Tenebrist yang tiba-tiba pergi meninggalkan ruangan memberikan kesan membingungkan dan mengkhawatirkan, tetapi tidak ada yang beranjak. Ada sesuatu yang lebih membingungkan sedang terjadi, yaitu Fatum mereka semua bersinar. Cahaya itu terbagi jadi dua warna: Ungu seperti racun bersinar di masing-masing Fatum milik goblin, ada yang bersinar di punggung, di kaki, di leher, menyesuaikan tempat Fatum terbentuk di tubuh mereka, dan putih cerah untuk seluruh ras lain di sana. 16Please respect copyright.PENANAaZhFeQmwjm
Fatum yang bersinar itu perlahan memudar, meninggalkan ruangan dalam keheningan yang mencekam. Tidak ada yang berbicara, seolah mereka semua masih terperangkap dalam perasaan campur aduk kebingungan. Hanya suara napas yang terdengar, bersahut-sahutan dengan denyut jantung yang berdegup kencang di dada mereka.
Elf, yang ternyata bernama Lyra, menutup buku tua di tangannya dengan lembut, bunyi halaman yang bergesekan terdengar nyaring di tengah keheningan. Ia menghela napas, lalu memandang ke arah Ruvak dan para goblin yang masih menunduk, tampak gelisah. “Fatum ini,” katanya pelan, tetapi suaranya cukup jelas untuk terdengar oleh semua yang hadir, “seperti tidak seharusnya digunakan oleh ras goblin.”
Elijah mengerutkan kening. Sementara Stark--yang bersandar di kursi kayu tua—melipat kedua tangannya, menutupi sebagian kemeja biru longgarnya. Ia mulai sesekali mengacak rambut silver kebiruannya, mencoba mencerna pernyataan yang baru saja ia dengar. Sejujurnya ia mencoba mencerna seluruh hal yang terjadi. Ini semua terlalu asing bagi dia, terlalu…. Baru.
“Apa maksudmu?” tanya Elijah akhirnya, suaranya berat namun penuh ketertarikan.
Lyra memandang mereka satu per satu, lalu menunjuk buku yang masih ia pegang. “Ketika Fatum kalian bersinar tadi, ada perbedaan yang sangat jelas. Fatum milik kalian bertiga memancarkan cahaya putih terang, tapi sementara Fatum para goblin...” Ia menoleh pada Ruvak, yang masih tampak sedikit gemetar dengan kepala menunduk. “Cahayanya berwarna ungu tua, seperti racun.”
Ruvak tampak menggigil saat mendengar itu, meskipun ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya bisa berdiam diri, mulai menyandarkan punggungnya ke dinding di dekat pintu. Elijah melirik ke arah goblin itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Jadi, apa artinya itu?” desaknya.
“Artinya Fatum itu adalah kutukan bagi kami.” Ruvak berkata dengan sedikit lirih, seperti teringat kejadian mengerikan. Ia mencengkram kedua lengannya. Kepalanya menghadap lantai kayu tua.
Lyra menarik napas panjang, matanya memandang ke arah pintu tempat Tenebrist tadi berlari keluar. “Artinya,” katanya dengan nada serius, “Fatum ini, kekuatan yang diberikan oleh Nephilim, seperti tidak pernah diperuntukkan untuk ras goblin. Setiap kali mereka mencoba menggunakannya, mereka tidak bisa mengendalikannya. Mereka kehilangan akal dan menjadi seperti binatang buas.” Ia padahal tidak bertubuh besar, pakainnya pun hanya kaos putih polos dengan aksen kuning, dan celananya hanya celana biasa berwarna hitam selutut. Tetapi apa yang baru saja ia katakan berhasil memberikan hawa tekanan yang kuat.
Elijah dan Stark saling berpandangan, mengingat goblin yang menyerang mereka di jalan masuk kota bawah tanah. “Itu menjelaskan kenapa goblin yang kami hadapi di pintu masuk berubah menjadi liar,” kata Stark akhirnya. “Itu bukan karena dia ingin menyerang kami. Itu karena Fatum.”
Lyra mengangguk. “Benar. Dan ini juga menjelaskan kenapa goblin tidak bisa melawan ketika mereka ditindas. Fatum yang seharusnya menjadi kekuatan tambahan justru menjadi kelemahan mereka.”
“Lalu kenapa mereka diperbudak?” tanya Elijah, suaranya kini lebih rendah. “Kenapa tidak ada yang menghentikan ini? Bahkan Nephilim?”
Lyra mengangkat bahu dengan raut wajah muram. “Tidak ada yang tahu pasti. Dugaan yang paling sering disebutkan adalah karena dosa masa lalu goblin masih membekas. Mereka dulunya adalah ras yang paling ganas dan kejam, memimpin perang dan menghancurkan banyak kehidupan. Mungkin ini adalah hukuman mereka.”
Stark mengepalkan tangannya, terlihat kesal dengan jawaban itu. “Atau mungkin,” katanya tajam, “karena makhluk hidup memang senang menindas yang lebih lemah.”
Ruangan kembali sunyi. Kata-kata Stark terasa seperti pisau tajam yang menusuk kenyataan. Lyra memandangnya dengan tatapan penuh rasa hormat, tetapi ia tidak menanggapi. Sebaliknya, ia melirik ke arah pintu, seolah ingin menyusul Tenebrist. Namun, ia mengurungkan niatnya.
“Untuk sekarang,” katanya, mengubah topik, “aku hanya bisa mengatakan bahwa ada lebih banyak hal yang harus kita ketahui. Dan itu termasuk hubungan antara Fatum, Nephilim, dan tujuan sebenarnya dari kekuatan ini.”
Ruvak mengangkat wajahnya perlahan, matanya dipenuhi rasa putus asa bercampur harapan. “Jadi, ada harapan untuk kami?”
Lyra tersenyum tipis, meskipun ada kesedihan di balik senyum itu. “Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, jika kalian ingin mencari jawaban, kalian harus melangkah lebih jauh dari Syslodia. Jawabannya tidak ada di sini.”
Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Elijah dan Stark semakin menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Namun, sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari luar, lembut namun penuh kepastian, memecah keheningan yang menggantung berat di ruangan. Semua kepala menoleh, dan di ambang pintu berdirilah Tenebrist. Sosoknya yang biasanya anggun tampak sedikit terguncang, tudungnya yang biasa tertutup kini terbuka—memperlihatkan sebagian rambut hijau toska dengan poni sakuranya dengan jelas. Tetapi setidaknya ia sudah kembali menguasai dirinya. Napasnya teratur meski masih terdengar samar-samar. Ia bersandar pada dinding dekat Ruvak, mata hijaunya memancarkan ketajaman yang tak terbantahkan, menatap langsung ke arah Lyra. Wajahnya pucat, namun sorot matanya tidak kehilangan ketegasan. Ia menggenggam syal merah di lehernya, seperti berusaha untuk mendapat ketenangan tambahan.
Ruangan itu dipenuhi keheningan yang hampir mencekik, hingga akhirnya suara Tenebrist memecahnya. “Aku ingin tahu kemana perginya Nephilim.” Suaranya terdengar datar, tetapi ketegangan tersembunyi di dalamnya tak bisa disembunyikan. Ia melangkah pelan menuju meja perkumpulan, tongkatnya mengetuk lantai kayu dengan bunyi pelan setiap kali ia melangkah. “Jika dia pencipta Fatum, mengapa dia tidak membantu goblin yang kini menderita? Dan kenapa hanya goblin yang tidak bisa menggunakan Fatum tanpa kehilangan akal sehat?” Ia bertanya tanpa menghentikan langkah pelannya, sangat pelan.
