Hening. Sepi yang menusuk, seakan menggema di ruangan batu yang dingin dan tak berjiwa. Tenebrist duduk di sudut ruangan penjara yang gelap, tubuhnya meringkuk seperti mencoba melindungi diri dari serangan dunia luar. Lututnya dilipat, dipeluk erat oleh kedua tangannya, seolah itu satu-satunya cara untuk tetap utuh. Tudung jubah hitamnya, dengan garis emas yang menjalar anggun dari lengan menuju tudung, hampir sepenuhnya menutupi kepala dan wajahnya, hanya menyisakan bayangan samar matanya yang tersembunyi dalam gelap. Ia menunduk dalam-dalam, seperti ingin menyembunyikan dirinya dari kenyataan yang menyakitkan. Aura di sekitarnya terasa berat, hampir mencekik. Tidak ada kata-kata, tidak ada air mata, namun setiap inci udara di penjara itu memancarkan amarah, kesedihan, dan kekecewaan yang tak terucapkan. Seperti ada energi tak kasatmata yang merambat dari tubuhnya, dingin dan penuh tekanan. Ruangan kecil itu tidak hanya kosong secara fisik, tetapi juga terasa kehilangan semua kehidupan. Tongkat panjangnya, yang selalu menjadi bagian dirinya, hilang. Keberadaan tongkat itu, yang biasanya menenangkan, kini tergantikan oleh kekosongan yang semakin membuatnya merasa rapuh. Tersisa syal merahnya yang senantiasa menemani. Ia sudah berada di sana hanya beberapa jam, tetapi waktu terasa seperti terhenti. Setiap detik yang berlalu menyeretnya lebih dalam ke dalam perasaan takut dan khawatir yang tidak bisa ia abaikan. Tak ada suara langkah kaki di koridor luar, tak ada cahaya lilin yang berpendar. Hanya ia, bayangan jubahnya yang melingkupi tubuh, dan gelap yang mengisi setiap sudut ruangan. Dunia luar terasa begitu jauh, hampir tidak nyata lagi.20Please respect copyright.PENANAt4h0S5VXjU
Di tempat lain, pintu kayu cokelat berdiri megah di ujung koridor yang terang, dihiasi ukiran emas yang membentuk kata “Aula Consilii” dalam bahasa kuno elf. Pintu itu tampak seperti gerbang menuju tempat yang suci dan berwibawa. Di kedua sisinya, berdiri dua penjaga elf dengan postur sempurna. Mereka mengenakan armor giok hijau yang berkilauan, seperti terbuat dari batu hidup, lengkap dengan ukiran sulur dan daun yang melambangkan keharmonisan hutan. Mereka berdiri tanpa gerak, seperti patung hidup yang siap melindungi apapun yang ada di balik pintu.
Di balik pintu itu terdapat ruangan terang benderang. Cahaya putih mengisi setiap sudut, membuat setiap detail ruangan terlihat jelas. Lantai di ruangan itu dilapisi karpet biru, dan di tiap sudutnya ada rak buku yang bersandingan dengan pot tanaman hias. Sebuah meja besar berbentuk oval mendominasi di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi kayu jati yang dirancang dengan keindahan luar biasa. Ukiran tanaman merambat menjalar dari kaki kursi, naik ke lengan dan sandaran, menciptakan kesan harmoni yang serupa dengan jembatan kerajaan. Kursi-kursi itu hampir semuanya terisi. Para elf yang duduk di sana, baik pria maupun wanita, adalah petinggi militer kerajaan elf. Mereka mengenakan armor yang sama dengan penjaga gerbang—giok hijau dengan ukiran halus—tetapi bahu mereka dihiasi strip emas yang menandakan pangkat. Ada yang hanya memiliki satu strip emas, ada dua, dan ada pula yang tiga, menonjolkan hirarki tanpa perlu kata-kata. Di ujung meja oval, satu kursi sengaja dibiarkan kosong, menghadap langsung ke pintu masuk.
Angin sejuk berembus dari jendela-jendela besar yang terbuka, membawa aroma hutan yang segar namun menciptakan suasana dingin. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya keheningan yang diisi dengan tatapan tajam dan penuh pertimbangan. Mereka menunggu sesuatu. Atau mungkin seseorang. Ruangan itu terasa tegang meski tidak ada satu pun yang bergerak. Hanya suara angin yang sesekali terdengar. Aura formal dan disiplin yang menyelimuti ruangan terasa hampir tak tertembus, seperti setiap sudutnya menyimpan rahasia yang hanya diketahui oleh mereka yang hadir.
Pintu kayu coklat dengan ukiran emas itu terbuka perlahan, suaranya terdengar seperti suara pintu dengan kualitas yang sangat baik. Semua kepala di ruangan itu serentak menoleh, mata-mata tajam para elf yang duduk di sekeliling meja oval besar tertuju ke arah pintu. Di ambang pintu, Lyra berdiri. Armor kebanggaan elf yang dikenakannya berkilau, terbuat dari giok hijau dengan detail ukiran rumit berbentuk sulur tanaman yang tampak hidup. Di bahunya, sebuah strip emas membentuk huruf V, mencolok namun penuh wibawa. Tidak ada senyuman dewasa yang biasa menghiasi wajah Lyra. Tatapannya tajam, serius, dan penuh tekad. Ia melangkah masuk, tenang namun berwibawa, seolah-olah kehadirannya sudah lebih dari cukup untuk menguasai ruangan.
Lyra tidak mengindahkan tatapan para elf yang menatapnya. Ia terus berjalan, melewati meja besar itu menuju ujung yang kosong, tempat ia berhenti dan berdiri dengan punggung tegak, perlahan berbalik. Mata birunya yang tajam menyapu seluruh elf di ruangan itu satu per satu, memberikan kesan bahwa ia tidak hanya melihat, tetapi menilai mereka semua. Dalam bahasa elf yang indah namun tegas, Lyra berbicara.
“Ada dua orang yang sudah kuputuskan wajib untuk ikut.”
Tanpa memberi waktu untuk pertanyaan atau keberatan, Lyra menoleh ke pintu dan berseru dalam bahasa Renant.
“Stark, Elijah. Masuk.”
Panggilannya bergema di ruangan yang hening. Dua sosok muncul dari balik pintu yang terbuka.
Elijah melangkah masuk lebih dulu, tubuhnya besar dengan armor ungu gelap yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, meskipun gada dan tamengnya tidak terlihat. Wajahnya serius, tetapi jelas terlihat keraguan di matanya. Di belakangnya, Stark mengikuti dengan langkah lebih ringan, tetapi tidak kalah canggung. Dengan kemeja biru tua yang longgar dan celana hitam sederhana, tanpa katana yang biasa ia bawa, ia tampak seperti rakyat biasa yang dipanggil untuk alasan yang tidak ia mengerti.
