So, do you get it why I’m still sitting right here? Gue ngga mungkin pulang dan menceritakan ke Om Andhra soal skripsi gue yang akan diberi nilai 5 oleh salah satu dosen pembimbing, kalau gue masih bersikeras ngga mau mengganti salah satu variabelnya. Gue hanya berani cerita ke Tante Annette. Gue masih ingat persis kejadian kemarin, ketika beliau menjemput gue usai bimbingan H+1 sidang proposal skripsi, dimana gue menangis sejadi-jadinya didalam mobil, kemudian memeluknya. Dengan sigap, perempuan nan ayu itu mengusap-usap lembut rambut gue. Beliau selalu mengucapkan kalimat ini, dikala gue merasa jatuh dan dunia gue runtuh, “The storm will pass”, termasuk pada hari itu. Makin pecahlah tangis gue, apalagi… buat gue yang terkadang merasa a little bit insecure saat melihat teman-teman gue bersama nyokapnya. Oh iya, Tante Annette juga pernah bilang, kalau gue mirip sekali dengan sang suami, dari warna kesukaan sampai karakter kami yang sebenarnya melancholic. Ingat ngga sama kotak surat yang berwarna hijau di rumah kami? Nah, itu ulahnya Om Andhra, biasanya kan… kotak surat warnanya kalau ngga merah ya… jingga.
Seketika, tangan gue tergerak menyalakan laptop. Berat sekali rasanya membaca ulang point-point revisi skripsi gue kemarin. Terlebih, jika tiba-tiba saja terbersit persoalan nilai. Pada waktu yang bersamaan, mata gue memanas, dan gue merasakan akan ada sesuatu yang jatuh dari sana. Gue merogoh tas ransel, berusaha mencari tissue yang biasanya selalu dibawakan Om Andhra. Sembari mencari, gue mengusapnya dengan tangan kiri. Gue menarik 2 lembar tissues, kemudian menghapus seluruh air mata yang masih membekas diwajah. Tiba-tiba, “Ra, lo kenapa?”, tanya seorang barista yang sudah gue kenal cukup lama, ia bernama Andi. Gue menoleh kearahnya, berusaha sekuat tenaga mengatakan, “Gapapa kok Ndi, I’m fine, don’t worry!”. Dia tersenyum, berlalu meninggalkan gue. Lima menit berselang, Tante Annette menghubungi gue melalui Whatsapp.
“Halo? Kamu dimana, Ra? Ini udah jam berapa lho, Vierra?”
“Eh… eng… Tante…”
“Pulang ya, Ra? Pulang yuk… Tante nungguin kamu… Om Andhra kan ngga ada di rumah, masih dinas.”
“Iya Tante, nanti aku pulang kok… aku…”
“Ra, kamu habis nangis?”
“Ng… aku… d….”
“Kamu sekarang dimana? Tante jemput sekarang ya?”
“Aku di… Kafija Cafe, Tante…”
“Ya ampun Vierra, jauh lho itu dari rumah kita. Kamu disana sama siapa? Sendirian?”
Gue bingung sekali harus menjawab apa. Sebenarnya, gue bisa saja langsung mengiyakan, apalagi Tante Annette ngga pernah marah sama gue. Tapi, mengingat wajahnya yang 11-12 bagaikan Marsha Timothy itu, ngga sampai hati gue membuat beliau makin sedih. Jadi, gue terpaksa berbohong kali ini.
“Ngga Tante, aku berangkat sama Andi, masih sama dia nih sekarang.”
“Beneran sama Andi? Coba, tolong dong Ra, Tante Annette mau ngomong sama Andi.”
Dengan gontai, gue berjalan ke arah meja barista. Gue memberikan telepon kepada Andi, usai membuatkan sebuah Americano untuk tamu rekan kerjanya, Rano. Kalau seperti ini, biasanya Andi tahu harus ngapain, harus alibi apa, demi sahabatnya ini. Gue mengambil alih gelas ditangannya, memberikan kepada Rano yang juga merupakan sepupu Andi.
Menit demi menit berlalu, gue masih duduk menunggu HP gue dan Andi kembali. Sembari menyabarkan diri sendiri, gue mengambil iPod disaku celana, kemudian memutar lagu Tenang milik Yura Yunita. Gue suka lagu ini semenjak Tante Annette mengajak gue nonton konser Yura Yunita di Bandung. Peaceful sekali, sampai ngga sadar kalau Andi sudah duduk didepan gue. Ia datang membawakan segelas Iced Hazelnut Chocolate diatas meja.
