
552Please respect copyright.PENANAh7seA2nqAo
Di pagi yang cerah, Kampung Angin kedatangan seorang pemuda yang sudah lama tak terlihat. Dani, pria yang dulu tumbuh besar di desa ini, akhirnya kembali setelah menyelesaikan kuliahnya di ibu kota. Dengan langkah santai dan senyum hangat, ia melangkah melewati jalanan desa yang sudah lama ia tinggalkan.
552Please respect copyright.PENANAVCcd0pKolO
Begitu melihatnya, para warga langsung menyambutnya dengan antusias. "Dani! Sudah lama sekali kau tak pulang!" seru seorang bapak tua di warung kopi. Para ibu-ibu yang sedang berkumpul pun ikut menyapa, mengingat betapa anak itu dulu sering membantu mereka sebelum pergi merantau.
552Please respect copyright.PENANAIm2HLDoXGP
Dani menyambut semua sapaan itu dengan ramah. Ia memang bukan orang asing di sini—namanya dikenal sebagai pemuda yang baik hati dan suka membantu. Warga bangga melihatnya kembali setelah menuntaskan pendidikan, meskipun ada juga yang bertanya-tanya, mengapa ia memilih kembali ke desa setelah kuliah di kota besar?
552Please respect copyright.PENANA7rTasPgXT4
Namun, Dani hanya tersenyum setiap kali ditanya. Ia punya alasan tersendiri untuk kembali ke tempat yang membesarkannya. Sebuah alasan yang mungkin belum disadarinya sepenuhnya.
-----------------------------------------
552Please respect copyright.PENANAcRzO6xGbbX
Sejak kepulangannya, Dani tak hanya berdiam diri. Ia mulai ikut andil dalam berbagai kegiatan desa, membantu memajukan pertanian dan memberi ide-ide baru untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Kehadirannya perlahan membawa perubahan—dan tanpa disadari, membawa dirinya lebih dekat dengan seseorang yang tak pernah ia duga sebelumnya.
552Please respect copyright.PENANAV8QYHPU1fi
Hari itu, Dani mendapat tugas dari ibunya untuk membeli banyak barang kebutuhan di warung desa. Dengan santai, ia berjalan menuju warung kecil di ujung jalan, tak menyangka bahwa warung itu kini dikelola oleh seseorang yang sudah berubah.
552Please respect copyright.PENANAvKGc0pysH3
Saat ia mendorong pintu kayu warung dan masuk, suara tegas langsung menyambutnya.
552Please respect copyright.PENANAOigYRAaPVY
"Mau beli apa? Cepat bilang, jangan melamun di depan pintu!"
552Please respect copyright.PENANAwTFRi56ONu
Dani tersentak, kaget mendengar nada ketus itu. Ia menoleh dan menemukan Rina, sosok yang dulu ia kenal sebagai wanita lembut, kini berdiri di balik meja kasir dengan tatapan tajam. Ia mengenali wajah itu, tapi auranya kini berbeda—lebih keras, lebih berwibawa, lebih… galak.
552Please respect copyright.PENANArQ2DoaAvhn
"Bu Rina?" Dani mengerjap, berusaha memastikan penglihatannya.
552Please respect copyright.PENANAJ88a4TnVai
"Siapa lagi? Hantu?" Rina menyilangkan tangan di dada. "Kamu Dani, kan? Anak Bu Siti. Sudah gede ternyata."
552Please respect copyright.PENANAyKgO6U1Vii
Dani mengangguk, masih agak terkejut. "Iya, Bu. Lama nggak pulang. Dulu warung ini bukan punya Bu Rina, ya?"
552Please respect copyright.PENANA4ZpFTrbKOH
"Dulu lain, sekarang lain." Rina menyodorkan kantong plastik kosong. "Mau beli apa? Cepat daftar belanjaannya. Saya nggak punya waktu untuk orang yang cuma berdiri bengong."
552Please respect copyright.PENANAMQTbnCYvHm
Dani terkekeh kecil, kini mulai paham. "Wah, Bu Rina sekarang galak, ya."
552Please respect copyright.PENANAKkVaxwfCyo
Rina mendelik. "Kenapa? Nggak boleh? Mau saya usir sekalian?"
552Please respect copyright.PENANAhN4qBJxnG1
Dani mengangkat tangan menyerah. "Bukan gitu, Bu. Cuma… beda aja dari dulu."
552Please respect copyright.PENANA49weGomgNk
Rina mendengus, lalu mulai mengambil barang-barang yang Dani sebutkan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan aneh yang muncul. Dani yang dulu bocah kecil, kini sudah jadi pria dewasa. Dan entah kenapa, meskipun ia tetap ingin galak, ada sesuatu yang mengusik hatinya.
552Please respect copyright.PENANA3AvCT72VjD
Sementara Dani, meski sempat terkejut, akhirnya hanya bisa tersenyum. Rina memang berubah—tapi mungkin, itu bukan hal yang buruk.