Mereka berhenti tepat di dalam ruangan, berdiri membelakangi pintu. Semua elf di meja oval itu menatap mereka dengan rasa penasaran yang tak disembunyikan. Beberapa mata bahkan menyipit, mempertanyakan keputusan Lyra. Namun Lyra tidak bereaksi terhadap tatapan itu.
“Tutup pintunya.”
Suara Lyra tegas, tak terbantahkan. Stark dan Elijah menutup pintu di belakang mereka, kayu coklat itu kembali menutup dengan bunyi berat. Setelahnya, mereka tetap berdiri di tempat, mematung seperti penjaga, dengan Lyra di depan mereka dan meja penuh elf di sekeliling.
Suasana kembali hening, tegang. Angin dari jendela besar di sisi ruangan berembus perlahan, membawa aroma segar hutan yang seakan kontras dengan beratnya atmosfer di dalam aula. Lyra memecah keheningan dengan tatapan tegas ke salah satu elf wanita yang duduk di dekat ujung meja, tak jauh dari tempat Lyra berdiri.
Elf wanita itu, dengan rambut panjang kuning perak yang diikat rapi, mengangguk ringan sebagai jawaban. Perlahan, ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan mengangkat tangan kirinya ke depan. Gerakannya anggun, seperti menahan sesuatu yang tak terlihat. Tangan kanannya dengan hati-hati menyentuh sebuah buku tebal yang tergeletak di depannya, di atas meja. Buku itu memiliki sampul kulit berwarna coklat tua dengan ukiran emas yang bersinar samar. Dari tangan kirinya, cahaya mulai memancar. Cahaya itu tumbuh, membentuk layar hologram besar penuh warna, berbentuk persegi yang bercahaya lembut. Layar itu mengambang di udara, menutupi pandangan ke Lyra yang berdiri di belakangnya.
Layar itu penuh dengan tulisan kecil yang bergerak perlahan, seolah-olah mereka hidup. Sebagian besar tulisan terlalu kecil untuk dibaca, tetapi di tengah layar, empat kata besar mencuri perhatian:
“Nephilim”20Please respect copyright.PENANAiBhoX2evJ7
“Fatum”20Please respect copyright.PENANAQyIKlmNGhV
“Naturia”20Please respect copyright.PENANAVWueUPwwMe
“Goblin”
Tulisan-tulisan itu memancarkan cahaya yang berbeda, masing-masing berpendar dengan intensitas yang berbeda pula, seolah menyampaikan sesuatu yang mendalam. Para elf di ruangan itu tetap diam, mata mereka tertuju pada layar, dan ketegangan di udara terasa semakin berat.
Layar hologram di depan Lyra terus memancarkan cahaya, tulisan-tulisan kecil di dalamnya bergerak pelan seperti riak air yang berkilauan. Cahaya lembut dari layar itu memantul ke wajah Lyra, membuat tatapan seriusnya semakin jelas terlihat meskipun masih tersembunyi di balik layar. Semua mata tertuju pada hologram. Keheningan ruangan hanya diisi oleh suara napas yang tertahan, hingga Lyra akhirnya membuka mulut untuk berbicara.
“Sebagaimana yang kita tahu, keluarga Vedera telah menghabiskan ratusan tahun untuk mempelajari keempat hal ini.”
Suaranya lantang, berwibawa, namun tidak berlebihan. Nada bicaranya tegas, membawa perhatian penuh pada setiap kata yang diucapkannya. Ia menatap satu per satu elf yang duduk di sekeliling meja besar, memastikan bahwa tidak ada yang luput dari penjelasannya, dan memastikan bahwa tidak ada yang protes ia menggunakan bahasa Renant. Seluruh elf itu tetap diam mendengarkan dengan seksama, tidak ada yang berani berbicara alih-alih protes.
“Kasus tentang perbudakan goblin, meskipun belum selesai, tetapi sudah jelas sebab akibatnya,” lanjutnya.
Elf wanita yang duduk di sebelah Lyra tetap memejamkan matanya, satu tangan menyentuh buku tebal di depannya. Buku itu tampak seperti menjadi penghubung antara pikirannya dan data yang terkandung di layar hologram. Lyra menarik napas panjang sebelum melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih tegas dan tetap tajam.
“Pertama, Nephilim.” Ujar Lyra singkat dan tegas.
Wanita elf pencipta hologram mengetuk sampul bukunya seraya berkata, “siap, nona Vedera”. Cahaya hologram berubah sedikit lebih terang, menampilkan informasi terkait apa yang elf ketahui tentang Nephilim.
Nephilim
“Kita telah mengetahui bahwa Nephilim bukanlah makhluk yang tercipta secara alami. Ia adalah hasil dari sebuah keputusan yang diambil oleh kelompok kecil dari masing-masing ras: troll, wildbeast, manusia, goblin, elf, dan dwarf. Mereka berkumpul dengan satu tujuan—mengakhiri Perang Besar. Mereka berhasil menciptakan Nephilim, sosok yang membawa perubahan besar bagi dunia kita. Sosok ini tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga menjadi penggerak yang memaksa semua ras untuk berdamai.”
“Berikutnya, Fatum.” Wanita elf mengetuk sampul buku, dan Cahaya hologram itu lagi-lagi berubah perlahan, kali in mememberikan informasi detail tentang fatum.
Fatum
“Nephilim memberikan sesuatu yang kita sebut fatum kepada semua ras. Sebuah anugerah, atau mungkin kutukan, tergantung dari cara kita melihatnya. Fatum memungkinkan setiap individu untuk memiliki kemampuan unik yang berbeda-beda, tergantung di mana fatum itu muncul di tubuh mereka. Ini bukan hanya kekuatan; ini adalah warisan yang diturunkan secara genetik dari generasi ke generasi.”
Lyra berhenti sejenak, matanya menyapu para elf di meja itu. Angin dingin dari jendela yang terbuka menyapu ruangan, membawa aroma tanah basah dari hutan di luar.
“Dampak fatum tidak hanya pada individu, tetapi juga pada dunia secara keseluruhan. Dua perubahan besar yang terjadi karena fatum adalah berakhirnya Perang Besar dan perubahan total dalam budaya setiap ras. Namun, meskipun fatum membawa kedamaian, ia juga membawa konflik baru—terutama bagi mereka yang tidak bisa menggunakannya.”.
