******
Bab 4 :
7Please respect copyright.PENANAFhxTq9lCGE
KEDUA mata Talitha terbelalak.
'Orang sepertiku'... Talitha masih tak mengerti dengan apa yang sedang Deon katakan, sekaligus ada rasa...ingin tertawa. Namun, sialnya rasa ingin tertawanya itu ternyata lebih besar.
"WHAHAHAHAHAHAHA!" tawa Talitha menggelegar bagai petir di siang bolong. "Kamu lagi bercanda, ya? 'Orang sepertiku'? Kamu bukan manusia biasa, ya, emangnya? Oh, ya, sih, kamu memang artis terkenal. Tapi cara kamu bilang 'orang sepertiku' itu seolah kamu mengakui bahwa kamu nggak normal. Kamu emang udah gila, Pak Deon," kata Talitha sembari terus tertawa. Dia tidak sadar bahwa perkataannya barusan adalah sarkasme.
Namun, Deon tak menjawab apa pun. Suasana terasa awkward dan Talitha mendadak menoyor kepalanya sendiri karena mulutnya yang tidak bisa direm. Setelah itu, tiba-tiba ponsel Deon berbunyi dan sukses memecah suasana.
"Halo, Pa."
"Ya. Papa udah pulang dari rumah sakit?" tanya Deon kemudian sembari membelokkan setirnya.
"Oke."
Setelah itu, Deon pun menutup teleponnya dan mengembuskan napas. Dahinya berkerut dan ia menambah kecepatan mobilnya.
"Lha—lha lha, kok tambah ngebut, Pak?" Talitha meninggikan suaranya, matanya berkedip berulang-ulang, dia mulai lambat connect. Deon mengeraskan rahang.
Melihat reaksi Deon, Talitha paham bahwa pria itu mengeraskan rahang karena Talitha memanggilnya dengan sebutan 'Pak'.
"Oh, oke. Kok tambah ngebut, Deon?" ulang Talitha.
Deon mendengkus dan melirik Talitha sejenak, kemudian tatapannya beralih ke arah jalanan lagi.
"Kamu ikut aku ke rumahku."
"Weleeh, kamu yang disuruh pulang kok bawa-bawa aku, sih?!!!" protes Talitha.
"Bukannya kamu calon istriku?" ujar Deon. "Aku ingin mengenalkanmu pada Papaku. Tolong jangan merusak semuanya karena kamu tahu kalau aku juga bisa merusak kehidupanmu."
Mata Talitha terbelalak. Kata-kata itu spontan membuatnya memelototi Deon. "Calon istri? Lelucon apa lagi ini, astagaaaa! Kamu udah gila, serius. Kamu udah kehilangan kewarasan kamu; kamu harus masuk rumah sakit jiwa!"
"Aku tak peduli, Talitha," ujar Deon seraya menyeringai. "Hidupku sudah rusak sejak aku masih kecil. Aku tak tahu kewarasan apa yang kamu maksud," ujar Deon. Wajahnya tampak begitu keji.
Talitha mendadak tak bisa menjawab apa pun. Yang dia tahu, pria itu sudah kehilangan selera untuk memperbaiki kehidupannya sendiri, pria itu hanya memikirkan bagaimana cara untuk menghancurkan apa yang sebelumnya merusak hidupnya. Kalaupun Talitha harus ikut campur dalam kehidupannya, apa Talitha benar-benar bisa membantunya? Membantu orang yang bahkan mengancam akan merusak kehidupan Talitha jika Talitha merusak rencananya? Ini sinting.
7Please respect copyright.PENANA7afu9FJnRr
******
7Please respect copyright.PENANAJmiuCvmCry
Deon menggenggam tangan Talitha dengan kencang. Talitha sempat mengaduh kesakitan, meskipun Deon sama sekali tak sadar dengan apa yang telah dilakukannya. Pria itu mulai menekan bel. Tak lama kemudian, pintu besar berdaun dua di depan mereka terbuka. Deon langsung masuk seraya membawa Talitha tanpa memedulikan pelayan-pelayan rumah itu yang tengah merunduk hormat kepadanya. Sementara itu, Talitha sempat-sempatnya berteriak. Dia berdecak kagum tatkala melihat rumah mewah milik papanya Deon. Jika Gavin diejek Revan dengan kata 'monyet', seharusnya Talitha-lah yang mendapat julukan itu dari dulu.
