Senja telah berubah menjadi malam. Cahaya matahari terakhir menghilang di balik cakrawala, meninggalkan langit yang dihiasi semburat ungu gelap dan oranye yang semakin memudar. Di perkemahan, suara aliran sungai dangkal terdengar lembut, mengiringi keheningan yang menggantung di antara Elijah dan Lyra.18Please respect copyright.PENANA2Uf1wTeScf
Mereka berdiri berdekatan, tetapi tidak saling menatap. Api unggun yang mulai meredup berada di belakang mereka, melemparkan bayangan panjang di tanah berkerikil. Lyra menyilangkan tangan di dadanya, rambut kuning panjangnya tampak bersinar lembut dalam cahaya redup. Wajahnya tenang, tetapi ada sesuatu yang sulit dijelaskan di matanya—campuran antara kebijaksanaan dan misteri yang seolah menembus langsung ke dalam pikiran Elijah.18Please respect copyright.PENANAy5AksEavSE
Elijah berdiri kaku, tangannya menggenggam erat gada yang selalu ia bawa. Bulu-bulu pendek yang menutupi tubuhnya—tersembunyi di balik armor ungu gelap—terasa seperti duri di kulitnya sendiri, terutama di bawah tatapan tenang Lyra. Ia mencoba menyembunyikan kegelisahannya, tetapi getaran halus di tangannya mengkhianati usahanya.18Please respect copyright.PENANAs32d5H5JGd
"Jadi, aib yang berjalan," suara Lyra akhirnya memecah keheningan. Nada suaranya datar, tidak menghakimi, tetapi ada nada halus yang membuat Elijah menggertakkan giginya. "Aku tahu tentangmu, Elijah. Bahkan sebelum kau memutuskan untuk berbicara, aku sudah tahu."
Elijah memalingkan wajahnya, matanya menatap ke arah hutan yang gelap. "Tahu apa?" tanyanya, mencoba terdengar tak acuh, tetapi nadanya terdengar lebih defensif dari yang ia maksudkan.
Lyra menghela napas ringan, langkahnya maju satu kali, tetapi tetap menjaga jarak. "Tahu bahwa kau adalah setengah troll dan setengah elf. Tahu bahwa kau adalah hasil dari sesuatu yang bahkan kaum elf tidak ingin akui sebagai bagian dari sejarah mereka." Matanya tetap terfokus pada profil samping Elijah, mencari reaksi. "Aku tahu lebih banyak daripada yang kau kira, Elijah. Di kerajaan elf, kisah tentangmu—tentang mereka yang sepertimu—sering menjadi bahan bisik-bisik, meski kebanyakan hanya digunakan untuk memperkuat prasangka buruk."
Elijah mengepalkan tangannya, napasnya terdengar lebih berat. "Kalau begitu, kenapa kau repot-repot berbicara denganku?"
"Karena aku ingin tahu," jawab Lyra tanpa ragu. "Bukan tentang siapa dirimu—itu sudah jelas. Tapi aku ingin tahu bagaimana kau bisa bertahan. Dunia ini tidak ramah, terutama bagi mereka yang dianggap tidak pantas." Suaranya menjadi lebih lembut, hampir seperti bisikan yang dibawa angin malam. "Aku ingin tahu, Elijah, bagaimana kau tetap berdiri di sini, bahkan setelah semua yang kau hadapi."
Elijah akhirnya menoleh, menatap langsung ke mata Lyra. Ada kemarahan di sana, tetapi juga kelelahan yang mendalam. "Aku bertahan karena aku harus. Karena menyerah bukan pilihan. Karena jika aku berhenti, aku tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka salah."
Lyra mengangguk pelan, senyumnya samar. "Jawaban yang layak," katanya. Tetapi kemudian, dia menundukkan kepala sedikit, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Dan tentang ucapanku tadi... 'aib yang berjalan.' Itu bukan pilihan kata yang tepat. Aku meminta maaf."
Elijah terkejut dengan permintaan maaf itu. Dia mengamati Lyra dengan saksama, mencoba mencari tanda-tanda ketulusan. Tetapi yang dia temukan hanyalah seorang Elf muda dengan kaos putih polos yang menampilkan ketenangan yang tulus, disertai aura kedewasaan yang tidak dibuat-buat. "Kenapa kau peduli?" tanyanya akhirnya, suaranya lebih pelan.
Lyra tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit rasa humor yang halus. "Karena dunia ini sudah cukup kejam tanpa aku menambah bebannya. Kau tidak perlu lagi bersembunyi dariku, Elijah. Aku tidak akan menghakimimu."
Angin malam bertiup lembut, membawa aroma hutan yang basah. Elijah mengangguk pelan, meskipun dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia merasa bahwa beban rahasianya mungkin sedikit lebih ringan. Dan di tengah bayangan malam, mereka berdiri diam, dua sosok dengan masa lalu yang berbeda tetapi mungkin memiliki tujuan yang sama: Mengubah dunia yang penuh prasangka.
Suara kayu yang berderak di atas api unggun mengiringi aroma ikan yang mulai matang. Stark duduk bersila di depan nyala api yang kecil tetapi cukup hangat, dengan tusuk-tusuk ikan tergeletak di atas rakitan sederhana dari ranting-ranting kering. Api unggun telah menyala sempurna, memancarkan cahaya oranye yang menari di wajahnya. Dia melirik ke arah Elijah dan Lyra yang masih berdiri di dekat sungai. Dengan suara santai, ia memanggil, "Hei, ikannya sebentar lagi matang."
Elijah menoleh, ekspresinya sudah lebih tenang. Ia menarik napas panjang, lalu melepas armor ungu gelap yang selama ini menjadi tamengnya. Dengan suara berat dari gesekan logam, ia meletakkan armor itu dengan hati-hati di sebelah tempat duduk yang dipilihnya, tak jauh dari Stark. Gada dan perisainya ia sandarkan di sisi yang sama, seolah ia akhirnya merasa aman untuk membiarkan dirinya terbuka di depan teman-temannya. Badannya yang tertutup bulu hitam menjadi semakin gelap pada malam itu.
Lyra mengikuti, duduk dengan tenang di sebelah Elijah. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang ke arah api unggun dengan ekspresi senyum yang sulit ditebak. Tenebrist muncul dari arah tenda yang telah tersedia—bekas orang lain yang sempat berkemah sebelumnya, dekat dari perapian. Ia telah melepas jubah hitamnya, memperlihatkan kaos putih sederhana yang dikenakannya. Syal merahnya tetap melingkar di leher, memberi kontras yang hangat di bawah sinar api unggun. Tongkatnya sudah tersimpan aman di dalam tenda yang terbuat dari kayu, rumput, dan dedaunan—sebuah konstruksi sederhana yang cukup kokoh untuk melindungi mereka dari dinginnya malam.
Tenebrist duduk di antara Stark dan Lyra, menyilangkan kaki dan menyandarkan punggungnya pada salah satu tiang tenda. "Jadi, sudah matang belum, Stark? Aku sudah lapar," katanya sambil melirik ikan-ikan yang mulai mengeluarkan aroma gurih.
Stark mendengus. "Sedikit sabar, Tene. Kalau aku bilang belum matang, berarti belum matang."
Tene memiringkan kepalanya. Tene? Batinnya. Sepertinya bahkan Stark pun tidak menyadari bahwa ia seperti mengeluarkan nama panggila akrab. Matanya tetap fokus dengan ikan yang ia bakar.
Lyra, yang sedari tadi memandangi kemeja biru longgar milik Stark yang mulai tampak lusuh dan kotor, akhirnya bersuara, "Stark, aku rasa bajumu butuh dicuci. Aku bisa mencucikan bajumu besok pagi, sekalian dengan jubah Tenebrist dan pakaianku sendiri."
Stark langsung menoleh, ekspresi wajahnya penuh dengan keberatan. "Apa? Tidak, tidak. Aku tidak mau telanjang dada di depan kalian berdua. Terlalu... tidak pantas."