Lyra berhenti lagi sejenak, ia menoleh ke arah wanita Elf pemapar hologram. “Lanjut.” Katanya pelan. Wanita elf itu mengetuk sampul bukunya, lalu hologram yang ditampilkan berubah lagi. Kali ini membahas ras naturia. Cahaya di layar hologram berubah sedikit lebih redup saat nama naturia disebutkan, seolah mencerminkan misteri yang menyelimuti ras tersebut.
Naturia
“Dan kemudian ada naturia,” lanjut Lyra, suaranya masih tetap tegas dan tajam. “Ras ini dulu hidup berdampingan dengan kita, tetapi mereka hampir tidak pernah terlibat dalam Perang Besar. Mereka begitu tertutup, bahkan hampir tidak ada yang tahu keberadaan mereka. Naturia memiliki hubungan yang unik dengan dunia, seolah-olah mereka adalah penjaga alam itu sendiri. Tetapi setelah Perang Besar, keberadaan mereka menjadi semakin samar, hingga akhirnya mereka menghilang dari sejarah. Dugaan yang ada adalah, mereka sudah musnah seluruhnya.”
Stark dan Elijah teringat ketika mereka, beberapa hari lalu, melewati Forest of Gloom bersama Tenebrist. Tenebrist sempat mengatakan bahwa, dulu hutan itu adalah tempat tinggal ras naturia. Apakah mungkin masih ada naturia yang diam-diam bersembunyi di sana? Entahlah, mereka tidak paham.
“Lalu yang terakhir,” Kata Lyra. Ia memelankan suaranya, tetapi tetap tajam. Wanita elf di dekatnya sekali lagi mengetuk sampul buku yang disentuhnya.
Goblin
“Kita tahu tentang goblin,” sambung Lyra dengan pelan dan nada yang lebih berat. “Setelah Perang Besar, mereka menjadi sasaran kebencian yang tak pernah padam. Goblin adalah satu-satunya ras yang tidak bisa menggunakan fatum, dan fakta ini dimanfaatkan oleh mereka yang masih memendam dendam dari perang. Mereka diperbudak, dihina, dan diperlakukan dengan cara yang tidak manusiawi.”
Suasana ruangan menjadi semakin dingin, tidak ada yang berbicara.
“Goblin menyadari kelemahan mereka. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa melawan atau menghindari karma dari masa lalu. Akhirnya, mereka memilih untuk menghilang dari dunia atas dan bersembunyi di kota bawah tanah Syslodia. Di sana, mereka mencoba membangun kembali kehidupan, meskipun dalam keterasingan dan penderitaan.”
Lyra menutup penjelasannya dengan menghela napas panjang. Layar hologram tetap memancarkan cahaya, tetapi tulisan-tulisan kecil di dalamnya tampak melambat, seolah menyadari bahwa cerita yang dibawa Lyra telah mencapai akhir untuk saat ini. Para elf di meja oval tetap diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, sementara Lyra berdiri tegak di tempatnya. Ia menatap salah satu elf yang ada di sana, elf itu seperti mengerti—ia mengeluarkan sihir air, diarahkannya sihir air itu ke arah Lyra dengan pelan. Lyra telah menunggu dengan gelas kaca, lalu air itu masuk ke wadah gelas tersebut. Setelahnya, ia memberikan gelas tersebut kepada elf yang lain, elf tersebut kemudian menggunakan fatumnya, memberikan sensasi dingin di gelas yang perlahan mengkristal itu. Gelas itu kemudian dikembalikan kepada Lyra, ia lalu meminumnya. Setelahnya ia menghela nafas sekali lagi.
Ruangan itu kembali sunyi. Suara Lyra yang sebelumnya mengalir penuh keyakinan kini digantikan oleh keheningan yang berat. Hanya suara napas para elf dan desiran lembut angin yang menyelinap melalui celah jendela terdengar samar. Cahaya hologram di depan Lyra perlahan meredup, dan wanita elf yang duduk di sebelahnya membuka mata, memandang Lyra seolah menunggu instruksi berikutnya.
"Sekarang, ini yang kita tidak tahu," ujar Lyra akhirnya, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan yang menekan keheningan. Sejujurnya ia kurang suka terlalu banyak bicara seperti ini. Baginya begitu melelahkan.
Tatapannya berubah tajam, dan ia menoleh pada wanita elf yang mengendalikan hologram. Wanita itu tanpa berkata apa-apa mengetuk sampul buku tebal di depannya. Suara ketukan itu terdengar seperti gema kecil di ruangan, membawa perhatian semua elf yang hadir. Layar hologram berganti.
Cahaya hologram kini lebih redup, menampilkan tiga simbol tanda tanya besar di bagian atas. Di bawahnya, tulisan-tulisan kecil padat memenuhi layar, bergerak pelan seperti tinta hidup. Lyra menatap layar itu dalam-dalam, seperti sedang menimbang-nimbang kata-kata yang akan ia ucapkan.
"Terlalu banyak hal yang masih menjadi misteri," katanya sambil menunjuk layar dengan gerakan pelan. "Terlalu banyak yang tidak kita ketahui.". Layar yang ia tunjuk perlahan membesar, menampilkan informasi dari hal-hal apa saja yang tercatat sebagai ‘belum diketahui’.
Misteri Nephilim
Lyra melanjutkan dengan nada yang sedikit lebih keras. "Kita tidak tahu bagaimana detailnya Nephilim tercipta. Kita tahu bahwa kelompok kecil dari setiap ras—troll, wildbeast, manusia, goblin, elf, dan dwarf—bersatu untuk menciptakan Nephilim. Tapi bagaimana tepatnya mereka melakukannya? Apa yang mereka lakukan hingga menghasilkan sosok maha kuat yang bisa mengubah jalannya sejarah? Tidak ada catatan yang menjelaskan prosesnya. Hanya bayangan samar tentang keberhasilan mereka."
Lyra berhenti sejenak, menatap para elf yang kini terlihat semakin serius.
"Dan lebih dari itu," lanjutnya, "bagaimana Nephilim bisa memberikan fatum? Fatum, kekuatan yang tidak ada sebelum ia lahir. Bagaimana ia menciptakan sesuatu yang melampaui apa yang diketahui oleh dunia saat itu? Dan bagaimana fatum bekerja hingga bisa melekat pada tubuh setiap individu secara berbeda?"
Layar hologram berganti lagi perlahan, si wanita elf tampak tidak perlu instruksi untuk mengetahui bahwa Lyra sudah siap untuk melanjutkan. Lyra memanfaatkan wanita Elf yang tanggap itu untuk minum dan mengambil nafas sejenak. Gerakannya tetap terlihat tegas dan berwibawa. Layar hologram itu telah berganti sepenuhnya, menampilkan informasi berikutnya tentang hal yang belum diketahui dari ras Naturia.
