Di dalam kerajaan Elf, bangunan besar yang dulunya merupakan gudang senjata kini menjadi tempat perlindungan sementara bagi para goblin yang selamat. Ruangan itu luas, dengan dinding batu yang halus dan berwarna terang. Meskipun dulunya hanya dipakai untuk menyimpan perlengkapan perang, kini beberapa kasur dan perabotan sederhana telah ditambahkan agar lebih nyaman. Lentera-lentera kristal yang tergantung di langit-langit memancarkan cahaya lembut kehijauan, memberikan suasana hangat meskipun isinya masih cukup kosong.18Please respect copyright.PENANAf9QwLG1QAU
Elandor berdiri di tengah ruangan, memeriksa keadaan mereka satu per satu. Rambut perak-kuningnya tergerai rapi di bahunya, dan armor giok hijau yang ia kenakan bersinar samar di bawah cahaya ruangan.
Di sudut lain, Ruvak tampak sibuk mengayomi para goblin lain. Tubuhnya yang kecil—hanya setengah dari tinggi pintu—bergerak lincah, memastikan semuanya baik-baik saja. Rompi coklat yang ia kenakan tampak lebih bersih dari sebelumnya, dan rambut hitamnya, meskipun masih terpotong tidak rata, sudah tidak sekusut sebelumnya.
Para goblin lain pun mulai terlihat lebih baik. Meskipun mereka masih diliputi duka karena kehancuran ras mereka, sedikit kehangatan mulai muncul di antara mereka. Goblin-goblin tua duduk di pojok, tersenyum kecil saat melihat anak-anak goblin berlari-lari kecil di dalam bangunan. Tawa pelan terdengar, meskipun masih diselimuti kehati-hatian.
Elandor menatap mereka dengan penuh ketulusan sebelum akhirnya berkata, "Kalian diperbolehkan mengelilingi wilayah kerajaan Elf seperti rakyat elf lainnya. Tidak perlu bersembunyi lagi." Suaranya lembut, tetapi tegas.
Para goblin yang mendengar itu saling berpandangan. Beberapa menunjukkan ekspresi harapan, tetapi lebih banyak lagi yang masih ragu. Terlalu lama mereka hidup dalam bayang-bayang, bersembunyi dari dunia luar. Rasa takut dan curiga sudah mengakar begitu dalam.
Ruvak menatap Elandor dengan mata yang sulit dibaca. "Kami bersyukur untuk semua ini," katanya, suaranya tetap penuh hormat. "Tapi... kepercayaan itu butuh waktu. Kami sudah terlalu lama hidup dalam persembunyian."
Elandor mengangguk paham. "Aku mengerti. Jika ada yang kalian butuhkan, katakan saja. Aku akan berusaha membantu."
Namun, Ruvak menggeleng pelan. "Kami sudah sangat terbantu. Setidaknya biarkan kami mencoba mengurus diri sendiri. Jika kami ingin diterima, kami juga harus bisa mandiri... agar tak menjadi beban."
Elandor menatapnya beberapa saat, lalu tersenyum tipis. "Baiklah."
Tanpa banyak bicara lagi, ia berbalik dan melangkah keluar dari bangunan itu. Ada sesuatu yang harus ia pastikan—kejanggalan yang Lyra bicarakan tentang Syslodia. Sayangnya, ia tidak tahu bahwa Lyra dan yang lainnya kini berada dalam tahanan ras Troll, jauh dari kebebasan yang ia janjikan pada para goblin.
Di tempat lain—di dalam ruangan tempat Tenebrist, Stark, dan Elijah ditahan—udaranya begitu pengap dan suram, penuh dengan aura kasar yang mencerminkan sifat troll yang tak terlalu peduli pada keadilan seperti yang dipahami ras lain. Bangunan ini tidak dibuat dengan pertimbangan kenyamanan atau peraturan yang ketat—melainkan hanya sebagai tempat menahan siapa pun yang dianggap bermasalah.
Dindingnya terbuat dari batu hitam kasar, penuh guratan dan goresan seperti bekas cakaran. Di beberapa bagian, lumut gelap merayap naik, menyebarkan aroma lembab bercampur bau besi tua. Langit-langitnya rendah dan berat, seakan menekan siapa pun yang berada di dalamnya. Tidak ada jendela. Cahaya remang-remang berasal dari obor yang menyala redup di sudut lorong, nyalanya bergetar seiring hembusan angin datang entah dari mana.
Sel-sel tahanan dipisahkan oleh jeruji besi tebal yang ditempa kasar, bercampur dengan rantai-rantai besar yang bergantungan di beberapa titik. Di seberang ruangan, ada tahanan troll lainnya—beberapa terlihat babak belur, mungkin dihukum oleh sesama troll atau ditangkap karena alasan yang tidak jelas. Salah satu troll yang dikurung memiliki satu mata yang tertutup luka dalam, sementara yang lain terduduk diam, seperti menyerah pada nasibnya.
Tenebrist, Elijah, dan Stark berada di satu sel yang sama. Senjata mereka telah disita, membuat perasaan mereka semakin buruk.
Tenebrist duduk bersandar pada dinding batu, kedua matanya terus menerawang, pikirannya bekerja tanpa henti. Ia tahu mereka tidak bisa menunggu begitu saja. Mereka harus keluar.
Stark mondar-mandir dengan wajah tegang, masih diselimuti kemarahan. "Sial! Ini semua tidak masuk akal!" Ia menggebrak jeruji dengan tinjunya, meskipun ia tahu itu tidak akan berpengaruh. "Kenapa kita malah jadi tahanan?!"
Elijah duduk dengan lebih tenang, meskipun matanya tajam dan penuh kewaspadaan. "Aku tidak tahu," katanya pelan, "tapi ada kemungkinan mereka hanya ingin memastikan kita tidak bermaksud jahat. Jika mereka menyadari bahwa kita tidak punya niat mengusik wilayah mereka, mungkin mereka akan melepaskan kita."
Stark mendengus. "Itu kalau mereka mau berpikir dengan akal."
Tenebrist menghela napas. "Aku tidak mau bertaruh dengan kemungkinan itu." Ia menegakkan tubuhnya, menatap pintu sel dengan saksama, lalu beralih ke Elijah. "Kau pikir, kau bisa menjebol pintu ini?"
Elijah memperhatikan jeruji itu dengan seksama. "Aku bisa mencoba... Tapi pintu ini tebal. Dan meskipun aku bisa mematahkannya, pasti akan menimbulkan suara. Para penjaga akan langsung datang."
"Itulah sebabnya itu pilihan terakhir," kata Tenebrist. "Tapi jika keadaan memaksa, kita harus keluar paksa, segera mencari Lyra, lalu kabur."
