Di dalam sebuah penginapan di Kerajaan Elf, tempat Stark dan Elijah diperbolehkan beristirahat. Penginapan itu memiliki suasana yang berbeda dari tempat-tempat lain yang pernah mereka kunjungi. Dindingnya putih bersih, dihiasi ukiran halus berbentuk tanaman merambat yang tampak hidup, memberikan nuansa alami sekaligus elegan. Lampu-lampu berwarna putih bersinar lembut dari sudut-sudut ruangan, memancarkan cahaya yang tidak terlalu terang, tetapi cukup untuk menerangi seluruh kamar. Lantainya tidak seperti biasanya; terlihat seperti rumput sintetis, namun begitu lembut hingga memberikan sensasi nyaman di bawah kaki mereka. Di tengah ruangan, sebuah jendela besar memisahkan dua kasur di sisi kiri dan kanan. Dari jendela di kamar lantai dua itu, pemandangan malam kerajaan elf terbentang, indah dan menenangkan. Mereka dapat melihat gerbang tempat mereka masuk sebelumnya, dengan air yang mengelilingi kerajaan tampak berkilauan diterpa cahaya malam. Meski sudah larut, kerajaan elf tidak menunjukkan tanda-tanda kegelapan. Lampu-lampu putih bersinar di seluruh penjuru, dihiasi dengan warna hijau yang kadang-kadang tampak seperti kunang-kunang hinggap di atap-atap bangunan. Suasana itu seharusnya memberikan kedamaian, tetapi bagi Stark dan Elijah, ketenangan itu terasa jauh dari jangkauan.16Please respect copyright.PENANAJTE5GAUBdd
Stark duduk di tepi kasurnya di sisi kiri, dengan rambut biru keperakan yang sedikit kusut, tampak kontras dengan matanya yang hitam kelam, yang kini memandang kosong ke arah lantai rerumputan. Sepatu boot-nya telah ia lepas, diletakkan rapi di sisi tempat tidur, tetapi ia tidak terlihat siap untuk beristirahat. Sementara itu, di sisi kanan, Elijah juga duduk di tepi kasurnya, rambut coklatnya terlihat sedikit acak, sementara mata hijau zamrudnya menatap jendela dengan pandangan yang jauh. Armornya telah dilepas, menampakkan tubuh berbulu yang menjadi bukti jelas bahwa ia adalah keturunan troll dan elf—sebuah fakta yang ia sembunyikan dengan hati-hati dari elf lain.
Keheningan di antara mereka terasa berat. Pikiran mereka dipenuhi oleh syarat yang diberikan Lyra kepada mereka termasuk si penasihat tadi sore: "Jangan bantu Tenebrist." Itulah syaratnya. Kalimat itu sederhana, tetapi dampaknya tidak. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya dimaksud atau apa yang akan terjadi pada Tenebrist. Ketidakpastian itu membuat mereka tidak bisa menikmati suasana damai di sekitar mereka. Stark sesekali menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya tetap berputar-putar tanpa arah. Ia tidak suka hanya berdiam diri, tetapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan.
Elijah, yang merasa suasana terlalu hening, akhirnya mencoba memecah keheningan dengan percakapan kecil. Stark menanggapi dengan anggukan pelan, tetapi percakapan mereka tidak berlanjut. Mereka kembali terdiam, masing-masing terjebak dalam lamunan.
Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar yang terbuat dari kayu coklat dengan ukiran emas di permukaannya. Keduanya segera waspada. Elijah berdiri, melangkah menuju pintu. Gerakannya hati-hati, karena ia tahu tidak memakai armor membuat identitasnya sebagai keturunan troll-elf lebih mudah dikenali. Ia membuka pintu perlahan, memastikan siapa yang berada di baliknya.
Ternyata itu adalah Lyra. Ia berdiri dengan anggun, mengenakan kaos putih polos yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu. Rambut kuning panjangnya tergerai rapi, berkilau dalam cahaya lampu. Matanya yang biru menatap langsung ke arah Elijah dengan ekspresi serius namun lembut.
“Aku rasa aku berutang penjelasan kepada kalian,” katanya dengan nada tenang, namun penuh makna.
Elijah tidak segera menjawab. Ia berbalik sedikit, menatap Stark yang masih duduk di tempatnya. Stark mengangkat kepalanya, menatap Lyra sejenak, lalu mengangguk pelan, memberikan persetujuan tanpa berkata apa-apa. Elijah membuka pintu lebih lebar, memberi ruang bagi Lyra untuk masuk. Ia melangkah masuk perlahan, kehadirannya membawa sedikit ketegangan di dalam kamar yang sudah cukup berat dengan pikiran masing-masing.
Lyra berdiri di tengah ruangan, tubuhnya tegap, tetapi sorot matanya menunjukkan kelelahan dan beban tanggung jawab yang berat. Rambut kuning panjangnya tergerai di bahu, memantulkan cahaya putih dari lampu ruangan, menciptakan kesan lembut yang kontras dengan topik pembicaraannya. Ia menghela napas pelan sebelum mulai berbicara, suaranya tenang namun tegas.
“Mungkin sudah terlihat ketika aku memimpin rapat tadi, tetapi biarkan aku menjelaskannya,” katanya sambil menatap langsung ke arah Stark dan Elijah. “Aku merupakan keturunan dari keluarga Vedera. Aku, bersama seluruh keturunan Vedera, dan dibantu oleh ras elf, telah berusaha memahami misteri ataupun kejanggalan yang ditinggalkan oleh Nephilim. Termasuk tentang kekejaman terhadap ras goblin.”
Ia berhenti sejenak, mengalihkan pandangannya ke jendela di belakang mereka. Dari sudut itu, cahaya dari kerajaan elf masih terlihat memancar lembut, tetapi tidak mampu menghilangkan ketegangan di ruangan. Stark tetap diam di tempatnya, duduk dengan pandangan serius. Sangat jelas terliat ia sedang berusaha memendam amarah. Elijah berdiri di dekat pintu, tangannya sedikit mengepal, meskipun tidak ada tanda-tanda kemarahan di wajahnya.
“Aku memang berusaha mencari bantuan dari luar untuk mencari petunjuk tambahan terkait hal-hal yang belum aku ketahui,” lanjut Lyra, suaranya terdengar lebih berat. “Aku pun awalnya tidak berniat untuk terkesan seperti menjebak kalian, khususnya Tenebrist, hingga bisa seperti sekarang.”
Ia berhenti sejenak, matanya beralih ke Stark, mencari reaksi, tetapi Stark hanya menatap ke bawah dengan tatapan tajam penuh amarah. “Tetapi wajahnya Tenebrist, seperti yang kalian sudah tahu, identik dengan Nephilim. Ia pun bertingkah aneh ketika bukuku pertama kali memancarkan resonansi dengan fatum milik kalian. Ia juga memberikan ekspresi yang menurutku aneh ketika aku menjelaskan cara aku menggunakan kemampuan unik—yaitu dengan menciptakan resonansi fatum.”
Kata-katanya terdengar tajam, tetapi ada kejujuran di baliknya. Lyra tampak mengukur setiap kalimat, memastikan tidak ada yang terlewat. “Hal itu membuat aku berspekulasi bahwa Tenebrist bisa jadi tidak punya fatum, meskipun memang belum tentu. Tetapi hal itu kemudian terbukti dengan jelas. Aku adalah perwakilan keluarga Vedera. Aku tidak bisa membiarkan hal ini lepas begitu saja.”
Saat Lyra menyelesaikan kalimatnya, suasana ruangan terasa semakin berat. Stark tetap diam, kedua tangannya saling bertaut di atas lututnya. Antara dia sedang merenungkan perkataan Lyra, atau dia sama sekali tidak peduli dan sedang memikirkan hal lain. Yang jelas pandangannya tidak berubah sedikitpun.
Elijah, di sisi lain, duduk diam, tetapi ekspresi wajahnya sedikit mengeras. Meski tubuh berbulunya tidak bergerak banyak, matanya yang hijau zamrud sesekali melirik Lyra, mencoba membaca lebih dalam apa yang tidak terucapkan dari kata-katanya.