Hilangnya Naturia
Lyra mengalihkan pandangannya ke layar, di mana kata naturia muncul lebih besar dari tulisan lainnya.
"Ras naturia. Dulu mereka ada, tetapi sekarang mereka menghilang. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada mereka. Apakah mereka punah? Apakah mereka memilih untuk menghilang? Atau ada kekuatan lain yang membuat mereka lenyap dari sejarah? Ini adalah misteri yang bahkan keluarga Vedera tidak mampu pecahkan hingga sekarang."
Lyra tanpa sadar berdecak kecil. Informasi tentang naturia ini yang paling tidak membuahkan hasil, meskipun ia, bersama seluruh keturunan Vedera yang lain, telah menghabiskan puluhan hingga ratusan tahun mempelajari ini.
Elijah tampak ingin menanyakan terkait Forest of Gloom, tetapi ia mengurungkan niatnya. Bukan saat yang tepat, setidaknya ia akan menunggu ketika dirinya dengan jelas diperbolehkan berbicara. Maka ia tetap berdiri tegak di sebelah Stark.
Layar hologram kini perlahan berganti lagi, menampilkan informasi dari apa yang tidak diketahui oleh ras elf tenang goblin dan fatum.
Goblin dan Fatum
"Dan yang terakhir… goblin." Suara Lyra terdengar lebih berat, seolah ada emosi yang ia tahan. "Kenapa hanya mereka yang tidak kompatibel dengan fatum? Apa yang membuat mereka berbeda dari ras lain? Apakah ini hukuman? Atau ada alasan yang lebih dalam yang belum kita pahami?"
Keheningan kembali mengisi ruangan setelah Lyra selesai berbicara. Para elf yang hadir tampak tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Wajah-wajah mereka menunjukkan campuran kebingungan, frustrasi, dan rasa ingin tahu. Pertanyaan ini sebenarnya sudah sangat lama menghantui para elf, dan mereka diam-diam berharap rapat kali ini seperti dapat membuahkan hasil baru, atau setidaknya memberi petunjuk untuk melangkahkan kaki ke mana.
Lyra akhirnya memecah keheningan itu.
"Terlalu banyak spekulasi yang ada terkait ini semua, dan kita semua tahu sekedar spekulasi tidak akan membawa kita lebih jauh," katanya dengan tegas. Yang lain mengangguk setuju.
Lyra memandang wanita elf di sebelahnya sekali lagi. Tanpa perlu instruksi verbal, wanita itu mengetuk bukunya lagi. Layar hologram berubah. Kali ini, cahayanya lebih tajam, menampilkan sebuah wajah.
Hologram itu menampilkan wajah seseorang hingga ke bahu. Rambutnya panjang, terurai indah, dengan warna yang mencolok: sisi kiri berwarna merah muda menyala, sementara sisi kanan hijau toska. Dari arah Lyra berdiri, warna itu tampak terbalik, tetapi tetap mencolok. Tanduk panjang membelah poni pendek di dahinya, sementara telinganya runcing seperti elf. Bahunya lebar, hampir sebesar bahu troll.
Stark dan Elijah, yang berdiri membelakangi pintu, langsung menegang. Mata mereka membelalak, sulit mempercayai apa yang mereka lihat.
Itu adalah wajah Tenebrist.
Bukan sekadar kemiripan. Itu benar-benar wajah Tenebrist—setiap detailnya. Dari struktur rahang, bentuk alis, hingga warna matanya yang hijau cerah dengan sedikit kilauan emas, semuanya identik.
Namun, aspek lain pada wajah itu membuatnya terasa asing: tanduk, telinga runcing, dan bahu besar seperti troll. Stark mencuri pandang ke arah Elijah, mencari kepastian bahwa ia tidak salah melihat. Tapi wajah Elijah menunjukkan ekspresi yang sama—kaget dan bingung.
Mereka terdiam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Tidak ada jawaban atas pertanyaan yang mulai mengisi pikiran mereka. Siapa sosok ini? Kenapa wajahnya adalah wajah Tenebrist? Dan yang lebih penting, apa artinya ini semua?
Lyra tetap berdiri tegak di belakang hologram, memperhatikan ekspresi para elf di sekitarnya. Matanya melirik Stark dan Elijah sejenak, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap layar, membiarkan gambar itu berbicara lebih keras daripada kata-kata. Hologram di depan Lyra tetap menampilkan wajah itu, diam dan tidak berubah. Wajah yang menawan, dengan rambut merah muda dan hijau toska yang membelah sempurna, tanduk yang mencuat di dahi, dan mata hijau dengan kilauan emas yang sulit dilupakan. Wajah itu kini menjadi pusat perhatian semua orang di ruangan.
Lyra berdiri tegak di depan meja oval besar, matanya tetap tajam mengamati hologram, seolah mencari jawaban di dalamnya. Hanya suaranya yang terdengar, dingin dan terukur, meskipun di dalam hatinya ia juga dihantui pertanyaan yang tak terjawab.
“Berdasarkan catatan ilustrasi para sesepuh Elf,” ucapnya perlahan, “yang kalian lihat sekarang adalah wajah Nephilim.”
Pernyataan itu jatuh seperti petir di tengah keheningan. Stark dan Elijah sama-sama merasa tubuh mereka membeku. Otak mereka berusaha mencerna kata-kata itu, tetapi semakin mereka mencoba, semakin kabur maknanya. Stark merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Wajah itu. Wajah Tenebrist. Tidak ada keraguan. Ia mencoba mengabaikan detail lain—tanduk, telinga panjang, bahu lebar—dan fokus pada inti yang ia tahu pasti. Itu adalah Tenebrist. Bagaimana mungkin? Apa artinya ini?
Elijah di sampingnya tampak tidak lebih baik. Matanya masih terpaku pada hologram, rahangnya mengeras. Ia jarang menunjukkan emosinya, tetapi saat ini, kebingungannya terlihat sangat jelas. Ia mencoba mengingat percakapan mereka dengan Tenebrist, interaksi sehari-hari, tetapi tidak ada satu pun yang menjelaskan bagaimana ini mungkin terjadi.
Lyra, sementara itu, tidak memberi mereka waktu untuk mengajukan pertanyaan. Ia melanjutkan pembahasannya, mengabaikan kebingungan yang tergambar di wajah mereka.
“Tenebrist sekarang berada di penjara,” pikir Lyra, matanya tetap tertuju pada layar.