Stark berhenti berjalan dan menatap Tenebrist dengan ekspresi penasaran. "Tene, kau tahu dari mana Lyra mendapatkan catatan itu?"
Tenebrist menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Waktu itu, Lyra tiba-tiba bergegas mengambil bukunya, dan catatan itu sudah ada di sana." Mata hijau cerahnya menatap lantai, mencoba mengingat setiap detail. "Mungkin catatan itu sudah lama tersimpan di dalam bukunya, atau mungkin berasal dari tempat lain lalu ia letakkan di sana pada saat itu."
Elijah menyipitkan mata. "Itu berarti ada kemungkinan Lyra sendiri tidak sadar sejak kapan ia memilikinya."
Tenebrist menundukkan kepala, pikirannya semakin berputar. Tidak ada yang masuk akal. Tidak ada yang pasti. Dan semakin lama mereka diam di sini, semakin besar kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi pada Lyra.
"Kita tidak bisa menunggu terlalu lama," gumamnya pelan. "Kita harus menemukan celah untuk keluar sebelum terlambat."
Hawa di ruangan semakin menekan, seakan dinding batu hitam yang kasar itu semakin merapat, menyerap oksigen, membuat napas terasa berat. Lorong-lorong di luar sel mereka sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan—melainkan sunyi yang membuat setiap suara kecil terdengar seperti ancaman. Setetes air jatuh dari langit-langit, suara gemanya memanjang di antara jeruji besi yang dingin.
Elijah berusaha menenangkan pikirannya, tetapi kesunyian ini hanya memperburuk keadaan. Tangannya terkepal di atas pahanya, dan matanya menatap lurus ke lantai. Ia mencoba fokus pada sesuatu yang lain, apa pun selain pikiran yang mulai menguasai dirinya. Namun, tak bisa dipungkiri—ia khawatir. Perasaan itu datang seperti gelombang, merayapi pikirannya dengan semakin kuat. Ia tahu sejarah yang pernah terjadi antara troll dan elf. Ia tahu betul bagaimana kebiadaban troll kepada ras elf; kepada Lyra, kepada ibunya, kepada banyak rakyat elf yang terbantai tanpa belas kasihan di masa lalu. Itu sudah tiga abad yang lalu, tetapi bagi elf, itu bukan sejarah yang usang. Itu adalah ingatan yang masih segar. Dan sekarang, Lyra ada di tangan mereka.
Elijah menarik napas dalam, tetapi bayangan masa lalu menghantamnya lebih keras. Ibunya—seorang elf yang begitu anggun, begitu cantik—direnggut kehormatannya secara brutal dalam kekejaman perang. Dari situ, ia lahir. Setengah troll, setengah elf—makhluk yang tidak diterima di dunia mana pun. Hasil dari kehancuran, pengingat dari sejarah kelam yang ingin dilupakan siapa pun yang mengenalnya. Bahkan sampai dieksekusi mati demi menghilangkan aib kelam itu. Ia mengepalkan tangannya lebih erat. Tidak. Tidak boleh berpikir ke sana.
Namun, sebelum ia bisa mengalihkan pikirannya sepenuhnya, sebuah suara menghantam udara, memecah kesunyian yang mencekam.
Jeritan.
Bukan sembarang jeritan—itu suara Lyra.
Elijah tersentak, tubuhnya menegang seketika. Suara itu terdengar dari kejauhan, teredam oleh dinding tebal dan lorong-lorong batu, tetapi cukup jelas untuk menusuk masuk ke dalam kesadarannya. Stark langsung berdiri, napasnya memburu. "Itu Lyra!" Mata Tenebrist melebar, tetapi ia tidak bicara. Ia hanya menatap lurus ke depan, seakan mencoba memastikan apakah ia benar-benar mendengar hal itu atau hanya ilusi.
Namun, bagi Elijah, itu bukan ilusi. Itu nyata. Dan tiba-tiba, pikirannya kosong.
Tanpa sadar, tubuhnya sudah berdiri. Ia melangkah ke depan, napasnya berat, lalu dengan satu gerakan cepat, ia mengangkat tinjunya dan menghantam pintu sel mereka dengan kekuatan penuh. Besi tebal itu remuk dalam sekejap, hancur seperti kertas yang diremukkan oleh tangan raksasa. Debu dan serpihan logam beterbangan, sementara suara dentuman besar bergema di seluruh lorong.
Stark terkejut, tetapi hanya sesaat. Ia segera menguasai diri.
"Ikut?" suara Elijah terdengar pelan, tetapi tajam seperti mata pisau. Matanya tak berpaling, hanya sedikit melirik ke arah Stark dan Tenebrist. Ada sesuatu dalam sorot matanya—bukan sekadar kemarahan, tetapi sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang bisa membakar habis siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
Stark tak berani bicara. Ia hanya mengangguk dan segera menyusul. Tenebrist menghela napas dalam. Ia juga marah, dan ia tahu sudah tidak ada gunanya menunggu. Selain rasa cemas terhadap Lyra, mereka juga tidak punya pilihan lain—suara dentuman tadi pasti sudah mengundang prajurit troll lainnya. "Kita harus cepat," gumamnya.
Tanpa membuang waktu, mereka bertiga bergegas menyusuri lorong, bersiap menghadapi apa pun yang menunggu mereka di depan.
Lorong penjara itu remang dan luas, seperti disesuaikan oleh ukuran ras troll yang memang besar. Udara di dalamnya lembap dengan aroma logam bercampur busuk. Dinding-dinding batu kasar dipenuhi goresan tajam, coretan liar yang tampak seperti tulisan tak terbaca—mungkin bahasa troll yang hanya dipahami mereka sendiri. Ada noda hitam di beberapa sudut, entah darah lama atau kotoran yang menempel sejak bertahun-tahun lalu. Cahaya redup dari obor yang dipasang tidak merata hanya membuat bayangan mereka bergerak liar di sepanjang dinding, seakan ada sesuatu yang mengikuti di setiap langkah.
Mereka bertiga berlari melintasi lorong itu, suara langkah kaki bergema, menciptakan irama ketegangan di antara keheningan yang menyesakkan. Tidak ada tanda-tanda penjaga, seolah tempat ini bukan hanya penjara, tetapi labirin yang sengaja dibiarkan sunyi agar para tahanan kehilangan arah dan kewarasan. Tenebrist berusaha fokus, menajamkan pendengarannya. "Dari suara tadi, harusnya kita masih terus ke depan," katanya, suaranya tetap stabil meskipun napasnya memburu.
Mereka terus berlari, hingga suara jeritan Lyra terdengar lagi. Kali ini lebih dekat.
