Stark dan Elijah melangkah mendekati pintu kayu tua yang menjadi gerbang menuju tempat tinggal goblin. Pintu itu terlihat usang, permukaannya retak-retak dan lapuk, seolah-olah waktu telah menggerogoti kekuatannya. Beberapa bagian kayu bahkan sudah mengelupas, menampakkan serat-serat yang rapuh. Pintu itu sedikit terbuka, hanya selebar celah yang cukup untuk membuat Stark merasa tidak nyaman. Cahaya redup dari dalam kota bawah tanah menyembul melalui celah-celah pintu, menciptakan bayangan di dinding batu yang dingin dan basah. 29Please respect copyright.PENANAHRXwoROTF2
Stark tiba-tiba merasakan bulu kuduknya berdiri, instingnya berteriak bahwa ada sesuatu yang salah. Hawa dingin yang keluar dari dalam terasa menusuk, membawa aroma besi dan kematian. Elijah, yang berdiri di sampingnya, ikut merasakan ketegangan. Matanya yang tajam menyapu sekeliling, meskipun sebetulnya ia tidak merasakan ketegangan yang persis dengan Stark. Tanpa perlu berkata-kata, keduanya mengatur kuda-kuda, siap untuk bergerak kapan saja.
Tiba-tiba, teriakan nyaring memecah keheningan. Suara itu datang dari berbagai arah di balik pintu, penuh dengan kebingungan dan ketakutan. Teriakan itu begitu keras, menggema di lorong-lorong bawah tanah, seolah-olah kota itu sendiri sedang menjerit. Stark dan Elijah saling memandang, lalu tanpa berpikir dua kali, mereka berlari memasuki pintu tua itu.
Begitu mereka melintasi ambang pintu, pemandangan yang mengejutkan menyambut mereka. Kota bawah tanah yang biasanya ramai dengan aktivitas goblin kini sunyi, kecuali untuk mayat-mayat yang tergeletak di mana-mana. Tubuh-tubuh kecil goblin berserakan di tanah, beberapa masih memegang barang-barang yang mereka coba selamatkan. Darah menggenang di beberapa tempat, menciptakan pemandangan yang suram di bawah cahaya redup dari lampu-lampu kecil yang digantung di dinding. Udara pengap dan berat, dipenuhi dengan bau darah dan keputusasaan. Stark dan Elijah menatap ke depan, ke arah Pusat Distrik yang terletak cukup jauh dari mereka. Di sana, mereka melihat Ruvak, berdiri dengan kuda-kuda tinju menghadap kiri. Luka di punggungnya masih mengucurkan darah, kain putih di tangannya telah bercampur merah darah. Ia seperti benteng terakhir yang melindungi segelintir goblin yang masih hidup di belakangnya. Wajah Ruvak penuh dengan tekad, meskipun tubuhnya sudah lelah dan terluka. Goblin-goblin di belakangnya terlihat ketakutan, beberapa terduduk takut, sementara yang lain mencoba merawat yang terluka. Goblin-goblin itu hanya tersisa belasan.
Tanpa berpikir panjang, Stark dan Elijah berlari menghampiri. Namun, sebelum mereka bisa mencapai Ruvak, teriakan lain menggema dari arah kiri. Jalan keluar yang menuju ke Syslodia tiba-tiba dipenuhi oleh gerombolan manusia. Mereka datang dalam jumlah besar, puluhan, mungkin ratusan, dengan wajah-wajah yang dipenuhi amarah dan kebencian. Beberapa memegang pedang, tombak, atau alat-alat lainnya, sementara yang lain mengumpulkan sihir elemen di tangan mereka. Entah kenapa tidak ada satupun dari mereka yang menggunakan pistol atau tembakan lainnya. "Basmi mereka! Jangan biarkan satupun hidup!" teriak salah satu dari mereka, suaranya seperti kutukan yang menggema di seluruh kota bawah tanah.
Stark tertegun. Tubuhnya seolah membeku, instingnya yang biasanya tajam kini bingung. Lawannya kali ini bukan monster atau makhluk asing, melainkan manusia—makhluk yang seharusnya ia lindungi, bukan lawan. Tangannya menggenggam erat gagang katana, tetapi ia ragu. Ia tahu ia bisa melumpuhkan mereka tanpa membunuh, tetapi pengalamannya belum cukup untuk segera beradaptasi dengan situasi ini.
Elijah, di sisi lain, tidak ragu. Matanya yang tetap sigap menyapu gerombolan manusia itu, dan tanpa berkata-kata, ia melepas ransel perbekalannya. Dengan gerakan cepat, ia berlari, mengambil perisai besar yang tergantung di punggungnya, dan melompat ke depan Ruvak. Perisai itu ditancapkannya ke tanah dengan kekuatan yang membuat gemuruh kecil. Gada satu tangannya diayunkan ke perisai, dan seketika, sihir es yang biasanya menyebar melingkar kini melesat lurus ke depan dengan area yang besar. Udara di sekitarnya menjadi dingin, dan dalam sekejap, seluruh gerombolan manusia itu membeku dari lutut ke bawah. Rumah-rumah bobrok goblin pun turut menjadi korban. Kristal-kristal es tumbuh dengan cepat, membekukan kaki mereka dalam sekejap. Udara di sekitarnya berembun, dan cahaya biru pucat dari sihir es menerangi wajah-wajah yang terkejut. Suara teriakan mereka berubah menjadi jeritan kaget, dan kota bawah tanah itu pun sejenak hening. Seluruh manusia-manusia itu tercengang.
Ruvak, goblin-goblin di belakangnya, bahkan Stark—semua terkejut. Elijah berdiri tegak, ia mengambil perisainya yang masih memancarkan hawa dingin, matanya tajam dan penuh kewaspadaan seraya ia meletakkan perisai itu kembali ke punggungnya. "Kita tidak punya waktu untuk ragu," katanya, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Jika kita tidak bertindak sekarang, mereka akan membunuh kita semua."
Elijah dengan tegas mengarahkan Stark untuk membantu Ruvak dan goblin-goblin yang tersisa. "Bawa mereka pergi dari sini, sekarang!" serunya, suaranya penuh otoritas. Stark yang sempat tertegun langsung mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia segera membantu Ruvak, yang tubuhnya sudah lemah akibat luka di punggungnya, sambil memandu goblin-goblin lain untuk berlari menyusuri terowongan gelap yang menuju ke tempat keluar. Elijah tetap berada di belakang, memastikan tidak ada yang tertinggal atau terancam oleh gerombolan manusia yang masih berusaha melepaskan diri dari sihir esnya.
Mereka berlari menuju pintu tua yang menghubungkan ke sumur. Setelah melalui pintu tersebut, mereka terus bergerak, berlari melalui lorong-lorong sempit dan pengap. Dinding batu yang dingin seolah menyempit di sekitar mereka. Cahaya redup dari lampu-lampu kecil di kota bawah tanah yang menembus celah pintu membuat bayangan mereka terlihat seperti siluet yang bergerak cepat. Elijah, yang menjadi penjaga belakang, sempat mengambil ransel perbekalan makanan yang sebelumnya ia lepas. Ia tahu persediaan itu akan sangat dibutuhkan nanti. Napasnya berat akibat menggunakan sihir es skala besar, tetapi langkahnya tetap mantap, memastikan tidak ada yang mengikuti dari belakang.
Ketika Stark dan para goblin tiba di ujung terowongan, sebuah sumur tinggi menjulang ke atas memancarkan cahaya samar dari permukaannya. Stark segera menyadari masalah berikutnya: sumur itu hanya bisa digunakan untuk masuk, bukan keluar. Dindingnya licin dan vertikal, tidak mungkin didaki oleh goblin-goblin yang kelelahan dan terluka. Ia memikirkan jalan keluar lain, tetapi satu-satunya alternatif adalah kembali ke arah Syslodia, di mana gerombolan manusia masih mengamuk. Itu bukan pilihan.