Pertanyaan itu menggantung di udara seperti awan gelap, memenuhi ruangan kecil itu dengan ketidaknyamanan. Goblin-goblin lain yang berada di sudut ruangan saling melirik dengan ekspresi gelisah, seperti anak-anak yang ketahuan melakukan kesalahan. Bahkan Lyra, elf yang biasanya tenang, tampak sedikit terkejut. Namun, ia dengan cepat menguasai dirinya, melipat tangan di depan dada dan menghela napas panjang.
“Pertanyaan itu... sudah lama menghantui kami juga,” katanya akhirnya. Suaranya lembut, tetapi ada nada kelelahan yang jelas. Jemarinya yang lentik menyentuh sampul buku, mengikuti pola ukiran yang terukir di permukaannya. “Tidak ada yang tahu pasti. Bahkan bagaimana Nephilim menciptakan Fatum... itu masih menjadi misteri besar.”
Ia menatap Tenebrist yang telah berhenti melangkah, dan sorot matanya yang tajam memancarkan kesungguhan. “Sejarah mencatat bahwa Nephilim adalah makhluk yang diciptakan oleh segelintir individu dari berbagai ras yang menginginkan perdamaian. Elf, troll, manusia, dwarf, wildbeast, dan bahkan goblin, semuanya terlibat. Tetapi bagaimana mereka menciptakannya? Bagaimana sesuatu seperti itu bisa ada? Tidak ada yang tahu pasti.”
Tenebrist—kini berdiri di dekat Stark yang masih duduk, hampir membelakangi yang lain—mendengarkan dengan seksama, pikirannya tampak bekerja keras mencerna setiap kata. Bayangan tubuhnya yang tinggi dan berjubah hitam dengan garis emas tampak memanjang di dinding kayu yang kusam, dipantulkan oleh cahaya lampu minyak. Ia memegang tongkatnya dengan erat, seolah benda itu memberinya pegangan di tengah ketidakpastian. Ia tidak sadar sedaritadi ia diperhatikan oleh Lyra.
“Oh iya, Tenebrist,” kata Lyra pelan, “kau tidak apa? Aku ingin tahu kenapa kau tiba-tiba pergi ketika buku milikku memberikan resonansi Fatum.” lanjutnya. Tenebrist tidak langsung menjawab. Ia sedikit mencengkram syal merahnya. Sepertinya jawaban dari pertanyaan itu cukup berat buat ia jawab.
“Dampak dari menggunakan dua doppelganger bersamaan. Aku muntah.” Katanya kemudian tanpa menoleh. Elijah dan Stark segera menoleh ke arah Tenebrist. Mereka khawatir. Lyra hanya tersenyum, ia kemudian sedikit menepuk bukunya, seperti mengarahkan topik pembicaraan kembali pada situasi yang lebih penting.
Di sudut ruangan, Elijah—sepertinya sudah lelah berlama-lama duduk—berdiri dengan tangan bersedekap, pandangannya tajam seperti pedang. Armor ungu gelapnya berhasil membuat dia tampak sangat besar dan mengintimidasi. Wajahnya keras, tetapi ada sedikit keraguan yang terlihat. “Aku kepikiran… Bagaimana kita bisa yakin bahwa Fatum ini adalah hal yang baik?” tanyanya akhirnya. Kata-katanya terucap dengan nada datar, tetapi cukup tajam untuk membuat suasana semakin tegang. “Jika Nephilim menciptakan sesuatu yang membuat satu ras kehilangan kendali, bukankah itu… salah?”
Lyra mengangkat pandangannya dari buku, menatap langsung ke arah Elijah. “Itulah dilema terbesarnya,” jawabnya dengan suara nyaris berbisik. “Mungkin Nephilim tidak sempurna. Atau mungkin dia tidak menyadari efek samping ini. Kita tidak tahu. Dan tanpa lebih banyak bukti, kita hanya bisa menebak-nebak.”
Stark, yang duduk bersandar pada kursi reyot di sudut ruangan, akhirnya angkat bicara. Suaranya terdengar datar, hampir seperti gumaman. “Jadi, semua ini hanya spekulasi? Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi?”
Lyra mengangguk perlahan, senyum kecil yang penuh keprihatinan menghiasi wajahnya. “Ya, spekulasi. Tapi kita tidak bisa berhenti di sini.”
Tenebrist membalikkan badannya. Ia melangkah maju, jubahnya yang panjang berayun pelan. Ia berdiri di dekat Lyra, tongkatnya menghantam lantai dengan bunyi lembut. Sorot matanya yang tajam bertemu langsung dengan mata elf itu. “Kalau begitu, kita harus mencari jawabannya,” katanya dengan nada tegas. “Jika Nephilim benar-benar ada, kita harus menemukannya. Dan kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Fatum ini, dengan Nephilim.”
Ruvak tiba-tiba berbicara, suaranya kecil dan gemetar. “Tapi bagaimana jika jawabannya... bukan seperti yang kita harapkan? Bagaimana jika... semua ini adalah kesalahan besar?”
Semua orang menoleh ke arahnya. Ruvak terlihat kecil dan rapuh di bawah cahaya lampu minyak, tangannya yang gemetar ia genggam dengan erat. Pertanyaannya menggantung di udara seperti bayangan gelap, membuat semua orang terdiam dalam perenungan yang berat. Di tengah keheningan itu, hanya bunyi gelegak api kecil yang terdengar, seolah menandai waktu yang terus berjalan tanpa henti.
Ruangan itu terasa berat dengan keheningan setelah Ruvak melontarkan pertanyaannya. Cahaya lampu minyak yang bergetar menciptakan bayangan bergerak di dinding, seolah-olah ruangan itu sendiri sedang menahan napas. Udara terasa lebih pengap dari sebelumnya, mencerminkan ketegangan yang tidak terucapkan. Tenebrist berdiri di dekat meja, jubah hitamnya tampak menyerap cahaya redup. Mata hijaunya yang sesekali berkilat emas terfokus pada buku di atas meja, tetapi pikirannya jelas melayang jauh di tempat lain.
Ia akhirnya memecah keheningan, suaranya tenang namun penuh pertimbangan. “Aku mengerti kenapa goblin memilih hidup di bawah tanah. Jika Fatum hanya membawa kehancuran bagi mereka, maka melawan bukanlah pilihan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang tidak masuk akal.” Ia mengubah pandangannya ke arah Lyra. “Jika Nephilim diciptakan untuk perdamaian, kenapa dia meninggalkan goblin seperti ini?”
Lyra tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengusap lembut permukaan buku di depannya, jemarinya mengikuti ukiran di sampulnya seolah sedang membaca cerita tersembunyi di balik pola-pola kuno itu. Akhirnya, ia mengangkat kepala, menatap Tenebrist dengan sorot mata yang penuh pemikiran. “Itu pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya. Tapi aku punya petunjuk.” Suaranya rendah namun terisi dengan keyakinan.
Ia menepuk buku itu sekali lagi, seperti menegaskan pentingnya benda itu. “Aku menduga, jika ada catatan yang lebih lengkap tentang Nephilim, maka catatan itu ada di perpustakaan besar milik kerajaan Elf.”