Ia ingat bagaimana penangkapan itu terjadi. Cepat, mendadak, tanpa perlawanan. Tenebrist tidak mencoba melawan, tidak mengeluarkan kemampuan uniknya, bahkan tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap mereka dengan pandangan yang sangat berusaha datar, tanpa emosi, sebelum menyerahkan dirinya begitu saja. Lyra bisa melihat bahwa Tenebrist, pada saat itu, berusaha dengan keras untuk menyembunyikan kebingungan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihannya. Ia masih tidak tahu apa yang harus ia pikirkan tentang semua ini. Apakah kemiripan wajah Tenebrist dengan Nephilim hanya kebetulan? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam? Dan yang lebih membingungkan, Tenebrist tidak memiliki fatum. Ini fakta yang tak terbantahkan. Lyra sendiri telah memeriksanya. Tetapi meskipun tanpa fatum, Tenebrist memiliki kemampuan unik: doppelganger. Kemampuan yang kompleks, memanipulasi bentuk dan menciptakan tiruan. Bagaimana mungkin?
Ini adalah kontradiksi yang tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan yang mereka miliki. Fatum adalah sumber semua kemampuan unik. Tanpa fatum, kemampuan itu seharusnya tidak mungkin ada.
“Kalau hanya tidak punya fatum, itu bukan masalah besar,” pikir Lyra. “Mungkin itu hanya kelainan. Tapi bagaimana ia bisa menggunakan kemampuan unik tanpa fatum? Dan lebih penting lagi, kenapa wajahnya identik dengan Nephilim?”
Stark, yang sejak tadi terdiam, akhirnya tidak bisa menahan dirinya.
“Kalau begitu tanyakan langsung baik-baik,” katanya tiba-tiba, suaranya terdengar tajam, “bukan malah menyergapnya secara mendadak dan memenjarakannya! Hanya karena mirip Nephilim dan tidak punya fatum?”. Stark seperti mengerti isi pikiran Lyra. Atau mungkin ia bukannya mengerti, tetapi hanya berasumsi dan berkata sesuai emosi yang ia rasakan.
Suara itu memecah keheningan, tetapi hanya sebentar. Para elf di ruangan itu langsung menatap Stark dengan pandangan tegas. Tidak ada yang bergerak, tetapi tatapan mereka cukup untuk membuatnya merasa terpojok.
Stark mengatupkan rahangnya, mencoba menahan emosinya. Tetapi di dalam pikirannya, konflik itu terus berkecamuk.
“Kenapa mereka harus memenjarakannya? Kenapa tidak berbicara saja dengannya? Apa yang mereka takutkan?”
Lyra menghela napas panjang. Ia tahu argumen Stark tidak sepenuhnya salah. Tetapi situasinya lebih rumit dari yang terlihat. Ia menjelaskan bahwa Tenebrist sudah berkali-kali diinterogasi. Dari pendekatan lembut, penuh kesabaran, hingga metode yang lebih keras dengan bentakan dan tekanan. Tetapi hasilnya sama saja. Ia melanjutkan bahwa, Tenebrist tetap tidak memberikan informasi apa pun, dia selalu mengatakan bahwa dia amnesia.
Kalimat itu terngiang di benaknya. “Aku tidak ingat apa-apa.” Suara Tenebrist waktu itu dingin, lirih, seperti sudah sangat lelah. Lyra memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayangan itu. Ia tahu, tidak ada jawaban mudah untuk misteri ini.
“Tapi dia memang amnesia! Amnesia juga bukan kemauannya!” Suara Stark menggema, memantul di dinding-dinding ruang rapat yang tinggi dan berukir, menciptakan gema samar yang menambahkan ketegangan. Ruangan itu diterangi oleh lampu-lampu kristal yang menggantung rendah, memancarkan cahaya putih yang berpendar lembut di atas meja bundar besar tempat para elf berkumpul.
Tatapan tajam para elf kembali tertuju padanya, menusuk seperti panah yang siap melesat. Salah satu elf yang duduk di dekat Stark, seorang pria bertubuh tegap dengan rambut kuning perak yang diikat rapi, perlahan berdiri. Tubuhnya bergerak dengan keanggunan yang dingin, seolah setiap gerakan telah diperhitungkan. Namun, sebelum ia sempat berkata atau bertindak, Lyra mengangkat tangan. Isyarat kecil itu cukup untuk membuatnya kembali duduk.
Hening sejenak. Udara terasa semakin berat, seolah setiap tarikan napas mengandung beban dari perdebatan yang memanas. “Apa yang membuatmu yakin kalau Tenebrist tidak berbohong?” tanya Lyra. Suaranya terdengar lembut, hampir seperti bisikan, tetapi ada kekuatan di balik nada itu—sebuah ancaman halus yang membuat semua orang tetap diam. Senyumnya yang kecil dan tenang terlihat seperti bayangan yang menunggu di ujung cahaya, menciptakan rasa tidak nyaman yang tak terdefinisi.
Stark terdiam, matanya menyipit seperti sedang mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. Ketika pertama kali bertemu Tenebrist, ia sendiri ragu apakah klaim amnesia itu benar. Kenangan itu kembali menguasai pikirannya—wajah Tenebrist dengan mata hijau keemasan yang memancarkan rasa bingung, dan kehadirannya yang seperti tiba-tiba muncul di sebelah Stark ketika ia mempelajari quest di papan Rusty Keg. Saat itu, bahkan Stark merasa bahwa Tenebrist mungkin saja menyembunyikan sesuatu. Tetapi… Tenebrist juga menunjukkan sisi yang berbeda, sisi yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
“Karena dia…” Stark akhirnya membuka suara, meski ragu-ragu. Ia menelan ludah sebelum melanjutkan. “Terlepas dari pribadinya yang canggung dalam hal emosi, dia adalah orang baik. Dia repot-repot menolong Ruvak agar tidak mati.” Suaranya semakin mantap di akhir kalimat, meski dadanya masih berdebar kencang.
Lyra masih menatapnya, senyumnya tidak berubah. Namun, kini ada kilatan yang lebih tajam di matanya, seperti mata elang yang mengawasi mangsa. “Bagaimana kalau ternyata tujuan Tenebrist bukanlah menolong Ruvak, tetapi memastikan bahwa goblin tetap tertindas?” katanya dengan nada datar.
Stark langsung membalas, “Lalu untuk apa repot-repot menolong Ruvak?” Ia menyadari suaranya meninggi, tetapi ia tidak peduli. Lyra, tanpa kehilangan ketenangannya, menjawab, “Untuk mendapat kepercayaan kalian.”