"Gila...ini rumah apa istana? Ckckckckck..." decak Talitha tak punya malu. Pelayan-pelayan di rumah itu sampai mengernyitkan dahi karena heran padanya. Mungkin para pelayan itu berpikir: "Nih orang kampungan atau bagaimana?"
Sementara itu, Deon, pria itu hanya melihat Talitha dan menggeleng. Deon mengembuskan napas kasar. Dia tahu Talitha memang seperti itu sejak pertama kali Talitha meneriakkan namanya ketika Deon ingin memberikan pidato di pesta anniversary perusahaan. Kepala Talitha menabrak punggung tegap Deon saat Deon tiba-tiba berhenti melangkah. Talitha mengusap-usap jidatnya sembari mengeluh, kemudian dia melihat ke depan dan kontan matanya terbelalak.
"Ini kamar papa kamu?" bisik Talitha, agak didramatisasi.
"Hm," deham Deon. "Kumohon kerja sama kamu. Jangan terlalu berisik, tubuhnya masih lemah."
Talitha mengangguk dan mulutnya membentuk 'o' kecil.
"Oke oke," jawab gadis itu.
Tak lama kemudian, Deon mengetuk pintu kamar papanya. "Pa, Deon masuk, ya."
Talitha hanya berpikir begini: pria ini sifatnya 180 derajat berbeda jika kepada papanya. Dia begitu berbakti dan begitu sopan pada papanya. Apa papanya Deon ini tahu bahwa selain pada papanya sendiri, Deon ini persis seperti iblis pemakan manusia?
Deon membuka pintu kamar ayahnya. Setelah itu, Deon tiba-tiba mematung. Talitha lantas bingung tatkala melihat pria itu mematung. Gadis itu kini ikut melihat ke arah mana Deon melihat, lalu Talitha menemukan seorang laki-laki dan seorang perempuan paruh baya di sana. Perempuan paruh baya itu menatap ke arah Deon dan wajahnya langsung pucat. Beberapa detik kemudian, wajah wanita itu mulai tampak melemas. Wanita itu tanpa sadar mengeluarkan air matanya.
Talitha kemudian melihat ke arah Deon yang kelihatan mematung seolah baru saja tersambar petir. Pegangan tangan Deon pada tangan Talitha terasa semakin kuat hingga membuat Talitha memekik. Gigi Deon bergemeletuk kuat. Wajahnya dipenuhi dengan kemurkaan yang luar biasa. Talitha melihat ke arah pria paruh baya yang ada di ranjang. Pria itu berusaha untuk duduk dan ingin meraih Deon; mulutnya terbuka dan ia mulai berbicara dengan lirih, "Deon, dengarkan Papa..."
Mulut Deon terkatup rapat.
Setelah itu, Deon memejamkan matanya menahan seluruh amarahnya, meskipun kalimat papanya itu semakin membuatnya nyaris kalap. Jemari tangannya yang tengah menggenggam tangan Talitha itu kini tampak memutih dan bergetar. Talitha bahkan tak mengerti situasi apa yang sedang terjadi di hadapannya sekarang.
"Pergi kau dari sini," peringat Deon. "Pergi sekarang juga sebelum kau kuusir," kata Deon kepada perempuan paruh baya yang ada di depan ayahnya. Talitha juga melihat bahwa dua orang di depan sana langsung membulatkan mata mereka ketika melihat wajah Deon yang sedang murka. Mata Deon memelotot dan aura hitam bagai tersebar di sekitarnya.