“Ndi, sorry banget ya, gue jadi ngerepotin lo. Jadi bokis lagi kan lo sama Tante gue…”
“Santai kali Ra, gapapa. Btw, lo udah makan belum?”
“Belum. Ngga nafsu makan gue, apalagi mikirin…”
“Mikirin apa sih, Vierra? Lo putus lagi?”
“Ngga Ndi, bukan itu. Gue lagi ada problem di kampus.”
“Problem apaan? Sama gebetan lo disana?”
“Gebetan apaan? Ngga punya gebetan tahu gue. Masih jomblo kali, udah mau 6 tahun nih,”
“Cie, sama dong rekor lo sama Barbara Palvin? Hahaha…”
“Andi! Gue serius nih… lagi sedih beneran, maksimal tingkat dewa.”
“Okay… okay, coba inhale-exhale dulu deh yuk, tiga… dua… satu…”732Please respect copyright.PENANAJqDDp4Qt02
Ngga terhitung berapa kali gue melakukannya, ngga bisa dipungkiri juga kalau metode relaksasi tersebut mampu menenangkan gue yang saat ini kalut. Lagu Sesuatu di Jogja yang sebelumnya bergema berubah menjadi Melankolia. Ngga tahu kenapa, sedihnya makin berasa, nyelekit banget rasanya. Gue mengambil toner dan rose water dari dalam pouch, membersihkan wajah yang sudah kusut bercampur air mata. Tak lama, gue langsung menyeruput minuman yang telah dibawakan Andi. Lalu, Andi memberikan gue semangkuk makanan yang tidak gue pesan.732Please respect copyright.PENANAa6jvmzNoKy
“Makan nih Ra, biar lo ngga sakit. Belum makan kan lo?”732Please respect copyright.PENANAzzK6t7XKad
“Kok Andi tahu?”732Please respect copyright.PENANAxwz1im3KMI
“Tante Annette yang bilang ke gue tadi.”732Please respect copyright.PENANAf6wucI5ouL
“Ini apa?”732Please respect copyright.PENANAP4JoT2Nh2d
“Soto Banjar, kesukaan lo kan?”732Please respect copyright.PENANA1ECdhVnE5R
Ketika Andi menyebut nama makanannya, mata gue berbinar sekali. It’s been a long time! Gue suka banget makanan ini, terakhir kali makan Soto Banjar kayaknya belasan tahun lalu, sewaktu gue dan Om Andhra pindah ke Balikpapan, karena beliau keterima kuliah disana.732Please respect copyright.PENANAFSgN53M5PA
“Ndi, makasih banget lho, gila sih… kenapa ngga daritadi aja lo kasih guenya?”\732Please respect copyright.PENANA4LCys7XZIZ
“Hehehe, sama-sama, Ra. Sebenarnya, ini menu baru di Kafija, cuma belum gue masukkin dibuku menu. Masih tester gitu, sembari nyiapin beberapa menu baru lainnya."732Please respect copyright.PENANAn9dSGH7WYu
“Wah, makin banyak dong nanti menunya? Btw, gue izin sambil makan ya ngobrolnya, gapapa kan, Ndi? Kangen parah nih gue sama Soto Banjar.”732Please respect copyright.PENANAPSQoKllhJv
“Selow aja sih Ra, makan aja. Kalo perlu, lo abisin deh sebelum Tante Annette sampe.”732Please respect copyright.PENANA9K16iw7ALR
“Tante gue ngomong apaan aja sama lo?”732Please respect copyright.PENANAiaxWLUTXyJ
“Cuma pesan Iced Red Velvet sama nanya, kenapa lo bisa bareng gue kesini.”732Please respect copyright.PENANA8dVf23WYsZ
“Terus, lo jawab apa?”732Please respect copyright.PENANAA7GONpqmVE
“Gue jawab aja, kita abis reunian MPK di SMA. Tante lo khawatir banget tuh kelihatannya, padahal udah gue bilang lho, kalo kita kesininya barengan.”