Lyra menarik napas panjang, dan untuk sesaat, wajahnya menunjukkan sedikit keraguan. “Sejujurnya,” ia melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, “kalau aku tidak mengemban tanggung jawab besar sebagai keluarga Vedera, aku tidak ingin mempermasalahkan ini. Tetapi aku punya tanggung jawab, dan aku harus bertindak tegas berdasarkan fakta yang ada.”
Stark mendengus kesal. Ia menggenggam kedua tangannya dengan erat. Andaikan ia tenang, ia pasti mengerti bahwa Lyra tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Tetapi emosi menguasai dirinya. Maka ia menatapnya tajam, membuat Lyra hanya bisa berdiam diri. “Berhenti membuat pembelaan agar kau terlihat suci.” Katanya geram, sedikit datar tetapi dengan ketajaman yang menusuk. Stark bergegas berdiri hendak pergi, namun sebelum itu ia menatap Elijah. “Aku tidak mengerti mengapa kau bisa setenang ini, Elijah.” Kemudian ia mengambil sepatu boot-nya di dekat tempat tidur sebelum ia bergegas pergi, meninggalkan Elijah dan Lyra. Elijah seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi dia menahannya. Ia merasa bahwa apapun yang ia katakan, Stark akan susah menerima. Maka ia berdiam diri, membiarkan Stark pergi.
Ada keheningan yang canggung di antara Elijah dan Lyra. Lyra tidak beranjak dari posisinya, ia masih berdiri. Sebagian dari dirinya merasa salah karena datang ke sini. Tetapi ia tahu, mau bagaimanapun ia tetap berutang penjelasan kepada Elijah dan Stark, terlebih kepada Tenebrist. Elijah menghela napas, berusaha mengusir sedikit rasa canggung dari yang baru saja terjadi. Ia meminta maaf atas apa yang baru saja dilakukan Stark, meskipun ia tidak bisa menyalahkan Stark juga. Elijah ingin memastikan bahwa Lyra mengerti tindakan Stark itu beralasan. Lyra hanya mengangguk pelan. Seujurnya Elijah pun memendam rasa amarah terhadap perbuatan Lyra. Apa yang menyambut mereka ketika mereka baru saja tiba di kerajaan Elf benar-benar bukan hal yang baik, rasanya seperti pengkhianatan. Tetapi Elijah telah hidup sangat, sangat lama. Ia mengerti bahwa semua orang pasti memikul beban tanggung jawab yang, terkadang, terasa memuakkan. Jadi ia mengerti apa yang dirasakan Lyra. Setidaknya, ia bisa mencoba mengerti posisinya. Tetapi sayangnya tidak semua orang bisa memahami kebijaksanaan ataupun kesabaran. Sikap Elijah yang, semenjak di ruang rapat tadi, tampak tenang dan seperti tidak marah demi Tenebrist pasti akan memberikan kesan bahwa Elijah seperti tidak peduli. Apalagi di hadapan Stark, yang Elijah tau memiliki sikap impulsif.
Elijah duduk di kasurnya, punggungnya bersandar pada dinding. Tubuhnya yang besar, dibalut dengan bulu hitam tipis, membuat kasur terlihat lebih kecil dari seharusnya. Suasana ruangan begitu sunyi setelah Stark pergi, hanya diisi oleh suara napas Lyra yang masih berdiri di tengah ruangan. Lyra tampak berbeda. Rambut kuning panjangnya tergerai, terlihat lebih kusut dari biasanya, seolah mencerminkan pikirannya yang kalut. Meski berdiri tegak, posturnya sedikit kaku, seakan ia mencoba mempertahankan sisa-sisa ketegasan di tengah kebimbangan. Mata birunya memandang lantai, tetapi tatapan itu sedikit sayu, mungkin terperangkap dalam pikirannya sendiri. Senyum kecil menghiasi wajahnya, tetapi senyum itu lebih mirip perisai rapuh daripada ekspresi kebahagiaan.
Keheningan itu memanjang, membuat suasana menjadi canggung. Elijah tidak tahu harus berkata apa, dan Lyra tampaknya sedang menimbang kata-kata yang ingin ia sampaikan. Akhirnya, Lyra memecah kebisuan.
“Mungkin kau berpikir bahwa aku munafik,” katanya pelan, tetapi suaranya tetap terdengar jelas di ruangan kecil itu. Ia menatap Elijah sekilas sebelum kembali menunduk. Elijah diam, memberi ruang bagi Lyra untuk melanjutkan.
“Aku bisa menerima keberadaanmu, meskipun kau dianggap aib oleh ras elf,” lanjut Lyra. “Tetapi begitu menyangkut Tenebrist, aku seperti tidak mau melihat sisi baiknya. Aku hanya fokus pada kemungkinan bahwa dia adalah ancaman besar.”
Lyra tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Aku tahu itu tidak adil. Sangat tidak adil, terutama setelah aku menyergap kalian seperti ini.” Senyum lirih di wajahnya berubah menjadi ekspresi lelah. Ia tampak menunggu respons dari Elijah, tetapi Elijah hanya fokus memandangnya, entah menimbang kata-kata yang tepat untuk membalas atau sekedar menjadi pendengar yang baik.
“Aku mengerti posisimu,” kata Elijah akhirnya, suaranya dalam dan lembut. “Tapi itu tetap mengejutkan. Sejujurnya ada bagian dari diriku yang... tidak terima.”
Lyra mengangguk pelan, menerima tanggapan itu tanpa membela diri. Ia melangkah maju, mendekati jendela besar di antara dua kasur, lalu berdiri memandang keluar. Cahaya bulan samar menyentuh wajahnya, mempertegas bayangan kelelahan di matanya. Ia seperti berharap bisa mendapat jawaban dari indahnya malam di kerajaan Elf yang diterangi lampu putih dengan sedikit hijau di beberapa ujung atap seperti kunang-kunang.
“Kalau boleh, aku sebenarnya ingin membatalkan semua putusan ini,” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Tetapi kemudian posisimu sebagai salah satu petinggi di kerajaan elf akan sangat dipertanyakan,” jawab Elijah, menatap punggung Lyra yang terlihat lebih rapuh dari biasanya, tersembunyi di balik uraian rambut kuning.
Lyra mengangguk lagi, masih membelakangi Elijah. “Benar,” gumamnya. Tangan kanannya ia kepalkan di depan dadanya dengan lembut. Sejenak mereka berhenti berbicara.
Elijah kemudian bertanya, “Apa yang akan terjadi pada Tenebrist? Bagaimana dia bisa mendapatkan kesempatan untuk dipercaya?”
Lyra tidak langsung menjawab. Ia hanya diam, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. Tangannya masih terkepal di depan dadanya, dan kepalanya sedikit menunduk. Akhirnya, ia berkata, “Ini akan menjadi semacam pertaruhan. Aku akan mempercayakannya pada penasihatku dan tindakan Tenebrist sendiri. Tidak ada pihak manapun, khususnya kalian, yang boleh tahu apa yang akan terjadi.”
Elijah mengangguk pelan, mencoba memahami maksud Lyra.
“Kau tahu,” kata Lyra tiba-tiba, suaranya sedikit bergetar, “aku sebenarnya takut.” Lanjutnya. Elijah tetap diam mendengarkan.
“Seluruh keputusan yang aku buat, untukku pribadi, tidak pernah bisa memberikan hasil yang membuatku bahagia.” Posisinya Lyra mengharuskannya selalu bisa tegas. Khususnya pada saat itu. Tetapi mau bagaimanapun, Lyra hanyalah seorang wanita biasa. Ia bisa lelah, ia bisa salah membuat keputusan, ia tidaklah sempurna. Tetapi ras elf seperti tidak menyadari, atau tidak mau tahu tentang itu.