Elijah, yang masih berlari di belakang mereka, segera mengambil alih situasi. "Stark, naiklah terlebih dahulu!" perintahnya, suaranya tegas. Stark tidak banyak bertanya. Dengan gerakan sigap, ia melompat ke dinding sumur, berpijak dan mendorong dirinya dari satu sisi ke sisi lainnya. Meskipun masih mengenakan ransel besar berisi persediaan makanan, ia melakukannya dengan mudah, tubuh atletisnya terbiasa dengan gerakan-gerakan seperti ini. Namun, kekhawatirannya tertuju pada goblin-goblin yang masih menunggu di bawah.
Setelah tiba di atas, Stark melihat ke bawah, menunggu instruksi Elijah. Goblin-goblin di bawah masih berdiam di ujung terowongan, wajah-wajah mereka yang penuh ketakutan dan kelelahan terlihat lebih jelas karena cahaya matahari yang masuk dari atas sumur. Elijah, dengan tenaga yang masih tersisa, mengangkat salah satu goblin dan melemparkannya ke atas. Goblin itu terkejut dan sedikit berteriak. Suara teriakannya perlahan mengecil seiring ia melesat tinggi. Sesampainya ia di atas, Stark dengan sigap menangkapnya, menurunkan goblin itu dengan hati-hati ke tanah. Proses itu diulangi beberapa kali hingga hanya tersisa Elijah dan Ruvak.
Elijah menatap Ruvak, yang masih bercucuran darah dari lukanya. Ia ragu, khawatir melempar Ruvak akan memperburuk keadaannya. Namun, Ruvak, dengan suara tenang namun penuh keyakinan, berkata, "Lempar saja." Elijah mengangguk, lalu dengan hati-hati melemparkan Ruvak ke atas. Stark berhasil menangkapnya, meskipun harus mengerahkan tenaga ekstra untuk menahan beban tubuh Ruvak yang terluka.
Kini, hanya Elijah yang tersisa di bawah. Ia tidak bisa menaiki sumur itu dengan cara yang sama seperti Stark. Namun, tubuhnya yang besar dan tinggi memberinya keuntungan. Pertama, ia melemparkan gada satu tangannya ke atas—ditangkap oleh Stark dengan kedua tangannya dan diletakkan di tanah—lalu dengan kekuatan penuh, ia menginjakkan kedua kakinya di sisi kiri dan kanan sumur. Tangannya yang kuat menahan beban tubuhnya di sisi atas, dan perlahan-lahan ia mulai memanjat. Setiap gerakannya terukur, napasnya berat tetapi stabil. Akhirnya, ia berhasil mencapai permukaan, di mana Stark segera membantunya keluar dari sumur.
Di atas, di permukaan tanah dekat sumur tua. Para goblin yang tersisa hanya belasan jumlahnya. Mereka terlihat lelah dan trauma. Tubuh-tubuh kecil mereka penuh dengan luka dan debu, mata mereka kosong, seolah masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kota bawah tanah yang sebelumnya menjadi tempat perlindungan mereka kini berubah menjadi kuburan massal. Ruvak, meskipun tubuhnya bercucuran darah dan hampir pingsan, tetap berdiri tegak. Mata merah gelapnya masih penuh fokus, meskipun tubuhnya goyah. Rompi coklatnya robek di punggung, menampakkan sayatan luka yang dalam. Rambut hitamnya yang kusam dan terpotong tidak rata kini lepek karena keringat yang bercampur darah. Kain putih lusuh yang membalut kedua tangannya sudah berubah warna menjadi kemerahan, menandakan betapa parah lukanya.
Stark dan Elijah saling memandang, hati mereka dipenuhi dengan pertanyaan. Mereka ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengapa manusia tiba-tiba menyerang dengan begitu brutal. Namun, mereka tahu ini bukan saat yang tepat untuk bertanya. Lokasi sumur tempat mereka berada tidak jauh dari Syslodia, dan gerombolan manusia itu bisa saja menyusul kapan saja. Mereka harus segera pergi dari sini.
Setelah berunding sejenak, Stark dan Elijah memutuskan bahwa pilihan terbaik adalah membawa para goblin ini menuju kerajaan elf. Mereka tidak yakin apakah itu solusi yang tepat, apalagi mereka tidak tahu bagaimana kerajaan elf akan menyambut kedatangan goblin secara tiba-tiba. Namun, mereka ingat Lyra. Ia adalah petinggi elf yang selama ini memperjuangkan perdamaian untuk goblin. Setidaknya, ada harapan bahwa Lyra bisa membantu. Setelah memastikan bahwa semua goblin yang tersisa masih mampu melakukan perjalanan, mereka pun mulai melangkah.
Mereka berjalan pelan menuju utara, ke arah kerajaan elf. Inginnya, mereka menggunakan kereta angin untuk menempuh jarak yang jauh, tetapi kali ini tidak ada penawar jasa kereta angin. Mereka pun terpaksa berjalan kaki. Tanah di sekitar mereka terlihat datar dan cukup gersang, dengan sedikit kehijauan yang tersisa. Pohon-pohon jarang terlihat, tetapi seiring mereka berjalan, pepohonan mulai bertambah banyak, menandakan bahwa mereka mulai mengarah ke wilayah elf.
Para goblin berjalan dengan langkah lambat, wajah-wajah mereka dipenuhi ketakutan dan kebingungan. Beberapa dari mereka sesekali menoleh ke belakang, seolah masih menduga serangan dari gerombolan manusia. Ruvak, meskipun tubuhnya hampir tidak kuat, berusaha menghibur mereka. "Kita akan aman di kerajaan elf," katanya dengan suara lemah namun penuh keyakinan. Namun, diam-diam, ia beberapa kali hampir kehilangan kesadaran. Tubuhnya goyah, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya di depan yang lain. Elijah, yang berjalan di belakang, merasakan hal tersebut. Matanya yang tajam memperhatikan setiap gerakan Ruvak, siap menangkapnya jika ia terjatuh.
Di tengah perjalanan, Ruvak tiba-tiba bercerita. Suaranya pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar oleh Stark dan Elijah. "Aku tidak tahu kenapa dan bagaimana, tetapi… gerombolan manusia tiba-tiba… sudah berada di dalam… Pusat Distrik.” Napasnya sangat berat dan tersengal, “mereka membunuh… pemimpin kita tanpa ampun," lanjutnya, suaranya penuh kepahitan. "Dugaan ku, mereka adalah penghuni Syslodia. Gerombolan… mereka datang dari arah jalan penghubung Syslodia… menuju kota bawah tanah. Tapi aku tidak mengerti... kenapa mereka langsung menyerang begitu brutal… dipenuhi emosi?" Ruvak mencoba mengatur napas, matanya menatap jauh. "Selama ini belum pernah ada pembantaian terang-terangan." Elijah khawatir melihat Ruvak yang bahkan berbicara pun tampak susah, tetapi Ruvak tidak ingin dibantu. Entah karena dia belum percaya sepenuhnya dengan Elijah, atau dia memiliki harga diri yang perlu di jaga sebagai ‘harapan’ para goblin, yang jelas dia menolak Elijah yang menawarkannya bantuan untuk berjalan.
Kejadian di Syslodia tiba-tiba muncul di benak Stark. Ia teringat saat itu, ketika ia bersama Tenebrist dan yang lain baru saja meninggalkan kota bawah tanah melalui jalan yang menuju langsung ke Syslodia. Ia ingat betul bagaimana kota Syslodia, yang biasanya ramai dengan aktivitas, tiba-tiba menjadi sunyi sepi. Seluruh pintu rumah dan toko tertutup rapat, tidak ada satupun orang dari ras mana pun yang terlihat. Suasana itu terasa aneh, bahkan menyeramkan.
Stark kemudian menanyakan hal ini kepada Elijah. "Apakah kira-kira ada hubungannya dengan apa yang terjadi di kota bawah tanah tadi?" tanyanya, suaranya penuh keingintahuan. Elijah merenung sejenak, matanya menyipit seolah mencoba memecahkan teka-teki yang rumit. "Mungkin," jawabnya akhirnya, "tetapi yang menyerang kota bawah tanah barusan hanyalah manusia. Tidak ada ras lain yang terlibat. Sementara penghuni Syslodia bukan hanya manusia. Itu tidak menjelaskan kemana perginya seluruh ras lain di Syslodia."