Deg… gue berhenti menyantap Soto Banjar ini. Mumet banget rasanya kepala gue, pengen banget gue gelindingin, tapi kan seram ya? Gue menatap mata Andi, sepertinya ia perlu tahu jawaban gue kenapa jauh-jauh datang kesini sendirian.732Please respect copyright.PENANASlz2rXQZZq
“Ndi, lo tahu kan Om Andhra sukses banget dari kuliah?”732Please respect copyright.PENANAN9F55aB549
“Iya, tahu gue. Lo kan pernah cerita sama gue.”732Please respect copyright.PENANArmoQMMUaxl
“Nah itu, gue takut banget ngecewain beliau. Gue takut ngga bisa kayak Om Andhra, gue takut ngga bisa ngikutin jejak kesuksesannya. Om Andhra udah banyak banget berkorban buat gue.”732Please respect copyright.PENANAFMHSUjODXU
“Lo setakut itu, Ra?”732Please respect copyright.PENANARBQrhykxYF
“Lebih dari ketakutan yang saat ini gue rasain, mungkin.”
Andi mengambil iPod digenggaman gue. Ia memasangkan earpod ditelinga gue, kemudian memutar sebuah lagu.732Please respect copyright.PENANAx39lxRJwwJ
“Udah pernah dengar lagu ini? Rehat nya Kunto Aji?”732Please respect copyright.PENANAqc68CnjcJ9
“Belum…”732Please respect copyright.PENANAAxSgDSPh3Q
“Nih, udah gue buatin ya playlist lagu kalem buat lo. Baru 3 sih isinya, selain Rehat nya Kunto Aji, ada Tenang nya Yura Yunita, sama Keepyousafe nya Yahya. Selebihnya, lo tambahin sendiri ya.”
Gue terdiam menghabiskan beberapa menit untuk mendengar dan memaknai lagu Rehat nya Kunto Aji. Terngiang-ngiang dipikiran gue, “… yang kau takutkan takkan terjadi…”. Andi berlalu dari kursi dan kembali dengan membawakan segelas Iced Matcha untuk gue. Gue memang memberikannya kode untuk order lagi.732Please respect copyright.PENANATrPCHB80Wf
“Gimana? Masih takut?”
“Ngga terlalu sih, cuma…”
“Ketakutan lo itu cuma ada dipikiran lo, Vierra. Belum terjadi dan belum tentu terjadi juga kok. Ingat, lo udah berani banget melangkah sejauh ini. Coba ingat lagi, waktu dulu kita test SBMPTN bareng. Lo takut banget ngga lolos, tapi nyatanya apa?”
“Gue ngga lolos dan ngga ada yang marah, Ndi. Om Andhra ngga marah sama gue.”732Please respect copyright.PENANAH75yd1w5VI
“See? Gue ngerti banget apa yang lo rasain soal ketakutan itu. Tapi, lo harus ingat Ra, masih banyak jalan menuju Roma. Pepatah jaman dulu, tapi sebenarnya meaningful banget. Kalo 1 pintu ketutup, ya tinggal cari dan ketuk lagi aja pintu lainnya. Pasti bakal ada yang kebuka kok, ngga mungkin Tuhan bakal tutup semua pintu buat kita.”732Please respect copyright.PENANATE0rlSDo3i
“Berarti, dalam ngerjain skripsi ini, gue harus kayak gitu ya, Ndi?”732Please respect copyright.PENANA9swXUThj3b
“Iya, ya capek sih emang. Tapi, faktanya kan ngga semua hal itu bisa terus sejalan dengan kemauan. Ngga begitu cara kerja hukum alam, Ra. Dulu, lo pengen banget kuliah diluar Jabodetabek. Semua pilihan SBMPTN lo diluar kota semua. Tapi, nyatanya lo tetap kuliah di Jabodetabek juga. Malah, bisa sambil nulis novel pertama juga lagi. Sebagai sahabat lo, gue sih bangga sekaligus bahagia buat lo.”732Please respect copyright.PENANAcKL30Bgha6
“Iya ya, padahal… novel pertama gue laku banget dipasaran. Apa jangan-jangan gue kurang bersyukur ya, Ndi?”
