Di tengah kerajaan elf yang megah, dekat sebuah air mancur berbentuk lingkaran dengan ukiran rumit khas seni elf, tiga sosok berdiri menunggu. Air mancur itu berkilauan di bawah sinar matahari, memantulkan cahaya ke sekeliling dengan semburat kebiruan, sementara aliran airnya yang tenang menciptakan melodi lembut yang berpadu dengan suara kehidupan kota.16Please respect copyright.PENANAoaswKJ1thI
Tenebrist berdiri dengan tenang, sedikit terpisah dari dua rekannya. Jubah hitamnya yang panjang menjuntai seperti mantel hingga hampir menyentuh mata kakinya, tetapi bagian depannya hanya mencapai pahanya, memberikan kesan ringan dan praktis. Garis-garis emas menghiasi lengan jubahnya, menjulur dari pergelangan tangan hingga bertemu di tudung yang saat ini dibiarkan terbuka, memperlihatkan rambutnya yang unik—hijau toska dengan poni berwarna pink sakura. Sepasang mata hijau cerah dengan kilau emas samar mengamati sekitar dengan waspada. Sepatu boot kuning cerahnya yang hampir mencapai lutut kontras dengan keseluruhan pakaiannya, namun tampaknya tidak mengurangi aura misterius yang mengelilinginya.
Di sebelahnya, Stark berdiri dengan sikap santai tetapi tetap penuh kesiagaan. Tubuhnya atletis, memperlihatkan ketangguhan seorang petarung berpengalaman. Kemeja biru longgar yang dikenakannya dimasukkan ke dalam celana kain hitam fleksibel, memungkinkan kebebasan gerak yang maksimal. Celana itu terselip rapi ke dalam sepatu boot coklatnya yang kokoh, jelas dipilih karena ketahanan dan kenyamanannya. Katana terpasang erat di pinggang kanannya, siap dihunus kapan saja. Rambut perak kebiruannya yang sedikit berantakan berkilau samar di bawah cahaya siang, sementara sepasang mata hitamnya menelisik keadaan sekitar dengan penuh semangat, seolah tak sabar untuk segera berangkat.
Elijah berdiri kokoh di sisi mereka, sosoknya yang tinggi dan kekar terlihat semakin mengesankan dalam balutan armor ungu gelap dengan ukiran khas yang menunjukkan ketangguhan dan kebangsawanannya. Sebagian besar tubuhnya tertutup oleh armor, hanya menyisakan wajahnya yang tegas dan penuh ketenangan. Mata hijau zamrudnya memancarkan kesabaran yang bertolak belakang dengan sikap gelisah Stark. Di punggungnya tergantung perisai besar, sementara gada satu tangan yang kokoh tergenggam di tangan kanannya, mencerminkan kesiapan seorang prajurit berpengalaman. Rambut coklatnya tersembunyi di balik helm, namun tidak mengurangi kesan tangguh yang sudah melekat padanya.
Mereka bertiga berdiri menunggu Lyra, siap untuk memulai perjalanan mereka menuju wilayah troll.
Kerajaan elf di sekitar mereka memancarkan keanggunan yang sulit disamai. Bangunan-bangunan menjulang dengan dinding putih kebiruan yang tampak seperti terbuat dari batu pualam bercahaya, dihiasi ukiran-ukiran halus yang menggambarkan sejarah panjang dan kejayaan bangsa elf. Pilar-pilar tinggi menopang balkon dan jendela berukir, menambah kesan elegan pada kota ini. Jalanan lebar yang bersih berhiaskan tanaman merambat berdaun perak yang menjuntai dari atap bangunan, memberikan sentuhan alami yang harmonis.
Rakyat elf berlalu-lalang dengan tenang namun penuh semangat. Beberapa terlihat berjalan dalam balutan jubah panjang berwarna pastel, mungkin kaum cendekiawan atau penyihir yang sibuk dengan urusan mereka. Pedagang menggelar dagangan mereka di kios-kios kecil dengan atap melengkung, menawarkan perhiasan berkilauan, gulungan kitab kuno, hingga ramuan berwarna cerah dalam botol kaca. Seorang pengrajin elf tampak dengan hati-hati mengukir busur di depan tokonya, mengabaikan keramaian di sekitarnya.