Elijah menghela napas, merasa semakin bingung. "Dan sekalipun penyerangan di kota bawah tanah itu berhubungan dengan Syslodia yang mendadak sepi, masih tidak menjelaskan alasan di balik ‘kenapa sekarang’. Mengapa tiba-tiba? Apa yang memicu semua ini?" ujarnya, suaranya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Stark mengangguk, merasakan hal yang sama. Terlalu banyak misteri yang belum terpecahkan, terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Namun, mereka tahu ini bukan saat yang tepat untuk berhenti dan merenung. Mereka harus terus bergerak, membawa para goblin yang terluka dan trauma ini ke tempat yang aman.
Maka, mereka memutuskan untuk membicarakan ini belakangan. Untuk sekarang, fokus mereka adalah mencapai kerajaan elf secepat mungkin. Mereka terus berjalan, langkah kaki mereka semakin berat tetapi penuh tekad. Di kejauhan, pepohonan semakin lebat, menandakan bahwa mereka semakin dekat dengan wilayah elf meskipun masih cukup jauh dari kerajaannya. Harapan kecil mulai tumbuh di hati mereka, meskipun bayangan misteri dan ketidakpastian masih menggelayuti pikiran mereka.
Di tempat lain, di dalam Lórien Scriptorium—perpustakaan besar kebanggan ras elf yang dipenuhi rak-rak buku menjulang tinggi, Tenebrist dan Lyra masih sibuk mencari informasi yang mereka butuhkan. Tenebrist, dengan jubah hitam bergaris emas dan syal merah, rambut hijau toska dengan poni pink yang tertutup tudung, serta mata hijau cerah yang sedikit keemasan, duduk di antara tumpukan buku yang semakin tinggi. Lyra, dengan rambut kuning sepanjang punggung dan armor giok hijau kebanggaan elf, serta mata biru yang tajam, juga tenggelam dalam lautan buku yang berserakan di meja panjang. Mereka telah menghabiskan teh mereka beberapa jam yang lalu, dan sejak itu, mereka terus membaca tanpa henti. Namun, sejauh ini, mereka belum menemukan informasi baru yang bisa membawa mereka ke titik terang terkait Nephilim, fatum, goblin, naturia, atau kelompok yang menciptakan Nephilim.
Tumpukan buku di meja semakin banyak, beberapa bahkan sudah berserakan di lantai. Suasana perpustakaan yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan desahan dan gumaman kecil dari mereka berdua. Mereka sudah membaca ratusan halaman, tetapi belum ada satu pun petunjuk yang berarti. Lyra menghela napas, merasa sedikit frustrasi. "Apakah kita melewatkan sesuatu?" tanyanya, suaranya penuh keraguan.
Tenebrist, yang sedari tadi diam, ternyata menyadari sesuatu. Tetapi ia perlu merenungkan itu cukup lama. Lalu, setelah cukup yakin dengan apa yang disadarinya, matanya yang cerah berbinar dengan ide baru. "Mungkin kita terlalu fokus mencari apa yang kita butuhkan," katanya perlahan, "tetapi bagaimana jika kita mencari apa yang tidak kita temukan?"
Lyra mengerutkan kening, tidak begitu mengerti maksud Tenebrist. "Apa maksudmu?" tanyanya, penasaran.
Tenebrist menimbang sejenak sebelum akhirnya menjelaskan. "Dari seluruh buku yang telah aku baca, aku tidak menemukan satu pun informasi terkait troll," katanya, suaranya penuh penekanan. "Bahkan ketika ada yang menyebutkan Nephilim, goblin, fatum, atau bahkan naturia, tidak ada satu kata pun yang menyinggung troll di buku tersebut."
Lyra mengangguk, mencoba memahami. "Itu karena elf dan troll adalah musuh bebuyutan, terutama sejak Perang Besar," jelasnya. "Para elf tidak sudi menyimpan informasi apa pun tentang troll."
Tenebrist mengangguk, tetapi ekspresinya masih penuh dengan pemikiran. "Tapi, bagaimana jika ada informasi yang hilang justru karena hal itu?" tanyanya, mencoba memancing Lyra untuk berpikir lebih jauh. "Kelompok yang menciptakan Nephilim terdiri dari perwakilan seluruh ras, termasuk elf dan troll. Artinya, pada saat itu, mereka bekerja sama. Mereka tidak saling membenci, karena tujuan mereka adalah perdamaian."
Lyra merenungkan kata-kata Tenebrist. Ia mulai melihat logika di baliknya. "Jadi, maksudmu adalah... informasi tentang penciptaan Nephilim mungkin disimpan oleh perwakilan elf, tetapi karena dia, atau mereka, tahu bahwa informasi yang mengandung kontribusi besar dari troll tidak akan disimpan oleh ras elf, maka mereka menyimpannya di tempat lain? Atau mungkin memberikannya langsung kepada troll?"
"Tepat," jawab Tenebrist, matanya berbinar. "Nah, maksudku adalah, apakah di perpustakaan ini benar-benar tidak ada satu pun informasi tentang troll? Barangkali ada petunjuk tambahan yang bisa kita temukan jika kita mencari dari sudut pandang itu."
Lyra menghela napas, mencerna ide Tenebrist. "Sejujurnya, aku tidak yakin," katanya. "Tapi jika kita perlu mencari informasi yang bahkan selama ratusan tahun tidak ditemukan oleh elf, maka kemungkinan terbaiknya adalah dari catatan sejarah yang memang elf sendiri tidak sudi menyimpannya. Atau, seperti yang kau katakan, mungkin informasi itu disimpan oleh troll."
Tenebrist mengangguk, merasa semakin yakin dengan arah pemikirannya. "Kalau begitu, kita perlu mencari cara untuk mengakses catatan troll," katanya. "Meskipun itu berarti kita harus menghadapi risiko besar, khususnya risiko untukmu yang seorang elf."
Lyra merenung, ada kekhawatiran di matanya. "Risiko besar untuk jawaban besar," katanya. "Tapi bagaimana kita bisa mendapatkan akses ke catatan troll? Mereka pasti tidak akan dengan mudah membaginya dengan kita."
Tenebrist merenung sejenak, ia tidak yakin. "Mungkin kita perlu menemukan seseorang yang bisa menjadi perantara. Atau, barangkali, kita perlu mencari petunjuk lain yang bisa membawa kita ke sana."
Lyra mempertimbangkan ide Tenebrist dengan seksama, tangannya menopang dagu sementara pikirannya berputar cepat. Ia bahkan tidak menyadari bahwa, selama ini, ia secara tidak sengaja telah menghindari informasi tentang troll. Bukan hanya dia, seluruh ras elf pun begitu. Namun, mungkin ada perbedaan: elf lainnya melakukannya dengan sengaja, sementara Lyra hanya mengikuti arus tanpa menyadarinya. Ia terus merenung, hingga tiba-tiba teringat sesuatu. Ada selembar kertas yang sangat lama ia simpan, ditulis dalam bahasa troll. Begitu lamanya sampai-sampai ia tidak ingat bagaimana ia bisa mendapatkan kertas tersebut. Pada saat itu, Lyra memutuskan untuk mempelajarinya nanti, karena ia tahu itu akan mengharuskannya pergi ke wilayah troll. Namun, kengerian dari perlakuan troll masih sangat membekas dalam ingatannya, membuatnya menunda-nunda. Perlahan-lahan, ia pun melupakan kertas itu.
Kini, ingatannya kembali. Ia berusaha mengingat di mana ia menyimpan selembar kertas tersebut. Akhirnya, ia menyadari bahwa kertas itu ia simpan di dalam buku pribadinya—buku yang ia gunakan untuk mengalirkan kekuatan fatum-nya. "Tenebrist, tunggu di sini sebentar," katanya, bangkit dari kursinya. "Aku perlu mengambil buku ku."