Elijah kemudian tersenyum dengan sedikit tawa kecil, membuat Lyra menoleh ke arahnya sedikit bingung. Elijah meminta maaf, kemudian berkata bahwa Lyra sepertinya sangat cocok dengannya dan rekan-rekannya. Mereka semua memikul beban yang besar, tanggung jawab yang besar. Elijah tahu bahwa Stark juga diam-diam memikul bebannya sendiri. Elijah tahu bahwa Tenebrist seperti memendam rahasia yang mendalam. Ia memang tidak tahu apa tepatnya, tetapi ia mengerti bahwa rekan-rekannya, termasuk dia, memikul penderitaan tersendiri, yang memaksa semuanya untuk tetap melangkah maju. Mereka semua lelah, mereka semua bisa salah membuat keputusan, mereka semua tidak sempurna.
“Dan kau pun begitu, Lyra. Aku pun begitu,” katanya, “jadi ketika aku sekilas membayangkan bahwa kita semua ini sama, aku tidak bisa menahan tawa kecilku.” Sambungnya. Ia mengaku, ada bagian dari dirinya yang merasa lega dengan semua itu. Bukan karena mereka menderita, tetapi karena mereka sebenarnya adalah orang yang paling bisa memahami penderitaan satu sama lain, dan, entah karena takdir atau apa, mereka dipertemukan.
Lyra, yang telah menghadap ke Elijah sepenuhnya, berusaha mencerna omongannya. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan tertawa kecil. Elijah benar. Ia senang dan merasa sedikit lega ketika mengetahui bahwa ada orang lain yang juga memikul beban berat. Ia melangkah pelan menghampiri kasur di depan Elijah, kemudian duduk berhadapan dengannya. Jarak di antara mereka hanya beberapa jengkal, cukup dekat hingga ia bisa melihat guratan kecil kelelahan di wajah Elijah. “Aku merasa... aku bisa lebih jujur pada kalian semua,” kata Lyra. Suaranya terdengar lebih ringan, seperti beban yang sedikit terangkat.
Elijah hanya menatapnya, kali ini sudah dengan senyuman, memberi ruang untuk melanjutkan.
“Mungkin karena kalian tidak memandangku sebagai pemimpin elf. Aku tidak harus selalu terlihat tegas di depan kalian. Aku bisa... menjadi diriku sendiri.” Lyra tersenyum kecil, mengingat momen-momen sederhana bersama mereka. “Aku ingat saat aku menawarkan diri mencuci pakaian Stark. Rasanya seperti ibu yang mengurus anak kecil yang tidak tahu cara menjaga diri.”
Elijah tertawa pelan, senyumnya lebar. “Dan Tenebrist?” tanyanya.
“Dia seperti adik kecil yang rapuh, yang hanya ingin disayangi,” jawab Lyra, senyumannya semakin hangat. Ia terdiam sejenak, membayangkan momen kita Ia mengelus kepalanya Tenebrist, dan Tenebrist, meskipun enggan mengakui, terlihat sangat menikmati itu. Lyra membiarkan pikirannya melayang menyusuri kenangan satu malam berkemah. Tanpa sadar, senyumnya tetap terpancar.
Elijah mengangkat alis. Dengan suara ringan, masih dihiasi sedikit senyuman dan tawa kecil, ia bertanya, “lalu bagaimana denganku?”
Lyra menatapnya dengan tulus, menyipitkan matanya. Senyum menggoda terlukis di wajahnya. “Entahlah,” jawabnya, nada suaranya bercanda. “Kira-kira apa ya?”
Elijah terkekeh kecil, dan tawa itu membuat Lyra merasa nyaman dan sedikit tertawa juga. Rasa nyamannya seperti selimut hangat di malam dingin. Namun, di balik tawa itu, Lyra tahu Elijah adalah seseorang yang memikul beban lebih dari yang ia tunjukkan.
“Aku mengagumimu, Elijah,” katanya tiba-tiba, tatapannya lembut namun tegas. “Kau sungguh dewasa.”
Elijah, yang telah menghentikan tawanya, tersenyum. Ia menatap Lyra dengan tulus dan penuh pengakuan. “Dan kau pun demikian,” balasnya. Hening menyelimuti mereka, namun bukan keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Andai mereka berempat bisa dipertemukan dalam keadaan yang jauh lebih baik, pikir Elijah.
Elijah akhirnya memecah keheningan, suaranya pelan namun penuh makna. “Tapi ya... kalau boleh egois sedikit,” katanya, menatap Lyra. “Aku harap kau dapat membiarkan Tenebrist bebas. Dia orang baik.”
Senyum Lyra sedikit memudar, digantikan oleh ekspresi penuh pertimbangan. Ia menatap ke bawah, jemarinya saling menggenggam. “Aku juga inginnya begitu,” katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik.
Malam itu terasa hangat di Kerajaan Elf. Lampu-lampu berpendar terang, disertai kilauan kehijauan seperti kunang-kunang yang berkerumun di atap-atap rumah. Meski hari sudah malam, jalanan masih cukup ramai. Beberapa elf berjalan lalu lalang, ada yang bergandengan tangan dengan pasangan, ada yang sendirian, dan ada pula yang tertawa bersama kelompok kecil di bangku-bangku sepanjang jalan. Beberapa tatapan heran atau penuh ketidaksukaan tertuju pada Stark, yang tampak asing di antara mereka. Kehadiran tamu dari ras lain memang jarang terjadi di tempat ini. Namun, Stark tidak peduli. Ia tetap berjalan pelan, pikirannya terjebak dalam kekalutan yang tak kunjung reda.
Bayangan Tenebrist yang terisak pelan di dalam sel tadi sore terus menghantuinya. Tangisan itu begitu sunyi, tanpa sepatah kata pun terucap, namun cukup untuk menggambarkan penderitaan yang dirasakannya. Stark tidak bisa melupakan pemandangan itu. Ia mulai merenungi prinsip yang dulu ia pegang erat—bahwa keadilan harus ditegakkan. Tapi kini, ia mempertanyakan semua itu. Keadilan apanya? batinnya dengan penuh kekesalan.
Dulu, sebelum mengenal dunia luar, hidup Stark begitu sederhana namun membahagiakan. Di desa kecilnya yang terisolasi, ia menghabiskan hari-hari dengan berlatih bersama lima gurunya—lima roh legendaris yang tinggal di bukit gunung. Setelah latihan, ia selalu pulang untuk membantu ibunya menyiapkan makan malam. Kehangatan keluarga itu cukup baginya untuk merasa menjadi anak yang beruntung, meski sang ayah telah lama tiada.
Namun, semua itu terasa begitu jauh kini. Ia tidak bisa membayangkan beratnya beban yang dipikul Tenebrist. Bahkan, ia pun tak sepenuhnya memahami penderitaan Elijah. Tapi saat ini, pikirannya hanya terpusat pada Tenebrist—seorang gadis yang berkelana sendirian, dengan hanya ingatan satu tahun terakhir. Tidak tahu dari mana ia berasal, tidak tahu apakah ia memiliki keluarga, bahkan mungkin tidak memiliki tujuan hidup yang jelas.
Stark tidak sanggup membayangkan kesendirian seperti itu. Ia mengingat salah satu dari beberapa pedoman yang diberikan oleh gurunya.
“Orang tidak akan mengerti kadar kebahagiaan sampai mereka mengerti kadar kesedihan.”
Stark baru mengerti maksudnya. Dan sekarang, nasib Tenebrist semakin tidak menentu. Ia terkurung dalam sel dan mungkin akan dipenjara selamanya. Rasa frustrasi menguasai Stark. Ia sangat ingin membantu meringankan beban gadis itu, tetapi ia merasa tak berdaya. Kekecewaan terhadap dirinya sendiri terus menghantui. Ia mengutuk dirinya yang tak bisa apa-apa. Apa gunanya latihannya selama bertahun-tahun, tetapi ketika terjun ke dalam dunia beberapa hari saja sudah tidak berdaya seperti ini.
Ia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. Dengan langkah berat, Stark berbalik arah, berjalan kembali menuju penginapannya.