Elijah dan Stark langsung mempercepat langkah mereka, tubuh mereka melesat melewati lorong-lorong berliku. Suara itu bergema dari bagian kiri—berarti Lyra pasti ada di salah satu ruangan di sana. Tanpa ragu, Elijah mengangkat tangannya dan menghantam pintu pertama di kiri. Logamnya tertekuk dan ambrol dalam sekali pukul, tetapi ruangan itu kosong, hanya jeruji besi berkarat yang menunjukkan sisa-sisa kurungan lama.
Mereka tidak berhenti. Elijah terus menghancurkan satu per satu pintu di sepanjang dinding kiri. Beberapa ruangan kosong, beberapa lainnya berisi troll kurus kotor dengan mata merah penuh ketakutan. Mereka tidak menunggu lama untuk kabur, bergegas keluar dari sel tanpa menoleh lagi, seakan lebih memilih menghadapi kematian di luar daripada tetap terkurung di tempat ini.
Kemudian, Elijah menghancurkan satu pintu lagi—dan mereka menemukannya.
Lyra ada di sana, duduk di tengah ruangan, diikat ke sebuah kursi kayu yang hampir hancur. Tangannya terpasung di belakang punggung, tali kasar menekan kulitnya hingga berdarah. Bajunya robek di banyak tempat, memperlihatkan kulitnya yang seharusnya putih mulus kini dipenuhi luka memar dan goresan. Bekas pukulan terlihat jelas di wajahnya—pipinya bengkak, darah menetes dari sudut bibirnya. Mata kirinya... sudah tidak ada. Darah mengalir dari lobang mata itu ke pipinya, bercampur dengan keringat dan kotoran.
Dua troll besar berdiri di sampingnya. Yang satu bertubuh lebih pendek tetapi lebar, dengan tangan sebesar kepala manusia dan rahang yang tampak lebih cocok untuk menghancurkan batu daripada berbicara. Yang lainnya lebih tinggi, dengan kulit abu-abu gelap yang dipenuhi bekas luka, matanya menyipit penuh penghinaan saat menatap para penyusup yang baru saja menghancurkan pintu.
Lyra mengangkat kepalanya perlahan, matanya yang tersisa berusaha fokus. Bibirnya bergerak, tetapi suaranya terlalu lemah untuk didengar. Namun, sorot matanya mengatakan segalanya—ia sadar mereka ada di sini. Dan ia butuh mereka lebih dari sebelumnya.
Mata Tenebrist membelalak, dan Stark mengepalkan tinjunya begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Keduanya terpaku di tempat, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Marah, syok, dan jijik bercampur menjadi satu di dada mereka. Tapi sebelum mereka bisa bergerak, Elijah sudah lebih dulu melangkah maju.
Gerakannya tenang. Terlalu tenang.
Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar amarah yang menggerakkan tubuhnya. Kenangan itu kembali menyeruak—bayangan ibunya yang cantik, wajahnya yang penuh kehangatan, suara lembutnya yang selalu ia ingat... lalu teriakan kesakitannya, hukuman mati yang ia terima hanya karena melahirkan dirinya. Rasa sesak menggerogoti dadanya, tetapi tidak ada yang terlihat dari luar. Ekspresi Elijah tetap sama. Datar.
Ia sampai di hadapan troll di sebelah kiri—makhluk besar dengan rahang lebar dan mata yang penuh rasa bangga atas kekejaman yang telah mereka lakukan. Elijah mengangkat tangannya, menggenggam lengan troll itu dengan satu tangan. Seketika, ia mencengkeramnya dengan kekuatan yang tidak manusiawi.
Bunyi retakan tulang terdengar jelas. Lengan troll itu remuk dalam genggamannya.
Raungan kesakitan menggetarkan ruangan, tetapi belum sempat troll itu berbuat apa-apa, rekannya sudah bergerak, melepaskan pukulan brutal ke arah Elijah. Pukulan yang bisa menghancurkan batu itu menghantam dadanya dengan keras. Tapi rasanya... seperti memukul gunung. Elijah tidak bergerak sedikit pun.
Ia bahkan tidak menoleh saat tangannya melesat ke depan, menghantam dada troll yang baru saja menyerangnya. Benturan itu terdengar seperti dentuman besar. Mata troll itu membelalak, mulutnya terbuka seolah hendak berteriak, tetapi yang keluar hanyalah semburan darah. Dadanya ambruk ke dalam—jantungnya hancur seketika. Makhluk besar itu limbung sebelum jatuh ke tanah, tidak bernyawa.
Troll pertama, yang masih meraung kesakitan karena lengannya yang hancur, mencoba mundur. Tetapi sebelum bisa melangkah jauh, tangan Elijah sudah mencengkram kepalanya. Satu genggaman, dan suara remuk terdengar. Darah dan serpihan tulang berceceran di lantai.
Ia tidak berhenti.
Elijah berbalik, mendekati troll yang tadi telah mati, lalu menginjak kepalanya tanpa ragu. Tengkoraknya hancur di bawah tekanan kakinya, menciptakan suara berderak yang membuat perut Stark dan Tenebrist bergejolak.
Lalu ia berbalik lagi, mendekati troll pertama yang kini telah hancur kepala dan lengannya. Elijah menghantam kakinya, mematahkan tulangnya seperti ranting kering.
Sunyi. Hanya napas mereka yang tersisa, berat dan penuh ketegangan.
Elijah akhirnya melangkah ke arah Lyra, berlutut di hadapannya, dan mulai melepaskan ikatan yang membelenggunya. Tangannya bergerak hati-hati, penuh kehormatan. Ia bisa saja mengangkat Lyra dengan satu tangan, tetapi tidak—ia ingin memperlakukannya dengan hormat. Maka ia membopongnya dengan kedua tangan, tubuhnya yang kuat menopang tubuh Lyra yang lemah tanpa kesulitan.
Tenebrist menelan ludah, mencoba mengendalikan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Dengan tangan gemetar, ia melepas syal merahnya, melangkah maju, dan menutupi tubuh Lyra yang compang-camping dengan lembut. Matanya tidak bisa lepas dari luka-luka yang menghiasi tubuh elf itu.
Elijah akhirnya membuka mulut, suaranya dalam dan tenang. "Ayo pergi."
Ia melangkah keluar ruangan tanpa menoleh.
Tenebrist dan Stark hanya bisa berdiri di tempat, menatap punggungnya. Mata mereka masih menyiratkan keterkejutan yang sama. Mereka marah—pada troll, pada kekejaman yang telah terjadi. Mereka khawatir—pada Lyra, pada kondisinya yang belum diketahui. Dan di atas semuanya, mereka... ngeri. Bukan pada troll. Bukan pada situasi. Tapi pada Elijah.