Tenebrist mengangguk, matanya penuh penasaran. Ia teringat akan kemampuan Lyra yang dapat menimbulkan resonansi fatum dengan mengunakan bukunya, sesuatu yang membuatnya dicurigai dan bahkan dipenjara di kerajaan elf. Sebelum Lyra pergi, Tenebrist memanggilnya pelan. "Lyra," katanya, suaranya lembut. Lyra menoleh, matanya penuh pertanyaan. Tenebrist terlihat ragu, "maaf,” katanya pelan, “aku belum bisa menjelaskan mengapa aku tidak memiliki fatum," lanjutnya. "Aku sendiri tidak mengerti kenapa."
Lyra hanya tersenyum, wajahnya penuh pengertian. "Itu sudah tidak penting," katanya. "Meskipun aku ingin mempelajarinya lebih lanjut, tapi kali ini bukan karena kecurigaan. Hanya rasa ingin tahu." Ia kemudian bergegas pergi, meninggalkan Tenebrist di antara tumpukan buku yang berserakan. Bukannya dia tidak menghargai perasaan Tenebrist, tetapi saat itu ia merasakan urgensi yang besar untuk segera menemukan selembar catatan berbahasa troll itu. Ditambah lagi, bagi Lyra topik tersebut sangat sensitif, malah bisa jadi lebih sensitif baginya dibandingkan Tenebrist. Lyra masih cukup merasa bersalah atas tindakannya yang, meskipun sesuai logika dan aturan yang berlaku, membuat Tenebrist dipenjara dan membuat Lyra tampak sangat dingin. Jadi ia tidak ingin mempermasalahkan itu lagi, dan tetap bergegas pergi.
Lyra berjalan cepat menyusuri kerajaan elf yang megah. Suasana di sekitarnya ramai namun penuh ketenangan. Rakyat elf terlihat menikmati hidup dan aktivitas mereka di tengah kemegahan kerajaan. Hari tidak terlalu Terik meskipun telah siang, cahaya matahari yang lembut menyinari jalan-jalan yang dihiasi dengan taman-taman indah dan air mancur yang memancarkan air jernih. Beberapa elf terlihat sedang berbincang di kedai teh, sementara yang lain sibuk dengan kerajinan tangan atau berjalan santai menikmati pemandangan.
Sesekali, terlihat prajurit elf dengan armor giok hijau berpatroli. Ketika mereka melihat Lyra, mereka segera memberikan gerakan hormat, memanggilnya "Nona Vedera." Lyra membalas hormat mereka dengan anggukan singkat, tetapi pikirannya terlalu fokus untuk berhenti dan berbasa-basi. Ia sedikit menyalahkan dirinya sendiri karena telah melupakan catatan berbahasa troll yang ia simpan lama. "Seharusnya aku lebih teliti," gumamnya dalam hati.
Ia terus berjalan, menyusuri jalan megah yang dihiasi dengan ukiran kayu seperti pilar di kiri kanannya. Akhirnya, ia sampai di pintu utama kerajaan, sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu berukir rumit dan dihiasi dengan batu giok. Dua prajurit elf berdiri di samping pintu, menjaga dengan penuh kewaspadaan. Ketika mereka melihat Lyra, mereka segera memberikan gerakan hormat. "Nona Vedera," sapa mereka serempak.
Lyra membalas hormat mereka dengan anggukan. "Tolong bukakan pintu," katanya. Dua prajurit itu segera mematuhi, membuka pintu besar itu dengan perlahan. Lyra mengucapkan terima kasih dan melangkah masuk ke dalam pusat kerajaan.
Pusat kerajaan Elf adalah mahakarya arsitektur yang memukau, hampir seperti istana yang terlahir dari mimpi paling indah. Bangunan ini menjulang tinggi, dengan pilar-pilar megah yang dipenuhi ukiran simbol khas elf—desain tanaman hijau merambat yang terlihat begitu hidup, seolah-olah mereka benar-benar tumbuh dari batu. Setiap pilar penyangga tampak seperti pohon raksasa yang dipahat dengan presisi sempurna, dengan daun-daun dan sulur-sulur yang meliuk-liuk hingga ke langit-langit tinggi. Di tengah ruangan utama, tepat di belakang tangga bercabang yang megah, terdapat ukiran besar yang mendominasi dinding. Ukiran itu menggambarkan pohon kehidupan elf, dengan akar yang dalam dan cabang-cabang yang menjulang ke atas, dikelilingi oleh simbol-simbol kuno yang memancarkan aura magis.
Tangga bercabang itu sendiri adalah karya seni. Terbuat dari marmer putih yang dipoles halus, dengan pegangan tangan yang diukir dengan motif daun dan bunga. Tangga itu cabangnya membentang ke kiri kanan, ke lantai dua, di mana koridor-koridor elegan terhubung ke berbagai ruangan penting. Lyra menaiki tangga tersebut, langkahnya cepat namun tetap penuh wibawa. Ia berbelok ke tangga kiri, menaikinya dengan mantap, lalu berbelok lagi ke kiri menyusuri koridor yang memancarkan keanggunan.
Koridor ini dihiasi dengan setengah tiang dari batu berkualitas tinggi, berwarna putih keabuan dengan vena-vena hijau halus yang memancarkan kilau alami. Di sepanjang koridor, di sebelah kanan, terdapat beberapa pintu kayu berukir yang tertutup rapat, masing-masing dengan desain yang unik. Beberapa pintu dihiasi dengan ukiran bunga dan daun. Sementara yang lain memiliki simbol-simbol magis yang rumit, salah satunya adalah Aula Consilii. Namun, Lyra mengabaikan semua pintu itu. Ia terus berjalan menyusuri koridor, langkahnya pasti, hingga sampai di ujung koridor di mana tangga lain menanti.
Tangga ini lebih kecil, tetapi tidak kalah indah. Lyra menaikinya dengan cepat, dan ketika sampai di atas, ia menghadapi satu-satunya pintu di sebelah kiri. Pintu itu terbuat dari kayu gelap yang diukir dengan indah, dengan tulisan "Lyra Vedera" terpahat dengan elegan di tengahnya. Di sekeliling nama itu, terdapat ukiran sulur-sulur dan bunga-bunga yang terlihat begitu hidup, seolah-olah mereka baru saja mekar. Lyra membuka pintu itu dengan lembut, dan ruangan pribadinya pun terbuka.
Kamar Lyra adalah cerminan dari kepribadiannya: Suka kesederhanaan, rapi, dan penuh ketenangan. Meskipun ia adalah bagian dari keluarga bangsawan elf, ia tidak menyukai kemewahan yang berlebihan. Kamarnya dihiasi dengan nuansa alam yang khas elf, tetapi dengan sentuhan pribadi yang minimalis. Dindingnya berwarna krem lembut, dipadukan dengan tirai berwarna hijau muda yang menutupi jendela besar. Cahaya matahari yang masuk melalui tirai menciptakan suasana hangat dan menenangkan.
Di satu sisi ruangan, di sebelah kanan, terdapat kasur besar dengan seprai putih bersih dan selimut hijau muda yang terlipat rapi di ujungnya. Di sebelah kasur, dekat jendela besar, ada meja kayu sederhana dengan laci kecil. Meja itu terbuat dari kayu oak yang dipoles halus, dengan ukiran kecil motif daun di sudut-sudutnya. Di atas meja, terdapat beberapa benda pribadi Lyra: sebuah vas kecil berisi bunga liar, sebuah lilin aromaterapi yang belum dinyalakan, dan beberapa buku catatan kecil.
Lyra berjalan menuju meja itu, membuka laci dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat buku andalannya—buku yang ia gunakan untuk mengalirkan kekuatan fatum-nya. Sampul buku itu terbuat dari kulit berwarna cokelat tua, dengan simbol kuno berwarna kuning keemasan di tengahnya. Simbol itu berbentuk melingkar, dengan garis-garis rumit yang saling terhubung, menyerupai matahari atau mungkin sebuah portal. Lyra mengambil buku itu dengan penuh hormat, seolah-olah ia memegang sesuatu yang sangat berharga.