Tenebrist menahan tawa kecil, sementara Lyra mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang tetapi dengan nada menggoda. "Stark, aku hanya menawarkan bantuan. Kalau kau mau tetap bepergian dengan baju kotor seperti itu, jangan salahkan aku kalau nanti kau jatuh sakit."
Elijah, yang mulai merasa lebih rileks setelah melepas armornya, menyahut sambil tersenyum tipis, "Stark, mungkin itu juga alasan kenapa kau selalu lebih cepat lelah dari aku. Beban baju kotor itu terlalu berat untukmu."
Stark memutar bola matanya, tetapi tidak bisa menahan tawa kecil. "Hah, sangat lucu, Elijah. Setidaknya aku tidak perlu menyembunyikan tubuhku di balik armor sepanjang waktu."
Elijah terkekeh pelan. "Benar, tapi aku punya alasan yang jelas. Kau? Hanya karena malu?"
Percakapan mereka diwarnai dengan canda dan ejekan ringan, membuat suasana menjadi lebih santai. Lyra akhirnya mendesak sekali lagi dengan nada lembut tetapi tegas, "Stark, aku tidak ingin berdebat. Tapi baju kotor bisa mengundang penyakit, dan itu bisa menjadi hambatan besar bagi kita. Jadi, kumohon, biarkan aku mencucikannya besok."
Setelah menghela napas panjang, Stark akhirnya mengalah. "Baiklah, baiklah. Tapi hanya karena kau benar-benar keras kepala, Lyra."
"Terima kasih," jawab Lyra singkat, kembali memusatkan perhatian pada api unggun.
Ikan-ikan akhirnya matang, dan Stark membagikannya kepada mereka. Mereka makan bersama di bawah langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Sesekali mereka berbincang santai, menikmati waktu kebersamaan di tengah perjalanan yang penuh tantangan.
Namun, pembicaraan mereka perlahan berubah menjadi lebih serius ketika Stark menatap ke arah teman-temannya, lalu berkata, "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Bahkan perjalanan menuju kota bawah tanah saja sudah penuh bahaya. Kupikir, kita perlu mulai berkomunikasi dengan lebih baik. Kita juga perlu memahami cara bertarung masing-masing, sehingga kita bisa saling melengkapi." Tenebrist mengangguk setuju.
Lyra menambahkan dengan suara lembut, "Kita tidak hanya bertarung untuk bertahan hidup, tapi juga untuk saling melindungi. Pemahaman itu harus menjadi dasar dari semua yang kita lakukan."
Elijah mengangguk, matanya yang cerah tampak memantulkan cahaya api unggun. "Kalau begitu, kita mulai saja dari sekarang. Kita buat rencana yang jelas untuk perjalanan ini."
Malam itu, di bawah sinar rembulan yang temaram, kelompok kecil itu berkumpul di sekitar api unggun yang menyala hangat. Mereka duduk dalam lingkaran kecil, percakapan yang awalnya santai perlahan berubah menjadi percakapan serius.
Elijah memulai dengan suara beratnya yang tenang, menjelaskan bagaimana sihir es miliknya digunakan untuk memperkuat serangan dan menciptakan perlindungan tambahan di medan perang. "Aku bisa membekukan musuh atau menciptakan penghalang es dengan cara mengalirkan kekuatan dari Fatumku ke dalam perisai kemudian menancapkannya ke tanah. Tapi..." ia berhenti sejenak, "aku harus berhati-hati. Kalau aku tidak fokus, aku bisa mencederai kalian.". Itulah mengapa dia tidak selalu menggunakan sihir esnya. Ia juga belajar bahwa bergantung pada kemampuan uniknya tidaklah baik, jadi sebisa mungkin dia selalu mengandalkan kemampuan fisiknya, beserta gada andalan dan perisai miliknya.
Lyra mengangguk, lalu mencatat dengan hati-hati kelemahan itu. “Kalau begitu, aku akan pastikan untuk selalu berada di belakangmu saat kau menggunakan sihir itu,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Stark melanjutkan, menjelaskan bahwa ia lebih mengandalkan instingnya daripada perencanaan matang. “Aku bukan tipe yang bisa punya perencanaan sangat panjang. Kalau aku merasa bahaya, aku biasanya langsung bergerak. Itu sering menyelamatkan nyawa, tapi juga bisa bikin aku terlalu jauh dari kalian.”.
Elijah tertawa kecil, "Jadi itulah alasan kenapa kau selalu maju duluan."
Stark membalas dengan senyum tipis dan anggukan. Ia menambahkan bahwa sejujurnya ia belum pernah sekalipun menggunakan kemampuan unik dari Fatumnya. Selama ini yang dia lakukan adalah hasil dari latihannya, kemampuan fisik dan insting tajam. Ia masih tidak tahu cara menggunakan kemampuannya, atau kemampuannya sebenarnya apa. Sedari dulu dia memang tidak pernah diajarkan dan diberitahu. Seperti itulah memang kebiasaan orang-orang di sana, katanya kemudian. Yang lain menoleh sedikit heran, dimana ‘di sana’ yang dimaksud ini?
Stark terdiam sebentar sebelum akhirnya tersenyum lagi. “Pembahasan di lain waktu, ya!” Katanya kemudian. Ia melirik Tenebrist, yang terlihat diam, seperti tenggelam dalam pikirannya. Ketika giliran Tenebrist tiba, ia menjelaskan dengan nada tenang namun hati-hati.
“Aku jarang menyerang duluan. Aku lebih sering mengamati celah di medan pertempuran dan memastikan tidak ada yang menyerang kalian dari titik buta,” katanya. Biasanya, ketika ia masih berkelana seorang diri, doppelganger itulah yang menahan serangan di depan ketika ada hewan buas menyerang. Untungnya, sekarang ia memiliki rekan-rekan yang dapat diandalkan. Ia melanjutkan, menjelaskan kemampuan doppelgangernya yang bisa menciptakan paling banyak dua tiruan. “Tapi tiruanku tidak bisa menggunakan kemampuan unik seperti sihir es Elijah. Mereka hanya bisa meniru fisik, kecepatan, dan pola pikir.” Tenebrist menambahkan, bahwa ia sebisa mungkin tidak ingin menggunakan doppelgangernya, apalagi dua. Beban yang diberikan teramat besar, dan ia harus beristirahat total setelah menciptakan dua doppelganger. Situasi itu bisa menjadi bumerang kalau muncul di saat yang tidak tepat.
Mereka semua mendengarkan dengan seksama. Elijah sepertinya satu-satunya yang menyadari bahwa ketika mereka melawan goblin, di bawah sumur tua, Tenebrist berarti mempercayakan nyawanya pada mereka karena ia langsung menciptakan dua doppelganger; membiarkan dirinya terbuka rentan terhadap serangan. Elijah bersyukur karena dia punya banyak pengalaman bertarung, sehingga dapat dengan sigap mengatur rekan-rekannya membentuk formasi lingkaran mengelilingi Tenebrist.
Kemudian tiba giliran Lyra. Ia mengangkat buku aneh yang selalu dibawanya, menunjukkan simbol misterius di sampulnya. “Kemampuan unikku, ketika aku alirkan ke buku ini, bisa menyembuhkan luka. Tapi aku hanya bisa menyembuhkan luka fisik, bukan batasan atau kekurangan alami kalian,” katanya, sambil melirik Tenebrist. Ia menambahkan bahwa, cara kerja kemampuan penyembuhannya adalah dengan membuka bukunya, menciptakan resonansi dengan Fatum di sekitarnya, kemudian ia memilih pemilik Fatum yang ingin ia sembuhkan. Barulah perlahan ia mengalirkan energinya.
Semua terlihat terkesan, kecuali Tenebrist yang wajahnya tampak sedikit khawatir. Kekhawatiran itu tidak luput dari perhatian Stark. "Ada apa, Tenebrist?" tanyanya, mencondongkan tubuh sedikit ke arahnya.