Keesokan paginya, suara gesekan logam menggema di ruang sempit tempat Tenebrist dikurung. Pintu jeruji sel perlahan terbuka, memperlihatkan seorang penjaga elf dengan postur tegap, mengenakan armor khas kerajaan elf yang terbuat dari giok hijau mengilap. Kilauan armor itu tampak pudar di bawah cahaya remang yang memancar dari lentera di sudut ruangan. Di punggung penjaga itu, sebuah busur panjang tergantung rapi, sementara tabung anak panah terikat erat di pinggangnya. Rambut kuning peraknya tampak redup, hampir menyerupai bayangan kelabu, seolah menyerap kegelapan ruangan yang dingin dan sunyi.
Dengan suara tegas namun datar, penjaga itu memerintahkan Tenebrist untuk ikut dengannya. Di sudut sel, Tenebrist terbaring di lantai dingin yang keras. Perlahan, ia bangkit dengan gerakan berat, seperti boneka tua yang hampir kehilangan nyawanya. Rambut hijau toskanya yang panjang tampak kusut, beberapa helainya menutupi wajah yang terlihat pucat dan lelah. Matanya yang biasanya bersinar hijau terang kini redup, kehilangan kilau kehidupannya. Jubah hitam bergaris emas yang membalut tubuhnya terlihat kotor dan kusam, penuh noda debu dari lantai sel. Syal merah yang selalu ia kenakan menggantung longgar di lehernya, nyaris meluncur jatuh.
Ia tidak berbicara, tidak juga melawan. Tenebrist hanya berdiri perlahan, gerakannya lamban dan penuh keengganan. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah semua emosi telah terkuras habis. Ia hanya mengikuti penjaga itu seperti bayangan yang dipaksa bergerak oleh cahaya.
Lorong yang mereka lewati sedikit panjang dan sempit, diterangi oleh lentera kecil yang tergantung di dinding-dinding batu. Cahaya temaram menciptakan bayangan gelap yang menari di sepanjang jalan, membuat suasana semakin suram. Tenebrist tidak memperhatikan sekelilingnya. Langkah kakinya terasa otomatis, seperti tubuhnya berjalan tanpa jiwa. Ia bahkan tidak menyadari kapan ruangan di sekelilingnya sudah menjadi cerah, kapan ia menuruni tangga spiral yang dingin, kapan ia melewati aula yang kosong, atau kapan ia tiba di lantai satu. Semua terasa seperti mimpi buram yang kabur.
Tanpa disadari, penjaga itu telah membawanya ke sebuah halaman besar di tengah kerajaan elf. Udara di halaman itu terasa berbeda—lebih segar, meski tidak sepenuhnya menghapus kepenatan yang membebani Tenebrist. Halaman yang luas terbentang, diselimuti oleh rerumputan hijau yang menyejukkan mata. Pemandangan ini seakan mengundang ketenangan, meskipun suasana yang tercipta jauh dari kesan damai. Pilar-pilar penyangga bangunan, kokoh dan megah dengan ukiran rumit khas elf, terletak di pinggir halaman, jauh dari pusatnya, seolah menjaga agar pusat perhatian tetap pada sesuatu yang lebih penting. Pasukan-pasukan elf berdiri tegap di kedua sisi halaman, mengenakan armor kebanggaan mereka, barisan mereka terorganisir dan serasi, namun ketegangan di udara begitu terasa.
Mereka menghadap ke celah di tengah, sebuah ruang yang sengaja terbuka, memberi jalan bagi Tenebrist. Mata mereka tertuju pada celah itu, tidak ada gerakan yang sia-sia. Hanya diam yang tersisa, seakan mengamati setiap langkah Tenebrist. Penjaga elf, yang daritadi bersama Tenebrist, dengan penuh wibawa menuntun Tenebrist melewati celah di tengah barisan pasukan. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, tetapi tanpa suara, tanpa ekspresi yang jelas selain ketegasan.
Tenebrist akhirnya sampai di tengah, di mana semua mata pasukan terfokus padanya. Suasana semakin tegang, angin berhembus lembut, tetapi di dalamnya ada perasaan berat yang menyelimuti halaman. Tak ada yang berkata, tak ada yang bergerak. Semua menunggu.
Lyra, yang telah mengenakan armor kebangsaan Elf juga tetapi dengan strip emas berbentuk V di bahu, muncul dari barisan, bersama penasihatnya yang mengenakan armor yang sama, namun dengan busur panah di belakang dan pistol sihir di pinggang. Dengan langkah mantap, mereka berdua bergerak mendekati Tenebrist. Wibawa yang luar biasa terpancar dari Lyra, mengukir jejak yang pasti dan penuh otoritas. Sesampainya di depan Tenebrist, elf penjaga yang sebelumnya menuntunnya, memberikan gerakan hormat yang tegas, lalu berbalik tanpa kata, kembali ke barisan.
Tersisa Tenebrist, Lyra, dan penasihat Lyra di tengah halaman yang dipenuhi ketegangan. Di belakang barisan, Stark dan Elijah berdiri dengan cemas, mencoba sebaik mungkin untuk melihat apa yang sedang terjadi. Elijah tidak kesulitan karena tubuhnya yang tinggi, namun Stark harus berjinjit, meski matanya tetap fokus pada apa yang sedang berlangsung. Penuh rasa ingin tahu, ia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Jangan bantu Tenebrist. Begitulah satu-satunya syarat dari Lyra. Hingga saat itu mereka masih tidak tahu apa yang akan terjadi.
Lyra mendekatkan kepalanya perlahan ke arah Tenebrist, lalu berbisik dengan suara yang hampir tak terdengar, "kumohon, buktikan aku salah." Sebuah cahaya kecil, hampir tak terlihat, berpendar di wajah Tenebrist, seolah pikirannya mulai kembali ke dalam dirinya, namun sebagian besar dari dirinya masih terperangkap dalam kehampaan.
Tanpa diduga, salah seorang prajurit elf mendekat dengan gerakan tegas. Ia menyerahkan tongkat panjang tanpa ujung runcing kepada Lyra—tongkat andalan Tenebrist—lalu kembali ke barisan tanpa sepatah kata. Lyra mengambil tongkat itu, lalu menyerahkannya kepada Tenebrist. Tanpa berkata apa-apa dan dengan sedikit keraguan, Tenebrist menerima tongkat itu, matanya tetap tertunduk, tubuhnya tetap diam.
Lyra melangkah mundur sejenak, lalu dengan suara lantang dan tegas, ia mengumandangkan kata-kata yang menggema di udara, "Tenebrist sekarang akan diberikan kesempatan untuk dipercaya!" Suaranya memecah kesunyian, begitu jelas dan penuh wibawa. "Apa yang kalian lihat akan menjadi saksi nyata apakah Tenebrist adalah ancaman atau bukan. Sampai semua ini berakhir, jangan ada yang mengganggu!" Suaranya seperti pedang yang tajam, menggantung di udara dan menuntut perhatian.
Setelah perintah Lyra yang menggelegar menguap di udara, dia berbalik dan menghadap penasihatnya. Dengan ekspresi yang sedikit cemas namun penuh harapan, Lyra berbisik, "Aku harap ini berhasil." Suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh beban. Tanpa menunggu lebih lama, Lyra meninggalkan mereka berdua, kembali ke barisan, membiarkan penasihatnya melanjutkan tugasnya.
Penasihat itu, yang sebelumnya berdiri di samping Lyra dengan wibawa, kini maju dengan langkah pasti menuju Tenebrist. Dengan tangan yang sedikit gemetar namun tetap teguh, ia membentangkan tangannya ke arah Tenebrist. Tak lama kemudian, sebuah cahaya terang muncul dari pergelangan tangan kanannya, lebih tepatnya dari fatum miliknya, yang bersinar dengan intensitas yang tak bisa dipandang langsung. Cahaya itu seakan melesat menembus udara, menghasilkan hempasan energi yang kuat, seperti sinar laser yang memancar lurus menuju Tenebrist.