Dia membuka buku itu dengan cepat, lembar demi lembar, matanya mencari selembar catatan yang ia simpan lama. Jari-jarinya yang ramping dengan cekatan membalik halaman, hingga akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. "Ada!" katanya, suaranya penuh kelegaan. Selembar kertas kecil, berisi tulisan dalam bahasa troll, terselip di antara halaman-halaman buku. Lyra menatapnya sejenak, kemudian dia menutup buku dengan lembut, memegangnya erat-erat. Tanpa membuang waktu, Lyra bergegas keluar dari kamarnya, menutup pintu dengan rapat sebelum melangkah cepat menuju perpustakaan besar. Di sana, Tenebrist masih menunggu, dan Lyra tahu bahwa jawaban yang mereka cari mungkin saja ada di selembar catatan berbahasa troll di dalam buku yang ia bawa.
Di dalam perpustakaan besar, Tenebrist masih terlihat aktif membaca dengan tenang. Matanya yang cerah dan penuh konsentrasi menyapu halaman demi halaman, mencoba menemukan petunjuk yang mereka butuhkan. Namun, perlahan, pikirannya mulai melayang. Ia memikirkan Stark dan Elijah. Sudah berjam-jam ia dan Lyra menghabiskan waktu di perpustakaan ini, tetapi kedua rekannya itu belum juga muncul. Tenebrist mencoba menenangkan dirinya. "Stark dan Elijah adalah petarung yang luar biasa kuat," pikirnya. "Mereka pasti baik-baik saja."
Namun, spekulasi mulai merayap di benaknya. Mungkin mereka terlambat karena tidak menemukan transportasi yang memudahkan mereka kembali ke kerajaan elf. Atau, yang lebih mengkhawatirkan, mungkin ada sesuatu yang terjadi di Syslodia—sesuatu yang aneh, seperti kejanggalan yang membuat seluruh penghuninya menghilang. Jangan-jangan kejanggalan itu juga terjadi di kota bawah tanah? Atau, yang lebih buruk, Stark dan Elijah ikut terkena imbasnya.
Tenebrist menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa pikirannya mulai berlebihan. Spekulasi-spekulasi itu tidak memiliki dasar yang kuat, dan terlalu banyak berpikir justru bisa menjadi pisau bermata dua. Kadang itu membuatnya sangat waspada, tetapi kadang juga membuatnya diam di tempat, tak mampu bergerak. "Tenang," bisiknya pada dirinya sendiri. "Pikirkan ini nanti saja."
Tiba-tiba, suara pintu perpustakaan yang terbuka menyadarkannya. Ia menoleh dan melihat Lyra telah kembali, membawa buku andalannya. Lyra bergegas melangkah menyusuri lantai satu perpustakaan, yang terbuat dari rumput sintetis yang lembut dan nyaman di bawah kaki. Langkahnya cepat dan penuh tujuan. Ia menaiki tangga menuju koridor di tingkat dua, lalu naik lagi ke koridor tingkat tiga, di mana Tenebrist masih duduk di tempat semula.
Lyra meletakkan buku itu di depan Tenebrist dengan gerakan yang sedikit tergesa-gesa, tetapi penuh semangat. Matanya berbinar, seolah tidak sabar untuk memberitahukan sesuatu yang penting. "Aku menemukannya," katanya, suaranya penuh keyakinan. Ia membuka buku itu, lembar demi lembar, dengan gerakan yang hati-hati namun cepat. Akhirnya, ia menemukan selembar catatan yang ia cari. "Ini," katanya, memperlihatkan catatan itu kepada Tenebrist. "Catatan ini ditulis dalam bahasa troll. Mungkin ini bisa menjadi petunjuk yang kita butuhkan."
Tenebrist dan Lyra menatap catatan itu dengan penuh konsentrasi. Tulisan troll yang terpampang di depan mereka terlihat asing dan penuh dengan simbol-simbol yang rumit. Tenebrist membaca ulang penggalan pertama dengan suara pelan, mencoba memahami maknanya meskipun ia tidak mengerti bahasa troll.
"Grunak-draal Vornath," ucapnya beberapa kali, suaranya penuh keraguan. "Drathol thonruk gar’nath vakra. Mak’tor vul’drak, tharluk by’marr thor grolka vak’tor, nak’rath var-graal. Vorthak ragnak krossa: lok’har grolvar, thrakkar dorn, tor’drall var’koth. Lun gorrak, ka’thor mar’nak lok’reth krossa var’marr. Vornath krass’thor var’nathor. Lok’reth ka-marnath Tanar Vokh’untha."
Tenebrist menghela napas, menyerah. "Aku tidak mengerti satu kata pun," katanya, menggelengkan kepala. "Kita perlu mempelajari ini dari ras troll. Tapi kita harus menunggu Stark dan Elijah kembali dulu."
Lyra mengangguk, setuju. Namun, pikiran mereka segera beralih ke Stark dan Elijah. Kenapa mereka belum kembali? Apa yang terjadi di luar sana? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, sedikit menciptakan ketegangan yang tak terucapkan.
Tiba-tiba, pintu perpustakaan terbuka dengan cepat dan keras. Seorang prajurit elf masuk, wajahnya terlihat sedikit panik tetapi tetap penuh hormat. "Nona Vedera!" panggilnya, suaranya menggema di ruangan besar itu.
Lyra menoleh dari koridor lantai tiga, matanya penuh pertanyaan. "Ada apa?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh otoritas.
Prajurit itu membungkuk sedikit, menunjukkan rasa hormat. "Nona Vedera, ada orang yang mengaku bernama Stark dan Elijah di depan gerbang kerajaan. Mereka kembali bersama beberapa ras goblin. Kami membutuhkan kehadiran Anda."
Lyra mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi kebingungan. Apa yang terjadi? Mengapa Stark dan Elijah kembali bersama goblin? Tanpa berpikir panjang, ia bergegas turun dari koridor lantai tiga, langkahnya cepat dan penuh tujuan. Tenebrist, yang awalnya ragu, memutuskan untuk ikut turun dan membuntuti Lyra. Ia juga penasaran dengan apa yang terjadi.
Beberapa saat sebelumnya, di depan gerbang kerajaan Elf, Stark dan Elijah berdiri bersama beberapa goblin yang terlihat lelah dan terluka. Hari mulai menuju senja, langit perlahan menjadi jingga kemerahan, menciptakan siluet megah di balik menara-menara kerajaan elf. Meskipun mereka tidak disambut dengan permusuhan, para prajurit elf yang berjaga tidak memiliki wewenang untuk mengizinkan masuknya ras goblin ke dalam kerajaan. Mereka tidak membenci goblin, tetapi aturan kerajaan jelas: Izin masuk untuk ras lain harus datang dari otoritas yang lebih tinggi.
Salah satu prajurit elf, dengan sopan dan penuh hormat, memohon pengertian dari Stark dan Elijah. "Maaf, kami tidak bisa mengizinkan mereka masuk tanpa persetujuan dari atasan kami," katanya, suaranya tegas namun tidak kasar. Stark dan Elijah mengangguk, mengerti situasinya. Elijah kemudian menambahkan, "Kredibilitas kehadiran kami seharusnya diakui oleh Lyra Vedera. Dia akan mengerti."
Mendengar nama Lyra, prajurit itu mengangguk dan segera pergi untuk memanggilnya. Sementara itu, Stark, Elijah, dan para goblin menunggu di jembatan bebatuan yang indah, dengan sisi kayu jati berukiran tanaman merambat. Jembatan itu terhubung langsung ke gerbang utama kerajaan, dan di bawahnya mengalir sungai kecil yang melingkari kerajaan elf, memantulkan cahaya senja.
Para goblin terlihat lelah dan kelelahan. Beberapa duduk di tanah, sementara yang lain bersandar pada tembok atau satu sama lain. Ruvak, yang terluka parah, menyandarkan punggungnya di sisi jembatan. Pendarahan di punggungnya telah ia sumbat dengan rompi coklatnya yang robek, membuatnya telanjang dari dada ke atas. Kulitnya yang pucat dan berkeringat menunjukkan betapa lemahnya ia saat ini. Matanya yang merah gelap masih penuh tekad, tetapi tubuhnya jelas sudah di ambang kelelahan. Ia tidak sabar bertemu Lyra, berharap elf itu bisa mengerti keadaan mereka dan mengizinkan mereka masuk untuk beristirahat.