Tenebrist menarik napas dalam sebelum menjawab, "Kemampuan penyembuhan Lyra sangat membantu, tapi... aku tetap tidak bisa melampaui batasanku. Doppelgangerku tetap tidak akan bisa lebih dari dua. Itu adalah kelemahanku yang tak bisa diubah. Kadang aku benci dengan ini." Ia mencengkram lengan kirinya sendiri.
Stark ingin menghiburnya. Ia seperti ingin menepuk pundak Tenebrist, tetapi membatalkan niatnya. Lyra yang melihat itu segera mengerti. Ia tersenyum, kemudian mengelus kepala Tenebrist yang berambut hijau toska itu.
“Sudah, tidak masalah.” Kata Lyra. Ia lalu perlahan merapikan poni pink sakura Tenebrist. Tenebrist hanya terdiam diperlakukan seperti itu. Raut wajahnya tidak berubah, tetapi sejujurnya hatinya merasa sangat hangat. Damainya, batinnya sambil menutup mata, berusaha menikmati perlakuan lembut Lyra. Diiringi dengan hangatnya api unggun dan merdunya suara jangkrik malam, membuat Tenebrist seperti tidak ingin beranjak. Ia seperti kucing liar yang tidak ingin mengakui bahwa dirinya senang dielus, tetapi tetap saja tidak mencakar mau dielus berapa kalipun. Andai aku bisa percaya pada orang lain, batinnya kemudian.
Stark memperhatikan pemandangan itu, kemudian ia bertatapan dengan Eliah. Mereka seolah sepemikiran. “Lihatlah rembulan itu. Indah, bukan? Kenapa kita tidak istirahat sejenak dan menikmatinya?” Katanya kemudian.
Yang lain setuju. Mereka beranjak dari tempat duduk mereka, mendekati batang pohon tumbang yang membelakangi api unggun dan hutan, lalu duduk menghadap rembulan yang bersinar terang tanpa ada pohon menghalangi. Dalam diam, mereka menikmati pemandangan malam, suara air sungai yang mengalir pelan di depan mereka, dan suara jangkrik yang sesekali terdengar. Seperti seirama, mereka serempak menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya.
Keheningan itu akhirnya dipecahkan oleh Elijah, yang suaranya terdengar sedikit gelisah. "Apakah aku bisa dengan mudah memasuki wilayah Elf nanti?"
Lyra menoleh padanya, senyumnya lembut namun penuh keyakinan. "Aku akan memastikan kau aman, Elijah. Mereka tidak akan menyentuhmu selama aku ada."
Stark menambahkan, mencoba mengalihkan perhatian, "Aku pikir kau sedang memikirkan Syslodia. Kota itu... kenapa tiba-tiba kosong? Biasanya ramai, bukan?"
Elijah mengangguk pelan, tapi Stark segera melanjutkan, "Tapi itu urusan nanti. Kita punya banyak pertanyaan yang belum terjawab. Fokus kita sekarang adalah menuju perpustakaan besar di Kerajaan Elf. Kita butuh jawaban tentang Nephilim, tentang Fatum, dan tentang kelompok Elf yang dulu membantu menciptakannya."
Semua setuju dengan Stark. Sejujurnya, kejadian di Syslodia aneh. Kota itu belum pernah kosong sampai sebegitunya. Benar-benar seperti tidak ada kehidupan, secara tiba-tiba. Namun mereka memutuskan untuk tidak memikul lebih banyak pertanyaan. Setelah beberapa saat menikmati keheningan malam, mereka berniat kembali ke tenda, bersiap untuk tidur dan beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Di bawah sinar rembulan yang indah, mereka menemukan secercah kedamaian di tengah perjalanan penuh misteri dan bahaya.
Malam itu tenang, diwarnai dengan suara nyaring jangkrik yang bersahut-sahutan di kejauhan. Udara terasa segar namun sedikit lembap, membawa aroma dedaunan basah yang khas. Cahaya bulan menggantung megah di langit, menyelimuti seluruh area perkemahan dengan sinar perak yang lembut. Di tengah pemandangan itu, api unggun yang telah meredup memberikan semburat cahaya jingga oranye yang berpendar pelan, seolah tidak ingin mengganggu ketenangan malam.
Tenebrist masih duduk membelakangi api unggun, tetapi tubuhnya kali ini bersandar pada batang pohon yang sebelumnya mereka duduki. Punggungnya tegak, tetapi ada sesuatu dalam posturnya yang tampak lelah, seperti seseorang yang memikul beban yang tidak terlihat. Mata hijaunya, meskipun tersembunyi dalam bayangan malam, terlihat kosong, mengarah ke suatu tempat jauh yang tidak dapat dijangkau siapa pun kecuali dirinya sendiri. Ia terdiam, seolah terjebak dalam lautan pemikirannya. Angin malam yang lembut meniup ujung rambut panjangnya yang dikepang, memberikan gerakan samar yang membuatnya terlihat hampir seperti patung yang diamuk angin.
Stark berdiri tak jauh darinya, membelakangi api unggun yang nyalanya semakin redup. Sorot matanya memandangi Tenebrist dengan campuran khawatir dan penasaran. Dalam keheningan itu, pikirannya melayang kembali ke peristiwa tentang Ruvak. Ia mengingat dengan jelas bagaimana Tenebrist memikul tanggung jawab besar dalam rencana penyelamatan yang, baginya, berakhir tragis. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyangka akhir itu, tetapi Tenebrist, entah bagaimana, telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
Rasa kekesalan yang Stark pernah rasakan karena merasa Tenebrist tidak ingin berkomunikasi perlahan digantikan oleh rasa ingin memahami. Bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk membantu. Tenebrist selalu tampak kuat, selalu satu langkah di depan, tetapi Stark tahu, di balik semua itu ada sesuatu yang rapuh—sesuatu yang Tenebrist sembunyikan dari mereka semua.
Langkah Stark perlahan mendekat, suara dedaunan dan kering yang terinjak terdengar pelan, nyaris tenggelam oleh suara jangkrik. Wajahnya memancarkan tekad, tetapi juga kelembutan. Ia tidak ingin mengganggu Tenebrist, tetapi keinginannya untuk memahami beban Tenebrist itu terlalu besar untuk diabaikan. Sementara itu, di belakangnya, Lyra dan Elijah telah bersiap-siap istirahat, menyisakan Stark dan Tenebrist di bawah sinar bulan yang menyinari tanah yang tenang. Dalam keheningan itu, Stark berdiri diam sejenak, memperhatikan Tenebrist yang masih tenggelam dalam dunianya sendiri. Mungkin malam ini, pikir Stark, ia bisa mencoba membangun jembatan menuju pikiran atau hati rekannya yang seperti terkunci rapat.
Tenebrist tetap duduk membatu dan bersandar pada batang pohon yang dingin, punggungnya mulai sedikit membungkuk, kedua tangannya bertumpu pada lutut. Rambut panjangnya yang dikepang berayun pelan diterpa angin lembut, sementara bayangan api unggun yang memudar menari di sekitar tubuhnya. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak kosong, tetapi di balik itu ada badai pemikiran yang berkecamuk.
“Hei…” Panggil Stark dengan suara pelan, mencoba menyentuh permukaan pikiran temannya, tetapi tidak ada respon. Tenebrist tenggelam terlalu dalam, tidak mendengar atau memilih untuk mengabaikan suara Stark.
Dalam keheningan itu, Tenebrist menelusuri kembali jalan kenangan setahun terakhir. Ia memutar kembali ingatan-ingatan awal setelah ia tersadar dengan kepala yang kosong. Wajah-wajah yang samar, tempat-tempat yang asing, dan perasaan terputus dari segalanya menghantuinya. Ia ingat betapa sulitnya beradaptasi—meraba-raba di dunia yang terasa baru, namun pada saat yang sama begitu familiar. Pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di kepalanya, “Apakah aku punya keluarga? Adakah yang menunggu? Siapa yang bisa dipercaya?”—semuanya tak berjawab. Yang ia miliki hanyalah nama, kemampuan bertarung, dan satu tujuan besar yang tak ia mengerti sepenuhnya, namun tetap ia genggam erat.