Namun, bukannya pergi, perempuan itu malah menangis. Perempuan itu berdiri dengan cepat, berjalan ke arah Deon, dan memeluk Deon. "Deon, maafkan Mama, Sayang, tolong maafkan Mama. Mama harus menjelaskan semuanya sekarang kepadamu, Sayang, Mama—"
"PERGI DARI HADAPANKU!!" Deon berteriak. Suaranya menggelegar, ia mendorong tubuh perempuan itu dengan kuat. "PERGI KAU SEKARANG!" bentak Deon sembari menunjuk ke arah pintu, dia melepaskan tangan Talitha begitu saja.
Perempuan itu terjatuh dan langsung mengesot untuk mencapai Deon, tetapi Deon kini mulai bergerak melempar barang-barang milik papanya ke sembarang arah karena termakan emosi. Talitha bahkan sampai merunduk dan menghalangi kepalanya dengan kedua tangannya. Ada rasa mengerikan dan takut yang teramat sangat jika kita sedang menyaksikan perkelahian di dalam keluarga. Semua orang yang pernah mengalaminya pasti tahu hal itu.
"Get away from me," ujar Deon dengan tajam. "NOW!!"
"Deon, dengerin Papa dulu, dia itu Mama kamu dan—"
"Karena kau Papa sendirian. Papa akhirnya sakit. Kurang apa Papa padamu hingga kau mengkhianati Papa?"
"DEON!!" bentak papa Deon.
"Apa, Pa? Sekarang Papa mau kembali padanya lagi, setelah dia seenaknya pergi dari Papa? Papa mau menerimanya lagi setelah dia dengan kebiasaan melacurnya itu kembali pada Papa karena uangnya habis?" ujar Deon sembari tertawa sarkastis. Deon mengusap rambutnya ke belakang dengan frustrasi dan ia tertunduk. Deon kemudian tertawa hambar, sementara pandangan kejinya mulai kembali tertuju kepada ibunya. "Pergi kau, perempuan sialan. Aku benci padamu. Karena kau, aku kehilangan kepercayaan diriku. Aku juga jadi sulit untuk percaya kepada orang lain. Aku kehilangan jati diriku. Aku tak tahu dunia apa yang sedang kutempati karena sosok ibu yang seharusnya menjadi sandaranku ketika bersedih malah mengkhianati keluarga kami. Meninggalkanku dan Papa dengan cara yang begitu tega. Sekarang kau tak perlu meminta maaf karena sampai kapan pun aku akan tetap percaya bahwa Ibuku tidak ada. Ibuku sudah meninggal," ujar Deon dengan nada tajam.
Perempuan itu menangis tersedu-sedu. Dia berkali-kali mencoba untuk meraih Deon, tetapi Deon mendorongnya dengan kuat. Papa Deon bahkan hanya bisa diam; ia menatap Deon sembari mengeluarkan air mata. Air mata penyesalan sekaligus air mata kasihan kepada anak semata wayangnya itu.
Deon berbalik dan kini dia berdiri bersebelahan dengan Talitha, hanya berbeda arah pandang. Deon berhenti di sebelah Talitha dan Talitha hanya bisa memandangnya dari samping. Deon kemudian membalikkan tubuhnya sedikit, menghadap ke arah papanya.
"Oh, ya," ujar Deon, nadanya masih terdengar begitu tajam. "Gadis ini adalah kekasihku. Aku harap, Papaku yang baik hati mau mempersiapkan pertunangan kami. Aku sekarang memiliki seorang tunangan harus kupedulikan daripada harus terus-menerus memikirkan tentang seorang perempuan yang bahkan tak menyayangiku sejak aku kecil," ujar Deon sarkastis dan penuh penekanan sembari menatap tajam kepada Serena, Ibunya. Deon memberitahukan hubungan pura-puranya dengan Talitha itu kepada Serena.
Deon kemudian menarik tangan Talitha dan keluar dari ruangan itu dengan langkah yang lebar. Deon berjalan dan napasnya memburu. Semuanya bagai ia lampiaskan pada langkah tegap dan lebarnya yang tampak begitu tak sabar. Dia telah dikuasai oleh amarah yang luar biasa besar.