552Please respect copyright.PENANARvq0Fvojbz
Saat Dani melangkah pergi, suara lonceng kecil di atas pintu warung berbunyi pelan. Rina masih berdiri di balik meja, matanya tanpa sadar mengikuti punggung pemuda itu yang semakin menjauh.
552Please respect copyright.PENANAe9qlQ0g3aE
Ada sesuatu yang menyesak di dadanya. Rasa bersalah. Bukan karena ia galak—tapi karena ia merasa tak seharusnya bersikap seperti itu kepada Dani.
552Please respect copyright.PENANA3IC6PBVXOu
Matanya melirik ke meja kayu di depannya. Ada gelas teh yang sejak tadi belum ia sentuh. Teh yang tadi masih mengepul, kini sudah dingin. Seperti hatinya yang tiba-tiba terasa kosong.
552Please respect copyright.PENANAq50usmAfEQ
Ia menghela napas panjang. Angin sore berhembus pelan dari jendela warung, mengibarkan tirai tipis berwarna krem. Seakan membawa sesuatu yang tak terlihat—sebuah perasaan yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
552Please respect copyright.PENANASGsVvmPwZJ
Dani sudah pergi, tapi bayangan wajahnya masih tertinggal di dalam kepala Rina.
------------------------------
552Please respect copyright.PENANAXX9noEK9Oz
Sejak pertemuan pertama itu, Dani semakin sering datang ke warung Rina. Bukan karena ia sengaja, tapi karena ibunya kini kerap menyuruhnya membeli berbagai keperluan untuk arisan, masakan, atau sekadar titipan ibu-ibu lain.
552Please respect copyright.PENANALQON4FGWqK
Awalnya, Rina tetap bersikap ketus setiap kali Dani datang. Namun, perlahan, ia mulai mengubah nada bicaranya. Tidak lagi terlalu kasar, meskipun masih berusaha menunjukkan sikap acuh.
552Please respect copyright.PENANANzM57G3TjS
"Beli lagi? Emangnya di rumah nggak ada makanan?" gumam Rina suatu hari saat Dani datang lagi.
552Please respect copyright.PENANAPCq3RFTMgP
Dani hanya terkekeh. "Ibu saya sibuk, jadi saya disuruh beli ini itu. Kalau merepotkan, saya bisa ke warung lain, Bu."
552Please respect copyright.PENANA6pPqmDCmXE
Rina meliriknya tajam. "Siapa yang bilang kamu merepotkan? Kalau mau beli, ya beli aja. Nggak usah banyak omong."
552Please respect copyright.PENANAxujnEUAdWc
Dani tersenyum, menerima kantong belanjaan dengan santai. Ia bisa merasakan perubahan dalam sikap Rina. Meski masih berusaha keras terlihat dingin, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan dan cara bicaranya.
552Please respect copyright.PENANAzfGohny43h
Di sisi lain, Rina sendiri mulai merasa aneh. Kenapa setiap kali Dani datang, dadanya terasa sedikit lebih hangat? Namun, ia tetap memaksa dirinya untuk bersikap biasa saja.
552Please respect copyright.PENANAforx7MEsdT
Hari demi hari berlalu, dan Dani tetap menjadi pelanggan setia warungnya—meski bukan atas kehendaknya sendiri. Ia selalu datang dengan alasan titipan ibunya, tetapi dalam hati, ia tidak keberatan.
552Please respect copyright.PENANAyKEVOLEmpL
Sementara itu, Rina mulai menyadari sesuatu. Ia memang masih galak, masih berusaha menjaga jarak, tapi… entah kenapa, saat Dani pergi, warungnya terasa lebih sepi dari biasanya.
-------------------------------
552Please respect copyright.PENANAteRnlLYKmE
Saat Dani sedang memilih sayur yang disuruh ibunya, tiba-tiba Rina keluar dari dalam rumah dengan wajah sedikit panik.
552Please respect copyright.PENANAurvrjAcNFg
"Dani! Kamu bisa cek listrik nggak?" tanyanya cepat, suaranya terdengar lebih mendesak dari biasanya.
552Please respect copyright.PENANAg6dZePLJ5E
Dani menghentikan tangannya yang sedang memilah tomat. "Kenapa, Bu?"
552Please respect copyright.PENANAWIaZd50aMt
"Listrik di rumah saya kayaknya konslet. Tadi sempat mati sendiri, terus nyala lagi. Saya takut ada yang korsleting."
552Please respect copyright.PENANAsRpxhLualR
Dani langsung meletakkan sayurannya. "Wah, itu bahaya, Bu. Coba saya cek dulu."
552Please respect copyright.PENANAC0pyl0Zh8i
Dengan langkah cepat, ia masuk ke dalam rumah Rina yang menyatu dengan warung. Begitu melihat panel listriknya, Dani bisa langsung menebak masalahnya. Kabel-kabel di rumah ini sudah usang, beberapa terlihat menghitam karena sering terkena arus berlebih.