Elijah, masih di sudut ruangan, mengerutkan kening. Ia meluruskan tubuhnya perlahan, matanya memancarkan kewaspadaan. “Kerajaan Elf?” gumamnya. “Jadi, kau pikir mereka menyimpan sesuatu yang kita tidak tahu?”
Lyra mengangguk. “Elf adalah ras yang hidup jauh lebih lama dibandingkan ras lain. Jika ini terjadi tiga abad lalu, maka catatan tentang Nephilim dan Fatum seharusnya masih ada di sana. Masalahnya adalah, perpustakaan itu terlalu besar. Bahkan dengan umur panjang seorang elf, aku bisa menghabiskan ratusan tahun membaca dan hanya menyentuh sebagian kecil dari koleksi buku yang ada.”
Tenebrist mengerutkan alis, merenungkan informasi itu. Tanpa sadar ia memutar kembali badannya dan berjalan dengan sangat perlahan sambil terus-terusan berpikir. Di dekatnya, Stark masih menyilangkan tangan di dada sambil terus menyandarkan punggungnya pada kursi. “Jadi kau butuh bantuan untuk menyaring informasi,” katanya akhirnya, suaranya santai tetapi tegas.
Lyra mengangguk kecil, bibirnya melengkung dalam senyum tipis. “Tepat sekali. Tapi ini bukan sekadar tentang membaca buku. Ini tentang menemukan petunjuk yang mungkin tersembunyi di antara ribuan hingga jutaan halaman. Bisa jadi lebih. Aku membutuhkan orang-orang yang tidak hanya peduli pada nasib goblin, tetapi juga mempertanyakan mengapa Nephilim menghilang.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Elijah memecahnya, suaranya berat dengan spekulasi. “Atau mungkin, Nephilim tidak benar-benar menghilang begitu saja.” Ia melangkah maju, ekspresinya suram. “Pikirkan ini: seseorang atau sesuatu mungkin memanfaatkan kepergian Nephilim. Setelah Perang Besar, mungkin ada pihak yang perlahan-lahan menciptakan kekacauan, menggunakan ketidakhadiran Nephilim untuk memperkuat kendali mereka. Dan pihak ini mengerti tentang asal usul Nephilim serta cara kerja Fatum.”
Lyra menatap Elijah, matanya melebar sedikit. Ia tidak menyangkal, tetapi tidak juga mengiyakan. “Kemungkinan itu,” katanya perlahan, “tidak bisa diabaikan.”
Stark, yang sedari tadi diam, mengangkat bahu dengan senyum kecil yang menyiratkan keraguan. “Atau mungkin semuanya hanya kebetulan buruk. Tapi kalau begitu, apa yang akan kita lakukan di perpustakaan Elf? Mencari petunjuk atau membuktikan teori? Menambah beberapa orang saja sepertinya tidak akan membuahkan hasil yang baik.”
Lyra menghela napas panjang, langkahnya membawa ia ke jendela kecil di sudut ruangan. Bayangan lampu minyak dari luar menciptakan pola di wajahnya yang tampak tenang tetapi penuh pemikiran. “Aku tidak tahu apa yang akan kita temukan di sana,” katanya akhirnya. “Tapi jika ada satu tempat di dunia ini yang menyimpan jawaban, itu adalah perpustakaan Elf.”
Tenebrist berhenti melangkah, matanya menatap ke bawah—ke lantai kayu tua. “Jika ada peluang untuk menemukan jawaban, maka aku akan ikut.”
Elijah mengangguk, sementara Stark menatap ke luar pintu, matanya menyipit. “Kalau begitu, kita punya rencana. Kita berangkat saat matahari pertama muncul,” katanya dengan nada lebih serius dari biasanya.
Lyra menatap mereka semua, ekspresinya mencerminkan campuran rasa syukur dan keraguan. “Baiklah,” katanya pelan. “Tapi ingat, ini bukan perjalanan yang mudah.”
Tenebrist tetap berdiri di tempatnya, sedikit jauh dari yang lain kecuali Stark. Jubah hitamnya dengan garis emas memantulkan sedikit kilauan dari cahaya lampu minyak. Jemarinya menyentuh dagu, ekspresinya menunjukkan bahwa ia sedang menimbang sesuatu. Ia telah menyusun sebuah ide, tetapi memilih untuk menahannya. Lyra, bagaimanapun juga, adalah seorang elf. Jika Lyra tidak tahu siapa kelompok elf yang membantu menciptakan Nephilim, apakah ini berarti kelompok itu benar-benar telah menghilang? Atau mungkinkah mereka masih ada, tersembunyi di suatu tempat?
Ia menghela napas pelan, sedikit berusaha menoleh ke arah Lyra, lalu akhirnya membuka suara dengan nada hati-hati. “Kau adalah seorang elf. Apakah kau tidak mengenal, atau setidaknya mengetahui, kelompok dari rasmu yang pernah mendukung terciptanya Nephilim? Rasmu hidup begitu lama; mereka mungkin masih ada.”
Lyra menatap Tenebrist dengan pandangan yang sulit diartikan, seolah menimbang sesuatu. Akhirnya, ia menggeleng perlahan. “Aku mengerti arah pertanyaanmu,” jawabnya, suaranya terdengar seperti bisikan yang tenggelam dalam keheningan. “Dan kau benar, kemungkinan itu ada. Tapi aku tidak tahu pasti siapa mereka. Aku bahkan tidak yakin apakah mereka benar-benar masih hidup, meskipun usia elf panjang. Jika mereka memang ada, mereka sangat pandai menyembunyikan jejak.”
Tenebrist menunduk sedikit, mengangguk pelan. Jawaban itu tidak sepenuhnya mengejutkan, tetapi tetap meninggalkan celah ketidakpastian. Ia kembali tenggelam dalam pikirannya, memikirkan langkah berikutnya.
Di sudut ruangan, Stark berdiri dengan sikap santai yang biasa, tetapi matanya memancarkan ketegangan. Ia menyilangkan tangan di dada, mengamati interaksi itu dengan penuh perhatian. Dalam benaknya, sebuah pertanyaan besar berputar. Gurunya—roh dari lima master samurai yang legendaris—mungkin mengetahui sesuatu.
Kelima master itu bukan hanya saksi Perang Besar, tetapi juga pemimpin sebagian manusia yang ikut berjuang saat itu. Jika ada pihak yang mengetahui kelompok elf yang terlibat dalam penciptaan Nephilim, mungkin mereka adalah orangnya. Tapi desa Stark adalah rahasia besar. Sejak kecil, ia diajarkan bahwa desanya harus tetap terisolasi dari dunia luar, seperti sebuah oasis yang dijaga dengan penuh kehati-hatian.
Bayangan desa itu melintas di pikirannya. Jalanan berbatu yang mengular di antara hutan bambu, rumah-rumah sederhana dengan atap genteng yang berkilauan di bawah sinar bulan. Selalu ada keheningan yang menyelimuti, hanya sesekali terdengar suara burung malam atau angin yang berdesir melewati daun. Stark menyadari, tidak pernah ada satu ras pun selain manusia yang datang ke sana. Tidak ada elf, goblin, atau bahkan dwarf.