Tenebrist, yang tidak siap dengan serangan tersebut, terpental beberapa langkah ke belakang, tubuhnya terjatuh ke tanah dengan keras. Ia terkejut, tetapi sebagian kecil dirinya tetap dalam keadaan pasrah. Dalam benaknya, ia memikirkan bahwa mungkin ini saatnya ia dieksekusi, atau mungkin disiksa di depan umum. Namun, seiring waktu berjalan, pikirannya mulai mengabur. Perasaan kosong menyelimuti dirinya, dan ia mulai tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi. Tak ada harapan yang tersisa, hanya kebingungan.
"Bangun! Lihat aku!" suara penasihat itu memecah keheningan, tegas dan penuh perintah. Tanpa banyak perlawanan, Tenebrist berusaha untuk menanggapi, namun tubuhnya terlalu lemah, pikirannya terlalu kacau. Ia hanya terdiam di tanah, masih belum bisa mengangkat tubuhnya.
"Apakah kau ingat denganku?" tanya penasihat itu lagi, suaranya semakin tegas, seakan memaksa Tenebrist untuk memberi reaksi. Namun, Tenebrist hanya terdiam. Matanya menatap penasihat itu dengan pandangan kosong, mencoba memproses kata-kata yang keluar, namun tak ada pemahaman yang muncul. Setelah beberapa saat, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan.
Penasihat itu terdiam sejenak, merenung, sebelum akhirnya berbalik dan menghadap Lyra, yang kini kembali bergabung dengan barisan pasukan. Dengan gerakan tegas dan hormat, ia memberikan salam kepada Lyra seraya berkata, “izin!” Lyra membalasnya dengan anggukan. Tak ada kata-kata, hanya sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa perintah telah diterima.
Kembali menghadapi Tenebrist, penasihat itu menyatakan dengan suara keras dan penuh otoritas, "Bangun! Kalau kau tidak ingin dieksekusi di sini, segera bangun!" Tenebrist terlalu putus asa untuk menyadari nada berharap di balik kata-kata tegas si penasihat. Dirinya masih terperangkap dalam kekosongan, tidak mampu menguasai tubuhnya yang kaku dan pikiran yang berantakan.
Dengan langkah cepat dan gerakan yang tak terduga, penasihat itu sudah berada di samping Tenebrist. Dengan tangan yang penuh keyakinan, ia mengeluarkan pistol sihir dari pinggangnya, menodongkannya tepat di samping kepala Tenebrist. "Kau lambat!" serunya, dan tanpa ampun, ia menembakkan pistol sihir itu. Cahaya putih kehijauan dari pistol itu melesat cepat, menembus kepala Tenebrist dengan bunyi letusan yang keras, memecah kesunyian yang mencekam.
Tenebrist terjatuh tak bernyawa, tubuhnya tergeletak kaku di tanah, darah mengalir dari luka tembakan di kepalanya. Semua orang terdiam, bahkan angin seakan berhenti berhembus. Stark dan Elijah, yang sejak awal berdiri di barisan belakang, terkejut luar biasa. Mereka menyaksikan kejadian itu dengan mata terbuka lebar, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Wajah mereka tercengang, Stark dipenuhi amarah, dan ada rasa ngeri yang memenuhi dada mereka. Tetapi tidak ada satupun dari mereka yang beranjak.
“Kau melihat ini, Elijah?” Tanyanya memastikan, wajahnya tampak sangat geram. Elijah mengangguk tanpa menoleh. Masih tersimpan kengerian atas kejadian yang baru dilihatnya.
“Sepertinya ini yang dimaksud Lyra dengan mempercayakan pada si penasihat dan tindakan Tenebrist.” Kata Elijah pelan. Meskipun sejujurnya ia merasa ini sangat mengerikan.
"Ini terlalu mengerikan! Aku tidak bisa diam saja!" Stark tahu ia tidak boleh membantu Tenebrist, tetapi ia juga merasa tidak bisa berdiam diri saja. Maka ia mencoba meninggalkan barisan.
Penasihat itu terdiam sejenak, merenung, sebelum akhirnya berbalik dan menghadap Lyra, yang kini kembali bergabung dengan barisan pasukan. Dengan gerakan tegas dan hormat, ia memberikan salam kepada Lyra seraya berkata, “izin!” Lyra membalasnya dengan anggukan. Tak ada kata-kata, hanya sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa perintah telah diterima.
Kembali menghadapi Tenebrist, penasihat itu menyatakan dengan suara keras dan penuh otoritas, "Bangun! Kalau kau tidak ingin dieksekusi di sini, segera bangun!" Tenebrist terlalu putus asa untuk menyadari nada berharap di balik kata-kata tegas si penasihat. Dirinya masih terperangkap dalam kekosongan, tidak mampu menguasai tubuhnya yang kaku dan pikiran yang berantakan.
Dengan langkah cepat dan gerakan yang tak terduga, penasihat itu sudah berada di samping Tenebrist. Dengan tangan yang penuh keyakinan, ia mengeluarkan pistol sihir dari pinggangnya, menodongkannya tepat di samping kepala Tenebrist. "Kau lambat!" serunya. Tetapi Tenebrist segera berguling untuk menghindar. Ia masih tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi ia menolak untuk semudah itu dibunuh.
Meskipun pikiran Tenebrist masih dipenuhi kebingungan, nalurinya yang terlatih tak bisa diabaikan. Ia menolak untuk menyerah begitu saja, tubuhnya merespon dengan gesit, dan dalam sekejap, ia sudah kembali berdiri dalam kuda-kuda siap bertarung.
Penasihat itu, yang masih berdiri dengan pistol sihir di tangan, melangkah maju dengan ketegasan yang sama. Tanpa ragu, ia melepaskan tembakan bertubi-tubi ke arah Tenebrist, setiap ledakan angin itu memecah keheningan di sekitar mereka. Tenebrist berlari, melompat, dan menggeliat dengan gerakan gesit, mencoba menghindari peluru yang menyasar tubuhnya. Namun, tidak semuanya bisa dihindari. Beberapa tembakan menghantam tepi lengannya, menembus pakaian dan menyisakan luka terbuka. Darah mengalir, namun Tenebrist tak membiarkan rasa sakit itu menguasainya.
Dengan tekad yang lebih kuat, Tenebrist bergerak maju, menatap penasihat itu dengan mata penuh fokus. Tongkat kayunya yang biasa ia gunakan sebagai alat pendukung, kini berubah menjadi senjata mematikan di tangannya. Dengan kecepatan luar biasa, ia menyerang, meninjukan tongkatnya dengan gerakan cepat, disertai dengan tipu daya yang sulit diprediksi.
Gerakan Tenebrist sangat mengalir, seperti tarian bertempo cepat, seolah setiap langkah dan ayunan tongkatnya adalah bagian dari rutinitas yang sudah terlatih. Ia berputar di udara, menggunakan momentum untuk memutar tongkatnya dalam sebuah gerakan memutar yang membuat penasihat itu sulit untuk menangkis serangan. Tongkat kayu itu bergerak dengan lincah, mengarah ke bagian-bagian tubuh si penasihat yang tak terlindungi, menyelipkan serangan dengan kecepatan yang sulit diikuti.
Ketika si penasihat berusaha menangkis dengan tangannya, Tenebrist melakukan tipu daya yang sempurna. Ia melambungkan tongkatnya ke atas seolah-olah akan menyerang dari arah atas, namun tiba-tiba, ia mengganti arah serangannya dan menargetkan sisi tubuh si penasihat dengan serangan mendatar yang tajam. Serangan itu mengenai sisi tubuh si penasihat dengan keras. Penasihat itu mengeluarkan suara teredam, merasakan rasa sakit yang menusuk tubuhnya. Tenebrist menyadari bahwa si penasihat mundur beberapa langkah, menahan rasa sakit, dan berusaha mengatur jarak. Tenebrist tidak memberinya kesempatan. Ia melangkah maju dengan tekad, dan dengan satu gerakan cepat, ia menggunakan kemampuan uniknya.