Mereka menatap satu sama lain sejenak, sebelum akhirnya, tanpa suara, mengikuti langkah Elijah keluar dari ruangan yang kini penuh dengan mayat dan genangan darah.
Elijah melangkah dengan mantap, Lyra masih dalam gendongannya. Tenebrist dan Stark berjalan di belakangnya, langkah mereka cepat dan penuh kewaspadaan. Bau darah masih melekat di udara, bercampur dengan aroma lembab dari dinding batu yang dingin. Lorong-lorong ini masih sama seperti saat mereka pertama kali dibawa masuk—gelap, berliku, dan berisi bayang-bayang yang mengintai dari setiap sudut.
Mereka tahu jalannya. Di ujung lorong ini, ada persimpangan. Mereka hanya perlu belok kanan, kembali ke tempat mereka pertama kali ditahan, dan dari sana, jalan keluar tidak jauh lagi. Apakah jalan keluar itu nantinya dihadang oleh troll lain, akan mereka pikirkan belakangan. Situasi sekarang tidak memungkinkan untuk berdiam diri dan menyusun rencana matang-matang. Apalagi sekarang jalan mereka dibimbing oleh Elijah yang, tenang, tetapi mengamuk dalam ketenangan.
Namun sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, langkah mereka terhenti.
Di depan mereka, puluhan mata berkilat dalam kegelapan. Sosok-sosok besar berdiri dalam formasi yang solid, memenuhi lorong luas yang menjadi satu-satunya jalan keluar mereka. Itu prajurit troll.
Mereka lebih besar daripada troll-troll biasa, tubuh mereka dilapisi armor kasar dari logam hitam yang tampak berat dan kokoh. Gada berduri, pedang besar, dan kapak raksasa mencengkeram erat di tangan-tangan mereka yang kekar. Sebagian dari mereka bahkan tidak memerlukan senjata—cakar tajam yang menonjol dari jemari mereka sudah lebih dari cukup untuk merobek daging dalam sekali tebas.
Dari sela-sela barisan mereka, beberapa prajurit mengangkat tangan, dan seketika api menyala di telapak mereka. Fatum api. Nyala merah-oranye itu berkilat ganas, memantulkan bayang-bayang liar di dinding batu yang gelap. Cahaya api itu menerangi wajah-wajah kasar mereka, mata mereka yang tajam mengunci ke arah empat orang di hadapan mereka—bukan dengan kemarahan semata, tapi juga keganasan. Mereka tidak berbicara. Tidak mengancam. Mereka hanya berdiri di sana, diam, menghalangi jalan, seperti kawanan pemangsa yang sabar menunggu mangsanya terperangkap.
Lorong terasa semakin menyempit. Udara di sekitar mereka memanas karena fatum api yang berkobar-kobar. Tenebrist bisa merasakan lidah apinya menjilat udara, membentuk bayangan menari di dinding. Stark menegang di tempatnya, tangannya bergerak perlahan ingin menggenggam gagang katananya, tetapi ia tersadarkan bahwa ia tidak memegang katananya. Maka ia mengatur kuda-kuda.
Elijah menatap mereka dengan tenang, tidak tergesa-gesa. Napasnya masih stabil, seolah yang menghalangi mereka bukanlah belasan prajurit troll bersenjata lengkap, melainkan sekadar tiupan angin malam. Ia melirik sekilas ke bawah, memastikan Lyra masih dalam genggamannya dengan aman.
Lalu, dari barisan troll yang menghalangi, satu di antara mereka melangkah maju.
Ia lebih besar dari yang lain, bahkan lebih besar dari troll yang telah dibunuh Elijah sebelumnya. Kulitnya berbulu gelap, nyaris hitam, dengan bekas luka yang menjalar di sepanjang lengan dan wajahnya. Satu matanya buta, tertutup oleh jaringan parut kasar. Tetapi mata satunya yang masih utuh bersinar tajam dalam nyala api.
Prajurit itu menggenggam gada berduri yang tampak jauh lebih berat daripada senjata lain yang dibawa rekan-rekannya. Ujung-ujung durinya berkilat keperakan, mungkin disertai kemampuan fatum. Ia mengayunkan senjatanya sekali, membiarkan suara anginnya mendesis tajam di udara, sebelum akhirnya membuka mulut dengan suara berat dan dalam.
"Kalian sudah cukup membuat kekacauan."
Suaranya seperti gemuruh, rendah dan bergetar di lorong yang kini sempit oleh kehadiran troll-troll itu. Ia melangkah lebih dekat, senjatanya kini menggantung di sampingnya, tetapi posturnya jelas menunjukkan bahwa ia siap menyerang kapan saja.
"Tidak ada jalan keluar," lanjutnya. "Serahkan diri kalian. Atau mati."
Cahaya api di tangan prajurit troll lainnya berkobar semakin terang, menerangi wajah-wajah mereka yang menunggu perintah.
Elijah, masih diam, mengencangkan genggamannya pada tubuh Lyra. Hening sesaat. Ia kemudian melangkah maju perlahan. Tubuhnya tegap, napasnya tetap stabil, seolah luka dan kelelahan bukanlah sesuatu yang bisa menyentuhnya. Di dalam pelukannya, Lyra terbaring tak bergerak, tubuhnya dibalut syal merah yang tersampir longgar, darahnya yang membasahi pakaiannya mulai mengering
Tiba-tiba, udara bergetar. Cahaya oranye menyala dari berbagai arah, diikuti oleh deru panas yang semakin mendekat. Fatum api melesat menuju mereka, dilemparkan oleh para troll.
Elijah berhenti.
Alih-alih menghindar, ia hanya membalikkan badannya dengan pelan, membiarkan api menyelimuti tubuhnya. Api panas itu telak mengenai punggungnya, beberapa kali, tetapi ia bahkan tidak meringis. Sorot matanya tetap sama—dingin, tak tergoyahkan. Ketenangannya sudah tidak lazim.
Dengan penuh kehati-hatian, ia menurunkan Lyra ke tanah, seakan sedang meletakkan benda pusaka yang tak ternilai. Syal merah yang membalut tubuh Lyra berkibar sedikit terkena hembusan panas, tetapi tetap menjaga tubuhnya tetap tertutup.
Barulah ia berbalik.
Dalam sekejap, sosoknya sudah berada di depan para troll.
Sebelum mereka sempat bereaksi, kepala troll yang tadi berbicara sudah remuk di tangannya, hancur seperti buah yang diperas terlalu keras. Satu tangan Elijah masih menahan fatum api yang terus ditembakkan ke arahnya, tetapi sihir itu tidak membuatnya mundur. Ia tetap melangkah maju, matanya hanya tertuju pada makhluk-makhluk di hadapannya.