Ia memejamkan mata sejenak, menahan keraguan yang mulai tumbuh. Desa itu dijaga ketat, bukan tanpa alasan. Tapi apa alasannya? Mengapa mereka mengisolasi diri sedemikian rupa? Dan yang lebih penting, apakah ia siap untuk membeberkan rahasia desanya demi membantu perjalanan ini?
Stark melirik Tenebrist, yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya, dan kemudian ke arah Lyra, yang kini menatap jendela kecil dengan ekspresi murung. Ia tahu bahwa jika ada waktu untuk mengungkapkan sesuatu, waktu itu adalah sekarang. Tetapi mulutnya tetap terkunci.
“Stark?” suara Elijah memecah lamunan. Pemuda itu menatapnya, matanya yang hijau penuh dengan ketenangan seperti biasanya. “Kau terlihat gelisah. Ada sesuatu yang ingin kau katakan?”
Stark tersentak sedikit, tetapi dengan cepat menguasai dirinya. Ia memasang senyum kecil yang biasa ia gunakan untuk menyembunyikan pikirannya. “Tidak,” katanya, suaranya ringan. “Aku hanya berpikir tentang perjalanan ke kerajaan Elf. Sepertinya akan sangat menarik.”
Elijah mengamati Stark sejenak, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Namun, ia memilih untuk tidak memaksanya. “Kita semua punya sesuatu untuk dipikirkan,” gumamnya sambil kembali menyandarkan tubuh pada tamengnya.
Stark menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa keputusannya untuk menyimpan rahasia itu mungkin akan membebaninya nanti. Tetapi untuk saat ini, ia memilih diam, menunggu saat yang lebih tepat untuk mengungkapkan semuanya.
Di tengah ruangan yang redup, pemimpin goblin akhirnya angkat bicara. Suaranya serak tetapi penuh wibawa, memecah keheningan yang menggantung di udara. Ia bersandar di kursinya yang besar, tangannya yang sedikit besar namun kuat mencengkeram sandaran lengan kayu yang sudah usang.
“Kalian terlalu banyak berpikir,” katanya, nada suaranya datar tetapi menekan. “Kadang-kadang, terlalu lama mempertimbangkan hanya akan membawa kita pada kebingungan yang lebih besar. Pilihan yang ada sudah jelas—pergi ke perpustakaan milik Elf. Itu satu-satunya harapan kalian sekarang.”
Matanya yang kecil tetapi tajam menatap mereka satu per satu, seolah menantang siapa pun yang berani membantah. Tenebrist berdiri tegak, tetapi ada sedikit keraguan yang tergambar di wajahnya. Stark memalingkan wajahnya sedikit, berusaha menyembunyikan pikirannya.
Dalam hatinya, Stark merasa was-was. Ia melirik Elijah sekilas, lalu kembali memandang lantai, tidak ingin menarik perhatian Lyra. Kekhawatirannya membuncah—Elijah telah diasingkan oleh ras Elf karena darah troll yang mengalir dalam tubuhnya. Mereka menganggapnya sebagai aib, sebuah noda dalam garis keturunan mereka yang murni. Jika mereka kembali ke wilayah Elf, apa yang akan terjadi pada Elijah?
Elijah, yang menyadari kekhawatiran Stark, meliriknya dengan tenang. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan, meyakinkan Stark dengan cara yang paling sederhana. Akhirnya, ia berbisik, suaranya nyaris tenggelam di antara suara api yang berderak di lampu minyak. “Tidak apa-apa,” katanya, nada suaranya mantap tetapi ada keraguan samar yang tidak bisa disembunyikan. “Seharusnya aman. Semoga aman.”
Kata-kata itu, meskipun pendek, menambah beban dalam pikiran Stark. Ia ingin mempercayai Elijah, tetapi bayangan masa lalu Elijah yang penuh luka tetap menghantuinya.
Sementara itu, Tenebrist menatap pemimpin goblin dengan penuh pertimbangan. Kata-kata lelaki tua itu memang masuk akal, tetapi tetap saja, ada keraguan yang menggantung. Ia memikirkan semua kemungkinan, semua jalan lain yang mungkin mereka tempuh. Tetapi pada akhirnya, semua itu hanya membawa mereka kembali pada satu kesimpulan. Tidak ada pilihan lain.
Tenebrist menghela napas pelan, lalu berbalik dan menoleh ke arah Lyra. “Kami membutuhkan bantuanmu untuk masuk ke kerajaan Elf,” katanya akhirnya, nada suaranya tegas meskipun ada sedikit ketidakpastian.
Lyra, yang sedari tadi diam, menatap Tenebrist dengan ekspresi datar. Tetapi di balik ketenangannya, ada kelelahan yang terlihat jelas. “Baik,” jawabnya singkat. “Aku akan membantu. Ini bukan sesuatu yang bisa kulakukan sendiri. Pertanyaan ini terlalu berat untuk dipikul seorang diri.”
Tenebrist mengangguk, dan untuk pertama kalinya, sedikit ketenangan tergambar di wajahnya. Ia melirik ke arah Elijah dan Stark, mencari tanda persetujuan. Stark, meskipun masih diliputi keraguan, memberikan anggukan kecil. Elijah hanya tersenyum tipis, penuh keyakinan yang mungkin lebih ia tunjukkan daripada ia rasakan.
Pemimpin goblin memperhatikan mereka semua dengan mata yang menyipit, lalu bersandar kembali ke kursinya. “Bagus,” katanya singkat. “Semoga keputusan ini membawa kalian ke jawaban yang kalian cari.”
Ruangan itu kembali sunyi, hanya diisi suara samar napas mereka dan nyala lampu minyak yang bergetar. Di luar, suara angin di terowongan bawah tanah yang mengalir sesekali menuju kota bawah tanah terdengar seperti bisikan yang membawa peringatan.
Setelah berdiskusi panjang sembari memperkenalkan diri, keputusan akhirnya tercapai. Mereka berempat, setelah berpamitan dengan pemimpin goblin dan mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan, bersiap untuk meninggalkan kota bawah tanah. Mereka perlu istirahat dulu, dan sayangnya tempat ini tidak cocok untuk mereka beristirahat. Tenebrist, yang sudah berbalik hendak pergi, dihentikan sejenak oleh pemimpin goblin yang tampak ragu-ragu. Mata si pemimpin itu mengisyaratkan sebuah kecemasan yang dalam, namun kata-kata yang ingin ia sampaikan seolah terhalang oleh sesuatu yang tak terlihat.
Dengan ekspresi yang penuh ketegangan, si pemimpin itu akhirnya mengeluarkan kata-kata singkat namun seperti mendalam. “Hati-hati,” katanya dengan suara yang lebih berat dari biasanya. Meskipun hanya dua kata, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Tenebrist berhenti sejenak. Namun, karena kecemasannya sendiri dan keinginan untuk segera meninggalkan tempat itu, Tenebrist tidak memperpanjang percakapan tersebut dan melangkah pergi, tanpa menyadari betapa mendalamnya pesan yang tersirat dalam tatapan pemimpin goblin.
Mereka berempat melanjutkan perjalanan mereka. Suasana kota bawah tanah terasa semakin berat saat mereka bergerak menuju jalan penghubung yang akan membawa mereka keluar menuju Syslodia. Pemandangan rumah-rumah bobrok para goblin kini berganti menjadi lorong-lorong gelap dengan batuan kasar yang tak terawat semakin mempertegas kesan suram yang menyelimuti tempat ini.