Kata-kata itu menusuk seperti jarum. Stark menggertakkan gigi, mencoba mencari celah dalam logika Lyra. “Apa pentingnya kepercayaan kami kepada Tenebrist pada saat itu?” tanyanya, mencoba melawan balik. Tetapi Lyra hanya tersenyum lebih lebar, sebuah senyuman yang terasa seperti pisau tersembunyi di balik mantel.
“Bagaimana kalau Tenebrist ternyata adalah jelmaan atau mata-mata dari Nephilim,” katanya dengan suara tenang, “dan dia diturunkan untuk memastikan goblin tidak melakukan perlawanan? Ia juga mencari orang-orang yang masih mendukung goblin, seperti kalian, mendapat kepercayaan mereka, lalu menuntun mereka menuju kematian.”
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan mencekik. Stark merasakan darahnya mendidih. Ia tidak bisa menerima tuduhan itu. Untuk apa menuntun mereka ke kematian? Apa gunanya?
Lyra menjawab pertanyaan itu dengan tenang, “Bagaimana kalau Nephilim ternyata tidak sebaik itu? Bahwa alasan lain dia diciptakan adalah sebagai bentuk balas dendam terhadap perbuatan keji goblin. Makanya goblin tidak bisa menggunakan fatum dan sekarang menjadi yang ditindas. Bagaimana kalau Tenebrist diutus untuk memastikan tidak ada yang tahu tentang ini, dan orang-orang yang berpotensi menguak kebenaran, atau menolong goblin, akan disesatkan dan dituntun menuju kematian?”
Stark memukul meja dengan keras, suaranya menggema seperti gemuruh di ruangan itu. “Itu tidak masuk akal!” teriaknya, tetapi ia bisa merasakan keraguan mulai menyusup di benaknya.
Di sisi lain, di sebelah Stark, Elijah tetap diam. Wajahnya tenang seperti danau tanpa riak. Namun, pikirannya berputar cepat, mencoba mencerna spekulasi Lyra. Ada sesuatu yang masuk akal dalam kata-kata itu, meskipun ia tidak ingin mengakuinya. Jika Nephilim tidak sebaik yang mereka pikirkan, jika ia memang diciptakan untuk membalas dendam kepada goblin, maka semua ini… bisa saja benar.
“Kenapa Tenebrist tidak melakukannya terang-terangan?” akhirnya Elijah bertanya, suaranya terdengar tenang tetapi penuh ketegasan. Maksudnya adalah, asumsikan seluruh spekulasi itu benar, kenapa Nephilim, ataupun Tenebrist, tidak langsung membunuh seluruh goblin ataupun orang-orang yang membantu goblin.
Lyra menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut, tetapi senyumnya tetap ada, seolah ia sudah menyiapkan jawaban ini sejak lama. “Karena ketika kau sangat benci seseorang,” katanya perlahan, “kau tidak ingin ia mati. Kau ingin ia menderita. Dan penderitaan yang paling abadi adalah ketika kau tidak bisa melawan, ketika kau tidak bisa berharap.”
Keheningan kembali menguasai ruangan. Bahkan suara napas terasa terlalu keras di tengah keheningan itu. Udara menjadi dingin, seperti angin malam yang merayap melalui celah-celah kecil. Para elf saling berpandangan, tetapi tidak ada yang berbicara. Spekulasi Lyra menggantung seperti bayangan besar di atas kepala mereka, tidak terjawab, tetapi juga sulit untuk diabaikan.
Lyra menepuk kedua tangannya dengan keras. Suara tepukan itu bergema di ruangan besar, membuyarkan keheningan yang menyesakkan dan menarik perhatian semua yang hadir kembali kepadanya. “Baiklah,” katanya dengan nada yang tegas namun tenang, “semua ini masih spekulasi. Sangat masuk akal, memang, tetapi tetap saja spekulasi.”
Ia menarik napas sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Ada spekulasi lain yang mungkin jauh lebih aneh,” lanjutnya, “misalnya, Nephilim sebenarnya adalah makhluk yang baik. Bahwa dia diam-diam menikah dengan seorang manusia, dan dari pernikahan itu lahirlah Tenebrist. Karena ia adalah keturunan asli Nephilim, Tenebrist tidak membutuhkan fatum untuk menggunakan kemampuan uniknya.”
Beberapa elf saling berpandangan, sebagian terlihat ragu, sebagian lainnya mengerutkan kening seolah mencoba mencerna kemungkinan itu. Lyra tersenyum kecil, meski tidak menyembunyikan nada skeptis dalam suaranya. “Tentu saja, kemungkinan yang ini tampak lebih tidak masuk akal. Tetapi pada akhirnya, semua ini adalah dugaan. Yang jelas, terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan kepada Tenebrist, namun ia sendiri tidak memberikan informasi apa pun. Hal itu memaksa kita untuk terus menahannya di penjara.”
Lyra berhenti sejenak, mengalihkan pandangannya ke arah para elf yang masih diam. “Spekulasi semata tidak akan membawa kita maju. Maka dari itu, kita perlu mengambil keputusan.” Suaranya terdengar mantap, menggema dengan otoritas yang tidak bisa disangkal.
Ia melangkah mendekati meja utama, di mana simbol peradilan elf terpahat dengan rumit di permukaannya. “Rapat ini diadakan untuk memberi tahu kalian semua tentang keputusan yang telah aku buat mengenai Tenebrist. Dia akan diberi waktu satu hari mulai sekarang. Jika dalam waktu tersebut dia tidak memberikan informasi apa pun, maka dia akan dihukum selamanya di penjara.”
Ruangan itu kembali sunyi. Beberapa elf tampak terkejut, sementara yang lain mengangguk setuju. Stark mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan amarahnya, tetapi tidak bisa menemukan kata-kata untuk membantah keputusan Lyra. Elijah, meskipun tetap tenang, menyadari betapa genting situasi ini.
Lyra melanjutkan dengan nada yang lebih dingin, “Aku tidak berani mengambil risiko orang seperti Tenebrist dibiarkan bebas begitu saja. Keputusan ini tidak bisa diganggu gugat.”
Dengan itu, Lyra menutup rapat. Para elf mulai berdiri, kursi-kursi kayu bergeser dengan bunyi gesekan yang melengking. “Rapat selesai,” kata Lyra dengan nada final, sebelum berjalan keluar dari ruangan, diikuti oleh beberapa petinggi elf lain.
Stark dan Elijah tetap berdiri, wajah mereka menunjukkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Ketika seorang penjaga mendekat untuk memberi tahu mereka bahwa mereka bisa beristirahat di penginapan yang telah disediakan, Lyra menambahkan satu hal terakhir sebelum benar-benar meninggalkan ruangan. “Kalian juga diperbolehkan mengunjungi Tenebrist selama matahari masih terbit. Gunakan waktu itu dengan bijak.”