Sebuah gada berduri melesat dari samping, menghantam kepalanya dengan kekuatan luar biasa. Bunyi benturan menggema keras ketika menghantam armor kepalanya, cukup untuk meremukkan tengkorak manusia mana pun.
Tetapi Elijah tidak bergerak.
Darah menetes dari pelipisnya, mengalir turun melewati dagunya, tapi ia tidak menunjukkan reaksi. Tidak ada kesakitan, tidak ada kemarahan yang meledak. Ia hanya mengangkat tangannya, mencengkram lengan troll yang memegang gada itu.
Tulang lengan itu remuk dalam genggamannya.
Troll itu meraung, tetapi raungannya terhenti ketika Elijah mengangkat tubuh besar itu dan melemparkannya ke belakang, menghantam troll lainnya. Dentuman keras menggema.
Elijah kembali melesat. Sosoknya hanya terlihat sebagai bayangan hitam sebelum ia sudah berada di hadapan troll tertinggi di antara mereka. Ia menghantam perutnya dengan satu pukulan keras. Troll itu terbungkuk, darah menyembur dari mulutnya sebelum sempat berteriak kesakitan. Elijah meraih lehernya, menggenggamnya erat, lalu dengan gerakan yang terlihat hampir malas, ia mematahkannya begitu saja.
Tubuh besar itu terkulai tak bernyawa.
Tanpa membuang waktu, Elijah melemparnya ke arah troll lain yang baru saja berusaha bangkit. Benturan itu membuat mereka kembali jatuh, menciptakan getaran yang terasa di seluruh lorong tahanan seperti labirin panjang itu.
Stark dan Tenebrist hanya bisa menatapnya sembari melindungi Lyra. Selebihnya, mereka tidak bergerak. Mereka tidak berani.
Elijah mengambil gada berduri yang tergeletak di lantai. Tangannya terangkat perlahan, matanya tetap tak berubah—hampa, tidak menunjukkan kemarahan yang seharusnya. Tetapi justru itulah yang membuat semuanya terasa lebih mengerikan.
Dalam sekejap, ia telah berada di atas tumpukan tubuh para troll dengan tangan terangkat tinggi memegang gada berduri. Ia seperti algojo yang ditugaskan untuk menghukum mati seluruh troll itu.
Ia menghancurkan mereka. Tulang belulang yang sudah hancur pun masih terus dipukulnya, daging yang sudah tidak utuh lagi tetap dicabik-cabiknya. Darah membasahi lantai, menyebar dalam genangan yang semakin melebar.
Stark dan Tenebrist masih terpaku. Itu bukan kemarahan. Itu bukan kebrutalan seorang prajurit di medan perang. Itu adalah sesuatu yang lebih gelap—lebih dingin.
Tenebrist mencoba memanggilnya, suaranya gemetar, tetapi seakan tidak sampai. Elijah tidak berhenti.
Stark yang khawatir Elijah tidak bisa kembali, tiba-tiba melesat, mencoba menghentikannya.
Tetapi sebelum ia sempat menyentuh Elijah, Elijah menepisnya. Ia terlempar jauh, tubuhnya berguling beberapa kali sebelum akhirnya menghantam dinding batu. Seakan dia hanya kerikil yang menghalangi jalan.
Elijah kembali menghantam tubuh troll-troll yang sudah tak lagi bernyawa, memastikan bahwa tidak ada yang tersisa. Dan ketika akhirnya ia berhenti, hanya merah darah yang tersisa di sekelilingnya.
Ia perlahan menjatuhkan gada di tangannya.
Tanpa menoleh kepada Tenebrist atau Stark yang baru saja bangkit, ia berbalik, melangkah mendekati Lyra.
Ia berlutut, menyentuh syal merah yang menutupi tubuh Lyra sebelum perlahan membopongnya kembali, seperti seseorang yang baru saja mengambil sesuatu yang lebih berharga dari nyawanya sendiri.
Tanpa ekspresi, tanpa suara. Ia menoleh sebentar ke arah Tenebrist dan Stark, lalu mengucapkan dua kata dengan suara yang sama dinginnya seperti sebelumnya.
“Ayo pergi.”
Keheningan yang mencekam menggantung di udara.
Elijah berdiri di tengah genangan darah, napasnya berat namun teratur. Di sekelilingnya, sisa tubuh troll yang telah ia hancurkan berserakan tanpa bentuk yang jelas—beberapa remuk, sebagian lain terlempar ke dinding lorong, meninggalkan jejak merah pekat yang masih menetes perlahan. Zirah ungunya kini nyaris tak bisa dibedakan dari daging dan darah yang menempel di setiap lekuknya.
Di kejauhan, api masih berkobar di beberapa titik, menari-nari di antara puing-puing reruntuhan yang tersisa. Bau besi, belerang, dan daging terbakar bercampur, menusuk hidung. Stark dan Tenebrist membeku di tempat. Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka—hanya tatapan yang sulit diartikan.
Stark menelan ludah, bahunya sedikit menegang. “...Gila,” gumamnya nyaris tanpa suara.
Namun, sebelum keheningan bisa semakin menyesakkan, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari balik puing yang runtuh.
Dari kegelapan lorong, seorang troll muncul, napasnya terengah-engah. Dibandingkan troll-troll yang telah mati, tubuhnya jauh lebih kurus, lebih kecil—tulang-tulangnya menonjol di bawah kulit kelabu pucat yang tampak kusam, seolah telah lama kehilangan cahaya kehidupan. Bahunya sempit, posturnya sedikit membungkuk, bukan karena kelemahan, tetapi karena kebiasaan berjalan dengan hati-hati, selalu waspada di dalam tempat ini.
Rambutnya panjang, kusut, dan dibiarkan tergerai liar, seperti tidak pernah dirawat selama bertahun-tahun. Helai-helainya yang berwarna abu-abu tua tampak bercampur debu dan noda samar yang sulit diidentifikasi. Beberapa bekas luka samar terlihat di lengannya—goresan lama, mungkin dari pertempuran atau hukuman yang pernah ia terima. Jari-jarinya panjang dan sedikit cekung, dengan kuku yang retak dan tidak terawat, menandakan bahwa ia lebih sering menggali atau meraih sesuatu daripada bertarung.
Namun, yang paling mencolok adalah matanya. Sepasang mata merah menyala yang tampak hidup meskipun wajahnya lelah. Tidak ada amarah di sana, tidak ada kebuasan seperti troll-troll penjaga lainnya. Ada sesuatu yang lebih tajam—tekad, kehati-hatian, dan harapan yang nyaris padam namun tetap menyala. Bibirnya sedikit pecah-pecah, rahangnya tirus, tetapi suaranya saat berbicara tetap memiliki bobot, dalam dan berat meski bergetar oleh kelelahan.