Stark berdiri dengan tegap, tetapi wajahnya terlihat penuh kekhawatiran. Ia sesekali melirik ke arah Ruvak dan para goblin lainnya, memastikan mereka baik-baik saja. Meskipun ia tahu mereka dalam keadaan darurat, ia mencoba tetap tenang dan sabar. Elijah, di sisi lain, terlihat lebih tenang. Pengalamannya yang panjang membuatnya bisa menghadapi situasi seperti ini dengan kepala dingin. Namun, matanya yang tajam sesekali memandang ke arah gerbang, menunggu kedatangan Lyra.
Tak lama kemudian, Lyra tiba bersama prajurit yang memanggilnya. Di belakangnya, Tenebrist mengikuti dengan langkah cepat. Lyra terlihat bingung dan terkejut melihat kondisi di depannya, terutama ketika ia melihat Ruvak yang terluka parah. Tanpa bertanya lebih dulu, ia segera mengambil tindakan. "Bawa seluruh goblin ini ke tempat pengobatan," perintahnya kepada para prajurit. "Perlakukan mereka dengan sangat baik."
Para prajurit segera memberi hormat dan mengikuti perintah Lyra. Mereka dengan hati-hati menuntun para goblin masuk ke dalam kerajaan. Ruvak, meskipun lemah, sempat berkata dengan lirih, "Terima kasih," sebelum perlahan berjalan mengikuti para prajurit.
Setelah para goblin dibawa pergi, Lyra menoleh ke Elijah dengan nada khawatir dan penuh pertanyaan. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian membawa goblin-goblin ini?" tanyanya, suaranya penuh keingintahuan.
Elijah menghela napas, lalu menjelaskan dengan singkat. "Kota bawah tanah diserang oleh gerombolan manusia. Mereka membantai goblin tanpa ampun. Kami menemukan Ruvak dan beberapa goblin yang selamat, dan membawa mereka ke sini untuk mencari perlindungan."
Lyra dan Tenebrist terkejut setelah mendengarkan penjelasan Elijah. Lyra kemudian merenung sejenak. Matanya yang biru menatap jauh, seolah mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. Pikirannya berputar cepat, mencoba menimbang langkah terbaik yang harus diambil. Sebenarnya, ia ingin segera mengajak mereka semua menuju wilayah troll untuk memecahkan misteri catatan berbahasa troll yang ia temukan. Namun, apa yang baru ia dengar dari Elijah adalah permasalahan serius yang tidak bisa disepelekan. Pembantaian di kota bawah tanah, serangan manusia terhadap goblin, dan kejanggalan di Syslodia—semua ini adalah tanda-tanda bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi.
Lyra akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah hati-hati. Ia menoleh ke Stark, Elijah, dan Tenebrist, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Kalian semua harus beristirahat sejenak dan bersiap," katanya. "Nanti malam, tolong berkumpul di ruang rapat, di Aula Consilii. Kita perlu membicarakan semua ini dengan lebih detail."
Ia kemudian menambahkan, "Aku juga akan mengundang Elandor. Maksudku, si penasihat." Lyra terlihat seperti sudah tahu apa yang harus dilakukan, meskipun situasinya rumit. Wajahnya penuh tekad, dan langkahnya mantap saat ia berbalik untuk mempersiapkan pertemuan nanti malam.
Stark, Elijah, dan Tenebrist saling memandang, mengangguk perlahan. Mereka tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, tetapi mereka juga percaya pada kepemimpinan Lyra. Dengan langkah yang tenang meski dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran, mereka pun berpisah untuk beristirahat sejenak, mempersiapkan diri untuk pertemuan penting di Aula Consilii.
Setelah beristirahat sejenak dan hari mulai gelap, mereka semua berkumpul di Aula Consilii, ruang rapat megah yang menjadi pusat pengambilan keputusan penting di kerajaan elf. Ruangan itu terang benderang, diterangi oleh lampu kristal yang menggantung di langit-langit tinggi. Di setiap sudut ruangan, terdapat pot tanaman hias yang menambah nuansa alam khas elf. Karpet biru yang lembut membentang di lantai, menciptakan kontras yang indah dengan dinding berwarna putih krem. Di tengah ruangan, terdapat meja oval besar yang terbuat dari kayu berukir halus, dikelilingi oleh kursi-kursi kayu dengan ukiran tanaman merambat yang rumit.
Di dinding belakang, tepat di atas jendela kaca besar yang memanjang, terpampang simbol khas elf—sebuah pohon kehidupan dengan akar yang dalam dan cabang-cabang yang menjulang tinggi, dikelilingi oleh lingkaran cahaya keemasan. Jendela kaca itu menampilkan sebagian pemandangan kerajaan elf yang indah: bangunan-bangunan putih dengan titik kehijauan yang bersinar seperti kunang-kunang di malam hari, diterangi oleh cahaya bulan yang lembut. Lyra berdiri membelakangi jendela itu, menghadap ke arah meja oval dan pintu masuk. Wajahnya tegas dan penuh keyakinan, siap menyampaikan sesuatu yang penting.
Di sekitar meja oval, duduklah Tenebrist dan Stark di sebelah kiri, dan Elijah dan Elandor di sebelah kanan. Tenebrist, dengan jubah hitam bergaris emas dan syal merahnya, duduk dengan tenang, matanya yang hijau keemasan memandang Lyra dengan penuh perhatian. Elijah, dengan armor ungu gelap yang hanya memperlihatkan wajahnya, duduk tegak, tangannya yang besar bertumpu di atas meja. Stark, dengan kemeja biru longgar dan celana kain hitamnya, terlihat sedikit gelisah, matanya yang penuh semangat sesekali melirik ke arah jendela.
Elandor—si penasihat—duduk dengan sikap yang sangat sopan. Ia mengenakan armor giok hijau kebanggaan elf, sama seperti Lyra. Rambutnya perak kuning panjang terurai di bahunya, dan matanya yang biru keabuan memancarkan kebijaksanaan. Elandor adalah sosok yang dihormati di kerajaan elf, dikenal karena kecerdasan dan ketenangannya. Ketika Lyra berbicara kepadanya, ia selalu menggunakan bahasa yang sopan, menyebut Lyra dengan panggilan "Nona Vedera" dan menggunakan kata "saya", sesekali “diri ini”, dengan penuh hormat dan kerendahan hati.
Lyra berdiri tegak, tangannya bertumpu di atas meja. Suaranya jelas dan penuh otoritas saat ia mulai berbicara. "Setelah mempertimbangkan semua yang terjadi, ada dua hal penting yang harus segera kita lakukan," katanya, matanya menyapu setiap orang di ruangan itu.
"Pertama, kita harus pergi ke wilayah troll untuk mempelajari informasi dari selembar catatan yang Tenebrist dan aku temukan. Catatan itu mungkin menjadi kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi." Ia berhenti sejenak, memastikan semua orang mengerti pentingnya misi ini. Ia memperlihatkan selembar catatan berbahasa troll tersebut kepada mereka perlahan, lalu meletakkannya di meja. Tetapi mereka tidak ada yang mengambil catatan tersebut, mereka masih fokus mendengarkan.
"Kedua, kita harus melindungi goblin-goblin yang sekarang berada di kerajaan kita dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pembantaian di kota bawah tanah. Bisa jadi ada hubungannya dengan kota Syslodia yang tiba-tiba sepi." Lyra menatap Elandor, penasihat yang duduk dengan tenang di sebelah kanan meja. "Elandor, aku ingin kau menjadi perwakilan elf untuk mempelajari alasan di balik penyerangan ini. Kau memiliki kebijaksanaan dan koneksi yang kita butuhkan. Khususnya koneksi kepada Syslodia."