Lyra, elf cantik dengan rambut panjang kuning terurai sepunggung, kaos putih polos dengan aksen kuning, dan celana hitam selutut yang simpel, memimpin mereka dengan lentera minyak yang digenggam erat di tangannya. Cahaya lentera itu bergetar pelan, memberi penerangan yang hanya cukup untuk beberapa langkah di depan. Wajahnya yang lembut terlihat fokus. Tangan kirinya senantiasa memegang buku kesayangannya
Di belakang Lyra, Stark berjalan dengan postur tegap, rambut silver kebiruan yang sedikit berantakan terlihat kontras dengan kegelapan yang mengelilinginya. Kemeja biru longgar dan celana hitam fleksibel membuatnya terlihat santai meski gerakannya lebih berhati-hati. Katana tersarung di pinggangnya, dan sesekali, ia mengusap bilahnya, memastikan bahwa ia siap untuk apapun yang datang. Meskipun langkahnya tampak kuat dan percaya diri, wajahnya sedikit menampilkan tanda-tanda kelelahan setelah perjalanan panjang ini.
Tenebrist melangkah di belakangnya Tongkat panjangnya mengayun sesekali seiring ia berjalan. Wajahnya terlihat cukup lelah, mata hijaunya tidak seterang biasanya. Tudung yang ia kenakan seperti berhasil menambah beban perjalanannya, maka ia membuka tudung itu, memperlihatkan rambut hijau toskanya. Ia mengelap keringat di dahinya, mengatur nafasnya yang sesekali terengah. Dia belum beristirahat total setelah pertarungan melawan goblin, perjalanan ini sangat melelahkan baginya.
Elijah, dengan tubuh besarnya yang hampir tersembunyi di balik armor ungu gelap, berjalan mantap di paling belakang. Armor ungu gelap yang menutupi sebagian besar tubuhnya memberi kesan tangguh, ia tampak tidak lelah sedikitpun. Wajahnya yang terlihat keras, dengan mata emerald yang selalu waspada, tetap tenang meskipun tubuh besarnya yang berbentuk troll membuatnya sedikit cemas. Ia berharap Lyra tidak menyadari itu. Syukurlah armor yang ia pakai sejauh ini selalu bisa menyembunyikan identitasnya.
Ketika mereka sampai di persimpangan jalan yang akan mengarahkan mereka ke pintu keluar—langsung menuju kota Syslodia, Stark melirik ke arah Tenebrist. "Apakah kita tidak keluar lewat jalan yang sama seperti pertama kali?" tanyanya dengan suara yang penuh keraguan. "Tidak. Sumur itu terlalu sulit untuk dipanjat, dan tidak ada tali," jawab Tenebrist dengan nada pasrah.
"Mau tidak mau, kita harus melewati jalan yang menghubungkan langsung ke Syslodia," ujar Elijah, meskipun ada kekhawatiran yang jelas di wajahnya. Kota Syslodia, tempat mereka sebelumnya diusir, adalah tempat yang kini penuh dengan ancaman. Mereka tahu, begitu mereka sampai di sana, kemungkinan besar akan ada pertemuan dengan penjaga yang tidak bersahabat.
Stark menatap Tenebrist. "Kau bisa menggunakan doppelganger-mu untuk mengalihkan perhatian mereka, bukan? Saat para penjaga sibuk mengejar doppelganger itu, kita bisa keluar tanpa terdeteksi."
Namun, Tenebrist hanya menggelengkan kepala dengan lelah. "Aku sudah kehabisan energi setelah melawan goblin tadi. Doppelganger-ku hanya bisa muncul dua kali, dan sekarang aku butuh istirahat—makan, tidur—agar bisa memulihkan kekuatanku."
Lyra, yang sudah sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. "Mungkin aku bisa keluar terlebih dahulu," katanya dengan tenang. "Aku tidak ada masalah dengan kota Syslodia. Mereka tidak akan mengenaliku. Aku akan memeriksa keadaan di sana, memastikan apakah sudah aman. Setelah itu, aku akan memanggil kalian."
Mereka bertiga saling berpandangan, tak banyak pilihan yang tersisa. Setelah beberapa saat, mereka akhirnya sepakat untuk mengikuti saran Lyra dan melanjutkan perjalanan.
Keheningan yang melingkupi mereka membuat langkah kaki mereka terdengar lebih keras dari biasanya, setiap detik semakin menambah ketegangan yang sudah terasa sejak awal perjalanan. Jalanan yang mereka tempuh semakin sempit, dikelilingi oleh dinding-dinding batu yang lembab dan licin. Setiap langkah menambah rasa cemas, seakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik kegelapan itu. Suara langkah kaki mereka bergema dengan gemerisik angin yang terdengar dari ujung jalan, membuat suasana semakin mencekam.
Bau tanah basah yang menyengat dan udara yang kering menambah ketegangan di setiap langkah mereka. Lyra melangkah lebih cepat, tampak tidak terburu-buru meski tubuhnya yang ramping terlihat begitu lincah dan penuh perhatian. Namun, Tenebrist dan yang lainnya bisa merasakan betapa mereka sedang menuju tempat yang penuh dengan ketidakpastian. Kegelapan semakin menyelimuti, dan meskipun mereka terus berjalan maju, tidak ada yang tahu pasti apa yang menunggu di depan.
“Aku heran, Stark,” Kata Elijah memecah keheningan. Stark menoleh bingung. “Kau tampak mudah ketakutan ketika kita berada di Forest of Gloom, tetapi kenapa di tempat yang tidak kalah mencekamnya ini, kau tampak baik-baik saja?” Lanjutnya.
“Sudah kubilang aku bukannya takut.” Stark menyangkal, “Aku hanya sangat waspada. Di Forest of Gloom, sangat banyak hawa hawa yang terasa mengancam. Di sini tidak ada, setidaknya aku tidak merasakannya.” Meskipun sebenarnya Stark memang tidak suka suasana di sini.
Mereka akhirnya tiba di jalan penghubung yang dimaksud, dan pemandangan yang mereka hadapi tak kalah suram dari lorong-lorong sebelumnya. Jalan yang mereka tempuh kini dihalangi oleh pagar besar, tampak seperti pintu penjara yang setengah tertutup, seolah mengingatkan mereka bahwa kebebasan masih jauh. Pagar itu terbuat dari besi yang berkarat, dengan celah-celah yang cukup lebar untuk dilihat, namun cukup rapat untuk mencegah mereka lewat begitu saja.
Lyra mendekati pagar itu, meraih kunci besar yang tergantung di pinggangnya, dan dengan gerakan sigap, ia membuka pagar tersebut. Pintu besi itu berderit keras, menimbulkan suara yang menembus keheningan yang mendalam. Setelah beberapa saat, pagar itu terbuka lebar, memberikan mereka jalan untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka mulai berjalan bersama, melangkah dan perlahan menanjak di atas jalan setapak yang sempit dan gelap. Hanya lampu lentera kuning yang menggantung di tiang-tiang tinggi, memberi sedikit penerangan yang jaraknya sangat berjauhan. Cahaya lentera itu bergoyang tertiup angin, menciptakan bayangan panjang di sepanjang dinding batu yang basah. Keheningan menyelimuti mereka, hanya langkah kaki yang terdengar, terkadang diselingi dengan suara gemerisik angin yang berhembus dari lorong-lorong sempit.