Dengan fokus penuh, Tenebrist memusatkan energi di dalam dirinya, menciptakan doppelganger si penasihat, lengkap dengan senjatanya. Doppelganger itu berdiri dengan tangan yang siap menggenggam pistol angin dan busur panah di punggungnya, seperti bayangan yang sempurna.
Sekarang ada dua penasihat, salah satunya bergerak bersama Tenebrist. Mereka berdua menyerang dengan koordinasi yang hampir sempurna. Tenebrist menyerang dari kiri dengan tongkat kayu yang diputar cepat, sementara doppelganger, mengalihkan perhatian, melesatkan anak panah beberapa kali ke arah yang tidak vital. Penasihat asli terperangkap dalam serangan mendalam yang datang dari dua arah yang berbeda, tak dapat menghindar atau menghindari serangan tersebut.
Lyra, Stark, dan Elijah memerhatikan dengan seksama. Ketiganya tidak ada yang beranjak. Lyra sangat mengamati bagaimana Tenebrist berusaha untuk tidak memberi serangan mematikan sama sekali, meskipun banyak kesempatan terbuka. Stark dan Elijah terkagum dan merasa ada harapan. Mungkin Tenebrist harus bisa memenangkan pertarungan ini.
Si penasihat terpojok, napasnya terengah dan darahnya mulai bercucuran akibat terkena tancapan panah beberapa kali. Beberapa anak panah itu menancap di lengan dan pahanya. Tetapi sayangnya, di sisi lain, Tenebrist tidak mempunyai ketahanan tubuh yang baik, terlebih ia belum ada makan selama di penjara dan kondisi mentalnya sangat tidak stabil. Ia sudah kelelahan. Doppelgangernya perlahan mencair, dan air itu mengalir kembali ke tubuhnya. Tenebrist jatuh hampir terduduk, ia berusaha sekuat tenaga menahan dirinya agak tidak tumbang, menopang dirinya dengan tongkat.
Si penasihat mengambil pistol sihirnya, kemudian membidiknya perlahan ke arah Tenebrist yang sempoyongan. Jari telunjuknya menarik pelatuk pistol, lalu tembakan sihir putih kehijauan melesat dengan cepat, menembus jantung Tenebrist. Tenebrist tergeletak tak bernyawa.
“izin!”
Lyra membalasnya dengan anggukan. Tak ada kata-kata, hanya sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa perintah telah diterima.
Kembali menghadapi Tenebrist, penasihat itu menyatakan dengan suara keras dan penuh otoritas, "Bangun! Kalau kau tidak ingin dieksekusi di sini, segera bangun!" Tenebrist terlalu putus asa untuk menyadari nada berharap di balik kata-kata tegas si penasihat. Dirinya masih terperangkap dalam kekosongan, tidak mampu menguasai tubuhnya yang kaku dan pikiran yang berantakan.
Dengan langkah cepat dan gerakan yang tak terduga, penasihat itu sudah berada di samping Tenebrist. Dengan tangan yang penuh keyakinan, ia mengeluarkan pistol sihir dari pinggangnya, menodongkannya tepat di samping kepala Tenebrist. "Kau lambat!" serunya. Tetapi Tenebrist segera berguling untuk menghindar. Ia masih tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi ia menolak untuk semudah itu dibunuh.
Stark segera meminta tolong kepada Eljah. Ia melompat, sedikit berjongkok di udara, lalu Elijah menghempaskan tubuh Stark ke udara, melewati tengah-tengah barisan—menuju barisan di sisi berlawanan.
“TENE!” Teriaknya sambil menatap Tenebrist dengan serius ketika ia berada tepat di atas, berharap Tenebrist dapat mengerti maksud dari tindakan Stark yang singkat ini. Perbuatan itu mengalihkan pandangan seluruh orang-orang, termasuk si penasihat. Tenebrist terdiam sejenak sebelum akhirnya segera bertindak. Ia langsung menggunakan dua doppelganger, menciptakan dua buah tiruan Stark. Untungnya, Stark pada saat itu tidak mengenakan katana, jadi menciptakan dua doppelganger tanpa katana tidak langsung membuat Tenebrist pingsan, meskipun badannya langsung menjadi sangat sempoyongan dan ia benar-benar hampir tumbang. Ia bertumpu pada tongkat panjang tanpa ujung runcingnya, berusaha sebisa mungkin berdiri tegak, napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa semakin lelah setelah memanfaatkan kemampuan uniknya. Badannya terasa dingin, wajahnya pucat. Ini pertaruhan, baginya. Karena Tenebrist sudah mengeluarkan seluruh tenaganya, dan ia masih tidak tahu bagaimana Stark bertarung tanpa katana.
Begitu doppelganger Stark bergerak, itu bukan sekadar tiruan fisik. Dua doppelganger ini seperti memiliki jiwa dan amarah yang sama dengan Stark. Mereka tidak ragu, langsung melesat dengan sinkronisasi yang sangat baik, tubuh mereka meluncur cepat, bergerak dengan presisi, setiap gerakan seperti diperhitungkan dengan cermat.
Dua doppelganger Stark bergerak dengan kelincahan yang luar biasa, melompat dan berputar dalam udara, bergerak dengan kekuatan yang luar biasa, seolah setiap otot mereka bekerja dalam harmoni sempurna. Mereka tidak hanya menyerang secara acak, tetapi memiliki pola gerakan yang sangat terkoordinasi, memadukan seni bela diri dengan kecepatan yang menakjubkan.
Gerakan pertama dimulai dengan doppelganger pertama yang meluncurkan tendangan tinggi ke arah si penasihat. Tendangan itu cepat, dan dengan presisi yang luar biasa, melesat tepat menuju wajah si penasihat. Doppelganger kedua pada saat itu sudah berlari ke belakang si penasihat, maka ketika si penasihat yang masih terhuyung-huyung mencoba menghindar, ia meluncurkan tinju keras ke punggung si penasihat. Tubuh si penasihat terhuyung, kehilangan keseimbangan, tetapi dalam detik yang sama, kedua doppelganger Stark terus berkoordinasi.
Doppelganger pertama memutar tubuhnya dengan lincah, memanfaatkan momentum untuk menghantam sisi tubuh si penasihat dengan tendangan berputar yang memekakkan telinga. Si penasihat terhempas, hampir terjatuh, namun ia berusaha bangkit dengan gerakan terburu-buru. Namun, doppelganger kedua, dengan satu langkah cepat, menghampiri si penasihat dan mendorongnya dengan kekuatan luar biasa, mencekik leher si penasihat dengan cekikan yang membuat si penasihat kesulitan bernapas. Mereka tidak berhenti di situ. Saling berkoordinasi, doppelganger pertama melompat dan mengarahkan tendangan lutut yang mematikan ke kepala si penasihat, sementara doppelganger kedua, yang sedang mencekik, segera bergerak cepat untuk memberikan tendangan sapuan ke arah kaki si penasihat, membuatnya terbanting ke tanah. Doppelganger pertama mengangkat tubuh si penasihat, lalu membantingnya lagi ke tanah. Doppelganger kedua, sebelum si penasihat terbanting, telah siap dengan sikunya. Ia langsung menghantamkan siku itu ke tulang rusuk si penasihat sekuat tenaga, bersamaan dengan terbantingnya si penasihat. Semua gerakan mereka dilakukan dengan sangat sinkron, seolah keduanya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Setiap pukulan, setiap tendangan, setiap bantingan dilakukan dengan presisi tinggi. Penasihat itu berusaha melawan, tetapi tidak bisa mengimbangi kecepatan dan kekuatan serangan dua doppelganger yang begitu lincah dan terlatih. Setiap serangan dari kedua doppelganger itu tidak hanya bertujuan untuk menyerang, tetapi juga untuk mengecoh, mengalihkan perhatian si penasihat, agar serangan berikutnya bisa lebih mematikan.