Elandor mengangguk perlahan, wajahnya serius namun penuh pengertian. "Saya mengerti, Nona Vedera," katanya dengan suara yang tenang dan sopan. "Saya akan segera memulai investigasi dan melaporkan temuan saya kepada Nona Vedera."
Lyra mengangguk, puas dengan respons Elandor. Ia kemudian menoleh pelan ke arah Stark, Elijah, dan Tenebrist satu per satu. "Sementara itu, kita akan fokus pada misi ke wilayah troll. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi."
Lyra melanjutkan pembicaraannya, suaranya tegas namun penuh penghargaan. "Aku meminta bantuan kalian semua—Stark, Tenebrist, dan Elijah—untuk melanjutkan perjalanan menuju wilayah troll," katanya, matanya menyapu setiap orang di ruangan. "Awalnya, aku hanya meminta bantuan kalian sampai tahap perpustakaan besar, tetapi situasi sekarang mengharuskan kita untuk melangkah lebih jauh." Lyra menyadari kejanggalan yang terjadi sudah tidak mungkin kebetulan. Tetapi ia masih belum tau apa. Yang jelas, ia merasa harus segera memahami informasi dari catatan berbahasa troll, yang harapannya menuntun mereka lebih dekat ke titik cerah.
Stark, Tenebrist, dan Elijah saling memandang, lalu mengangguk setuju. Mereka semua memiliki alasan sendiri untuk melanjutkan perjalanan ini. Stark berkata bahwa ia ingin tahu mengapa wajah Nephilim identik dengan Tenebrist, sebuah misteri yang terus menghantuinya. Tenebrist, yang baru saja mendengar informasi ini, terkejut. Matanya yang hijau keemasan membesar, dan ia menatap Stark dengan penuh pertanyaan. "Apa maksudmu, wajah Nephilim identik denganku?" tanyanya, suaranya penuh keheranan.
Stark terkejut. Ia baru sadar bahwa ia, ataupun mereka semua, belum memberitahukan informasi ini kepada Tenebrist. Ia menghela napas, merasa bersalah karena lupa menyampaikan hal ini sebelumnya. "Maaf, Tene. Aku sebenarnya ingin memberitahumu, tetapi pada saat itu kondisimu di penjara sangat tidak stabil. Aku khawatir informasi ini hanya akan membuatmu lebih tertekan," jelasnya, suaranya penuh kekhawatiran.
Tenebrist mengangguk perlahan, mencoba memahami. "Aku mengerti," katanya, meskipun masih terlihat terguncang oleh informasi baru ini. "Tapi kita harus membicarakan ini lebih lanjut nanti." Stark mengangguk.
Lyra, yang sempat memperhatikan percakapan mereka, menoleh ke Elijah. "Elijah, apakah kamu mengerti bahasa troll?" tanyanya, berharap ada solusi mudah. Namun, Elijah menggelengkan kepala. "Sayangnya, tidak," jawabnya singkat.
Lyra menghela napas, lalu mengangguk. "Kalau begitu, perjalanan menuju wilayah troll tidak bisa dihindari. Kita harus pergi ke sana untuk memecahkan misteri ini."
Di tengah keputusan itu, Elandor, si penasihat, terlihat cemas. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kekhawatiran. "Nona Vedera," katanya, suaranya lembut namun penuh peringatan, "saya mohon, berhati-hatilah. Bayang-bayang perbuatan keji troll terhadap ras elf masih sangat jelas dalam ingatan diri ini. Wilayah troll bukanlah tempat yang aman bagi kita."
Lyra mengangguk, menghargai kekhawatiran Elandor. "Aku mengerti, Elandor. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Ini adalah langkah yang harus kita ambil."
Setelah berbincang, Lyra menyimpulkan kembali rencana mereka. "Jadi, kita akan pergi ke wilayah troll untuk mempelajari informasi dari catatan itu. Sementara itu, Elandor akan memimpin investigasi tentang pembantaian di kota bawah tanah dan kejanggalan di Syslodia. Apakah ada yang ingin menambahkan?"
Tidak ada yang berbicara. Semua setuju dengan rencana tersebut. Lyra kemudian menutup pertemuan dengan pesan terakhir. "Baik, kalau begitu, kita semua harus bergegas beristirahat. Besok pagi, kita akan memulai perjalanan ini." Bergegaslah mereka semua meninggalkan ruang rapat itu.
Setelah keluar dari Aula Consilii, mereka berhenti sejenak di lorong koridor megah yang terhubung dengan ruang rapat. Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit menerangi lorong itu dengan cahaya keemasan yang hangat. Dinding-dindingnya dihiasi dengan ukiran kayu rumit yang menggambarkan pohon-pohon dan tanaman merambat, menciptakan nuansa alam yang khas elf. Suasana di lorong itu tenang, tetapi ada ketegangan yang terasa di antara mereka.
Tenebrist, yang selama pertemuan terlihat diam dan penuh pertanyaan, akhirnya memutuskan untuk berbicara. "Stark," katanya, suaranya pelan namun penuh keingintahuan, "bisa kau jelaskan lebih detail tentang apa yang kau katakan tadi? Tentang wajahku yang identik dengan Nephilim?"
Pertanyaan itu terdengar oleh Lyra dan Elijah, yang juga berhenti dan menoleh ke arah Stark. Lyra menyadari bahwa mereka belum pernah menjelaskan hal ini kepada Tenebrist. Wajahnya menunjukkan penyesalan, sementara Elijah mengangguk pelan, seolah mengakui bahwa mereka memang lupa menyampaikan informasi penting ini.
Lyra, dengan sikap yang tenang namun penuh perhatian, mengusulkan solusi. "Karena belum terlalu larut, bagaimana kalau kita membicarakan ini sambil makan? Kita bisa pergi ke tempat makan megah yang kemarin kita datangi. Kebetulan kita juga belum makan malam."
Stark terlihat sedikit ragu, “ditraktir lagi?” tanyanya. Lyra mengangguk tersenyum.
Mereka semua serempak setuju. Tempat makan itu tidak jauh dari pusat kerajaan Elf, dan suasana di sana mungkin bisa membantu meredakan ketegangan. Mereka pun berjalan bersama menyusuri lorong-lorong megah kerajaan elf, menuju tempat makan yang dimaksud.
Aetheris Hall, tempat makan megah tanpa dinding yang menjadi kebanggaan kerajaan elf. Tempat ini adalah perpaduan sempurna antara keindahan alam dan kemewahan arsitektur elf. Kolam pentagon besar di tengah ruangan memancarkan kilauan air jernih yang diterangi oleh lampu-lampu putih redup yang menggantung di langit-langit. Kanal-kanal kecil di setiap sudutnya mengalirkan air dengan gemercik lembut, menciptakan suasana yang menenangkan. Di atas kolam, perahu kayu berukir halus meluncur pelan, didayung oleh seorang elf dengan gerakan yang anggun dan terampil. Mereka semua duduk di perahu itu, menikmati suasana malam yang damai setelah menyantap hidangan lezat khas elf.
Stark dan Elijah duduk bersebelahan, masing-masing memegang tankard berisi bir. Stark meneguk birnya dengan santai, sementara Elijah sesekali memandang ke arah air yang bergerak pelan di bawah perahu. Lyra, yang telah melepas armor giok hijaunya, tampak lebih santai dengan pakaian kasualnya: kaos putih polos tak berlengan dengan aksen kain kuning di lengan yang tidak terhubung ke kaosnya, celana hitam pendek selutut, dan sepatu hitam bertali putih yang sederhana. Ia duduk bersebelahan dengan Tenebrist, menghadap Elijah dan Stark, sementara punggungnya membelakangi elf yang mendayung perahu.
Suasana di perahu itu tenang, tetapi ada ketegangan halus yang terasa. Stark telah selesai menjelaskan kepada Tenebrist tentang pembahasan serius di Aula Consilii kemarin, termasuk alasan sebenarnya mengapa Tenebrist ditahan. Bukan hanya karena ia tidak memiliki fatum, tetapi lebih utama karena wajahnya yang identik dengan Nephilim dan kemampuannya yang unik—sesuatu yang seharusnya mustahil tanpa fatum. Tenebrist mendengarkan dengan seksama, matanya yang hijau keemasan memancarkan keheranan dan kebingungan.
