. Gue mau nagih janjinya. Katanya dia mau ngasih gue coklat, wahahahaha!"
Basuki memasang wajah datar. "Cape, deh. Ya lah tenang ajaaah," ujarnya. Setelah itu, Basuki melanjutkan, "Lha trus lo ngapain aja dari jam sembilan sampe sekarang? Kan satu jam tuh. Ngapain aja lo? Jangan bilang...ngegebet anak Ekonomi lagi? Aduuuhhh, Cyiiinnnn!"
"Gue melamun doang. Mikirin kapan gue bisa ketemu Chris Evans, gitu," ujar Talitha.
"Tai! Hoek! Maksa banget hii!!" Basuki sok muntah. Talitha tergelak. "Lha, ketimbang elo? Nama Basuki tapi minta diubah ke Nana. Jauh banget. Setau gue kalo yang di emperan itu, kan, Sumanto siang, malemnya jadi Sumanti. Nah ini? Basuki jadi Nana. Maksa banget woooy! Plis deh, sok imut wakakakakakak!"
"Kamfreto!" teriak Basuki.
Basuki menggeleng, memilih untuk mengalah hari ini.
Talitha tetap tertawa dan tiba-tiba Basuki ingat sesuatu. Segera diberikannya handphone-nya kepada Talitha dan mengisyaratkan Talitha untuk membuka kuncinya.
Talitha hanya menganga tak mengerti. "Apaan?"
"Buka aja, deh. Liat wallpaper-nya. OHHHHHHH GANTENGKUUUH...!"
Talitha mengernyit dan langsung membuka kunci handphone Basuki tanpa membuang waktu. Handphone Basuki tidak dilindungi dengan password ataupun pola. Hal yang dilihat oleh Talitha di layar ponsel Basuki adalah...oh, ini artis, 'kan? Eh, bukan. Model? Penyanyi? Talitha lupa. Tetapi Talitha tahu namanya.
"Ini Marco Deon, 'kan?" tanya Talitha kepada Basuki. Fotonya menakjubkan. Sangat...seksi, haha.
"Iyaaaa, Ita... Duuuhhhh dia itu ganteng bangeeett, ya ampoeen mamih!! Dramanya juga top banget! Gue nge-fly melulu pas dia godain pemeran ceweknya! Ampyunnn!! Dia itu model terkenal yang main di banyak drama! Ampun daaahhhh, kipas mana kipaas...!" Basuki mulai mengipasi dirinya sendiri menggunakan jari-jarinya.
"Emm...gue tau kok. Dia ini terkenal banget. Dari Taiwan, 'kan? Tapi emang asli, yak, ganteng banget weeh. Mau teriak rasanya haha!" Talitha tertawa terbahak-bahak.
Namun, tiba-tiba Basuki melemas dan tertunduk. "Tapi dia sekarang berhenti dari dunia entertainment, Taaaa. Dia berhenti. Katanya dia pergi dari Taiwan. Huaa tolong Barbie! Dan yang buat gue makin terkejut lagi apaaa coba? Masa ada yang bilang kalau dia pindah ke Indonesia? Anjay ga mungkin ajah gitcu, 'kan? Ntar dia ireng lagi, aduh!"
Talitha tertawa. "Mungkin kalo dia ireng tetep seksi," celoteh Talitha. "tapi ga mungkinlah dia ke Indonesia dan tinggal di Indonesia. Ga ada yang dikejarnya juga di Indonesia, kalo menurut gue."
Talitha berucap asal, tetapi sebetulnya itu berdasarkan persepsinya sendiri. Basuki manggut- manggut.
"Gue fangirling amat sama tuh cowok Taiwan, huaaaaaa! Tapi katanya dia emang blasteran Taiwan- Indo loh. Gatau, deh, ya. Mungkin ada juga yang ditujunya kalo ke Indonesia. Hmm..." Tangan Basuki memegangi dagunya sendiri.
"Siapa?" tanya Talitha sembari mengernyit, dia menunggu dengan serius.