Pakaian kain coklatnya lusuh dan robek di beberapa bagian, menunjukkan bahwa ia telah lama menjadi tahanan di tempat ini. Sebuah kain merah usang terikat di pinggangnya seperti sabuk darurat, mungkin bekas pakaian yang ia gunakan bertahun-tahun lalu. Tidak ada senjata di tangannya, tidak ada tanda-tanda bahwa ia pernah diberi kesempatan untuk bertarung seperti troll lainnya. Namun, caranya berdiri—tegak meski tubuhnya ringkih—menunjukkan bahwa ia masih memiliki keberanian untuk bertahan hidup.
Saat ia mengambil langkah maju, napasnya masih berat, tetapi tatapan matanya tetap tajam, berusaha menyampaikan sesuatu sebelum ia kehilangan kesempatan. Ia berhenti beberapa meter dari mereka, masih menarik napas dengan berat. Kakinya sedikit gemetar, tetapi ia tidak mundur.
“Kalian...” suaranya berat, sedikit serak, tetapi ada nada mendesak dalam setiap kata yang keluar. “Kalian yang menghancurkan pintu tahananku bukan?”
Elijah menatapnya. Tatapan hijau zamrudnya begitu dingin, begitu kosong, seakan amarahnya masih belum sepenuhnya padam. Troll itu sedikit mundur selangkah, refleks menegakkan bahunya. Tapi meskipun ketakutan, ia tidak mengalihkan pandangan.
“Aku tahanan di sini, dan aku utang budi sama kalian,” lanjutnya cepat, suaranya lebih jelas sekarang. “Aku tahu jalan keluar lain. Tapi ada masalah—jalan itu tertutup api.”
Tatapan Stark sedikit berubah. Ia melirik sekilas ke arah Elijah sebelum kembali menatap troll itu dengan waspada. Tenebrist mencoba memanfaatkan kehadiran troll ini.
“Dan kau ingin kami membantumu keluar?” tanyanya, nadanya tajam.
“Ya. Sebagai gantinya, aku bisa menunjukkan di mana senjata kalian mungkin disimpan.” Troll itu ternyata sudah menjadi penghuni penjara ini cukup lama. Ia hampir mengenali seutuhnya seluk beluk tahanan ini. Termasuk jalan keluar rahasia dan ruangan dimana seluruh senjata tahanan disimpan.
Kata-kata itu langsung menarik perhatian Stark sepenuhnya. Ia menegakkan tubuhnya, napasnya seolah tertahan sesaat. Meskipun ia bisa bertarung tanpa katana, ia tetap tidak bisa terpisah dari katana itu.
“Senjata kita?” Matanya menyipit, suaranya lebih bersemangat sekarang. “Kau tahu di mana mereka?”
Troll itu mengangguk cepat, kepalanya sedikit menunduk, tetapi matanya masih memancarkan kesungguhan.
“Aku sering melihat penjaga membawa barang-barang berharga ke satu tempat. Jika kita bisa melewati jalan api itu, kita bisa sampai di sana sebelum mereka memindahkannya lagi.”
Tenebrist mengalihkan pandangannya dari troll itu ke arah Elijah. Pria itu masih diam, tetapi jelas mendengarkan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang lebih tenang dibanding sebelumnya.
Tenebrist mengambil satu langkah ke depan, suaranya lembut, tetapi penuh keyakinan.
“Elijah,” katanya, matanya menatap lurus ke arah pria setengah troll itu. “Kau bisa mengatasi api itu, bukan?”
Elijah mengangkat kepalanya sedikit, ekspresinya tidak berubah. Tapi alih-alih menjawab, ia mengalihkan tatapannya ke troll yang berdiri di depan mereka.
“Tunjukkan jalannya.” Katanya singkat. Maka berjalanlah troll itu menuntun mereka. Bukan menuju tempat mereka pertama kali di tahan, tetapi ke arah yang leibh dalam. Jauh lebih dalam. Stark dan Tenebrist sempat sama-sama menaruh rasa curiga, tetapi pilihannya sekarang adalah keluar melalui jalan masuk yang pasti akan disambut oleh lebih banyak prajurit troll, atau mencoba mempercayai troll yang menuntun mereka dan keluar melalui tempat lain serta mendapatkan senjata mereka kembali. Sudah jelas pilihan yang kedua, meskipun sama-sama beresiko.
Lorong-lorong panjang itu seperti tidak berkesudahan, entah sudah berapa kali mereka berbelok ke kiri, ke kanan, lalu ke kiri lagi. Udara semakin terasa pengap, terasa panas. Perlahan, mereka cukup susah untuk mengatur napas mereka. Kecuali Elijah. Hingga akhirnya mereka sampai ke jalan keluar berapi yang dimaksud si troll penuntun.
Lorong yang dimaksud troll itu panjang, dengan dinding batu yang mulai retak akibat suhu yang terlalu tinggi. Di tengahnya, api berkobar liar, mengisi seluruh jalur dengan gelombang panas yang menyengat. Udaranya terasa berat, membuat napas terasa sulit. Cahaya jingga menyilaukan memantulkan bayangan-bayangan goyah di dinding lorong yang sempit.
Troll itu menoleh dengan cemas. “Aku sudah mencoba melewatinya sebelumnya, tapi—” Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara retakan halus memenuhi udara. Udara yang tadinya panas perlahan berubah. Suhu menurun dengan cepat. Uap putih tipis mulai mengepul di sekitar mereka, dan seiring dengan itu, embun es mulai terbentuk di telapak tangan Elijah. Dengan satu gerakan pelan, ia mengangkat tangannya ke depan.
Dalam sekejap, hawa dingin meluncur ke lorong seperti kabut tebal yang bergerak cepat. Api yang tadinya menyala liar langsung meredup, seperti tertelan sesuatu yang jauh lebih kuat darinya. Dalam hitungan detik, yang tersisa hanyalah asap hitam yang naik ke udara, meninggalkan abu yang masih mengepulkan panas.
Elijah menurunkan tangannya, kembali membopong Lyra dengan dua tangan, lalu tanpa ragu, melangkah maju ke lorong yang kini sudah tidak lagi dihalangi api.
“Ayo pergi.” Suaranya dalam, tegas, tapi tetap datar.
Mereka tidak membuang waktu.
Ruangan di ujung lorong lebih luas dari yang mereka duga. Dindingnya dipenuhi rak besi berkarat, dan di tengahnya, berbagai peti kayu tersusun rapi. Namun, perhatian mereka segera tertuju pada satu hal: di sudut ruangan, di balik beberapa troll bersenjata berat, terdapat meja panjang tempat senjata mereka disimpan. Katananya Stark, tongkatnya Tenebrist, serta perisai dan gada milik Elijah tergeletak di sana, bahkan bukunya Lyra—tetapi mereka masih harus merebutnya.