Talitha sampai berlari karena ditarik oleh Deon. Talitha mengerang bukan main akibat rasa sakit yang berasal dari pergelangan tangannya. Berkali-kali Talitha meneriakkan nama Deon, tetapi Deon tak kunjung terusik. Pria itu kini membawa Talitha hingga berada di dekat mobil Range Rover-nya dan membuat Talitha masuk ke sana begitu ia berhasil membuka pintu mobilnya itu.
Talitha mengaduh kesakitan bersamaan dengan Deon yang menutup pintu mobil itu dengan kencang. Pria itu kemudian memutari mobilnya dan masuk, lalu tanpa berbicara apa pun Deon menghidupkan mesin mobilnya. Dikendarainya mobilnya itu dengan kecepatan yang supertinggi di jalanan depan kompleks perumahan besar tempat rumah papanya itu berlokasi.
"Deon!!" teriak Talitha, gadis itu benar-benar panik. "DEON!! OI!!! DEON!! KURANGI KECEPATAN KAMU!!! KITA BISA MATI!!!"
Namun, Deon tak menggubrisnya. Pria itu mendengar teriakan Talitha, tetapi ia semakin kesal dengan semuanya dan mulai mencengkeram roda kemudinya dengan kencang. Rahangnya terkatup semakin rapat dan matanya memelotot penuh amarah.
"DEON!!!!!!!!!" teriak Talitha kencang.
Kini Talitha mendengar suara mobil yang mengerem dengan sangat kuat hingga memekakkan telinga. Talitha otomatis terdorong ke depan dan nyaris saja kepalanya menghantam dashboard jika dia tidak memanjangkan tangannya untuk bertumpu pada dashboard itu sendiri kuat-kuat. Dia tadi belum sempat memakai sabuk pengaman! Napas Talitha memburu. Jantungnya berdetak kencang. Ia terengah-engah dan bibirnya mendadak kering. Namun, tak memedulikan semua itu, Talitha kini beralih melihat ke arah Deon.
Pria itu masih memegang roda kemudinya dengan sebelah tangan kekarnya.
Keningnya berkerut bagai berjuta pikiran tengah berkecamuk di dalam kepalanya. Wajah Deon tampak memendam amarah. Matanya kelihatan seperti tengah menatap ke depan, tetapi sesungguhnya matanya itu tidak sedang melihat apa pun. Tidak fokus.
Talitha duduk tegap, langsung menghadap ke arah Deon, dan mulai ingin membuka mulut. "De—"
Sekonyong-konyong Talitha membulatkan kedua bola matanya.
Ia belum sepenuhnya tersadar ketika tiba-tiba kepala Deon bertumpu di bahunya. Deon menyandarkan kepalanya di sana; dia bergerak ke arah Talitha bersamaan dengan Talitha yang menghadap ke arahnya. Ketika Talitha sadar bahwa kepala Deon ada di bahunya, mulut Talitha terkatup. Pandangan matanya perlahan-lahan melembut.
Ia pun merundukkan kepalanya, menatap ke arah Deon.
Tanpa sadar mata Talitha berkaca-kaca. Dia belum pernah mengalami hal seberat ini. Selama ini, keluarganya adalah keluarga harmonis. Tidak ia sangka seorang Marco Deon memiliki kehidupan yang kelam seperti ini. Kini ia mengerti mengapa Deon sangat membenci kebohongan.
Tangan Talitha tanpa sadar terangkat. Meskipun bergetar, tangannya tetap berusaha untuk meraih kepala Deon yang sedang bertumpu di bahunya. Kini tangan Talitha itu sampai di kepala Deon. Talitha mengusap puncak kepala Deon dengan lembut. Tangan satunya lagi terangkat untuk memeluk tubuh Deon yang sekarang tampak rapuh itu. Cuaca yang setahu Talitha waktu sepulang kuliah tadi panas, sekarang malah turun hujan.
Hujan turun di tengah semua kesedihan yang dialami oleh keluarga Deon. Seolah langit pun ikut menangis dan meruntuhkan pertahanannya. Begitu pula Deon yang saat ini punggungnya tampak bergetar. Ia awalnya menangis dengan tanpa suara, tetapi kemudian menjadi terisak dengan penuh rasa sakit di pelukan Talitha.