Basuki diam selama dua detik. Talitha tambah bingung. Hingga akhirnya, Basuki kembali bersuara.
9Please respect copyright.PENANA4zL5wQKGkt
"Gue. Pastinya donggh."
9Please respect copyright.PENANAAaCeOJveJt
Setelah mengatakan itu, Basuki tersenyum lebar. Kelewat lebar sampai kelihatan begitu menyebalkan. Itu kelakuan Basuki yang tertular dari Talitha.
"Astaga! HOEK! HAKCUIH! Hahahahahahah— elo?—a—elo? Wakwakwakwak aduh, Nak, bangunlah dari tidurmu, Nak, ini sudah siang... Pangerannya nyangkut di pohon sawit..." ledek Talitha. Alhasil, ledekan itu membuat mereka berdua jadi tontonan orang-orang yang lewat di koridor karena mereka mulai kejar-kejaran seperti kucing dan tikus. Tidak ada bedanya sama sekali.
9Please respect copyright.PENANAP4LYttqIDH
******
9Please respect copyright.PENANAr2lvyWYgP8
Talitha berdiri di area kampus, celingak-celinguk ke sekeliling. Ini sudah jam dua lewat sepuluh menit dan ia belum juga melihat mobil Gavin menjemputnya. Basuki sudah pulang beberapa menit yang lalu. Talitha menolak untuk ikut dengan Basuki naik angkot karena Talitha tahu bahwa Gavin akan menjemputnya hari ini. Gavin hanya absen menjemputnya di hari Senin dan Jumat. Ini hari Selasa. Apa sesuatu terjadi dengan Gavin? Gavin biasanya akan menjemputnya di jam dua, pas sekali dengan jam pulang Talitha, karena itu masih terhitung jam istirahat di kantor Gavin. Gavin akan pulang sekitar jam empat sore.
Mengingat hari ini pergantian bosnya...mungkin dia agak telat?
Satu hal lagi yang membuat Talitha gelisah adalah saat ini cuaca sudah mulai hujan gerimis. Sejak jam dua belas tadi langit tiba-tiba gelap. Dua jam adalah waktu yang lama untuk turunnya hujan apalagi hanya gerimis seperti ini. Melihat ke sekeliling lagi, akhirnya Talitha mendapati mobil milik Gavin yang tengah mendekat ke arahnya. Talitha menghela napas lega; gadis itu langsung berlari ke samping mobil Gavin, mencari pintu mobil agar ia bisa masuk.
Ketika ia masuk, ia langsung disambut oleh senyuman Gavin. Talitha mulai grasah-grusuh mencari seat-belt dan memasang seat-belt itu ke tubuhnya. Ia langsung menatap Gavin yang kini sedang memutar balik mobil, menjauh dari area universitas.
"Gerimis, Bang," ucap Talitha dan rasanya sekarang rambutnya jadi sedikit basah. "Tadi abang gimana di kantor? Bosnya baik?"
"Hm," deham Gavin, kini mobilnya sudah melaju di jalanan dengan kecepatan santai. "ya gitu, deh."
Talitha mengernyit, lalu mencibir Gavin. "Kayaknya Bosnya gak baik tuh," kata Talitha. "Muka lo keluar dari kantor jadi kayak muka zombie gitu."
"Bosnya bagus kok. Tegas. Tapi satu: dia kejam. Tuh anak padahal lebih muda dari gue, tapi merintahnya kayak ngebudakin kita banget. Kalo ga inget dia itu dirut, gue tonjok serius."
Talitha jadi ngakak sendiri mendengar keluhan serta gerutuan rancu yang keluar dari mulut Gavin.
"Lakuin itu dan lo bakal langsung ditendang, Bang, wakwakwak!" Talitha tergelak hingga kepalanya terdongak ke belakang. "Terus besok pagi bakal ada berita: 'Seorang pegawai kantor di Abraham Groups meninggal dengan dramatis di koridor kantor. Kabarnya, ia adalah seorang ketua direksi yang bernama Gavin Syah Aryadinata.' HAHAHAH!"