Ia teringat perjalanannya melewati wilayah liar—tanah wildbeast yang buas, dengan hutan lebat dan ancaman di setiap sudut. Kemudian wilayah troll, tempat ia selalu harus berjaga-jaga, bahkan saat ia tidur di bawah langit malam. Dan Syslodia, kota yang bagi dia menyimpan rasa dingin dan ketidakpercayaan yang menusuk. Di setiap tempat itu, ia berusaha mencari petunjuk tentang siapa dirinya, tentang apa yang terjadi sebelum ingatannya terhapus. Tetapi jawaban itu selalu mengelak, meninggalkannya dalam kebingungan dan kesepian.
Ia mengingat saat-saat ketika ia bertarung melawan binatang buas. Goresan luka di tubuhnya yang selalu ia sembunyikan menjadi saksi betapa berat perjalanan itu. Ia tidak pernah benar-benar merasa aman, bahkan ketika ia berhasil lolos. Doppelganger-nya menjadi satu-satunya “rekan” yang ia miliki, namun setiap kali ia menggunakannya, ia merasa semakin jauh dari manusia lain, semakin terisolasi.
Sekarang, ketika ia duduk di sini, dengan api unggun yang membelakanginya dan tenda rekan-rekannya di belakang sana, ia merasa keadaan telah berubah, setidaknya di permukaan. Ia memiliki rekan-rekan baru—Stark, Elijah, Lyra—yang tampaknya tulus, yang terlihat seperti orang-orang yang bisa dipercaya. Tetapi di hatinya, ada tembok besar yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara menghancurkannya.
Bukan karena ia ingin menutup diri, tetapi karena ia takut. Takut mempercayai orang yang salah, takut melibatkan mereka dalam sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bayangkan. Tujuan yang ia emban terasa seperti beban yang hanya bisa ia pikul sendirian. Jika ia berbagi, apakah mereka akan mengerti? Apakah mereka akan tetap ada di sisinya? Atau apakah ia akan kehilangan mereka juga, seperti ia kehilangan bagian dari dirinya sendiri?
Stark akhirnya melangkah mendekat, melewati lingkaran api unggun yang memudar. Sepatu bootnya sedikit bergemerisik di atas dedaunan kering, tetapi Tenebrist bergeming.
“Sedang memikirkan rencana sendiri lagi?” Stark membuka percakapan, suaranya tenang tetapi menyiratkan sedikit kekhawatiran. Ia telah berdiri beberapa langkah di samping Tenebrist, menatapnya dengan pandangan penuh tanya.
Tenebrist hanya menggeleng perlahan, seperti biasa. Pandangannya tetap tertuju pada tanah yang redup diterangi sinar bulan. Namun, bagi Stark, jawaban singkat itu tidak cukup. Ia tahu kebiasaan Tenebrist; memikul segalanya sendiri, seperti yang terjadi pada rencana di Syslodia. Stark tidak ingin itu terulang, terutama setelah dampaknya begitu berat bagi mereka semua—khususnya baginya.
“Atau,” lanjut Stark, sedikit mendesak, “sedang memikirkan rencana harus apa di kerajaan elf?”
Tenebrist kembali menggeleng, kali ini dengan tarikan napas yang lebih panjang, seolah ingin menutup pembicaraan. Namun, Stark tetap bertahan, tidak membiarkan kesunyian mengambil alih. Ia melangkah lebih dekat, duduk di tanah depan batang pohon yang sama, membuat jarak di antara mereka hanya beberapa jengkal.
“Tenebrist,” suara Stark lebih pelan tetapi penuh tekanan, “kau tahu aku tidak bisa membiarkanmu memikirkan semuanya sendiri.”
Tenebrist mendesah, kali ini lebih keras. Ia mengangkat wajahnya sedikit, menatap Stark sekilas dengan mata hijau yang tampak lelah. “Kau… tidak tahu kata menyerah, ya?” ucapnya dengan nada datar, meski ada sedikit ketidaksabaran di dalamnya.
Stark tersenyum kecil, bahkan hampir tertawa. “Aku terkadang memang keras kepala.”
Tenebrist tidak membalas, hanya kembali memalingkan wajah ke depan. Namun, kali ini, ia tidak sepenuhnya menutup dirinya. Mungkin ada sedikit celah, dan Stark bisa merasakannya.
“Kau...” Stark memulai, tetapi berhenti sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. Ia ingat Tenebrist pernah berkata bahwa dia amnesia, dan hanya memiliki ingatan setahun terakhir. Maka ia berkata, “Memikirkan setahun terakhir, mungkin?”
Tenebrist menoleh dengan sedikit terkejut. Meskipun ia tidak mengatakan apa-apa, senyumnya yang sangat tipis dan samar menunjukkan bahwa tebakan Stark cukup mendekati.
Stark memanfaatkan momen itu. Ia mengalihkan pandangannya ke langit, memperhatikan bulan yang bersinar lembut. “Tiga hari terakhir ini melelahkan,” katanya dengan suara pelan, “tapi juga menyenangkan. Aku bertemu Elijah, dan tentu saja, aku bertemu denganmu.”
Ia melirik Tenebrist yang tetap diam, meskipun matanya kini sedikit lebih fokus.
“Awalnya, kupikir kau ini orang yang sangat misterius. Selalu menyendiri, penuh rahasia.” Stark menghela napas pendek, lalu melanjutkan, “Tapi ternyata, ada sosok yang hangat di dalam dirimu. Seseorang yang peduli, meskipun kau tidak menunjukkannya dengan jelas.”
Ia tertawa kecil, membuat suasana sedikit lebih ringan. “Apalagi, Tenebrist, saat kau tersenyum.” Stark menoleh padanya, menatap langsung ke matanya. “Mungkin kau harus lebih sering tersenyum. Itu… membuatmu terlihat lebih manusiawi.”
Tenebrist mengalihkan pandangan, tetapi tidak sepenuhnya menutup diri. Wajahnya sedikit, hampir tidak sama sekali, memerah. Begitu singkat hingga mungkin Stark tidak menyadarinya.
“Kapan aku tersenyum?” Kata Tenebrist kemudian, berusaha tidak peduli.
Stark merasa ia mempunyai kesempatan sekali seumur hidup untuk mengolok Tenebrist, jadi dia menatap Tenebrist dengan sungguh-sungguh, tersenyum lebar, kemudian berkata, “misdirection!”. Tenebrist seketika teringat bagaimana ia sempat tersenyum lebar ketika membicarakan rencananya yang menggunakan misdirection. Ia menatap Stark berpura-pura kesal dengan tatapan tajam, padahal wajahnya terlihat memerah. Itu membuat Stark tertawa dan meminta maaf sambil masih menahan tawa.
Stark melanjutkan, suaranya semakin lembut. “Kau tahu, aku mungkin keras kepala. Tapi itu karena aku tidak ingin melihatmu memikul semuanya sendirian. Kau tidak harus selalu kuat, Tene. Kami ada di sini. Aku ada di sini.”
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti angin malam yang membawa aroma kayu terbakar. Tenebrist tidak menjawab, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai melunak. Ia bahkan tidak lagi mempertanyakan mengapa Stark memanggilnya Tene. Ia hanya mendengarkan setiap kata yang Stark ucapkan, meresapi ketulusannya, dan untuk pertama kalinya sejak perjalanan panjang Tenebrist dimulai, ia merasa ada seseorang yang benar-benar ingin berbagi bebannya.
Ia ingin mempercayai Stark. Ia ingin sekali berkata bahwa ia lelah, bahwa ia butuh seseorang untuk bersandar, seseorang yang dapat diandalkan. Tetapi apa yang ia tahu terlalu besar, terlalu rumit. Tujuannya yang ia emban sebelum amnesia terasa seperti misteri yang ia sendiri tidak mengerti sepenuhnya. Bagaimana mungkin ia bisa membagi beban itu kepada orang lain? Namun, di sisi lain, kata-kata Stark tadi seolah memecahkan sedikit lapisan es yang selama ini membekukan hatinya.