Di tengah-tengah pertarungan yang begitu cepat dan penuh tekanan ini, Tenebrist yang masih bertahan di posisi semula merasa tubuhnya semakin berat. Setiap detik yang berlalu, ia harus menopang tubuhnya dengan tongkatnya yang kini semakin rapuh. Tenebrist tahu bahwa jika ia terjatuh, maka kedua doppelganger Stark yang luar biasa ini akan hilang, dan mereka akan kehilangan kesempatan untuk melawan si penasihat yang sudah sangat terpojok.
Elijah terperangah melihat ini. “Kau… mengerikan, Stark.” Katanya kepada Stark yang ternyata sedari tadi masih di sebelahnya, tidak beranjak. Stark tidak menoleh, ia tetap menatap ke adegan pertarungan mengerikan di depannya.
“Bukan aku, tetapi Tenebrist yang mengerikan.” Katanya kemudian. Meskipun di balik tatapannya yang juga terperangah, ada terlihat kepuasan di dalamnya. Ia tahu doppelganger itu berhasil mewakili amarahnya, meskipun bukan ke arah yang tepat.
Tenebrist berdiri dengan tubuh yang gemetar, berusaha sekuat tenaga untuk tetap bertahan. Ia menggunakan tongkat kayunya sebagai penopang, menahan tubuhnya yang mulai kehilangan kekuatan. Dengan napas yang berat, ia melihat pertarungan di depannya dengan mata yang penuh konsentrasi, tetapi tubuhnya mulai kehabisan energi. Keringat mengalir di wajahnya, tetapi ia tetap bergeming. Setiap detik ia berusaha menstabilkan dirinya, memastikan bahwa kedua doppelganger Stark dapat terus melanjutkan pertarungan tanpa kehilangan kendali. Pandangannya mulai kabur, matanya mulai sesekali terpejam. Suara di sekelilingnya mulai hilang.
Di saat-saat yang penuh ketegangan ini, doppelganger Stark melanjutkan serangan tanpa ampun. Mereka menyerang si penasihat dengan serangkaian pukulan yang semakin kuat dan tak terduga, membuat si penasihat terdesak. Tetapi bagi Tenebrist, ini sudah seperti bayang-bayang samar. Ia tidak sanggup lagi menahan dirinya tetap terjaga. Ia perlahan tersungkur, jatuh pingsan. Wajahnya sangat pucat, disertai keringat dingin.
Si penasihat, dengan luka yang sangat banyak dan sebagian tulangnya patah, berdiri sempoyongan. Ia perlahan membidikkan pistol sihir miliknya, melesatkan peluru sihir menembus Tenebrist. Lagi, Tenebrist terkapar tak bernyawa.
“izin!”
Lyra membalasnya dengan anggukan. Tak ada kata-kata, hanya sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa perintah telah diterima.
Kenyataannya, Tenebrist dan si penasihat hanya berdiam diri, dengan tangan si penasihat tetap terbentang mengarah ke Tenebrist. Tetapi ada adegan, semacam rekayasa, yang mereka semua—kecuali Tenebrist dan si penasihat—bisa lihat.
Skenario pertarungan yang berbeda terjadi terus menerus, berkali-kali. Setiap skenario yang terjadi, sebagus apapun keadaan awalnya, selalu berakhir dengan Tenebrist yang terkapar tak bernyawa. Stark tahu ia tidak boleh membantu Tenebrist, tetapi pemandangan yang ia lihat sungguh mengerikan.
Ini bukan kesempatan untuk dipercaya, batinnya, ini eksekusi publik berkali-kali
Setiap kali si penasihat berteriak lantang, “izin!”, bulu kuduk Stark berdiri karena amarah dan karena takut akan kengerian yang ia akan lihat. Awalnya ia optimis bahwa Tenebrist dapat melewati ini, tetapi semakin skenario yang berbeda terulang berkali-kali, semakin ragu dan putus asa Stark. Entah sudah berapa kali Tenebrist mati. Meskipun bagi Tenebrist semua kejadian sebelumnya seperti tak pernah terjadi, tetapi Stark melihat dengan jelas seluruh perjuangan, pengorbanan, dan perencanaan Tenebrist. Ia melihat dengan jelas Tenebrist yang terkapar tak bernyawa berkali-kali.
“Izin!”
Lagi, suara itu lagi. Stark semakin muak mendengarnya. Tolong, hentikan. Elijah, tetap berdiri tegak di sebelahnya, menggenggam bahu anak muda itu dengan sangat tanpa memandangnya. Seolah ia ingin menyampaikan bahwa ia sangat mengerti perasaan Stark, seolah ia juga ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan ini. Kejadian ini semakin lama semakin mengerikan. Ia pun tidak tahan melihat ini semua.
Doppelganger Tenebrist terjatuh ke tanah, perlahan menjadi cairan. Cairan itu perlahan mengalir kembali ke tubuh Tenebrist. Ia telah kehilangan satu lengannya akibat terkena tembakan pistol sihir. Napasnya terengah, tubuhnya terhuyun-huyun. Kemudian dia berteriak.
“Maafkan aku yang tidak mengingatmu!” Katanya. Si penasihat tidak langsung menembak. Tenebrist menatapnya dengan tatapan takut, bingung, sedih, marah, bercampur jadi satu.
“Kalau ada perbuatanku yang melukaimu, aku sungguh minta maaf,” Katanya, masih cukup lantang, “tetapi aku memang tidak ingat kamu!”. Lanjutnya. Tubuhnya bergetar, kata-kata itu seperti mengambil sisa energi yang dimiliki Tenebrist. Ia jatuh pingsan. Si penasihat tadi hampir meneteskan air mata, sungguh kau tidak pernah melukaiku sedikitpun, batinnya. Ia membidik pistol sihirnya ke arah Tenebrist yang sudah tak sadarkan diri, memejamkan matanya, kemudian menembakkan pistol itu.
“Izin!”
“CUKUP!” Suara Lyra terbentang dengan sangat nyaring dan tegas. Matanya tak begitu terlihat, kepalanya menunduk. Sangat samar, tidak ada satupun yang menyadari, terdengar suara isakan tangis sekali. Ia menarik napas panjang, berusaha menguasai dirinya, kemudian akhirnya berjalan ke depan barisan, menghampiri si penasihat dan Tenebrist. Bagi Tenebrist, Lyra baru saja kembali ke barisan. Ia tidak mengerti kenapa Lyra tiba-tiba berteriak ‘cukup’. Lyra tetap menghampiri Tenebrist tanpa berkata-kata. Perasaan Tenebrist, yang semula merasa putus asa selama di penjara, berubah menjadi rasa bingung dan heran. Ketika sudah sampai di depan Tenebrist, Lyra berhenti sejenak sebelum ia akhirnya dengan cepat menarik tubuh gadis itu ke pelukannya. Tenebrist masih memancarkan wajah tak mengerti. Sementara Lyra memeluknya dengan sangat erat, dan ia pasti sudah akan menangis sekarang apabila tidak ada para prajurit elf. Namun dia harus menjaga wibawa, jadi dia tidak meneteskan air mata.
“Terima kasih, sudah berjuang dengan sangat baik.” Katanya perlahan seraya melepaskan pelukan. Tenebrist benar-benar bingung. Apa yang sebenarnya terjadi, ia tidak tahu. Lyra melangkah mundur dengan gerakan tegas. Ia menatap dengan pelan dan seksama, seluruh prajurit di sisi kiri dan sisi kanan. Ia menarik napas dalam-dalam
“Apa yang kalian lihat adalah skenario masa depan dari fatum penasihatku!” Katanya dengan lantang.
“Skenario itu tidak pernah sama, memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di masa mendatang!” Lanjutnya. Di dalam skenario yang berbeda-beda itu, selalu mengisahkan akhir yang sama. Tenebrist mati tak bernyawa.
“Bahkan, ada satu skenario dimana gadis ini meminta maaf karena tak mengingat wajah si penasihat! Sebuah pemikiran yang tidak mungkin dipikirkan oleh orang jahat, di ujung nyawanya.” Lyra masih tidak kehilangan ketegasannya, meskipun kali ini ada sedikit nada lirih. Dia menambahkan, dalam skenario itu, berkali-kali Tenebrist mempunyai kesempatan, yang sangat jelas, untuk membunuh lawannya. Tetapi dia tidak melakukannya. Dia bahkan repot-repot berusaha menghindari area vital si penasihat.