"Sialan lo, ya, Ta," umpat Gavin sembari menjewer telinga Talitha. "Awas kalo lo mintain pena gue lagi, ya!"
Talitha meringis kesakitan, tetapi tiba-tiba ia tertawa membahana. Ya, kebiasaan dia adalah mengambil atau meminta pena kantor milik Gavin yang biasa ada di tas kerja Gavin.
"Gyahahahahahaha!" Talitha tergelak, kini telinganya sudah dilepaskan oleh Gavin. Gavin kembali menatap ke arah jalanan dengan raut wajah antara kesal dan menahan tawa.
Namun, tiba-tiba mata Gavin membelalak; ia teringat sesuatu.
"Bang—"
"Ta," panggil Gavin tiba-tiba, membuat Talitha jadi melebarkan matanya. Gavin lalu melanjutkan, "gue mau minta tolong."
Wajah Gavin mendadak terlihat serius dan...panik?
Talitha mengernyit. "Apaan? Kok serius amat, Bang?"
"Hari Kamis ntar lo sibuk, nggak?" tanya Gavin, pria itu menatap Talitha sesekali dengan raut wajahnya yang tengah serius itu. Talitha semakin mengernyit.
"Gak ada. Emang kenapa?"
Gavin menghela napas. Tampaknya situasinya benar-benar gawat. "Hari Kamis ntar bakal ada acara anniversary ke-30 Abraham Groups. Ulang tahun ke-30 nya perusahaan tempat gue kerja," terang Gavin. "Nah, tadi dari hasil rapatnya, katanya bakalan diadain pesta dansa dan semua orang disuruh untuk membawa pasangan masing-masing. Kalau tidak punya pasangan, disuruh datang sendirian aja. Duh, sumpah, mati gue."
Talitha kontan tertawa terbahak-bahak. Kali ini keras sekali. "Ya ampun, Bang! Jangan bilang lo mau minta tolong gue buat pura-pura jadi pasangan lo? ASTAGAAAHHH, HAHAHAHAHA!!"
"Duh, Ta, tolongin gue plis. Gue malu kalo datang sendirian. Lo bersikap kayak lo udah ga jomblo aja! Sialan banget sih lo, Dek."
Talitha masih tertawa hingga dua menit ke depan.
Membuat Gavin merutuk-rutuk sendiri.
Akhirnya, tawa Talitha mereda seiring dengan gadis itu yang masih mengelus perutnya. "Okelah. Tapi...emang gapapa, ya, Bang, gue masuk ke sana? Ga enak, lho, Bang. Ntar...gue diusir." Talitha jadi bergidik ngeri.
"Lah, kan emang disuruh bawa pasangan. Rata-rata karyawannya bakal bawa pasangan, kok. Ada yang bawa pacar, ada yang bawa istri."
"Oh. Dan lo bawa adek. Hehehe," seloroh Talitha.
Gavin berdecak sebal.
"Udah, diem aja. Palingan yang tau kalo lo Adek gue tuh cuma si Revan."
Talitha melebarkan matanya, tampak excited. "Waah, Bang Revan apa kabar, Bang? Udah lama banget dia gak maen ke rumah..."
Gavin mencibir. "Kayak lo gak tau aja. Dia itu tempat penampungan cewek."
Akhirnya, Gavin berhasil membuat Talitha tergelak lagi. Gavin pun ikut tertawa.
"Ntar gue beliin gaun, deh, Dek. Anggap aja hadiah dari gue sebelum lo KKN." Gavin tersenyum pada adiknya, Talitha. Talitha mengangguk senang dan lagi-lagi terkikik. "Oke, deh, Bang! Sebenernya gak suka gaun, tapi kalo itu dari Bang Gavin...apa, sih, yang nggak? Hahaha!"
Gavin tertawa keras. "Oke, tapi ntar temenin gue ke pesta itu, ya?"
Talitha mengangguk mantap sembari mengacungkan jempolnya. "Oke sip!" []
9Please respect copyright.PENANAwMp7oZSM2u