552Please respect copyright.PENANAV5BtPCKGLM
"Bu Rina, ini harus diganti, kabelnya udah tua. Bisa bahaya kalau dibiarkan."
552Please respect copyright.PENANAYA2GVqV9Jk
Rina menghela napas, terlihat sedikit cemas. "Aduh… saya nggak ngerti soal ginian. Bisa kamu benerin nggak, Dani?"
552Please respect copyright.PENANAvJsI5HcGZi
Dani mengangguk. "Saya ambil perkakas dulu di rumah. Tunggu sebentar!"
552Please respect copyright.PENANAETzoXYYU9u
Tanpa menunda waktu, Dani langsung pulang untuk mengambil peralatan listrik yang ia simpan. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan gulungan kabel baru dan peralatan lain.
552Please respect copyright.PENANA5DbMiypXmd
Dengan cekatan, Dani mulai bekerja. Ia melepas kabel lama, mengganti dengan yang baru, dan memastikan semua sambungan aman. Tangannya terampil, sesekali ia mengusap keringat di dahinya. Rina, yang biasanya hanya galak, kini berdiri agak canggung di dekat pintu, melihat Dani bekerja tanpa banyak bicara.
552Please respect copyright.PENANA54Pj6zQsXc
Di dalam hatinya, ia merasa sedikit aneh melihat Dani begitu serius dan terampil dalam pekerjaannya.
552Please respect copyright.PENANAIX1jH1Af31
Setelah selesai memperbaiki listrik, Dani menghela napas lega. "Udah beres, Bu. Sekarang harusnya nggak ada masalah lagi."
552Please respect copyright.PENANA8uO1gbTyNp
Rina, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Dani. Kamu emang bisa diandalkan."
552Please respect copyright.PENANADVwH8JL7Wa
Dani hanya tertawa ringan. "Sama-sama, Bu. Untung nggak sampai korslet besar."
552Please respect copyright.PENANAiwxC4O1Ova
Tanpa banyak bicara, Rina masuk ke dalam dan kembali dengan beberapa lembar uang. Ia menyodorkannya ke Dani. "Ini upahnya. Kamu udah nolongin saya."
552Please respect copyright.PENANAQK8JIAlPF6
Dani menatap uang itu sejenak, lalu menerimanya dengan senyum santai. "Wah, rezeki nomplok, nih. Makasih, Bu Rina!"
552Please respect copyright.PENANAhsrpXZ46J8
Setelah itu, ia kembali ke warung untuk melanjutkan belanjaannya. Tangannya cekatan memilih sayuran yang tadi sempat tertunda. Setelah semuanya terkumpul, ia berjalan ke meja kasir dan merogoh dompetnya.
552Please respect copyright.PENANADMo0rDiXXU
"Berapa semuanya, Bu?" tanyanya sambil bersiap membayar.
552Please respect copyright.PENANADpi7QD2ZwR
Namun, yang tak ia sangka, Rina justru menggeleng sambil tersenyum tipis.
552Please respect copyright.PENANA6W08q6X66p
"Gratis. Anggap aja bonus karena udah nolongin saya."
552Please respect copyright.PENANAvikUvF2kIH
Dani mengerjap, agak terkejut. "Hah? Beneran, Bu?"
552Please respect copyright.PENANAL5vPu8FRw1
"Saya kelihatan bercanda?" Rina menyilangkan tangan di dada, tapi kali ini tidak dengan ketus. Ada ekspresi berbeda di wajahnya—lebih lembut, lebih tulus.
552Please respect copyright.PENANAa8gZM1zwhA
Dani tersenyum lebar. "Kalau gitu, terima kasih banyak, Bu Rina! Saya pamit dulu, ya."
552Please respect copyright.PENANArIkPjKnBcu
Dengan langkah ringan, Dani keluar dari warung, meninggalkan aroma kehadirannya yang masih terasa di ruangan.
552Please respect copyright.PENANAjK6B7csk5C
Rina menatap punggungnya yang semakin menjauh, dan tanpa sadar, dadanya terasa hangat—seperti ada sesuatu yang perlahan mencair di dalam sana.
552Please respect copyright.PENANAV5nXQRVNJS
Angin sore bertiup pelan, mengelus pipinya dengan lembut, seolah membisikkan sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Matanya terus mengikuti langkah Dani, sampai pemuda itu benar-benar hilang di tikungan jalan.
552Please respect copyright.PENANAAewg4zvOCA
Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya—senyum yang bahkan tak ia sadari.
552Please respect copyright.PENANA70ZsW77h6z
Hati Rina bergetar. Ada sesuatu yang baru tumbuh di sana.
552Please respect copyright.PENANAAA7AUVuVyC
Sebuah perasaan yang lama ia kubur dalam-dalam… kini mulai bangkit kembali.
552Please respect copyright.PENANAiS4g1zgS4B