Tenebrist menatap lurus ke depan, ke kegelapan hutan di seberang sungai yang diterangi sinar bulan. Ia merasa sesuatu yang hangat menyusup ke dalam dirinya, meskipun samar. Perasaan itu berasal dari ketulusan Stark—sesuatu yang ia tahu tidak sering ia temui. Ia ingin menunjukkan kepada Stark bahwa ia menghargai keberadaannya, tetapi ia belum siap membuka segalanya.
“Terima kasih,” katanya pelan, hampir seperti bisikan.
Stark terkejut sejenak. Ia tidak menyangka akan mendengar kata itu dari Tenebrist. Namun, setelah menyadari bahwa kata terima kasih itu jauh lebih dalam daripada yang terdengar, ia tersenyum kecil, tulus, dan mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia tetap duduk di tempatnya, tidak mencoba mendesak lagi, tidak mencoba memecahkan keheningan.
Mereka duduk berdampingan, punggung mereka membelakangi api unggun yang perlahan mengecil. Di atas, bulan bersinar lembut, dikelilingi bintang-bintang yang tampak seolah berjaga. Suara jangkrik mengisi kesunyian malam, ritmenya teratur seperti sebuah lagu yang mengiringi momen itu.
Stark menatap langit, matanya memandangi bintang-bintang, sementara pikirannya berusaha memahami apa yang mungkin dirasakan Tenebrist. Di sisinya, Tenebrist masih memandang ke depan, matanya tampak tenang, tetapi ada sedikit kerutan di dahinya, seperti ada sesuatu yang terus ia pertimbangkan.
Hening itu bukan canggung, melainkan penuh makna. Seolah dalam diam, ada sesuatu yang tersampaikan di antara mereka. Tenebrist tidak mengatakan apapun lagi, tetapi kehadiran Stark di sana, duduk dalam keheningan bersamanya, sudah cukup untuk memberikan rasa nyaman yang selama ini sulit ia dapatkan.
Angin malam kembali berembus, menggerakkan rambut mereka perlahan. Tenebrist melirik Stark dari sudut matanya. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Senyuman tipis berhasil kabur dari ekspresinya yang biasa ia kunci.
Terima kasih, batinnya.
Keesokan harinya, langit pagi menyambut mereka dengan cerah. Suara burung berkicau meramaikan udara yang segar, memberikan semangat pada perjalanan mereka yang akan dimulai. Tenebrist sudah mengenakan jubah hitamnya yang khas, dengan garis emas yang menjalar dari lengan dan bertemu di tudungnya. Rambut hijau toska yang panjang dikepang rapi, hanya terlihat sedikit poni sakura yang jatuh menutupi sebagian dahinya. Syal merahnya terikat di leher, sedikit berkibar tertiup angin pagi. Tenebrist terlihat siap untuk menghadapi perjalanan yang panjang. Namun, mata hijau cerahnya masih menyiratkan sedikit kelelahan yang tersisa dari usaha besar yang ia lakukan sebelumnya, terutama saat menciptakan doppelganger yang memeras energinya. Sedari kemarin sebenarnya ia tidak berhenti untuk terus menerus berpikir. Tetapi kondisi hatinya sudah sangat baik. Tangan kanannya menggenggam tongkat panjang tanpa ujung runcingnya, tangan kirinya menggenggam syal merah. Ia menarik nafas perlahan, berusaha benar-benar menyiapkan dirinya untuk perjalanan.
Stark, dengan kemeja biru longgar dan celana hitam fleksibel, sudah mempersiapkan dirinya. Rambut silver kebiruannya sedikit berantakan. Katana tersarung di pinggang kanannya, siap digunakan kapan saja jika diperlukan. Ia tidak menunjukkan kelelahan seperti Tenebrist, dan matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia siap untuk segala kemungkinan. Tubuhnya yang lumayan tinggi dan atletik tampak kuat, siap menghadapi perjalanan ini.
Elijah, dengan armor ungu gelapnya yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, terlihat lebih besar dan lebih mengesankan. Hanya wajahnya yang terlihat, menampilkan ekspresi tenang namun penuh kewaspadaan. Tangan kanannya memegang gada besar, sedangkan perisai tergantung di punggungnya. Tubuhnya yang gabungan elf dan troll tetap tersembunyi di balik armor, membuatnya terlihat seperti seorang prajurit yang tidak mudah ditaklukkan. Keberadaannya menambah rasa aman bagi kelompok, meskipun ia merasa sedikit tertekan karena takut identitasnya terungkap, terutama karena mereka akan menuju kerajaan Elf.
Lyra, dengan rambut kuning sepunggung yang terurai dan pakaian simpel kaos putih serta celana pendek hitam selutut, terlihat cerah dan penuh semangat. Matanya yang lembut, namun tajam, memancarkan kebijaksanaan yang ia bawa sebagai seorang elf. Buku tua dengan simbol lingkaran aneh selalu ada di tangannya, menggantung di sisi tubuhnya. Meskipun dia adalah elf yang lebih muda, sikap dewasa dan pengamatannya menjadikannya pusat ketenangan bagi kelompok. Pakaian mereka telah dicuci oleh Lyra tadi malam, dan kini semua pakaian mereka kering dan siap digunakan kembali, memberikan kenyamanan selama perjalanan.
Mereka berempat siap melangkah. Tanpa kemampuan teleportasi atau sihir untuk mempercepat perjalanan, mereka tahu bahwa perjalanan ini akan memakan waktu. Namun, harapan mereka tetap tinggi, mengingat tujuan mereka adalah Kerajaan Elf yang terletak di utara, yang menurut Lyra membutuhkan mereka untuk berbelok ke kanan, menuju daerah yang menjauh dari Syslodia di sisi kiri.
Mereka baru saja memulai perjalanan mereka ketika seorang sosok mendekat. Seorang wildbeast, dengan tubuh kekar dan rambut berbulu kasar, berjalan menuju mereka. Ia mengenakan pakaian kasar dan membawa sebuah tali panjang yang menjuntai dari bahunya. Senyum lebar muncul di wajahnya, meskipun terlihat sedikit aneh dengan ekspresi yang tidak sepenuhnya ramah. "Kalian menuju ke utara?" tanyanya, matanya menyipit, mengamati mereka dengan penuh rasa ingin tahu.
Lyra berhenti sejenak, mengamati wildbeast tersebut dengan teliti. "Ya," jawabnya, "Kami menuju Kerajaan Elf. Tapi, perjalanan kami cukup jauh."
Wildbeast itu tertawa kecil, nada suaranya ceria namun sedikit mengejek. "Ah, kalian tampaknya butuh transportasi yang lebih cepat. Aku bisa membantu kalian dengan 'kereta angin'."
Mereka semua menatap wildbeast itu dengan ragu. "Kereta angin?" Stark bertanya, nada suaranya mencerminkan kebingungannya. "Aku tidak melihat ada kereta di sini."
Wildbeast itu tertawa lebih keras, mengangkat bahunya dengan santai. "Tidak ada kereta, tapi percayalah, kalian akan tiba di tempat tujuan lebih cepat dengan bantuan ini," katanya sambil mengacungkan tali panjang yang menjuntai di tangannya. "Semua yang aku butuhkan adalah bayaran."
Lyra menatapnya dengan senyuman berwibawa. "Aku sering bepergian dengan kereta angin. Jika kau bisa membawa kami ke tempat tujuan, kami akan membayar sesuai kesepakatan."
Elijah tetap diam, matanya memperhatikan setiap gerak-gerik wildbeast itu dengan hati-hati. Walaupun ia merasa tidak nyaman dengan keadaan ini, ia tetap mempercayakan keputusan kepada Lyra, yang tampaknya sudah berpengalaman dalam perjalanan semacam ini.
Mereka berempat saling bertukar pandang sejenak. Stark mengangguk pelan, lalu memeriksa kembali katana di pinggangnya. "Baiklah," kata Stark akhirnya, "Jika ini benar-benar bisa membantu, kami siap mencoba."