Di antara hiruk-pikuk kota yang tetap terasa tenang, beberapa penjaga bersenjata lengkap berpatroli dengan disiplin. Mereka mengenakan armor giok hijau. Sesekali, mereka berhenti untuk mengawasi sekitar sebelum kembali melanjutkan tugas mereka, memastikan keamanan ibu kota elf tetap terjaga.
Di tengah semua itu, air mancur tempat Tenebrist, Stark, dan Elijah berdiri tetap mengalir, seolah menjadi saksi bisu pertemuan mereka sebelum perjalanan panjang yang menanti.
Tiba-tiba, di beberapa titik gedung tinggi di ibu kota elf, cahaya biru berkumpul dalam pola geometris sebelum berubah menjadi hologram raksasa. Visualnya stabil, bersih tanpa gangguan, menunjukkan bahwa siaran ini bukan sekadar pengumuman biasa—melainkan siaran resmi dari keluarga Vedera.
Di dalam hologram itu, terlihat seorang wanita elf berdiri tegap dengan pancaran wibawa yang tak terbantahkan. Lyra.
Ia mengenakan armor kebanggaan keluarga Vedera—giok hijau berkilauan dengan strip berbentuk huruf V di bahunya, simbol garis keturunan mulia yang hanya dikenakan oleh pemimpin keluarga. Rambut kuningnya yang biasanya terurai lembut kini diikat rapi ke belakang, membuat wajahnya tampak lebih tegas. Sepasang mata birunya yang biasanya penuh kelembutan kini menunjukkan ketegasan seorang pemimpin.
Dari air mancur, dari plaza, dari kedai teh, dan dari berbagai titik kota, rakyat elf mengangkat kepala mereka, menghentikan aktivitas mereka untuk menyimak. Para prajurit elf yang sedang berpatroli pun berhenti di tempat, memperhatikan dengan penuh perhatian, menyadari bahwa ini bukan pengumuman biasa.
Lyra menundukkan kepala sedikit dalam salam anggun sebelum mulai berbicara. Suaranya lembut tetapi tegas, menggema di seluruh kota melalui siaran hologram.
“Rakyat Elf,” suaranya bergema di udara, “aku meminta waktu kalian karena ada dua hal penting yang harus kusampaikan.”
Hening. Tidak ada yang berani bersuara, bahkan desiran angin pun terasa seakan berhenti.
“Pertama,” Lyra melanjutkan, “mulai hari ini, ras goblin berada di bawah naungan kerajaan elf.”
Bisikan-bisikan mulai terdengar. Beberapa elf yang duduk di teras kedai teh menoleh ke sesama mereka dengan ekspresi bingung. Di plaza, seorang wanita elf yang sedang berbelanja di kios sayur berhenti, jemarinya yang hendak mengambil buah ikut membeku. Di dekat air mancur, seorang prajurit elf dengan tangan bersedekap tampak mengerutkan dahi, matanya beralih sekilas ke rekannya, sebelum kembali fokus pada hologram Lyra.
Namun, tak seorang pun memprotes secara terang-terangan. Tidak ada yang menyela.
“Di bawah kepemimpinan dan pengawasan Elandor,” lanjut Lyra, “goblin akan diperbolehkan tinggal dan beraktivitas di kerajaan kita, seperti layaknya rakyat elf.”
Beberapa elf tampak saling bertukar pandang, mencoba memahami keputusan ini. Goblin, yang selama ini dipandang sebagai makhluk liar dan tak beradab, kini akan menjadi bagian dari masyarakat mereka? Namun, mereka tetap diam. Karena ini adalah Lyra Vedera yang berbicara.
Keluarga Vedera telah memimpin dengan bijaksana selama berabad-abad, dan Lyra sendiri, meskipun masih muda, telah membuktikan keteguhan serta kepemimpinannya yang tak terbantahkan. Rakyat elf mungkin bingung, tetapi mereka tahu bahwa kata-kata Lyra bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Maka mereka tetap fokus menyimak.
Sementara bisikan di antara rakyat perlahan mereda, Lyra melanjutkan.
“Hal kedua yang perlu kusampaikan…”
Ia berhenti sejenak, membiarkan ketegangan di udara menguat.
“Elijah.”
Stark, yang sedari tadi bersandar di pilar dekat air mancur, tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Ia seperti lebih ingin tahu ketimbang yang lain akan alasan mengapa nama Elijah disebut. Tenebrist menoleh ke arah Elijah, yang masih berdiri tegap dengan armor ungu gelapnya.
“Bukalah armor-mu.”