Dalam keheningan itu, Lyra mencoba mencairkan suasana. "Elijah," katanya dengan nada yang lebih ringan sambil menghampiri Elijah, "Kau bisa berjalan tanpa terlihat lelah, meskipun perlengkapanmu tampak sangat berat. Apa rahasianya? Apakah kau memiliki kekuatan tersembunyi atau mungkin rahasia sihir?" Lyra tersenyum kecil, ia sedikit membungkukkan badan dan perlahan mendongak ke atas, berusaha memperhatikan Elijah dari bawah ke atas.
Elijah menatapnya sejenak, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba. Namun, ia tertawa pelan, sebuah tawa yang menghangatkan suasana. "Mungkin aku hanya kebal terhadap rasa lelah," jawabnya dengan humor, meskipun ia tahu betul bahwa itu karena dia memiliki stamina dari troll. "Atau mungkin aku hanya terlalu keras kepala untuk berhenti."
Tawa kecil itu mengalir di antara mereka, dan sejenak, ketegangan yang sudah menyelimuti perjalanan mereka terasa sedikit mereda. Stark yang berjalan di samping mereka ikut tersenyum, meskipun tetap waspada terhadap keadaan sekitar. “Aku menjulukinya algojo” Kata Stark kemudian.
“Ya, dan aku menjuluki Stark si kucing penakut.” Balas Elijah.
Stark menoleh sedikit kesal ke arah Elijah, “Rasaku kau tidak pernah memanggilku begitu.”
“Oh baik baik. Aku akan memanggilmu dengan sebutan itu sekarang, wahai kucing penakut.” Elijah sedikit tertawa, wajahnya jelas-jelas terlihat sengaja meledek. Stark pura-purak sebal meskipun ia akhirnya tersenyum.
Mereka terus menanjak, perlahan mendekati ujung jalan. Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah jalan buntu, dengan pintu besi tua yang tampak seperti sudah lama tidak digunakan. Pintu itu, meskipun besar dan kokoh, terlihat cukup usang, dengan karat yang menutupi sebagian besar permukaannya. Namun, ternyata pintu itu tidak terkunci, dan Lyra dengan cekatan membukanya.
Suara deritan pintu yang terbuka menambah ketegangan yang mulai kembali merayapi mereka. Lyra melangkah keluar terlebih dahulu, memastikan tidak ada ancaman yang mengintai. Sementara itu, Tenebrist, Elijah, dan Stark berdiri sedikit di belakang, waspada dan siap jika situasi berubah menjadi lebih buruk. Cahaya yang masuk, meskipun tidak sepenuhnya, berhasil menyilaukan mata mereka bertiga. Setelah cukup lama berada di kota bawah tanah, sinar matahari seperti menjadi hal yang asing. Sembari menunggu aba-aba dari Lyra, mereka berusaha mengadaptasikan diri dengan cahaya terang.
Lyra akhirnya memanggil mereka, pertanda aman untuk keluar. Ketika mereka keluar, langit masih terlihat terang, dengan sisa-sisa cahaya matahari sore yang menyinari kota. Namun, ketenangan yang aneh menyelimuti kota itu, sangat kontras dengan kesan yang mereka dapatkan saat pertama kali datang.
Kota Syslodia, yang dikenal dengan kesibukannya, kini tampak kosong. Biasanya, kota ini selalu ramai, penuh dengan berbagai ras yang beraktivitas di jalan-jalan sempitnya. Di sini, ras elf dengan langkah elegannya berjalan beriringan dengan beastman yang biasa bekerja keras tanpa mengenal lelah. Di sudut-sudut jalan, suara tawa anak-anak troll terdengar, sementara para manusia dan dwarf sibuk dengan alat mereka, memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Sihir, telekinesis, dan kemampuan unik lainnya sering kali terlihat di udara, saling bersinggungan dalam harmoni yang aneh namun menenangkan. Kadang ada juga beberapa orang dari beragam ras yang terlihat berkomunikasi dengan telepati. Sesekali akan ada anak kecil nakal yang sengaja melaju cepat menggunakan sihir angin, tetapi orang tuanya menghentikannya dengan sihir tanaman yang merambat ke kaki anak tersebut. Suara riuh dari segala macam kerumunan itu selalu melambangkan kedamaian bahagia yang dijaga dengan susah payah.
Namun, kali ini, yang mereka lihat adalah sebuah kota yang seperti kota mati. Tidak ada satu pun aktivitas yang biasanya menghidupkan jalan-jalan ini. Bangunan-bangunan yang tinggi dan megah, dengan desain yang mencampurkan arsitektur berbagai ras, berdiri dengan angkuh, namun kosong. Pintu-pintu rumah yang biasanya terbuka, kini tertutup rapat. Jalan-jalan yang dulu ramai dengan langkah kaki, kini sepi, hanya menyisakan debu yang beterbangan ditiup angin. Tidak ada suara obrolan, tidak ada cahaya dari kemampuan sihir yang biasanya berkelip-kelip. Hanya suara angin yang berdesir pelan, menyisir jalan-jalan yang kosong.
Ketika mereka melangkah lebih jauh, suasana semakin menekan. Setiap langkah yang mereka ambil terasa berat, seolah-olah kota ini sedang mengingatkan mereka akan sesuatu yang hilang. Pemandangan itu begitu kontras dengan ingatan mereka tentang kota ini yang penuh kehidupan sehari-hari. Di tengah keheningan yang mencekam ini, mereka hampir bisa merasakan kekosongan yang meresap ke dalam setiap sudut kota. Sebenarnya apa yang terjadi selama satu hari terakhir? Batin mereka.
Tenebrist, yang biasanya sangat cermat, tampak mengamati sekelilingnya dengan perasaan tidak nyaman. "Apa yang terjadi di sini?" gumamnya, matanya menelusuri setiap lorong, berharap melihat sesuatu, apapun yang bisa menjelaskan keadaan ini.
Stark berjalan di sampingnya, tetap waspada. "Ini tidak terasa benar," ujarnya dengan suara rendah, seolah takut mengganggu ketenangan yang aneh ini. "Kemarin, ini semua penuh dengan kehidupan, dan sekarang... seperti ada yang hilang."
Elijah mengangguk pelan. "Tapi kita tidak bisa berhenti untuk mencari tahu. Ada yang lebih penting yang harus kita lakukan."
Lyra kini berjalan sedikit di belakang mereka. Rambut kuningnya mulai terlihat lepek karena keringat, kaos putihnya pun mulai terasa gerah. Untungnya ia mengenakan celana pendek selutut, sehingga tidak terlalu merasa kepanasan. "Kita tidak punya banyak waktu," katanya dengan nada serius. "Tapi ada sesuatu yang jelas sedang terjadi di sini. Seharusnya, kita bisa mendengar suara-suara kehidupan, setidaknya sedikit."
Mereka terus berjalan, perlahan menuju pintu gerbang kota, yang kini tampak lebih sunyi dari sebelumnya. Pintu gerbang itu, dengan arsitektur yang rumit, menjadi saksi bisu akan perubahan yang begitu cepat. Biasanya pintu itu sering kali dibuka dengan hiruk-pikuk dari berbagai ras yang datang dan pergi, menyambut setiap kedatangan dan melepas setiap kepergian, dijaga oleh penjaga kota Syslodia. Namun tidak ada penjaga yang terlihat, tidak ada sorak-sorai dari para penduduk kota.