Kereta angin yang ditawarkan oleh wildbeast itu seperti akan menjadi pengalaman yang sangat berbeda bagi masing-masing dari mereka. Setelah mereka memutuskan untuk mencoba, perasaan mereka berubah menjadi rasa penasaran dan ketidakpastian. Mereka pun segera menyadari bahwa mereka tidak membawa uang, kecuali Lyra yang selalu siap dengan solusi. Dengan sedikit senyuman yang seolah prihatin karena mereka bertiga selalu bepergian tanpa uang, Lyra merogoh kantungnya dan mengeluarkan beberapa keping koin perak yang tampak berkilau di bawah sinar matahari pagi. Ia memberikannya kepada wildbeast, yang menerima uang tersebut dengan senyum puas di wajahnya.
"Terima kasih," kata wildbeast itu, matanya bersinar senang. Ia memberi perintah kepada kelompok untuk berbaris, dan mereka segera membentuk formasi. Wildbeast berada di depan, dengan Lyra tepat di belakangnya, diikuti oleh Tenebrist, Stark, dan Elijah. Mereka saling berpegangan pada bahu orang di depannya, merasa sedikit canggung tetapi saling percaya satu sama lain. Di sisi mereka, tali yang semula dibawa oleh si wildbeast mengelilingi mereka, seperti melindungi sebagian kecil sisi kiri dan kanan pinggang. Kedua ujung tali itu diikatkan pada perut si wildbeast.
"Ah. Letakkan senjata kalian di samping atau di depan kalian, tanpa melewati batas tali." Kata wildbeast, suara beratnya terdengar sedikit serius. Awalnya mereka ragu, tetapi setelah melihat Lyra yang tampaknya sudah sangat terbiasa dengan hal ini, mereka pun meletakkan senjata mereka di tanah, di depan kaki mereka. Tali yang panjang itu kini melingkar di sekitar tubuh mereka, membentuk sebuah lonjong, dengan wildbeast yang tampaknya sedang mempersiapkan sesuatu.
Dengan gerakan perlahan, wildbeast mengumpulkan energi angin yang berputar di sekelilingnya. Seperti kekuatan yang tersembunyi, angin mulai bertiup, perlahan-lahan tetapi semakin kencang. Rambut mereka berkibar, dan pakaian mereka pun mengikuti gerakan angin yang semakin kuat. Tanpa peringatan lebih lanjut, tiba-tiba mereka melesat ke udara, bersama senjata mereka yang kini melayang di antara mereka masing-masing. Sensasi yang mengejutkan itu membuat perasaan mereka campur aduk, mulai dari rasa takjub hingga kebingungan. Semua perasaan itu tertumpah dalam angin yang berderu kencang, yang seakan membawa mereka jauh dari tanah.
Rambut Tenebrist terurai lebih bebas, kepangannya sedikit berantakan oleh tiupan angin yang kuat. Ekor rambut hijau toska itu seperti memberontak, keluar dari persembunyiannya di dalam jubah hitam Tenebrist, dan bergerak kencang tertiup angin. Mata hijau cerahnya berbinar-binar, cahaya emas yang memancar dari dalamnya semakin jelas terlihat. Ia memandang ke kanan, mencoba menangkap pemandangan yang luar biasa dari atas. Dunia tampak kecil, seperti permainan yang bisa digenggam begitu saja. Ia berbalik, menatap kiri, dan kembali ke kanan. Tak sadar, senyum lebar muncul di wajahnya, menunjukkan betapa ia menikmati momen ini. Seperti anak kecil yang takjub dengan dunia baru, ia tidak henti-hentinya menikmati seluruh pemandangan, menoleh kiri kanan secara perlahan, sesekali cepat.
Stark yang berada di belakangnya menatap Tenebrist dengan rasa terkejut. Ia tidak biasa melihat Tenebrist menampilkan ekspresi yang begitu terbuka dan tulus. Seketika itu, senyum tulus muncul di wajahnya. "Syukurlah," pikir Stark dalam hati, "dia masih bisa menikmati hidup seperti ini." Tanpa berkata apa-apa, ia tetap menjaga jarak, memandang Tenebrist dengan rasa kagum dan perhatian yang tidak bisa disembunyikan. Tetapi rambut kepang Tenebrist seperti sadar akan hal itu. Sesekali kepangan itu, yang bergoyang tertiup angin kencang, menghantam wajah Stark. Stark hanya bisa pasrah memejamkan matanya sambil tersenyum menghela napas, sementara ekor kepangan itu terus menghantam wajahnya beberapa kali, kadang pelan, sering kali kuat. Stark menghela napas lagi sambil tetap tersenyum pasrah.
Elijah, di sisi lain, merasa sangat tidak nyaman. Angin yang menderu begitu kencang dan kecepatan yang luar biasa membuat tubuhnya sedikit gemetar. Wajahnya yang sedikit pucat menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya bisa menyesuaikan diri dengan kecepatan perjalanan ini. Meski begitu, ia berusaha untuk tetap tenang. Ia tahu, jika ketahuan, Stark pasti akan mengejeknya, jadi ia menahan perasaan itu. Ia memusatkan perhatian pada perjalanan dan berusaha mengabaikan sensasi yang membuatnya sedikit pusing.
Lyra, yang sudah terbiasa dengan perjalanan seperti ini, tampak tenang. Ia bahkan tampak santai, dengan mata yang memperhatikan pemandangan yang berlalu dengan cepat. Kereta angin seperti ini sudah menjadi bagian dari hidupnya, jadi ia tidak menunjukkan banyak reaksi. Sebaliknya, ia menikmati perjalanan ini dengan penuh kebijaksanaan, merasa nyaman meski kecepatan dan angin kencang begitu mencolok.
Mereka melaju melintasi berbagai pemandangan yang luar biasa—sungai-sungai berkelok, laut yang luas, kota-kota kecil yang tampak seperti titik-titik kecil dari kejauhan, dan hutan lebat yang terhampar. Orang-orang yang mereka lihat dari ketinggian tampak seperti semut yang sibuk beraktivitas, tetapi semuanya terasa begitu hidup dan nyata. Beberapa burung terbang di samping mereka, mengiringi perjalanan mereka sejenak sebelum akhirnya terbang turun menuju sarangnya.
Kecepatan mereka semakin tinggi, dan deru angin semakin kencang, mengalahkan kecepatan mereka terbang. Tenebrist merasakan sensasi yang begitu luar biasa, seakan angin itu membawa mereka ke dunia lain. Semua perasaan terpendam selama ini terbang bersama mereka, dan ia merasa bebas. Ketika mereka akhirnya sampai di dekat Kerajaan Elf, wildbeast itu mulai mengurangi kecepatannya, membawa mereka perlahan-lahan turun.
Setelah mereka mendarat dengan lembut, wildbeast itu tersenyum puas. "Ini adalah tempat tujuan kalian," katanya sambil mengangguk. "Terima kasih atas bayaran kalian." Dengan cepat, ia menarik tali kereta anginnya, meninggalkan mereka.
Wajah Tenebrist masih penuh kebahagiaan, matanya berbinar, warna emas dari mata itu semakin terlihat jelas, senyum sumringahnya belum hilang. Ia sangat menikmati pengalaman terbang tadi, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa rambutnya kini berantakan. Stark, tanpa sadar, menatap Tenebrist dengan tulus, senang, dan penuh rasa syukur. Bagi dia, Tenebrist seperti melangkah lebih dekat menuju dunia tanpa hati yang terkunci. Matanya terus menatap Tenebrist meskipun sebenarnya ia tidak berniat menatapnya, dan Tenebrist kemudian menyadari itu. Mata mereka bertemu, dan keduanya sama-sama berusaha memalingkan wajah.
Tenebrist berniat menutup kepalanya dengan tudung tetapi tudung itu terhalang oleh ekor rambut kepangnya. Ia baru menyadari ekor rambut yang biasanya ia masukkan ke dalam jubah itu telah keluar karena tertiup angin kencang, jadi dia segera membalikkan badan, mencoba menyembunyikan rasa canggung yang muncul.