“Apakah itu tindakan orang jahat?” Lyra melantangkan suaranya lagi, kali ini sudah tanpa kelirihan. Ia berhenti sejenak, mengatur napasnya beberapa kali. Dia lanjut menambahkan, bahwa Tenebrist tidak menyadari bahwa dia berada di dalam pengaruh fatum si penasihat. Kalau Tenebrist memang jelmaan Nephilim, dia pasti dengan mudah dapat kabur dari situasi ini. Lyra melangkah perlahan, membelakangi Tenebrist seperti ingin melindunginya. Tubuhnya tetap berdiri tegak.
“Dengan ini aku putuskan untuk membatalkan seluruh putusan hukum kepada Tenebrist, dan dia dinyatakan bebas!” Katanya lugas. Ia memandang satu-satu barisan di sisi kiri dan kanan. Semua tampak diam. Ia menoleh ke arah penasihat, memberikan anggukan terima kasih. Si penasihat mengangguk, memberikan gerakan hormat tegas, kemudian kembali ke barisan. Ia tidak bisa menahan senyuman penuh syukurnya.
Stark berdiri di bagian belakang barisan, tubuhnya tegap, tetapi wajahnya menunjukkan ekspresi yang tak bisa disembunyikan—perasaan cemas mendalam yang berganti dengan perasaan sangat, sangat lega. Selama ini, ia mencoba menahan kekhawatirannya, namun setiap detik yang berlalu terasa semakin berat, seolah ada beban yang semakin menekan dadanya. Mata tajamnya tidak pernah lepas dari Tenebrist, mengikuti setiap gerakan, bahkan setiap perubahan ekspresi pada wajahnya. Ada ketegangan di tubuhnya, bahunya yang sedikit terangkat menandakan ketegangan yang terpendam.
Ketika Lyra mengumumkan bahwa seluruh putusan hukum terhadap Tenebrist dibatalkan, Stark merasakan sebuah kelegaan yang seketika mengalir ke seluruh tubuhnya. Napas yang sebelumnya ia tahan dengan susah payah akhirnya terlepas, seperti sebuah beban yang akhirnya jatuh dari pundaknya. Di antara kerumunan pasukan elf, yang lain mungkin tidak merasakan apa yang ia rasakan, namun bagi Stark, ini adalah titik balik. Matanya yang sebelumnya penuh kemarahan dan kesedihan berkecamuk, kini melunak, meskipun masih ada jejak marah yang mengalir di balik tatapannya.
Tubuhnya sedikit terangkat, dan dalam satu detik yang terasa seperti keabadian, ia melangkah maju, seolah ingin melangkah lebih dekat, ingin memastikan bahwa Tenebrist aman. Ia menyeka keringat yang mulai mengalir di pelipisnya, sebuah gerakan yang tanpa sadar menunjukkan betapa beratnya perasaan yang ia pendam. Wajahnya yang biasanya semangat dan penuh tekad kini menunjukkan sebuah kelembutan, meskipun hanya sekejap. Kemeja biru longgarnya basah akibat keringat yang sedari tadi mengalir karena emosi. Dalam hati, ia merasa marah—marah pada situasi yang hampir merenggut nyawa Tenebrist, marah pada ketidakpastian yang terus menghantui mereka seiring diulang-ulangnya skenario dari fatum tadi. Namun, di atas semua itu, ada rasa lega yang mendalam, seolah langit yang gelap akhirnya menunjukkan sedikit cahaya.
Stark menatap Tenebrist yang masih berdiri di sana, dengan ekspresi penuh rasa lega, namun juga penuh keinginan untuk melindunginya lebih jauh. Meski mereka belum begitu dekat, perasaan itu semakin tumbuh kuat di dalam dirinya, dan kini ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia akan melindungi Tenebrist, tidak peduli seberapa besar tantangan yang mereka hadapi. Matanya masih tertuju pada Tenebrist, yang tampak kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi. Kelegaan yang begitu dalam mengalir di tubuh Stark, namun ia tidak bisa menahan diri untuk mendekati Tenebrist dengan langkah cepat.
Namun, sebelum Stark sempat mengatakan sesuatu, Tenebrist memiringkan kepalanya, wajahnya datar, tidak menunjukkan reaksi apapun yang mengarah pada pemahaman situasi yang baru saja terjadi. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada saat itu.
"Jadi... aku bebas?" tanya Tenebrist, suaranya datar seperti biasa. Tatapannya tidak bisa menyembunyikan kebingungannya, meskipun ada kelegaan. Namun di balik itu ada sedikit nada yang terkesan sarkastik. "Hmm... rasanya terlalu mudah."
Stark yang mendekat, sejenak membeku, dan sebuah senyum kecil yang hampir tidak terlihat melintas di wajahnya. Dia memandang Tenebrist, merasa sedikit kesal dengan sikap Tenebrist yang acuh tak acuh, namun kekesalan itu segera hilang, tergantikan dengan rasa lega yang lebih besar.
"Kamu selalu seperti ini." Stark menjawab dengan suara sedikit bergetar karena tertahan, meski jelas ada tawa kecil yang bersembunyi di balik nada kesalnya. "Kamu tahu, kita hampir kehilanganmu. Jadi tolong jangan bersikap seolah kamu baru saja keluar dari toko roti."
Tenebrist hanya mengangkat alis, masih tidak terlalu mengerti. "Aku hanya bertanya. Apa yang harus kuperbuat dengan semua perhatian ini? Tidak ada yang memberitahuku apa-apa," jawabnya datar, menatap Stark dengan ekspresi yang tidak bisa dipahami.
Namun, meski Tenebrist tampak cuek dan tidak begitu peduli, Stark merasa lebih ringan. Ia hampir bisa tertawa, meski masih sedikit bingung dengan sikap Tenebrist yang begitu datar dan tidak ada ekspresi apapun. Namun, ia tahu satu hal: Tenebrist masih hidup, dan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa lega.
"Sungguh, Tenebrist," Stark berkata dengan nada bercanda, mencoba menyembunyikan kekesalan yang tadi sempat muncul. "Kamu benar-benar tidak tahu betapa besar kepedulian kita padamu, kan?"
Tenebrist melirik Stark sejenak, kemudian kembali menatap ke arah Lyra yang sudah bergabung dengan barisan, seolah dia mulai merasakan ketegangan yang telah hilang dari udara. "Aku rasa aku masih tidak mengerti semua ini. Tapi... terima kasih, mungkin?" ujarnya sambil mengangkat bahu, wajahnya masih datar. Stark tertawa pelan.
“Kau tahu, Stark tadi sempat menangis berkali-kali karena mengkhawatirkanmu.” Elijah ternyata sudah berada di dekat mereka. Ia sengaja berbicara dengan nada mengolok. Stark marah mendengarnya dan menyangkal.
“Oh… Jadi Stark, tidak khawatir?” Tanya Tenebrist. Stark kebingungan merespon. Tentu saja dia khawatir, yang dia sangkal itu adalah di bagian menangis berkali-kali. Tetapi memperjelas hal itu—bahwa dia khawatir—seperti menjadi hal yang memalukan baginya. Jadi dia kesulitan merespon dengan baik. Tenebrist tertawa kecil melihat itu.
“Aku bercanda.” Katanya kemudian, dengan senyuman tulus. Ia memang tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, tetapi sungguh, berada di penjara meskipun hanya satu hari lebih itu sangat menghantuinya. Bukan karena dipenjara, tetapi karena ketahuan ia tidak punya fatum dan tidak mengetahui nasib apa yang akan menimpanya. Khususnya, karena ia sempat mulai terbuka dan mulai percaya, tetapi kemudian ia merasa dikhianati ketika ia baru saja percaya. Tenebrist menarik napas lega. Syukurlah, batinnya. 16Please respect copyright.PENANA7qnu8QitTI