"Senjata kita ada di sana," bisik Stark, tubuhnya menegang. Mereka berhenti cukup jauh agar tidak mengundang perhatian troll yang menjaga.
Elijah masih membopong Lyra, sementara Tenebrist mengamati para troll yang berjaga. Mereka tampak waspada, mungkin sudah mendengar suara pertempuran sebelumnya.
"Kalau kita langsung menyerang, mereka bisa menghancurkan senjata kita lebih dulu," kata Tenebrist, suaranya rendah namun tajam.
“Troll itu memiliki kesombongan. Mungkin aku bisa memprovokasi mereka agar mereka lengah dan mencoba menangkapku." Kata troll yang membantu mereka. Tetapi Tenebrist menolak ide itu.
“Aku bisa menciptakan ilusi untuk mengalihkan perhatian mereka. Tapi kita harus cepat." Jelasnya.
Elijah mengangguk dan berlutut sejenak, menurunkan Lyra dengan hati-hati ke lantai. Ia menyandarkannya ke dekat peti kayu agar tetap aman. Mata Lyra sedikit terbuka, tetapi ia masih terlalu lemah untuk bicara. Jemari Elijah mengepal sebelum ia bangkit kembali.
"Lakukan," katanya singkat.
Tenebrist mengangkat tangannya, dan dalam hitungan detik, satu sosok Elijah muncul di depan ruangan. Ilusi tersebut melangkah maju dengan gerakan mencolok, seolah menantang para troll secara langsung. Seperti yang mereka harapkan, troll-troll itu langsung bereaksi—mereka menggeram dan mengangkat senjata, bersiap menyerang ilusi tersebut.
"Sekarang!" seru Stark.
Ia melesat lebih dulu, tubuhnya bergerak secepat kilat menuju meja tempat senjata mereka berada. Salah satu troll sempat menyadarinya dan mengayunkan kapaknya, tetapi Stark dengan cekatan menunduk, berguling di lantai, lalu bangkit dengan katananya yang sudah dalam genggaman. Dalam satu gerakan cepat, ia menebas kaki troll tersebut, membuatnya terhuyung dan jatuh dengan erangan marah.
Di sisi lain, Tenebrist bergerak menuju tongkatnya. Seorang troll menghalangi jalannya, mengayunkan gada besar ke arahnya. Ia melompat mundur, nyaris tersambar, lalu dengan cepat menjulurkan tangan. Begitu jari-jarinya memegang tongkatnya, ia bisa bertarung. Ia memutar tongkatnya dengan cepat, memanfaatkan momentum itu untuk menghantam pergelangan kaki troll.
Elijah, yang kini tidak membopong Lyra, menerjang ke arah meja senjatanya. Salah satu troll mencoba menghalangi jalannya, tetapi dengan tangan kosong, Elijah justru menangkis serangan lawannya menggunakan kekuatan fisiknya. Ia menangkap pergelangan tangan troll itu, lalu memutarnya dengan brutal, memaksa senjata lawannya terlepas. Dengan satu dorongan kuat, ia melempar troll tersebut ke belakang, membantingnya ke rak besi hingga roboh.
Begitu tangannya menggenggam gagang perisai dan gadanya, atmosfer ruangan berubah. Ia berbalik, menangkis serangan yang datang dengan mudah, lalu mengayunkan gadanya dengan keras ke dada lawannya. Suara retakan tulang terdengar sebelum troll itu tersungkur tak bergerak.
Sangat samar, hampir tidak terlihat, tetapi gada dan perisai itu seperti perlahan mengembalikan jiwa Elijah.
Dengan senjata mereka kembali di tangan, keseimbangan pertempuran berubah drastis. Stark melancarkan serangan cepat, menebas lawan-lawannya dengan presisi mematikan. Tenebrist menggunakan Doppelganger Elijah untuk menahan beberapa serangan troll yang menuju ke arahnya. Elijah, dengan kekuatan fisik luar biasa, menghancurkan musuh-musuh yang serangannya dihadang oleh doppelganger.
Dalam hitungan detik, suara dentuman keras memenuhi ruangan, diikuti raungan pendek yang segera teredam. Begitu pertarungan usai, hanya ada keheningan yang tersisa. Doppelganger perlahan mencair transparan dan mengalir kembali menuju tubuh Tenebrist.
Elijah segera kembali ke sisi Lyra dan mengangkatnya ke dalam gendongannya lagi. Stark menghela napas, mengusap keringat di dahinya sebelum menoleh ke arah Tenebrist setelah mengambil buku Lyra. "Kita harus segera pergi."
Tenebrist mengangguk. Tetapi ia terlebih dahulu mengambil selembar kertas usang dari sakunya. Ia menatap troll yang telah membantu mereka. "Aku punya sesuatu yang mungkin bisa kau baca."
Troll itu mengerutkan dahi, lalu menerima kertas itu. Matanya melebar begitu melihat tulisan yang tertera di sana. "Ini... ini bahasa kami. Dari mana kau mendapatkan ini?"
"Catatan ini disita oleh prajurit troll. Untungnya, sebelum mereka mengambilnya, aku sempat menyalinnya," kata Tenebrist. "Bisakah kau menerjemahkannya untuk kami?"
Troll itu mengangguk pelan dan mulai membaca dengan suara rendah:
"Grunak-draal Vornath... Drathol thonruk gar’nath vakra. Mak’tor vul’drak, tharluk by’marr thor grolka vak’tor, nak’rath var-graal. Vorthak ragnak krossa: lok’har grolvar, thrakkar dorn, tor’drall var’koth. Lun gorrak, ka’thor mar’nak lok’reth krossa var’marr. Vornath krass’thor var’nathor. Lok’reth ka-marnath Tanar Vokh’untha."
Ia menghela napas, lalu menerjemahkan:
"Setelah penelitian panjang, dengan banyak hasil sampingan yang dianggap gagal, makhluk itu tercipta. Warnanya menarik: rambutnya menawan, tubuhnya kuat, ada tanduk di kepalanya, ekor panjang di belakangnya, dan tangannya menjadi sepasang cakar. Dia seperti kombinasi seluruh ras. Penelitian ini dilakukan di Tanah Tak Bertuan."