Sebelum Stark sempat meminta maaf, Tenebrist menggelengkan kepala. "Tidak perlu meminta maaf," katanya dengan cepat. "Jangan bikin canggung, lupakan saja."
Tenebrist seperti segera tersadar bahwa mungkin cara dia berbicara barusan kurang baik. Dengan sikap sedikit canggung dan masih memalingkan wajahnya, ia segera berbalik menghadap Stark. “Ah, bukan… maaf.” Katanya, sangat pelan pada kata maaf. Ia menunduk.
Elijah dan Lyra, yang menyaksikan kejadian itu, tertawa ringan. "Enaknya jadi muda," ujar Elijah, mengingatkan bahwa mereka juga tidak lepas dari sedikit kekonyolan. Lyra hanya tersenyum, setuju dengan pernyataan itu.
Elijah, dengan senyum nakal, sedikit mengacak rambut Stark, bercanda mengejeknya. "Kau terlalu fokus memperhatikan Tenebrist sampai kau tidak sadar rambutmu berantakan." katanya, membuat Stark sedikit kesal. "Berisik, algojo tua!" Stark menjawab, sambil mengusir tangan Elijah yang mencoba mengacak rambutnya. Kemudian ia merapikan rambutnya sendiri, meskipun tak bisa menyembunyikan sedikit senyum.
Mereka melangkah ke arah jembatan utama yang menghubungkan jalan luar dengan kerajaan yang tersembunyi di balik jurang dalam yang jernih itu. Mereka berhenti sejenak, mengagumi pemandangan di sekitar mereka.
Kerajaan Elf itu tampak begitu megah dan elegan. Bangunan-bangunan tinggi menjulang dengan warna gabungan biru langit dan putih, memberi kesan damai dan anggun. Benteng putih yang kokoh mengelilingi kerajaan itu, melindunginya dari dunia luar. Jurang yang dalam mengelilingi kerajaan, dan air yang sangat jernih memantulkan bayangan bangunan kerajaan yang tampak seolah melayang di atas permukaan air.
Jembatan utama yang menghubungkan mereka dengan kerajaan ini terbuat dari batu putih yang sangat kokoh, dengan pegangan kayu jati di kedua sisinya. Kayu tersebut dihiasi dengan hiasan hijau kuning yang menyerupai tanaman merambat, menciptakan nuansa alami dan menyatu dengan keindahan alam sekitar. Jembatan ini menjadi satu-satunya jalan masuk ke kerajaan selain terbang, dan di ujungnya, dekat gerbang masuk, ada seorang penjaga elf yang berdiri tegak, menjaga akses masuk ke kerajaan mereka. Saat mereka mendekati ujung jembatan, pandangan mereka tertuju pada penjaga yang berdiri di sana.
Prajurit itu tampak begitu mencolok, dengan tubuh yang dibalut armor hijau berkilauan, seolah terbuat dari batu giok hidup. Setiap lekukannya begitu detail, dengan desain rumit yang dihiasi ukiran kecil berbentuk daun dan sulur, seolah mencerminkan keanggunan hutan yang menjadi inspirasi dari armor itu. Kilauan lembut cahaya yang memantul dari permukaan armor tersebut memberikan kesan hampir magis. Pelat-pelat logam yang menyusun armornya saling terhubung dengan gesper-gesper kecil yang sangat terperinci, menunjukkan betapa luar biasanya pengerjaan yang dilakukan. Bagian bahu prajurit itu melengkung dengan elegan, memberikan perlindungan tanpa mengurangi keluwesan gerak. Pelindung lengan yang membalut kedua tangannya tampak kokoh namun tetap ringan, seolah dirancang untuk pergerakan yang cepat dan tepat. Di bagian pinggang, pelat-pelat armor yang tersusun rapi menjuntai seperti sisik naga, memberikan perlindungan tambahan namun tetap memungkinkan pergerakan bebas. Di sisi kiri dan kanan pinggangnya, ada pistol tanpa peluru yang hanya dapat diisi dengan elemen sihir. Pistol itu adalah senjata yang menggantikan panah—yang dulunya digunakan oleh elf pada masa belum modern, jauh sebelum perang besar. Ketika zaman mulai maju, sebagian Elf mulai mengganti panah tersebut dengan pistol peluru. Sebagian lainnya masih mempertahankan busur dan panah sebagai bentuk jati diri seorang Elf. Kini, di zaman setelah modern, pistol peluru itu berganti dengan pistol sihir. Meskipun pistol tersebut jauh lebih efektif, beberapa elf yang tidak memiliki kemampuan sihir masih tetap mempertahankan busur dan panah mereka, sebagian lainnya menggunakan pistol modern.
Di punggung prajurit itu, terlihat busur dan panah yang tergantung dengan rapi. Kehadiran panah itu semakin menggambarkan kemampuan adaptasi mereka terhadap perubahan zaman. Meskipun pistol elemen telah menggantikan panah dalam banyak hal, busur dan panah tetap dibawa sebagai senjata cadangan apabila sihir mereka tidak dapat digunakan.
Penjaga itu berdiri tegak, dengan tatapan tajam yang seolah bisa menilai siapa pun yang melintas di depan gerbang kerajaan. Keberadaannya sendiri sudah menggambarkan betapa besar dan bijaksananya ras Elf, yang mengutamakan perlindungan dan keharmonisan dengan alam, sambil tetap menjaga keamanan kerajaan mereka dengan kecanggihan dan kehati-hatian yang luar biasa.
Keheningan sesaat menyelimuti mereka saat melihat penjaga tersebut, Tenebrist, Elijah, dan Stark masih tampak ragu di ujung jembatan, merasa cemas dengan langkah yang akan mereka ambil selanjutnya. Mereka berdiri sejenak, merasakan ketegangan yang terasa di udara, terutama bagi Elijah. Wajahnya tampak sedikit tertekan, matanya sesekali menatap ke bawah, ke air yang jernih, seolah memikirkan hal-hal yang lebih besar dari sekadar melangkah maju. Meskipun tak ingin menunjukkan rasa takut, kekhawatiran masih membayang di wajahnya. Ia teringat pada masa lalu yang penuh konflik, dan kini berada di hadapan kerajaan yang menjadi sumber konfliknya.
Lyra, dengan senyum lembut, berjalan lebih dulu. Suaranya lantang, penuh keyakinan saat ia berteriak dengan tegas, "Sine nos transire. Sunt mecum." Kata-kata dalam Bahasa Elf itu menggema di udara, menambah rasa percaya diri di dalam dirinya. Tangan Lyra yang elegan melambai sejenak, dan matanya penuh dengan ketenangan yang khas.
Prajurit elf yang berdiri tegak di ujung jembatan menatap sejenak, lalu membungkuk dengan hormat. Gerakan tubuhnya sangat tegas, seolah setiap langkah dan gerakan sudah terlatih dengan sempurna. Dengan keanggunan yang luar biasa, ia yang semula menghadap mereka, segera menghadap kiri, melangkah mundur, dan berhenti di dekat pegangan kayu jembatan. Ia menoleh ke kiri, ke arah kerajaan Elf. Tangan kirinya terangkat dan ia berteriak dengan suara lantang, "Aperi Portam Regiam!"
Sebagai tanggapan, gerbang besar yang kokoh di ujung jembatan perlahan mulai terbuka. Setiap gerakan pintu itu begitu lambat namun pasti, seolah memberi waktu bagi mereka untuk merenungkan langkah mereka selanjutnya. Seluruh proses itu terasa penuh makna, seiring dengan terbukanya gerbang yang mengarah pada kerajaan yang begitu penuh dengan misteri dan keindahan.
Lyra menghadap ketiga sahabatnya, wajahnya tetap cerah, meskipun sedikit ada ekspresi nostalgia yang tak bisa disembunyikan. "Eamusne?" tanyanya, mengingatkan mereka untuk melangkah maju. Namun, dengan cepat ia mengoreksi dirinya sendiri, tersenyum malu. "Ah, maaf. Maksudku, ayo masuk."
