Gue mengambil totebag yang tergantung dibalik pintu. Sembari menunggu Andi datang, gue kembali online di Instagram. Melihat-lihat beberapa account thrifting yang ternyata asyik juga ya? Gue yakin, kalau Tante Annette tahu, pasti gue diajak online shopping lagi. Oh iya, selera gue sama beliau itu sama, kebanyakan orang yang baru pertama kali bertemu pun selalu mengatakan bahwa kita berdua ini adalah kakak-adik. Mungkin, saking merasa bahagianya ya Tante Annette menikah dengan Om gue? Jadi, aura bahagia dan awet mudanya terpancar, diluar skincare-skincare yang mendukung atau menunjang fisiknya.
Beralih kepada fitur lain di Instagram, gue melihat kembali beberapa feed post yang telah gue saved dalam sebuah folder bernamakan “Visit Jogja”. Gue bukan tipikal orang yang perfeksionis, tapi lebih kepada a well-planned person. Gue selalu membuat itinerary ketika bepergian, sekalipun kesekitar kawasan Jabodetabek yang masih dapat ditempuh dengan Commuterline. Gue memiliki kebiasaan tersebut karena sering melihat Om Andhra, secara diam-diam, membuat perencanaan dalam buku catatan kecil layaknya diary. Oh iya, walaupun kayak es batu, Om Andhra sebenarnya softboy parah. Salah satu indikatornya, sejak kecil Om Andhra suka menulis apa yang dirasakannya disebuah diary. Persis seperti nyokap gue dulu, Om Andhra pernah memberikan kepada gue diary milik nyokap yang berisikan semua tentang kehidupannya, termasuk saat-saat pertemuan dengan bokap dan menjalani kehidupan bersamanya setelah menikah.
Tbh, gue ngga punya cita-cita yang kongkrit. Gue selalu bingung ketika ditanya ingin menjadi apa. But, satu hal yang gue tahu adalah gue suka menulis. Sejak SMP, gue kerap menulis dibuku catatan. Gue juga baru sadar, kebiasaan menulis itu sepertinya sudah mendarah bak lagunya Nadin Amizah didarah keluarga gue, turun-temurun hingga gue mewarisinya. Kalau bertahun-tahun lalu teman sebangku sewaktu kelas 1 SMP ngga menyembunyikan buku paket Matematika, mungkin gue ngga akan bisa lanjut menulis sampai sekarang. Gue merasa bodoh banget perihal Matematika dengan segala pelajaran lainnya yang bersentuhan dengan hitungan. Gue pun ngga menyangka, bahwa teman gue sendiri yang menyembunyikannya, sampai kami naik ke kelas 2 SMP.
Gue ngga cukup ekspresif dalam menyampaikan perasaan. Sulitnya setengah mati untuk bisa melakukan itu. Tapi, agresif pun juga bukan gue banget. Saat itu, gue ngga mungkin cerita pada Om Andhra yang masih kuliah. Diusia yang masih remaja bahkan dibawah umur tersebut, dengan keadaan yang memaksa pula, gue ngga mau membebani beliau dengan mengatakan gue ngga bisa Matematika. Ngga mungkin rasanya gue bilang padanya kalau gue ngga bisa karena ngga punya buku Matematikanya. Sesuatu yang gue pikirkan saat itu adalah bagaimana cara mengganti buku tersebut, karena buku Matematika itu masih baru sekali dan itu merupakan bagian dari dana bantuan. Om Andhra memang selalu memberikan gue uang saku bulanan, malah seringnya dilebihkan. Namun, gue ngga punya akses lebih untuk bisa mengganti buku tersebut, seperti halnya menghubungi penerbitnya, karena gue belum cukup berani.
Sewaktu SMP dulu, Facebook menjadi salah satu aplikasi yang banyak sekali digunakan orang. Seperti kewajiban rasanya untuk memiliki account Facebook. Masih teringat jelas, pendapatan pertama yang gue dapat bukanlah dari terbitnya novel gue. Namun, melainkan dari jasa penulisan cerita yang merupakan request teman-teman sekolah gue dengan gebetannya. Awalnya, berawal dari keisengan gue mempublikasikan tulisan novel gue di notes Facebook. Pendapatan lainnya, gue peroleh dari jasa pembuatan account Facebook bagi tetangga-tetangga gue yang ingin memulai usahanya diaplikasi tersebut. Dengan kapasitas 5000 teman dalam sebuah account, saat itu Facebook menjadi salah satu media dagang, promosi, dan publikasi yang sangat potensial. Om Andhra juga memulai usaha f&b nya melalui Facebook. Itulah titik balik kehidupan Om Andhra, yang mampu membuatnya menghidupi gue dengan lebih dari berkecukupan diusia mudanya hingga saat ini. Usaha franchise nya terus diminati orang dan sampai sekarang. Makanya, Tante Annette dan Om Andhra suka bepergian keluar kota untuk menemui kliennya. Kalau berhalangan bersama, pasti Tante Annette yang menemui. Seperti halnya saat ini, Tante Annette memiliki calon mitra atau franchisee dari Jogja.