Tenebrist menahan napas. "Makhluk itu...?" Ia melirik Stark dan Elijah, yang juga tampak berpikir keras. Informasi ini seharusnya tentang Nephilim, atau paling tidak mengarah ke penciptaan Nephilim. Rambut menawan, tubuh kuat, ada tanduk, ada ekor. Seperti kombinasi seluruh ras. Susah utnuk mengabaikan kemungkinan bahwa ini memanglah terkait Nephilim. Tetapi bagi Stark, kata yang sangat mengundang perhatiannya adalah Tanah Tak Bertuan. Entah kenapa ia sangat yakin bahwa lokasi itu seperti mengarah ke Nameless, desanya.
Troll itu mengalihkan pandangannya dari mereka. "Kalau kalian punya lebih banyak catatan seperti ini, aku bisa mencoba menerjemahkan lebih lanjut. Tapi untuk saat ini, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak penjaga datang."
Elijah menyesuaikan genggamannya pada tubuh Lyra yang masih tak sadarkan diri karena kini ia juga memegang gadanya. Napasnya tetap teratur meskipun bebannya bertambah oleh perisai dan gada. Sementara itu, Tenebrist dan Stark sudah bersiap untuk bergerak. Mereka bisa memikirkan makna dari catatan itu lebih dalam belakangan, untuk sekarang mereka harus lanjut bergerak. Troll yang membantu mereka menoleh dengan gelisah, lalu memberi isyarat agar mereka mengikutinya.
“Lewat sini,” bisiknya, berjalan lebih dulu menyusuri lorong yang gelap.
Mereka meninggalkan ruangan penyimpanan senjata, melangkah melewati sisa-sisa pertempuran. Udara masih berbau darah dan logam panas, serta abu yang beterbangan setelah api di lorong tadi dipadamkan. Cahaya redup dari obor di dinding hanya cukup untuk menerangi jalan beberapa meter ke depan. Langkah kaki mereka terdengar bergema di sepanjang koridor sempit, diiringi suara jauh dari penjaga yang bergerak di lantai atas.
Lorong semakin menyempit dan berbelok tajam sebelum akhirnya mereka tiba di sebuah pintu besi besar yang terlihat tua, berkarat, dan penuh goresan. Troll itu meraba dinding di sampingnya, mencari sesuatu, lalu menekan sebuah batu yang tampaknya berfungsi sebagai saklar tersembunyi. Dengan suara geretak keras, pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan terowongan gelap yang lebih luas di sisi lain.
Mereka segera memasuki terowongan tersebut. Udara di dalamnya terasa lembap dan dingin, dengan dinding-dinding batu kasar yang penuh lumut. Aroma tanah basah memenuhi hidung mereka. Di kejauhan, samar-samar terdengar gemuruh air, menandakan ada sungai bawah tanah di dekatnya.
“Kita hampir sampai,” ujar troll itu pelan. “Lorong ini akan membawa kita ke luar benteng, ke jurang di sisi timur. Dari sana, kita bisa menuruni jalur setapak menuju dataran terbuka.”
Mereka terus berjalan, menjaga langkah agar tetap senyap. Tenebrist sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Setelah beberapa menit, mereka mencapai ujung terowongan. Cahaya remang-remang dari bulan yang tertutup awan menyelinap masuk melalui celah-celah di atas.
Saat mereka melangkah keluar, pemandangan di hadapan mereka mengerikan sekaligus menakjubkan. Mereka berdiri di atas tebing curam yang menghadap lembah berkabut. Di bawah sana, terlihat dataran luas yang membentang hingga ke horizon. Udara malam terasa lebih segar dibandingkan di dalam tahanan, meskipun masih menyisakan kehangatan dari siang hari yang baru berlalu.
“Kita harus turun,” kata troll itu sambil menunjuk jalur setapak yang berkelok di sepanjang dinding tebing.
Elijah mengangguk, lalu melangkah lebih dulu, tetap membawa Lyra dalam pelukannya. Stark dan Tenebrist mengikuti di belakang, sementara troll berjalan paling akhir, memastikan tidak ada yang tertinggal dan tidak ada yang menyusul. Jalan yang mereka lalui sempit dan berbahaya, dengan beberapa bagian yang nyaris runtuh. Setiap pijakan harus diperhitungkan dengan hati-hati agar tidak terpeleset ke jurang di samping mereka.
Setelah perjalanan yang terasa begitu panjang, akhirnya mereka mencapai dasar lembah. Angin berhembus lebih kencang di sini, membawa aroma rumput liar dan tanah kering. Dari kejauhan, samar-samar terlihat siluet karavan mereka yang tersembunyi di balik bukit berbatu.
“Kita harus bergerak cepat,” kata Stark, mempercepat langkahnya.
Mereka berlari melintasi dataran, sesekali menunduk untuk menghindari kemungkinan terlihat oleh penjaga yang mungkin masih mengejar. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di malam sunyi itu, bercampur dengan napas berat mereka yang kelelahan. Elijah tetap tenang, menjaga Lyra agar tidak terguncang terlalu keras di gendongannya.
Akhirnya, mereka tiba di karavan dengan tenaga fatum listrik. Salah satu penjaga yang masih tersisa di sana, seorang pria elf berusia matang, langsung menghampiri mereka dengan ekspresi terkejut.
“Nona Vedera… Apa yang terjadi?” tanyanya panik.
“Elijah, baringkan dia di dalam,” ujar Tenebrist cepat.
Elijah mengangguk dan segera masuk ke dalam karavan, membaringkan Lyra di atas tempat duduk. Cahaya putih di dalam karavan menerangi wajah Lyra yang pucat. Napasnya masih lemah, tetapi setidaknya dia masih hidup.
“Kita harus segera kembali ke kerajaan elf,” kata Stark dengan nada mendesak. “Dia butuh perawatan segera.”
Troll yang membantu mereka berdiri di ambang pintu karavan, ragu-ragu. Tenebrist menoleh padanya. “Kau mau ikut dengan kami?”
Troll itu terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Aku harus tetap di sini… masih ada yang perlu aku lakukan.”
Tenebrist menatapnya beberapa detik sebelum mengangguk. “Terima kasih. Aku Tenebrist.” Ia seperti ingin menyiratkan rasa hormat dan terima kasihnya pada troll ini dengan memperkenalkan namanya.
Troll itu menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Tholmir.” Katanya singkat.
Tanpa membuang waktu, mereka segera menaiki karavan. Karavan itu perlahan hidup, getaran listrik lembut terasa di kaki mereka, lalu karavan itu berbalik dan membawa mereka pergi dari sana, meninggalkan Tholmir yang menatap kepergian mereka. Angin malam berhembus lebih kencang, membawa rasa lega sekaligus kegelisahan. Meskipun mereka telah lolos, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab—dan bahaya yang mungkin mengintai.
Namun, untuk saat ini, yang terpenting adalah membawa Lyra ke tempat yang aman.18Please respect copyright.PENANAcu48ytqFw8