Stark mengangguk sambil tersenyum kagum, baru kali ini ia mendengar bahasa elf secara langsung. Bagi Stark, itu adalah pengalaman baru yang menarik, dan ia merasa semakin dekat dengan dunia yang lebih luas. Sementara Tenebrist terlihat biasa saja. Meskipun amnesia, dia sudah pernah mendengar dan mempelajari bahasa elf selama hampir setahun terakhir.
Elijah, di sisi lain, tampak sedikit lebih melankolis. Wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan ekspresi nostalgia yang mendalam. Bahasa Elf, yang dulu ia dengar dalam rumah tangga dan pelatihan masa kecilnya, kini terasa seperti sebuah kenangan yang hampir terlupakan. Meski begitu, ia menyadari bahwa tak semua hal dari masa lalu perlu dilupakan, dan di sini, di tengah jalan menuju kerajaan Elf, ia seperti dirasuki oleh perasaan rindu.
Di wilayah kota Syslodia dan sekitarnya, seluruh ras diwajibkan menggunakan bahasa universal; bahasa Renant. Jadi bahasa elf yang baru saja mereka dengar ini memberikan perasaan yang berbeda untuk masing-masing dari mereka.
Mereka akhirnya melangkah maju, mengikuti Lyra yang sudah lebih dulu melintasi jembatan. Setiap langkah mereka terasa berat namun penuh harapan. Di bawah mereka, air yang dalam mengelilingi kerajaan seolah memperlihatkan betapa indah dan kokohnya kerajaan ini berdiri. Air yang sangat jernih itu menciptakan bayangan dari bangunan kerajaan yang anggun. Angin yang berhembus lembut menggoyangkan rambut mereka, seolah memberikan petunjuk untuk melangkah lebih jauh.
Mereka melewati penjaga elf yang tetap berdiri tegak, wajahnya tak berubah sedikit pun, seolah tak tergoyahkan oleh apapun yang terjadi di sekelilingnya. Lyra berjalan dengan langkah mantap, Tenebrist, Stark, dan Elijah mengikuti di belakangnya, dengan perasaan yang campur aduk— dipenuhi dengan pertanyaan tentang apa yang akan mereka temui di dalam gerbang itu, terpesona oleh keindahan dan kebijaksanaan yang ada di sekitar mereka, digentayangi oleh perasaan rindu nostalgia.
Akhirnya, mereka memasuki gerbang besar yang telah terbuka sepenuhnya.
Saat mereka baru saja melangkah melewati gerbang besar yang perlahan tertutup di belakang mereka, Lyra berteriak dengan lantang, “formatio proelii statim!”. Tenebrist dan Elijah terkejut, mereka tahu arti dari kalimat itu: Formasi pertempuran, segera!
Suara terompet yang keras menggema di udara, memecah keheningan yang sempat menyelimuti kerajaan tersebut. Suara itu memanggil perhatian, dan seketika itu juga, ratusan penjaga muncul dari berbagai penjuru, bergerak cepat dan terorganisir dengan sangat baik. Beberapa dari mereka menodongkan pistol elemen yang mengeluarkan kilauan cahaya dari ujung larasnya, sementara yang lain sudah siap dengan busur dan anak panah, mengarahkan bidikan mereka dengan sangat akurat. Di belakang mereka, prajurit elf yang sebelumnya mengawal gerbang kini bergerak maju, berbaris tegap, menghalangi jalan mereka dengan senjata siap sedia.
Elijah, yang berada di tengah-tengah kerumunan itu, terdiam. Wajahnya memucat drastis, seperti darahnya mengalir keluar dari tubuhnya. Ia memandang sekeliling dengan panik namun berusaha tenang, tak tahu harus berbuat apa. Ketegangan di udara semakin terasa, dan hatinya berdebar kencang. Dalam pikirannya, muncul perasaan bahwa ini adalah jebakan—bahwa dirinya akan ditangkap dan diperlakukan sebagai musuh. Mungkin ini adalah akhir bagi mereka, dan mereka baru saja terperangkap di dalam kerajaan yang tampaknya penuh dengan keanggunan namun juga bisa menjadi sangat berbahaya.
Stark, yang berdiri di samping Elijah, segera bergerak sedikit lebih ke depan, siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Wajahnya tetap tenang, namun matanya yang tajam memperhatikan setiap gerakan penjaga. Ia ingin berkata kepada Elijah, untuk menenangkannya, memberi tahu bahwa ia akan melindunginya, tapi ia tahu ini bukan saat yang tepat. Sebagai gantinya, ia tetap siaga, tubuhnya menunduk, tangan siap meraih katana jika dibutuhkan.
Di tengah ketegangan itu, Lyra perlahan maju, menatap lurus ke depan, ke arah para penjaga, dengan langkah penuh ketenangan. Ia bergerak maju tanpa rasa takut, melangkah dengan wibawa misterius yang berhasil menambah intimidasi keadaan. Ketika ia sampai di depan, ia berhenti dan berbalik menghadap mereka, membelakangi para prajurit yang menghalangi jalan. Wajahnya tetap tenang, seolah segala ketegangan di sekitarnya tak memengaruhi dirinya sama sekali. Ia menatap Elijah dengan seksama, matanya penuh perhatian, namun ada ketegasan yang terlihat di dalam tatapannya.
Elijah merasa cemas. Jantungnya berdetak semakin kencang, dan ia merasa kekesalan yang mulai muncul, berpikir bahwa mungkin Lyra sudah menjebaknya. Ia ingin berkata sesuatu, untuk meminta penjelasan, tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, Lyra berpaling dan menatap Tenebrist. Tanpa sepatah kata pun, ia membuka buku tua yang selalu ia bawa. Buku itu bersinar dengan cahaya lembut yang mulai meresap ke udara di sekelilingnya. Tenebrist, yang berdiri sedikit di belakang dan di samping Stark, tiba-tiba merasa kaku. Tubuhnya terasa seperti membeku, matanya melebar terkejut karena ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Buku itu mulai beresonansi dengan Fatum yang ada pada mereka—setiap Fatum yang terletak pada anggota tubuh berbeda tiap orangnya mulai menyala satu per satu. Cahaya putih terang muncul dari tubuh mereka, menyebar ke udara dengan keindahan yang tak terlukiskan. Namun, Tenebrist merasakan keheningan yang sangat dalam. Tidak ada cahaya yang muncul dari tubuhnya. Ia merasa perhatian seluruh orang di sana perlahan tertuju padanya. Jantungnya berdegup kencang, waktu terasa berjalan dengan sangat lambat. Ia memutar otaknya, berusaha mencari jalan keluar dari sini. Apa? Bagaimana? Meminta tolong? Pada siapa? Pengalihan doppelganger? Missdirection nya siapa?
Ia tidak bisa lari dari situasi ini.
Ia mengutuk dirinya sendiri yang lengah. Terlalu banyak hal yang ia perlu susun dan pikirkan sejak kota bawah tanah. Ia tahu Lyra sangat mencurigakan, tetapi ia lengah dan tidak berpikir bahwa kejadian ini adalah salah satu kemungkinan yang bisa terjadi.
Tidak. Bukan lengah. Ia sebenarnya diam-diam mencoba percaya pada kelompok ini. Nah lihat, batinnya, ini yang aku dapatkan karena percaya pada orang.
Cahaya Fatum yang menyala terang perlahan meredup, lalu hilang sepenuhnya, menyisakan keheningan dan ketegangan. Seluruh prajurit masih siap siaga, sementara Stark dan Elijah menatap Tenebrist, berusaha memahami apa yang terjadi sambil tetap siaga. Lyra menutup bukunya, lalu melangkah menghampiri Tenebrist.
"Sudah kuduga," suara Lyra terdengar pelan namun tegas, dan kata-katanya menyayat di udara. "Kau tidak punya Fatum."18Please respect copyright.PENANACHoV7oo7Fy