“Ra, kita kan berangkat sore nih. Kemungkinan sampe hotelnya malem ya, kamu mau langsung kemana?”
“Ngga kemana-mana Tante, Vierra paling di hotel aja dulu. Kenapa, Tante?”
“Oh, ngga. Tante kira kamu mau langsung ke UII. Soalnya, Tante ngga bisa nemenin nih, ada calon franchisee pengen ketemu, barusan Om Andhra ngasih tahu.”
“Ngga kok, Tante. Vierra ke UII nya besok, nanti bareng sama Danzel.”
Koper pink yang ditariknya terlepas dari genggamannya, diikuti dengan suara jatuhnya yang nyaring. Tante Annette terlihat kaget mendengar apa yang baru saja gue ucapkan. Ekspresi terkejutnya begitu terlihat dari pintu kamar gue yang terbuka. Ia menghampiri gue, sembari menutup mulutnya, dan keningnya berkerut.
“Danzel? Mantan pacar kamu yang manis banget itu kan, si Dan?”
“Tante… mulai deh…”
“Lho, kan emang iya dia mantan kamu waktu dulu, Ra.”
“Pasti Om Andhra nih ya, ceritanya suka lebay gitu? Apaan sih Om Andhra…”
“Ih, lupa ya? Kamu kan masih nyimpen fotonya dia, Ra. Coba cek deh dilaci kamu, kan ada tuh album foto semasa kamu SMP, ada fotonya dia juga disitu.”
Ngga fikir panjang, gue langsung mengecek laci meja TV gue. Ternyata, album foto itu masih ada. Kelihatannya masih bagus sekali, ngga ada kerusakan sama sekali. Gue buka halamannya satu persatu. Beberapa hasil foto didalamnya tercetak dari kamera polaroid dan kamera analog. Gue melirik kamera analog yang bertengger dirak seberang tempat tidur. Kamera itu ngga pernah lagi gue pakai, gue pun ragu apakah masih berfungsi atau sudah mati total. Mata gue kembali pada kumpulan foto dihalaman 9 ini, hasil foto dari kamera itu. Halaman tersebut berisikan dua orang remaja yang tampak bahagia dengan moment-moment yang diabadikan diberbagai tempat dan gestur.
Foto pertama, sang anak lelaki tersenyum menatap si perempuan sembari memberikan boneka teddy bear coklat yang kemudian dipeluk olehnya. Foto kedua, keduanya berseragamkan SMP dengan keterangan foto “Waiting for the bus, with you”. Foto ketiga, sang perempuan memakai kostum Marching Band dengan 5 tangkai bunga mawar biru ditangannya, disertai rangkulan dari si laki-laki disampingnya serta kehadiran seorang wanita berusia 40an tahun yang tersenyum. Foto keempat, diabadikan secara candid yang mana keduanya saling berpegang tangan dengan memakai sepatu kets khaki dan topi yang sama ber-setting tempat khas bandara, dengan perempuannya yang terlihat manis menggunakan vintage dress katun motif biru berbunga adds on kain furing, dan laki-lakinya yang lengkap dengan celana dan jaket jeans navy berkaus biru. Foto kelima, bertuliskan “Congrats, pemimpin barisan!”, dibawah foto keduanya yang saling menatap didepan madding sekolah.
“Cie, asyik banget nih flashcback nya. Kangen masa lalu ya?”
“Tante Annette… iseng deh!”
“Tante ngga iseng Ra, kelihatan kali dari muka kamu.”
“Muka aku? Masa sih?”
“Iya, kamu tuh sama lagi kayak Om kamu, kalo lagi blushing, pasti kelihatan deh. Lucu, gemesin, hahaha… yaudah Ra, Andi udah di ruang tamu tuh. Jangan kelamaan flashback nya, di Jogja nanti kan bisa.”
Gue melihat kembali semua foto itu. Iya, itu adalah foto gue dan Danzel bertahun-tahun lalu, sewaktu kami masih pacaran. Entah kenapa, hangat dan manisnya saat-saat itu masih terasa dihati gue. Lembaran foto tersebut mampu menghidupkan kembali sinar yang terlalu lama padam dihati gue. Gue masih ingat, bagaimana rasanya bahagia sewaktu bersamanya. Entah itu cinta monyet atau memang cinta sejati yang gue temukan sejak dini, sepertinya apa yang dikatakan Tante Annette barusan benar adanya.
“Ra, masih flashback? Bawa aja sekalian album fotonya.”
Can’t help the feeling, I miss him so much.
ns 15.158.61.18da2