Matahari mulai condong ke barat, memberikan cahaya oranye yang samar melalui jendela-jendela kaca tinggi di sepanjang ruangan. Stark bergerak cepat, hampir seperti ada serangan musuh yang mengharuskan dia segera bertindak. Elijah mengikuti dengan langkah yang lebih tenang, meskipun matanya memancarkan kekhawatiran.
Mereka segera bergegas menuju pintu, di mana seorang penjaga bersenjata menunggu untuk mengantar mereka. Penjaga itu, seorang elf berwajah dingin dengan rambut panjang yang diikat rapi, memberi isyarat agar mereka mengikutinya. Tanpa berkata apa-apa, Stark dan Elijah berjalan di belakangnya, melewati lorong-lorong batu yang panjang dan remang.
Langkah mereka bergema di sepanjang jalan yang sunyi, hanya diiringi suara samar dari angin sore yang berhembus melalui celah-celah kecil di dinding. Perasaan tegang menggantung di udara, seperti bayangan gelap yang tak terlihat tetapi selalu ada. Elijah menatap Stark, melihat rahangnya yang mengeras dan sorot matanya yang penuh dengan tekad.
“Stark,” kata Elijah pelan, memecah keheningan, “apa yang akan kau katakan padanya?”
Stark tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, suaranya serak ketika akhirnya berbicara. “Aku tidak tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan ini berakhir seperti yang Lyra inginkan.”
Penjaga itu berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari logam hitam berukir, dengan dua lentera kecil di kedua sisinya. “Ini dia,” katanya singkat, sebelum membuka pintu dengan suara derit yang panjang dan melangkah ke samping, memberi jalan bagi Stark dan Elijah untuk masuk.
Di dalam, ruangan itu dingin dan gelap, hanya diterangi oleh obor kecil di dinding. Di tengah ruangan, di balik jeruji besi yang kokoh, duduklah Tenebrist. Pandangannya kosong, tetapi matanya bersinar samar di bawah cahaya redup, seperti api kecil yang nyaris padam tetapi tetap hidup.
Di dalam sel tahanan yang dingin dan remang, Tenebrist duduk di sudut dengan tubuhnya yang kecil terlihat lebih rapuh dari biasanya. Piring makanan tergeletak di depannya, isinya masih utuh. Aroma roti panggang yang sedikit hangus bercampur dengan semangkuk sup sederhana terasa menguar di udara, tetapi jelas tidak menggugah selera gadis itu. Ia memeluk lututnya erat, seperti berusaha melindungi dirinya dari dinginnya ruangan atau mungkin dari sesuatu yang jauh lebih menyesakkan di dalam hatinya.
Rambut panjangnya yang biasanya tertata rapi kini terlihat berantakan, sebagian menjuntai menutupi wajahnya yang tertunduk. Biasanya, ketika Tenebrist memilih diam seperti ini, pikirannya sibuk menyusun strategi. Ia akan membayangkan berbagai skenario, menganalisis setiap langkah dan risiko dengan cermat. Namun kali ini, sorot matanya yang terarah ke lantai batu dingin itu kosong. Tidak ada kilatan kecerdasan atau tekad, hanya bayangan keputusasaan yang memantul dari dalamnya.
Suara langkah kaki terdengar di kejauhan, bergema pelan di lorong panjang yang mengarah ke selnya. Awalnya samar, tetapi semakin mendekat, bunyinya menjadi jelas—derap yang berirama, menandakan lebih dari satu orang. Namun, Tenebrist tidak bereaksi. Ia tetap dalam posisi yang sama, seolah-olah langkah itu hanyalah bagian dari kebisingan yang sudah lama ia abaikan.
Stark dan Elijah berdiri di sana, di depan jeruji sel, ditemani seorang penjaga yang menjaga pintu dengan sikap waspada. Kedua pria itu memandangi Tenebrist dalam diam. Stark menggenggam gagang pintu besi, jarinya mengepal kuat hingga buku-bukunya memutih. Ia menatap Tenebrist dalam-dalam, berusaha mencari jawaban dalam sosok gadis yang tampak begitu kecil dan rapuh itu. Wajahnya yang tersembunyi di balik lutut menyembunyikan ekspresinya, tetapi Stark dapat merasakan aura keputusasaan yang memancar darinya. Andai diperbolehkan, ia sangat ingin segera berlari dan memeluknya.
Elijah berdiri di samping Stark, tubuhnya yang besar terlihat kaku. Matanya yang biasanya penuh ketenangan kini memancarkan kebingungan dan kesedihan. Ia menoleh ke arah Stark, yang bergumam pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Itu bukan tatapan orang jahat…”
Elijah mengangguk, mengerti maksudnya. Spekulasi Lyra mungkin masuk akal, tetapi sangat sulit membayangkan gadis ini sebagai ancaman besar. Tidak ada tanda-tanda kebencian atau tipu daya dalam sorot matanya yang nyaris kosong. Hanya ada kehampaan, seperti beban yang terlalu berat untuk ditanggung sendirian.
Stark akhirnya mencoba berbicara, suaranya terdengar ragu. “Bagaimana para penjaga memperlakukanmu… Tenebrist?” tanyanya dengan nada sangat hati-hati, mencoba membuka percakapan. Namun, tidak ada jawaban. Tenebrist tetap diam, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mendengar pertanyaan itu.
Stark menggigit bibirnya, berusaha keras menahan diri. Ia ingin memberi tahu Tenebrist tentang keputusan Lyra, tetapi sekadar memikirkan kata-kata itu membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu, jika ia mengatakannya, itu hanya akan menambah penderitaan gadis itu. Jadi ia memilih untuk diam. Elijah pun tidak mengatakan apa-apa, meskipun kegelisahan jelas terpancar di wajahnya.
Mereka akhirnya duduk di lantai dingin, sangat dekat dengan jeruji besi yang memisahkan mereka dari Tenebrist. Waktu berlalu perlahan dalam keheningan yang berat, seperti udara di ruangan itu menjadi semakin pekat. Hanya suara napas mereka bertiga yang terdengar, diselingi gelegak api kecil dari obor di dinding.
Lalu, keheningan itu pecah. Suara isakan tangis yang sangat pelan terdengar, hampir seperti bisikan. Stark mendongak, matanya membelalak saat ia menyadari suara itu berasal dari Tenebrist. Badan gadis itu sedikit bergetar, bahunya naik-turun, meskipun wajahnya masih tersembunyi di balik lututnya.