Ketika mereka mencapai pintu gerbang dan melangkah keluar, perasaan kosong itu semakin kuat. Mereka meninggalkan kota yang seharusnya penuh dengan suara dan kehidupan, dan di belakang mereka, Syslodia tampak seperti kota mati, dengan arsitektur yang masih mempertahankan jejak-jejak ramai. Sebuah kota yang seakan-akan kehilangan dirinya dalam waktu yang sangat singkat, padahal hanya satu hari lalu, semua itu masih hidup.
Mereka melangkah maju, meninggalkan Syslodia di belakang mereka, meskipun pikiran mereka terus terbelenggu oleh pertanyaan besar yang belum terjawab: Apa yang sebenarnya terjadi pada kota ini?
Stark memimpin langkah mereka di depan, meskipun wajahnya tampak sedikit lelah, semangatnya tetap terlihat di setiap langkah yang ia ambil. Rambut silver kebiruannya yang sedikit berantakan tertiup angin sore yang semakin sejuk, dan meskipun tubuhnya sudah mulai terasa lelah, ia terus melangkah dengan mantap. Katana yang tersarung di pinggang kanan bergerak pelan mengikuti gerakan tubuhnya, dan sesekali ia melirik ke belakang untuk memastikan bahwa mereka semua masih berada dalam satu barisan.
Di belakang Stark, Tenebrist melangkah lebih pelan, tubuhnya tampak lebih lelah dari yang lain. Rambut panjang hijau toskanya yang dikepang tersembunyi di balik jubah hitam bergaris emas tampak sedikit berantakan, dan syal merah di lehernya terlihat melambai pelan mengikuti gerakannya. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, dan meskipun ia berusaha keras untuk tetap tegak, setiap langkah terasa berat baginya. Sesekali ia menggunakan tongkatnya untuk bertopang. Ketegangan masih terbayang di wajahnya, seperti ada sesuatu yang masih mengganggu pikirannya. Namun, kelelahan fisiknya jauh lebih terasa. Ia mengeluarkan hampir seluruh energinya untuk melawan goblin dengan menggunakan dua doppelgangernya di sumur tua, dan sekarang tubuhnya harus menanggung konsekuensinya. Tenebrist sesekali menyeka keringat yang mulai mengalir di dahinya, mencoba untuk tetap berfokus, meskipun kakinya terasa seperti akan ambruk setiap saat. Untungnya angin sore itu begitu sejuk, sedikit mengurangi rasa lelahnya.
Elijah, sedikit bersebelahan dengan Tenebrist, berjalan dengan sangat lancar. Tubuh besarnya yang kekar dan armor ungu gelap yang dikenakannya tak tampak mengganggu langkahnya sedikit pun. Dia terlihat hampir tidak kenal lelah, setiap langkahnya kokoh dan mantap. Gada besar yang selalu ia pegang di tangan kanannya terlihat berat, namun tidak ada tanda-tanda bahwa ia merasa terbebani. Matanya yang berwarna emerald tetap tajam dan fokus, meskipun tubuhnya yang besar jelas lebih rentan terhadap kelelahan. Namun, Elijah memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, dan itulah yang membuatnya bisa terus bergerak tanpa tampak kelelahan. Ia sesekali memperhatikan Tenebrist yang sangat kelelahan, terlintas di pikirannya untuk menawarkan bantuan. Tetapi ketika ia menawarkan, Tenebrist menolak halus.
Lyra, yang berjalan di belakang Tenebrist, sedikit lebih ringan langkahnya dibandingkan dengan yang lain, tetapi ia pun mulai merasakan sedikit kelelahan. Rambut kuning panjang sebahu yang terurai sedikit berkibar tertiup angin, dan meskipun ia tetap terlihat cantik, tubuh elf cantik ini sedikit menunjukkan tanda-tanda lelah. Kaos putih simpel dan celana pendek hitam selututnya tampak sedikit kusut karena perjalanan yang panjang, dan buku kesayangannya yang selalu dibawa terasa sedikit lebih berat di tangan kirinya. Namun, ia tetap berjalan dengan penuh keyakinan, matanya selalu memperhatikan sekitar, memastikan semuanya berjalan dengan aman.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju timur, tempat mereka berkemah sebelumnya, dekat dengan jalan menuju Forest of Gloom. Mereka masih bertemu dengan ras-ras lain yang tampak lebih segar dan energik. Beberapa dari mereka berjalan dengan langkah cepat, ada yang terbang dengan ringan, ada yang membawa barang-barang berat menggunakan telekinesis, dan ada pula yang menggunakan sihir es untuk menciptakan es batu untuk minuman mereka, sambil tertawa riang. Suasana yang mereka temui terasa kontras dengan kelelahan yang mereka rasakan.
Stark tersenyum melihat beberapa orang yang duduk santai di dekat bukit, menikmati pemandangan matahari yang sebentar lagi akan terbenam. “Lihat mereka,” katanya dengan senyum tipis, meskipun sedikit lelah. “Mereka terlihat begitu santai. Rasanya ingin ikut duduk dan menikmati hari.”
Tenebrist menoleh ke arah mereka, matanya yang hijau dengan kilauan emas sedikit redup. "Jika kita bisa sejenak menikmati pemandangan seperti mereka, pasti akan menyegarkan," jawabnya, suaranya terdengar sedikit lemah.
Elijah mengangguk, namun wajahnya tetap serius. “Tapi kita punya tujuan yang lebih penting. Kita harus tetap fokus.”
Lyra tersenyum, melihat ke arah mereka yang tampaknya sedang menikmati waktu mereka dengan tenang. “Kadang, sedikit relaksasi itu penting,” katanya sambil mempercepat langkahnya sedikit. “Namun, kita tahu kita harus terus berjalan.”
Mereka terus melangkah, angin sejuk yang berhembus semakin memberikan kenyamanan bagi tubuh yang mulai lelah. Tenebrist merasakan angin itu dengan penuh rasa syukur, meskipun tubuhnya terasa seperti akan runtuh. Ia menyeka keringat yang terus mengalir di dahinya, merasa sedikit lebih ringan. Udara yang segar membuatnya merasa sedikit lebih hidup meskipun kelelahan yang ia rasakan. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih sulit, namun ia berusaha keras untuk tetap melangkah.
Hari mulai senja, dan langit berubah menjadi kuning oranye, menandakan bahwa waktu beristirahat sudah semakin dekat. Mereka akhirnya tiba di lokasi yang sudah mereka cari-cari untuk perkemahan mereka. Untungnya, mereka menemukan lokasi bekas perkemahan orang lain yang masih menyisakan beberapa tanda—pondasi api unggun yang siap dinyalakan dan beberapa kayu sisa yang dapat digunakan untuk api unggun mereka sendiri. Lokasi itu berada di sebelah aliran sungai kecil, airnya jernih dan dangkal, memantulkan cahaya senja yang lembut. Bebatuan kerikil di dasar sungai terlihat jelas, menciptakan pemandangan yang menenangkan di tengah kelelahan mereka.