“Bukan, lebih tepatnya sih… lo cuma belum sadar aja kalo sebetulnya banyak banget kesempatan bagus yang Tuhan kasih ke lo, walaupun ngga sesuai sama rencana lo. Gue sih percaya sama yang namanya kegagalan itu keberhasilan yang tertunda.”732Please respect copyright.PENANABBQo6q6qeb
“Kalo gitu, lo pernah ngerasa gagal, Ndi?”732Please respect copyright.PENANAkNbmDU4LI7
“Gagal? Sering kalo itu mah.”732Please respect copyright.PENANAHAYN5WVNKa
“Sering?”732Please respect copyright.PENANA3hOIGGqLjl
“Iya, sering. Gagal jadi auditor, gagal jadi pelatih karate yang sukses, gagal ngelamar Andhira karena belum mapan, gagal jadi kakak…”732Please respect copyright.PENANAp1kfYTgKcF
“Ndi… I’m really sorry, I really do… gue ngga…”
“Gapapa Ra, santai aja. Itu udah terjadi juga, gue udah move on. I’m moving forward. Kadang, kita memang cuma bisa menerima, Ra. Ngga lagi memaksa mengusahakan sesuatu yang ngga akan pernah bisa kembali atau udah terlewat. Waktu kan ngga bisa diputar ulang, sekalipun jarumnya bisa kita putar atau pindahin ke menit-menit sebelum yang kita sesali terjadi.”732Please respect copyright.PENANAyU0YHIOJYQ
Sontak, gue langsung melihat jam tangan coklat yang gue pakai. Gue menatap benda bulat itu beberapa detik. Lalu, kembali beralih kembali Andi. Gue pegang bahunya, kemudian gue tepuk, dan tersenyum. “It’s true, that’s life”, gumam gue. Tanpa terasa sudah 45 menit berlalu, gue kembali menyeruput minuman dan makanan gue agar cepat habis.
“Gagal itu wajar Vierra, manusiawi. Semua orang pasti pernah ngalamin. Sama kok kayak kehilangan. Semua orang bakal ngerasain, tinggal tunggu waktunya masing-masing aja.”
“Gimana ya Ndi, cara nyembuhinnya? Gue ngga mau terus-terusan kayak gini. Ngga tahu kenapa, gue ngerasa bodoh banget. Gue ngga bisa ngebanggain Om Andhra. Padahal, Om Andhra selalu support gue, dari segi apapun itu untuk kehidupan gue.”
“Hei… jangan nge-judge diri sendiri. Emang lo ngerasa, kalo yang lo rasa atau alami sekarang ini, itu faktor dari diri lo sepenuhnya?”732Please respect copyright.PENANAJR2AE55Y6q
“Ngga Ndi, gue tuh salah dapat salah satu dosen pembimbing, ngga cocok gitu bidang penelitian skripsi gue sama bidang profesinya dosen pembimbing gue. Kan kalau di kampus gue, dosen pembimbing itu dua orang. Problem nya ada aja gitu, gue juga heran.”
“Apa aja coba? Jelasin sini jelasin…"732Please respect copyright.PENANAq6HXBfPCl9
“Pertama, beberapa hari lalu, dosen pembimbing kedua gue bilang kalo gue ngga mau ganti salah satu variabelnya, gue bakal dikasih nilai 5. Itu pun karena ketolong cara penulisan skripsi gue bagus. Lalu, sebelum gue kesini, gue dikasihtahu sama dosen pembimbing utama kalo dosen pembimbing kedua itu diganti. Gue bersyukur banget ya… asli waktu tahu itu. Habis dikasihtahu, beliau ngasihtahu gue nih untuk metode penelitiannya diganti. Lo tahu gantinya apa? Kuali Andi, Kualitatif!”732Please respect copyright.PENANANXVDpvKC1p
“Ra… tenang dulu ya, kalem. Sekarang, gue mau tanya lagi nih. Beliau bilang ngga soal alasan metodenya diganti?”
“Bilang, Ndi… katanya supaya beberapa materi atau bahan skripsi gue yang udah setengah jalan itu ngga sia-sia. Malah, biar lebih gampang, karena jadinya 1 variabel. Padahal, gue terus terang lho, terang-terangan bilang kalo gue ngga bisa metode ini, bodoh banget gue!”732Please respect copyright.PENANAl6oWCURKzt
“Hmm, kenapa lo bisa berpikiran kayak gitu?”732Please respect copyright.PENANAVCrKtn2716
“Soalnya… soalnya, gue pernah dianggap sebelah mata sama salah satu anggota grup gue, Ndi. Gue sedih banget, kadang masih suka ngerasa down kalau ingat itu…”
“Dosen lo ngomong begitu juga?”732Please respect copyright.PENANAUysQVBlQxL
“Ngga, beliau malah bilang kalo gue itu anak cerdas, ngga mungkin ngga bisa lulus pake metode kualitatif. Sementara nih, lo tahu ngga anggapan orang-orang tentang anak kuliah yang lulus pake metode itu skripsiannya?”732Please respect copyright.PENANAMVL43isTzt
“Emang apaan?”732Please respect copyright.PENANADPkmOdEF1W
“Pinter, cerdas, keren banget lah pokoknya, Ndi!”732Please respect copyright.PENANAeHrHxsvVTM
“Emangnya lo ngga mau dianggap kayak gitu, Ra? Dosen lo aja udah yakin lho sebenarnya sama lo.”