Tangisannya itu membuat Talitha ikut menangis. Terakhir kali Talitha menangis seperti ini adalah ketika kakeknya meninggal.
Sekarang tangisan Deon membuatnya ikut menangis. Siapa pun yang mendengar tangisan Deon saat itu akan menangis...sebab isakan Deon terdengar begitu lemah...rapuh...dan penuh penderitaan. Di bawah hujan itu, dia menunjukkan segala sisi lemahnya di hadapan Talitha.
7Please respect copyright.PENANA5mqxc8DxQN
******
7Please respect copyright.PENANAE2jSY070NI
"Dari mana, Ta?"
Pertanyaan Gavin tak digubris oleh Talitha. Ia baru saja diantar pulang oleh Deon dan baru masuk ke dalam rumah. Raut wajahnya begitu muram dan matanya bengkak.
"Dek?" panggil Gavin sekali lagi, tetapi Talitha hanya langsung pergi dan masuk ke dalam kamarnya tanpa ada sepatah kata pun yang ia ucapkan untuk menjawab untuk Gavin. Gavin menggeleng sendiri.
"Tuh anak kenapa? Tadi Pak Dirut jadi nggak, ya, minta maaf sama dia? Lagian, dia kok pulangnya sore amat..." Gavin tanpa sadar menggumam sendiri sembari menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah enam sore. Dia juga baru pulang sepuluh menit yang lalu dan belum mengganti baju kantornya.
Mengedikkan bahu, Gavin pun masuk ke dalam rumah dan beranjak menuju ke kamarnya.
Di kamarnya, dia langsung dihadapkan dengan Revan yang sedang bermain PlayStation. Dia langsung menutup pintu kamar dan melempar bola basket yang ada di dalam kamarnya itu ke kepala Revan.
"Oi, Nyet," panggil Gavin. Revan mem-pause-kan game-nya dan mengambil bola basket yang mulai terjatuh ke bahunya. Revan cengar-cengir kepada Gavin yang sedang berkacak pinggang di depannya.
"Apa, Nyet?" jawab Revan dengan tak berdosanya, ia masih cengar-cengir kepada Gavin.
"Si Kampret," ujar Gavin. "Udahlah ga masuk kerja, malah bersarang lagi di kamar gue. Ngacauin kamar gue aja lo. Sono pergi, liat tuh remah Chitato ada di mana-mana. Kapan juga lo ke luar beli Chitato?"
Revan tertawa terbahak-bahak. "Mama Sayang, ntar aku beresin kok," ujar Revan santai sembari menaik-turunkan alisnya kepada Gavin.
Gavin menaruh tas kerjanya dan melempar bantal gulingnya ke arah Revan begitu dia kembali. "Sialan. Kapan gue ngelahirin lo? Udah-udah, beresin nih kamar gue!! Udah berkepala tiga masih aja serampangan!"
"Jangan rempong banget, sih, Nyet," ujar Revan sambil tertawa. Ia me-resume-kan lagi game-nya. "Ntar lagi, nih, tunggu sebentar. Dia ngalahin lawannya yang ini dulu."
"Pokoknya pas gue balik lagi ke sini, nih kamar harus bersih. Awas lo ya," peringat Gavin sebelum akhirnya dia ke luar kamar dan meninggalkan Revan yang tertawa kesetanan.
Jika Gavin ke luar kamar, rumah sekarang terasa sepi karena mamanya sedang menggosip ke rumah tetangga. Astaga, padahal ini sudah sore. Papanya juga masih belum pulang kerja. Kalau Talitha...tadi dia sepertinya sedang bad mood.
Gavin pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ketika ia sampai di dapur, ia sempat melirik ke arah kamar mandi dan—
"WUAH COPOT MAMPUS MATI GUA MATI GUA ASTAGA!" teriak Gavin dengan mata memelotot, dia sontak terdorong ke belakang. Untung saja kakinya bisa mengatur keseimbangan karena dia baru saja hampir terjungkal ke belakang. Tangannya mengelus dadanya berkali-kali dan mulutnya menganga lebar.