Mereka semua merasa lega. Tempat ini sempurna untuk beristirahat sejenak. Tanpa banyak bicara, mereka langsung memutuskan untuk mendirikan tenda dan menyiapkan api unggun. Tenebrist, yang terlihat sangat lelah, diinstruksikan oleh Elijah untuk duduk dan beristirahat. Elijah tahu betul bahwa Tenebrist telah menahan kelelahan selama perjalanan, bahkan mungkin lebih dari yang ia tunjukkan. Dengan tubuh yang hampir tidak bisa digerakkan, Tenebrist akhirnya duduk di dekat tepi aliran sungai, membuka jubah hitamnya lalu menyandarkan punggungnya ke pohon yang rindang. Rambut panjang kepangnya ia arahkan ke depan, menutupi bahu dan seperti diistirahatkan di pahanya. Badannya beristirahat, tetapi otaknya terus berputar, berpikir tentang banyak hal. Syal merahnya masih setia menjuntai di leher, tetapi kali ini ditemani oleh baju kaos putih. Ia memejamkan mata, mengehela nafas beberapa kali, berusaha menenangkan diri.
Terlalu banyak elemen baru yang perlu aku waspadai. Batinnya. Sesekali ia membuka mata, menoleh ke arah Lyra yang duduk di dekat api unggun, sebelum akhirnya terjun ke dalam pikirannya lagi. Tanpa sadar ia berdecak, ia tidak suka kalau harus bergerak sebelum bisa mematangkan rencananya. Semenjak ia menyadari bahwa quest penyelamatan goblin benar-benar tidak diperdulikan, ia sudah menduga ada yang aneh. Ia tahu bahwa ia perlu menggali lebih dalam tentang ini. Setelah mendengar cerita Ruvak di Rusty Keg kemarin, khususnya terkait perlakuan terhadap goblin dan tentang kota bawah tanah, Tenebrist tahu bahwa ia harus segera menyusun rencana menuju kota tersebut. Spekulasinya adalah, Ruvak dapat membantu mereka menuju kota bawah tanah dengan aman. Tetapi ia tidak menduga bahwa goblin bisa kehilangan kendali. Kemudian informasi yang ia pelajari barusan, di Pusat Distrik goblin, memberikan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Sekarang ditambah kehadiran Lyra. Tenebrist belum bisa mempercayai Lyra sama sekali. Kehadiran Lyra aneh, terlalu kebetulan, terlalu… tepat.
Tenebrist mengambil nafas panjang. Kadang kelemahannya adalah pemikiran yang bisa berlebihan. Lagipula, kondisinya sekarang sangat melelahkan. Ia tidak mampu berpikir lebih jauh. Untuk sementara ia akan berusaha istirahat sambil menyimpulkan seluruh kejadian yang telah terjadi. Nanti, ketika ia sudah pulih, ia akan mencoba memikirkan langkah berikutnya, termasuk seluruh skenario dari kemungkinan yang dapat terjadi.
Sementara itu, Stark mengambil pisau kecilnya dan mulai mengasah sebuah kayu, berusaha membuat tombak sederhana. Setelah itu, ia berniat mencoba menangkap ikan untuk makan malam. Gerakannya cepat dan terampil, namun wajahnya yang sedikit lelah menandakan bahwa ia pun membutuhkan waktu untuk bersantai. Stark sesekali memperhatikan Tenebrist. Terlihat dengan jelas bahwa Tenebrist merenungkan sesuatu dan memendamnya sendirian, seperti yang ia lakukan ketika ia menyelamatkan Ruvak. Stark, setelah meletakkan perolehan ikannya di dekat api unggun, berjalan menghampiri Tenebrist. Ia duduk di sebelahnya. Tenebrist tampak tidak peduli dan tetap memejamkan mata.
“Jadi, apa yang kau pikirkan sekarang?” Tanya Stark. Tenebrist perlahan membuka matanya.
“Terlalu banyak.” Jawabnya pelan. Stark menatapnya dengan tatapan perhatian, seperti ingin mengatakan bahwa ia siap dibebani dengan pikiran itu. Tetapi ia hanya tersenyum. Tenebrist perlahan menoleh ke arah Stark. Ia mengerti bahwa Stark ingin berusaha menghiburnya, tetapi tidak tahu harus berkata apa.
Tenebrist tersenyum, “Kau orang baik, Stark,” katanya, “Aku harap kau memang sesungguhnya orang baik.” Perkataan Tenebrist sedikit membuat Stark terkejut. Ia kembali tersenyum.
“Warna rambutmu indah, ya.” Kata Stark kemudian, berusaha mengganti topik. Tenebrist tersenyum tipis berterima kasih.
“Kau tahu,” kata Stark, “Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu, tetapi biar kupersingkat,” lanjutnya. Ia berhenti sejenak, seperti menunggu respon Tenebrist. Tenebrist tetap berdiam diri, mata hijaunya menatap ke tanah. “Kenapa kau memendam banyak hal sendirian?” Stark akhirnya melontarkan pertanyaannya.
Tenebrist tidak langsung menjawab. Ia masih menatap tanah, meskipun dalam pikirannya ia memikirkan hal lain. “Sejujurnya aku lelah memendam dan memikirkan banyak hal seorang diri,” katanya kemudian, “Tetapi… aku tidak tahu siapa yang bisa kupercaya.” Sambungnya.
“Aku?” Tanya Stark sambil menunjuk wajahnya yang masih tersenyum. Tenebrist tampak sangat ragu menjawab. Ia sangat ingin percaya kepada Stark. Kepada Elijah juga. Namun seperti ada hal berat yang membuat ia tidak dapat percaya sembarangan dengan mudah.
Tenebrist menundukkan kepala, melipat lututnya dan berusaha menyembunyikan setengah wajahnya di balik lutut itu, dibantu oleh kedua tangannya yang terlipat di atas lutut. “Maaf.” Katanya pelan, lirih. Stark hanya tersenyum sambil menatapnya. Lalu ia memutuskan untuk menemani Tenebrist yang beristirahat di bawah pohon rindang.
Elijah, di sisi lain, mulai berniat untuk melepaskan armornya yang terasa berat. Namun, begitu ia melirik ke arah Lyra, yang sedang duduk di dekat api unggun, ia mengurungkan niatnya. Ia merasa tidak nyaman jika melepas armornya di hadapan elf yang baru mereka kenal ini, meskipun rasanya tubuhnya sangat membutuhkan sedikit kebebasan. Di balik armor ungu gelapnya, tubuh besar Elijah menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh terlihat Lyra. Tubuhnya bukan hanya besar, tetapi juga berbentuk troll, dengan bulu hitam tipis yang menutupi seluruh tubuhnya, meskipun tidak panjang. Rasa khawatirnya semakin besar, takut identitasnya yang sebenarnya akan terbongkar mengingat Lyra merupakan ras elf—ras yang telah mengasingkannya.
Lyra, yang sedari tadi memperhatikan mereka, terutama Elijah, perlahan menghampiri pria berbadan besar itu. Ia mengamati gerak-geriknya dengan hati-hati, seperti sedang memperhatikan sesuatu yang menarik perhatiannya. Tanpa suara, ia berjalan mendekat hingga akhirnya berdiri di dekat Elijah. Ada sesuatu yang berbeda di wajahnya—sesuatu yang menunjukkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Setelah beberapa saat, ia akhirnya membuka mulut, suaranya lembut namun jelas di tengah keheningan malam yang mulai turun.
“Halo, aib yang berjalan.”16Please respect copyright.PENANA0fAmopsxrJ