Sejenak, keheningan terasa jauh lebih berat dibandingkan sebelumnya. Elijah, yang sama sekali tidak menyangka permintaan itu, seketika menegang. Tangan besarnya mencengkeram gagang gada di sampingnya, sementara pikirannya berputar dalam kebingungan. Membuka armorku berarti…
Matanya beralih ke hologram Lyra, yang meskipun tidak bisa melihat keberadaannya, tetap berbicara dengan keyakinan penuh.
“Aku tahu kau mendengar ini, Elijah. Percayalah padaku.”
Hati Elijah berdebar. Ia bisa merasakan banyak mata kini beralih padanya, bahkan sebelum ia melakukan apa pun. Stark meliriknya dengan ekspresi penuh pertanyaan, sementara Tenebrist, meskipun tidak berbicara, tampak menatapnya dengan tatapan penuh berusaha memahami.
Elijah menelan ludah. Membuka armornya berarti memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya. Setengah troll, setengah elf—sesuatu yang selama ini ia sembunyikan di balik lapisan baja tebal. Tetapi… ini adalah Lyra yang memintanya.
Dengan napas berat, ia mengangkat tangannya ke helm, menarik pengait di sisi lehernya. Satu tarikan napas panjang. Lalu, dengan gerakan perlahan tetapi mantap, ia membuka helmnya. Udara dingin langsung menerpa wajahnya. Rambut coklatnya yang selama ini tersembunyi di balik helm langsung tampak, sedikit berantakan akibat gesekan dengan baja. Dan yang lebih mencolok—kupingnya. Sebelahnya lancip seperti elf. Sebelahnya tumpul seperti troll. Itu adalah sebuah aib. Sebuah rahasia.
Dan kini, untuk pertama kalinya, seluruh rakyat elf bisa melihatnya.
Keheningan mencekam menyelimuti seluruh area air mancur. Rakyat elf yang tadinya hanya menyimak siaran hologram kini menatap Elijah dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Beberapa prajurit yang berdiri di dekatnya menegang, mata mereka membelalak seolah baru saja melihat sesuatu yang tak seharusnya ada. Bahkan suara gemericik air mancur yang biasanya membawa ketenangan kini terasa menusuk di tengah keheningan. Seorang elf wanita yang sedang membawa kantong belanja berhenti di tengah langkahnya, jemarinya mencengkeram erat pegangan tas seolah ingin memastikan bahwa ini bukan ilusi. Di tepi plaza, seorang prajurit muda yang sebelumnya bersikap tegas kini tak bisa menutupi ekspresi ragu dan canggung di wajahnya.
Tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang bergerak. Mereka hanya menatap. Menatap pria setengah troll, setengah elf, yang berdiri di antara mereka.
Elijah, yang masih belum mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi, merasa tubuhnya semakin berat di bawah tatapan-tatapan itu. Selama ini, armor ungu gelapnya telah menjadi perlindungan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga sebagai benteng yang menyembunyikan identitasnya dari dunia yang tidak akan pernah menerimanya.
Dan kini, benteng itu telah runtuh.
Namun sebelum kegelisahan itu bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, suara Lyra kembali menggema dari hologram.
“Ini langkah pertama yang bisa kita lakukan untuk menebus kesalahan kita.” Nada suaranya lembut, tapi tegas. Tidak ada keraguan. Tidak ada kebimbangan.
“Semuanya, beri hormat.”
Sejenak, waktu terasa berhenti.
Lalu, seakan dunia bergerak dalam satu kesatuan, semua elf di sana—rakyat biasa, pedagang, pelanggan kedai teh, para prajurit, bahkan mereka yang sebelumnya terkejut dan ragu—perlahan-lahan meletakkan satu tangan mereka di dada, memberikan penghormatan yang selama ini hanya diberikan kepada mereka yang dianggap sebagai bagian dari kerajaan.
Elijah hanya bisa menatap.
Prajurit yang sebelumnya bersikap dingin kini berdiri tegap, memberi hormat tanpa sedikit pun keraguan. Rakyat yang berada di plaza dan dekat air mancur mengikuti, satu per satu. Bahkan mereka yang hanya melihat dari kejauhan, dari kedai-kedai dan lorong-lorong jalanan, mulai melakukan hal yang sama. Di layar hologram, Lyra yang masih terpampang di udara juga melakukan hal serupa, menundukkan kepalanya sedikit dalam gerakan hormat.