"Jadi, kalian telah mengetahui semua ini sejak kemarin," kata Tenebrist pelan, suaranya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Ia terkejut dan sedikit bingung mengapa hal ini tidak langsung dipermasalahkan oleh mereka. Bahkan ia sendiri mengakui ada banyak kejanggalan dalam informasi tentang dirinya. Bagaimana mungkin ia memiliki wajah yang identik dengan Nephilim? Pertanyaan itu berputar di kepalanya, tetapi yang lebih membuatnya penasaran adalah sikap Stark, Elijah, dan Lyra. Mengapa mereka tidak menggali lebih dalam? Mengapa mereka tidak menuntut jawaban darinya?
Melihat ekspresi Tenebrist yang bingung, Stark, Elijah, dan Lyra hanya tersenyum. Elijah bahkan tertawa kecil, meskipun singkat. "Kalau aku pribadi, asalkan kau selamat... itu sudah cukup, Tene," kata Stark, suaranya penuh kejujuran. Ia tahu bahwa Tenebrist adalah orang baik. Masa lalu atau asal usulnya, meskipun penuh misteri, tidak penting bagi Stark. Yang penting adalah Tenebrist ada di sini, bersama mereka, dan mereka bisa mempercayainya.
Elijah mengangguk setuju, sementara Lyra menambahkan, "Aku memang masih sangat penasaran denganmu, Tenebrist. Wajahmu yang identik dengan Nephilim, dan kenyataan bahwa kau tidak punya fatum tetapi bisa menggunakan kemampuan unik... itu semua sangat menarik perhatianku. Tapi aku sudah tidak mau terlalu mencampuri itu." Lyra menghela napas, matanya penuh penyesalan. Ia berhenti sejenak, padangannya menghadap ke bawah sebentar sebelum ia menatap Tenebrist kembali. "Sebagai keluarga Vedera, aku punya posisi yang perlu dipertimbangkan. Aku mau tidak mau harus bertindak tegas, yang akhirnya membuatmu dipenjara waktu itu. Aku minta maaf."
Tenebrist mendengarkan dengan tenang, lalu menjawab singkat dengan tersenyum, "Sudah, lupakan saja." Meskipun kejadian itu masih membekas di benaknya, ia lebih ingin menghargai perasaan barunya: perasaan lega bahwa ia bisa percaya pada orang lain. Ia merasa diterima, meskipun dengan segala kejanggalan yang melekat padanya.
Stark, setelah merenung sejenak, meminta maaf kepada Lyra. "Aku minta maaf karena pernah berkata 'tidak usah berlagak suci' kepadamu." Katanya, suaranya penuh penyesalan.
Lyra mengangguk, tersenyum pelan dan tulus. "Aku sangat mengerti alasan di balik tindakanmu, Stark. Tidak perlu khawatir," jawabnya, suaranya lembut namun penuh pengertian.
Sementara mereka berbincang, perahu terus meluncur pelan di atas kolam. Cahaya lampu-lampu putih redup memantul di permukaan air, menciptakan kilauan keemasan yang memukau. Kunang-kunang beterbangan di sekitar mereka, sesekali hinggap di pilar-pilar kayu atau tanaman merambat yang menghiasi tempat itu. Suara gemercik air dan alunan musik kecapi dan suling bambu dari lantai dua menciptakan suasana yang magis dan menenangkan.
Mereka semua duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati momen ini. Meskipun masih banyak misteri yang harus dipecahkan, malam ini mereka memilih untuk bersantai dan menikmati kebersamaan. Tenebrist menatap ke arah air, matanya penuh renungan. Banyak hal yang terjadi, banyak hal yang ia rasakan, tetapi perasaannya yang paling dominan adalah Ia merasa lega.
Malam di Aetheris Hall semakin larut, tetapi suasana di atas perahu tetap hangat dan penuh keakraban. Cahaya lampu-lampu putih redup yang memantul di permukaan air kolam menciptakan kilauan keemasan, sementara kunang-kunang beterbangan di sekitar mereka, menambah nuansa magis yang memukau. Suara gemercik air dan alunan musik kecapi dan suling bambu dari lantai dua terus mengalun lembut, menciptakan latar yang sempurna untuk momen kebersamaan ini.
Namun, di tengah keheningan yang nyaman, Elijah terlihat gelisah. Matanya yang hijau zamrud memancarkan kekhawatiran. Ia sebenarnya enggan merusak momen ini, tetapi pikirannya terus kembali ke apa yang terjadi di kota bawah tanah. Bagaimana nasib goblin-goblin yang mereka selamatkan? Apakah mereka benar-benar tidak perlu membantu Elandor dalam menyelidiki kejanggalan di Syslodia? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggunya, dan akhirnya, ia memutuskan untuk berbicara.
"Lyra," kata Elijah, suaranya pelan namun penuh perhatian, "aku masih khawatir dengan apa yang terjadi di kota bawah tanah. Bagaimana nasib goblin-goblin itu ke depannya? Dan apakah kita benar-benar tidak perlu membantu Elandor untuk kasus ini? Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini."
Lyra, yang duduk bersebelahan dengan Tenebrist, menoleh ke arah Elijah. Wajahnya tenang, tetapi matanya yang biru memancarkan ketegasan. "Goblin-goblin itu untuk saat ini diperbolehkan tinggal di kerajaan elf. Mereka akan mendapatkan perlindungan dan perawatan yang mereka butuhkan," jelasnya, suaranya meyakinkan. "Dan untuk Elandor, tidak perlu khawatir. Dia jauh lebih kuat dari apa yang telah kalian lihat. Aku percaya dia bisa menangani ini."
Elijah mengangguk perlahan, mencerna penjelasan Lyra. Namun, kekhawatirannya belum sepenuhnya hilang. "Tapi bukankah kejanggalan di Syslodia ini bisa jadi hal yang sangat besar? Apa kita tidak sebaiknya membantu Elandor?" tanyanya lagi, suaranya penuh keingintahuan.
Lyra tersenyum kecil, menghargai kekhawatiran Elijah. "Memang benar, kasus ini mungkin lebih besar dari yang kita kira. Tapi ada hal lain yang tidak kalah penting, yaitu misi kita ke wilayah troll. Solusi paling efisien adalah membagi dua tugas ini. Aku mempercayakan urusan goblin dan kejanggalan di Syslodia kepada Elandor. Dia mampu menangani itu sementara kita fokus pada misi kita."
Elijah mendengarkan dengan seksama, lalu mengangguk mengerti. "Baiklah, kalau begitu aku percaya pada keputusanmu," katanya, suaranya lebih tenang. Ia kemudian meneguk birnya dengan santai, mencoba menikmati momen ini kembali.
Stark, yang duduk di sebelah Elijah, tak bisa menahan diri untuk mengolok. "Hati-hati mabuk, algojo tua," katanya, sambil tersenyum lebar. Rambut perak kebiruannya yang pendek terlihat berkilau di bawah cahaya lampu, sementara matanya yang hitam memancarkan keceriaan.
Elijah membalas dengan senyuman kecil. "Ah, tenang saja. Tubuhku tidak kerempeng seperti kau, Stark," jawabnya, suaranya penuh canda. Ia kemudian meneguk birnya lagi, kali ini dengan lebih banyak, seolah-olah menantang Stark. Stark meladeni itu; ia ikut meneguk birnya lebih banyak.
Lyra dan Tenebrist tertawa melihat mereka. Suara tawa mereka menggema di atas perahu, menciptakan suasana yang lebih rileks dan akrab. Tenebrist, dengan rambut hijau toska dan poni pink yang tertutup tudung, terlihat lebih santai menatap mereka. Matanya yang hijau keemasan memancarkan kelegaan, dan ia diam-diam tersenyum. Pertaruhan tahap dua selesai, batinnya. 29Please respect copyright.PENANAcYbFKhJHbF