“Tene?” panggil Stark pelan, suaranya dipenuhi kecemasan. Tidak ada jawaban. Namun, suara tangis itu semakin jelas, meski tetap teredam, seperti usaha keras untuk menahannya agar tidak meledak. Stark berdiri dengan tiba-tiba, wajahnya memerah karena amarah yang tidak ia mengerti. “Aku tidak bisa membiarkan ini,” gumamnya sebelum berlari keluar dari ruangan.
Elijah menatap Stark dengan bingung, tetapi perasaan buruk menyelimuti dirinya. Ia tahu Stark akan melakukan sesuatu yang bodoh. “Tunggu sebentar,” katanya kepada Tenebrist, sebelum segera menyusul Stark dengan langkah cepat.
Tenebrist masih tetap di tempatnya. Namun, sebelum Elijah sepenuhnya pergi, ia mendengar suara Tenebrist yang teramat pelan, hampir seperti bisikan yang tenggelam dalam keheningan. “Aku lelah …”
Stark berlari menyusuri lorong-lorong panjang istana elf dengan langkah yang tergesa. Dinding-dinding batu yang dihiasi ukiran rumit berkilau lembut diterpa cahaya matahari sore. Kakinya menghentak lantai dengan irama cepat beraturan, tidak mencerminkan kekacauan dalam pikirannya yang sedang tidak teratur. Ia tidak tahu pasti ke mana tujuannya, tetapi satu hal yang ia yakini—ia harus menemukan Lyra.
Pikirannya dipenuhi bayangan Tenebrist yang duduk sendirian di dalam sel. Isak tangis pelan yang ia dengar tadi menghantui benaknya. Ia tidak tahan. Amarah, kesedihan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Ia berharap kegaduhan langkahnya akan menarik perhatian penjaga sehingga mereka membawanya ke Lyra, tetapi lorong-lorong itu tetap sunyi selain gema langkahnya sendiri.
“LYRA!” teriaknya, suaranya memecah keheningan istana. Ia terus berlari, jantungnya berdegup kencang, matanya liar mencari tanda keberadaan Lyra.
Tiba-tiba, sebuah pintu di depannya terbuka. Lyra keluar dari sana dengan wajah penuh keheranan. “Stark?” panggilnya.
Stark berhenti seketika, tubuhnya sedikit terhuyung karena berhenti mendadak, membuatnya melewati pintu yang baru saja dibuka Lyra. Ia berbalik dan berlari mendekatinya, wajahnya memancarkan keputusasaan yang tidak bisa ia sembunyikan. Begitu sampai di depan Lyra, ia langsung bersujud, menundukkan kepalanya hingga menyentuh lantai.
“Lyra, kumohon!” suaranya parau, hampir pecah. “Tolong pertimbangkan lagi keputusan ini. Aku tahu aku tidak punya bukti kalau Tenebrist benar-benar amnesia atau bahwa dia tidak jahat. Tapi... bagaimana kalau kau salah? Bagaimana kalau dia sebenarnya tidak bersalah? Apa adil seseorang dihukum seumur hidup hanya karena kau tidak tahu siapa dia sebenarnya?”
Lyra memandang Stark dengan tatapan terkejut, tidak menyangka melihat pria ini sampai kehilangan kendali seperti itu. Ia membuka mulut untuk menjawab, tetapi suara langkah lain menghentikannya. Elijah muncul dari arah lorong yang sama, napasnya sedikit tersengal karena ia berlari menyusul Stark.
“Elijah?” Lyra bertanya dengan alis terangkat.
Elijah mengangguk, mendekat ke arah mereka. “Lyra,” katanya, suaranya rendah tetapi penuh keyakinan. “Ketika kau mengetahui siapa aku sebenarnya, bahwa aku adalah aib bagi kaum elf, kau tidak menghukumku. Kau bahkan menenangkanku, meyakinkanku bahwa aku akan aman selama kau ada. Kita bersama-sama berusaha mengubah prasangka buruk orang-orang. Maka, apakah prasangka buruk tentang Tenebrist tidak bisa kau ubah juga? Atau setidaknya, dipertimbangkan kembali dengan lebih adil?”
Lyra terdiam, memandang kedua pria di depannya. Ia jelas tengah mempertimbangkan sesuatu, tetapi sebelum ia sempat berbicara, seorang penasihatnya keluar dari ruangan yang sama. Penasihat itu menghampiri Lyra dan membisikkan sesuatu di telinganya. Mata Lyra sedikit melebar, menunjukkan keterkejutannya, tetapi ia tidak langsung berkata apa-apa. Lyra menatap penasehat itu dengan tegas, memastikan keyakinan dari apa yang baru saja ia sampaikan. Ia hanya mengangguk pelan.
“Saya mengerti ini mendadak, wahai nona Vedera,” kata penasihat itu dengan suara tenang tetapi jelas, “tetapi diri ini merasa perlu memberitahukan sesuatu. Beberapa tahun lalu, saya terluka parah akibat serangan hewan buas. saya pasti sudah mati jika bukan karena seseorang yang menemukan saya di hutan. Orang itu adalah Tenebrist.” Lanjutnya.
Semua orang terdiam. Stark, yang perlahan berdiri, dan Elijah saling pandang, kebingungan tercermin di wajah mereka.
“Kalau apa yang baru saya sampaikan gagal, biarkan nyawa saya yang menjadi taruhan.” Seketika mereka terkejut, tetapi Lyra jauh lebih terkejut. Ia tidak mengerti mengapa penasihat ini sampai rela menjadikan nyawanya sebagai jaminan.
“Dia membawa saya ke tempat aman, mengobati luka, dan bahkan mengantar diri ini hingga ke dekat kerajaan. Saya tidak pernah punya kesempatan untuk mengucapkan terima kasih, apalagi membalas budi. Saya tidak berani mengatakan ini saat rapat tadi karena takut tidak didengar. Tapi saya bersumpah, dia menyelamatkan hidup saya.”
Lyra memandang penasihatnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Setelah beberapa saat, ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Stark dan Elijah. Matanya menunjukkan keraguan, tetapi juga secercah harapan. Ia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan, lalu mengulangi proses itu berkali-kali sambil menutup mata. Ini makanya aku tidak suka mengemban beban tanggung jawab, batinnya. Ia perlahan membuka matanya, lalu sekali lagi melihat Stark dan Elijah.
“Aku memutuskan untuk memberikan Tenebrist kesempatan untuk dipercaya, meskipun ada keraguan."katanya akhirnya, suaranya tegas. “Tetapi aku punya satu syarat kepada kalian semua.”
20Please respect copyright.PENANA8xwOwMprlM