Di depan pintu kamar mandi yang ada di dapur, Talitha berdiri dengan rambut yang terurai dan acak-acakan. Gadis itu masih memakai baju yang tadi dan ada handuk yang tersampir di salah satu bahunya. Matanya memandang ke bawah dan tatapan matanya kosong, dia juga terlihat seperti orang yang sedang mabuk karena kepalanya bergoyang ke sana kemari.
Sadar abangnya berteriak kaget karenanya, ia pun langsung menatap abangnya dengan gaya 'antara hidup dan mati' serta dengan ekspresi yang datar. Setelah itu, ia dengan muka seramnya itu langsung masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi itu dengan kencang. Gavin kembali terlonjak ke belakang dan pria itu mengelus dadanya lagi. Jantungnya hampir dua kali copot dari tempatnya hanya gara-gara Talitha.
7Please respect copyright.PENANAhzYRa56xo6
"Ya Tuhan.. Tuh anak kenapa astaga...astaga... Kok mirip kuntilanak..."
7Please respect copyright.PENANA7anFlxxf2p
******
7Please respect copyright.PENANADVwsSLL3ml
Darwin menatap mantan istrinya itu dengan tatapan sendu. Sejak kepergian Deon, Serena belum juga beranjak dari tempatnya duduk sebelumnya. Dia meringkuk dan menangis tanpa henti. Dia menangis penuh penyesalan dan dia tampak putus asa.
"Itulah yang ingin kuberitahu padamu sebelumnya. Dia sungguh terluka. Itu membuatnya jadi berbeda. Dia trauma dan mencapai amarah yang berlebihan setiap kali dia melihatmu."
Serena menangis semakin kuat.
"My son... It's been a long time and he just made me wanna die. Anakku menderita karenaku... Apa yang harus kulakukan, Darwin?" Serena mengangkat wajahnya, matanya penuh dengan air mata dan dia tampak stress. "Apa pun akan kulakukan, apa pun!"
Serena mengangguk-angguk kencang dan tampak putus asa. Dia tampak sangat stress. "Aku rela mati jika itu yang Deon inginkan..." Serena semakin meringkuk, ia memeluk betisnya semakin kencang. Tangannya mulai mencengkeram betisnya sendiri.
Darwin hanya diam. Beberapa menit telah berlalu. Akhirnya, Serena mulai berusaha untuk berdiri, meski berkali-kali terjatuh. Wanita paruh baya yang cantik itu masih menangis, tetapi dia kini sudah berdiri membelakangi Darwin karena dia tengah menghadap ke pintu kamar itu. Tempat Deon pergi sebelumnya.
Darwin hanya memperhatikannya dari belakang dan memicingkan mata.
"Apa kau takkan bercerita padaku tentang apa yang sebenarnya terjadi dahulu?" tanya Darwin, ekspresi wajah pria paruh baya itu tampak serius.
Serena yang tadinya berencana untuk keluar dari kamar Darwin itu mendadak terkejut.
Beberapa detik kemudian, Serena pun menutup matanya.
"Aku terlalu malu untuk bercerita kepadamu. Aku juga akan merasa seperti orang yang tak tahu diri jika aku masih berani untuk menceritakan semuanya kepadamu." Serena kembali mengeluarkan air matanya.
"Aku sudah mencari tahu semuanya dahulu dan tinggal penjelasan darimulah yang tak kudapatkan," ujar Darwin, matanya menatap Serena dengan penuh keyakinan. Dia tahu bahwa pasti ada alasannya istrinya itu melakukan hal tak senonoh seperti itu di belakangnya. Melakukan sesuatu yang justru menjadi bibit penderitaan bagi keluarga mereka terutama pada Deon.
"Maaf. Maafkan aku...dan semoga kau cepat sembuh," ujar Serena sembari mengusap air matanya. Wanita itu menarik napas dalam. Ditundukkannya kepalanya dan dia pun akhirnya berjalan ke luar kamar Darwin.