“Ya mau lah. Tapi, gue kan sadar diri, gue tahu gue ngga bisa. Kerja kelompok aja diremehin, apalagi kerja sendirian… amsyong yang ada kerjaan gue.”
“Tapi, kan lo belum coba. Ya dicoba dulu lah, Ra. Sekalian kulik-kulik tuh, ‘gocek-gocek’ dikit lah soal teman sekelompok lo, yang pernah ngeremehin lo dulu. Udah pernah dapat info soal dia?"732Please respect copyright.PENANASVDQcQkKh0
“Udah sih, katanya skripsi kualitatif dia sebenarnya rada berantakan dan topiknya biasa banget. Gue denger dari anak-anak kualitatif pas mereka lagi ngumpul, pas nunggu giliran bimbingan skripsi gitu.”
“Nah, mumpung kondisi dia kayak gitu, lo lampauin deh tuh skripsinya dia. Gue yakin kok lo mampu, Ra. Gue kan kenal lo ngga cuma setahun atau dua tahun, ngga cuma sekedar tahu juga. Jangan lagi dengerin semua kata-kata orang Vierra, ambil yang baik dan buang yang buruknya, terutama yang bikin mental lo nge-down.”
“Gitu ya, Ndi?”732Please respect copyright.PENANAiKdUpYTkdA
“Ya iya lah! Gini deh, besok nih ya, lo jangan kesini lagi, tap…”732Please respect copyright.PENANAPpNIufGVOt
“Wah, Ndi… lo ngusir gue? Lo bosan ya Ndi, lihat gue kesini mulu?”732Please respect copyright.PENANAEIm38gZCTq
“Ngga gitu, Ra… maksud gue, lo besok bimbingan lagi aja, terus bilang deh sama kedua dosen lo kalo lo siap ganti metode penelitian skripsinya.”732Please respect copyright.PENANADN1mAfyabH
Ngga tahu kenapa, ekspresi wajah gue berubah jadi sendu lagi. Refleks banget, gue tiba-tiba menggelengkan kepala. Gue memeluk tas ransel dan menggenggam iPod kuat-kuat.732Please respect copyright.PENANAODM5wmrcyY
“Yaudah, gapapa kalo ngga mau bimbingan dulu besok. Tapi, dosen lo mempermasalahkan itu ngga?”
“Ngga, malah nyuruh gue buat jalan-jalan aja dulu, kemana gitu… mungkin, beliau lebih sadar duluan kalo gue udah burn out. Gue juga sebelum kesini, sempet ngomongin soal variabel yang nantinya mau gue pakai sih. Tapi, masih ada problem lain…”
“Problem lain? Apaan lagi, Ra?”
“Kan gue harus ngumpulin beberapa teori dari variabel yang gue pakai, sumbernya pun harus valid juga dari buku. Nah, salah satu teorinya itu ada didalam buku yang ditulis sama salah satu dekan di UII.”
“UII Jogja maksud lo?”732Please respect copyright.PENANABY5ea9zhxf
“Setahu gue ya UII itu di Jogja, Ndi… gue kan mantan calon maba HI disana. Om Andhra sempat daftarin gue disana tuh dulu.” 732Please respect copyright.PENANA15XSz83isP
“Hhh… ribet juga ya? Ada mulu masalahnya…”732Please respect copyright.PENANAMuILbNTjyX
Andi terlihat ikut berpikir. Sesekali ia menyeruput Kopi Latte hangat yang baru dipesannya. Tak lupa, Andi mengambil Iced Red Velvet take away pesanan Tante Annette yang sudah dikodekan Rano telah jadi. Dari pop-up notification Whatsapp, Tante Annette akan sampai kurang lebih 10 menit lagi. Andi melanjutkan obrolannya lagi, lebih tepatnya memberikan gue ide atau saran, “Kalo gitu, lo berangkat aja besok ke Jogja, Ra”. Bersamaan dengan itu, tanpa gue sadari, sekitar 5 langkah kaki dari meja gue, seseorang berdiri tepat disana, diambang pintu masuk.732Please respect copyright.PENANAIVeIH8OVMp
“Kamu mau ke Jogja besok?!”732Please respect copyright.PENANAl2KndJ6wr1
Sip, Tante Annette’s coming…. makin percaya gue kalo ngga pernah ada gunanya lagi pakai jam tangan… useless banget! Kenapa sih gue ngga pernah lihat jam?!
ns 15.158.61.54da2