7Please respect copyright.PENANAWsRdGw9cx5
******
7Please respect copyright.PENANAI4Ecdijr8M
Talitha nyaris saja menutup matanya karena dia merasa sangat mengantuk. Sehabis menangis...dia jadi sangat mengantuk. Namun, ketika dia baru saja mau tidur, tiba-tiba nada dering ponselnya yang ngegas itu berbunyi dan spontan hal itu membuat matanya terbelalak. Jantungnya juga terasa sakit karena terkejut setengah mati. Ia mengambil ponselnya dengan kesal dan melihat nomor yang tak bernama di layar ponselnya itu. Dengan malas, Talitha pun mengangkat telepon itu.
"Halo. Ini siapa? Kalo ga penting dan cuma mau iseng-iseng ngerjain nomor acak, maaf, gue ga bisa ladeni elo," ujar Talitha secepat kereta api dan dengan nada malasnya.
"Siapa yang iseng ngerjain kamu?" tanya seseorang di seberang sana.
Sontak, mata Talitha membulat. Matanya full terbuka dan senyala 45 watt. Dia sekarang malah jadi memelotot karena suara itu.
Talitha langsung menjauhkan ponselnya, mengecek kembali nomor yang sedang meneleponnya itu, lalu kembali mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
"Ini... Deon, ya?" tanya Talitha dengan mulut yang terbuka lebar karena tak percaya. Dari mana Deon mendapatkan nomor ponselnya?
"Simpan nomorku, Talitha," perintah Deon. "dan jangan sampai aku tahu kalau kamu menyimpan nomor laki-laki lain selain nomorku, ayahmu, dan abangmu."
"Memangnya apa urusan kamu?" tanya Talitha. Talitha hanya berpikir, cepat sekali sifat pria ini berubah lagi. Kini pria ini mulai otoriter lagi, padahal beberapa jam yang lalu dia sempat menangis di pelukan Talitha.
"Talitha, didn't I tell you already? You are mine. I'm not arguing with you about this. No one can take you away from me."
Talitha menghela napas. "Aku nyimpen nomor Bang Revan dan Basuki juga." Talitha mencebikkan bibirnya. Iya, dia benar-benar menganjurkan bibir bawahnya ke depan untuk mengejek Deon, padahal Deon takkan bisa melihatnya. "Gak mungkin aku mau ngehapus nomor-nomor kakak tingkat se-fakultasku yang ganteng-ganteng itu dan—"
"Hapus semua nomor-nomor itu, kecuali nomor keluargamu dan orang-orang yang kamu anggap sebagai keluarga," peringat Deon. "Jangan sampai aku melihat masih ada nomor-nomor itu ketika aku memeriksa ponselmu nanti. Ingat itu."
Hah?!
"Aku bukan pacar atau istri kamu! Mati aja kamu daripada kelewatan overprotective sama orang yang cuma kamu sebut-sebut sebagai 'milikmu' itu!"
"Yang aku sebut seperti itu hanya kamu," ujar Deon. Nadanya terdengar menekan, tetapi dia berusaha untuk melembutkan suaranya. "Hapus semua nomor itu, Talitha! You hear me?"
"Aku gak mau. Ya kali aku dilarang sama orang yang bukan siapa-siapaku. Kalo aku pacarmu ya barulah kamu bisa seenaknya ngomong gitu ke aku. Lagian, nomor-nomor itu—"
"You will be my wife, Talitha. God damn it!" umpat Deon kasar. Namun, pria itu kemudian mulai menghela napas, mencoba untuk mengatur emosinya sendiri. "Besok aku akan menjemputmu. Aku yang akan mengantar jemput kamu mulai sekarang. Dengar itu. Aku tak suka milikku diusik orang lain."
7Please respect copyright.PENANAfqPlKR3vvW
Tut tut tut.
7Please respect copyright.PENANAgxmyO6yjoh
Talitha baru saja mau membuka mulutnya untuk protes ketika bunyi itu mendadak terdengar di telinga Talitha. Sesaat setelah itu, Talitha pun mengerang dan mengamuk sendiri di dalam kamarnya. []
ns 15.158.61.6da2