Elijah terkejut. Kepalan tangannya mengencang di sisi tubuhnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang sedang terjadi? Suaranya tertahan di tenggorokan, tetapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Lyra kembali berbicara.
“Maaf perlu waktu selama ini, tetapi ini adalah bentuk permintaan maafku kepada ibumu, Elvannia.” Elvannia—nama itu bagaikan hantaman keras yang seketika meruntuhkan semua pertahanannya.
Elijah mengerjap, napasnya tercekat, dan seketika pikirannya terlempar ke masa lalu.
Dalam bayangannya, ia melihat seorang wanita elf dengan rambut kuning keunguan yang selalu tergerai lembut, matanya berwarna biru lembut yang penuh dengan kehangatan.
“Elijah, jangan takut.”
Elvannia pernah mengatakannya saat mereka sedang bersembunyi di dalam hutan, ketika malam terasa begitu dingin dan gelap. Saat itu, ia masih terlalu muda untuk memahami ketakutan yang terpendam di balik kata-kata ibunya, tetapi kini ia mengerti. Elvannia bukan hanya bersembunyi darinya, bukan hanya melindunginya—ia bersembunyi dari seluruh dunia yang menolak keberadaan mereka.
Lalu gambaran itu berubah. Ia ingat bagaimana suatu hari, mereka ditemukan. Bagaimana ibunya ditarik paksa dari tempat persembunyian mereka, tangannya diikat dengan tali kasar, wajahnya tetap tenang meskipun luka-luka akibat perjalanan panjang masih tampak di kulitnya.
Ia ingat teriakan ibunya saat ia dipisahkan. Ia ingat bagaimana ia tidak mampu berbuat apa-apa, hanya bisa menyaksikan dari kejauhan saat ibunya ditahan di tengah kota elf, diadili dengan cara yang tidak adil, dihukum atas sesuatu yang tidak seharusnya menjadi dosa.
Dan ia ingat saat eksekusi itu terjadi.
Saat semua orang menonton dengan diam, tanpa ada satu pun yang bergerak untuk menolongnya. Semua elf yang hadir di sana, termasuk—
Elijah kembali ke kenyataan, dan saat matanya terpaku ke hologram Lyra, ia menyadari sesuatu. Saat itu, Lyra ada di sana. Wajahnya yang dulu lebih muda tampak di antara kerumunan, matanya penuh kebingungan dan ketidakberdayaan. Meskipun ia berasal dari keluarga Vedera, ia belum memiliki kuasa untuk mencegahnya. Ia hanya bisa menyaksikan.
Dan sekarang, ratusan tahun kemudian, ia berdiri di hadapan Elijah—bukan sebagai saksi bisu, tetapi sebagai seseorang yang berusaha memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi. Elijah terdiam. Untuk pertama kalinya sejak lama, pikirannya kosong. Tidak ada kata-kata. Tidak ada amarah. Hanya ada kesunyian di dalam dirinya.
“Kau sudah tidak perlu bersembunyi. Kau bukan lagi aib yang berjalan, Elijah. Bersama dengan tanda hormat ini, aku dan seluruh ras elf mengakui dan menerima keberadaanmu.” Kata Lyra, masih dengan ketegasan dan wibawanya. Ia kemudian menutup siaran pengumuman itu, mempersilakan rakyat elf kembali melanjutkan aktivitas mereka setelah mendengar dua pengumuman penting.
Angin lembut berembus pelan, membawa keheningan yang masih menggantung di antara mereka. Elijah belum berkata apa pun sejak Lyra mengucapkan nama ibunya. Seakan tenggelam dalam pusaran kenangan yang baru saja menyerangnya tanpa peringatan.
Tenebrist, yang biasanya diam, kali ini hanya menatapnya dari samping, seakan mempertimbangkan sesuatu di dalam benaknya.
Akhirnya, Starklah yang pertama berbicara, mencoba memecah suasana.
“Jadi…” ia melirik Elijah dengan ekspresi canggung. “Rasanya aneh melihat para elf memberi hormat padamu, ya?”
Elijah tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan.
“Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi,” jawabnya jujur. “Selama ini, aku pikir aku tidak lebih dari seorang aib di mata mereka.”
Stark menyandarkan lengannya ke pinggang. “Kelihatannya beberapa dari mereka mulai menyadari bahwa mereka adalah pihak yang salah.”
Elijah menatapnya sekilas sebelum menggelengkan kepalanya pelan. “Mungkin. Tapi penyesalan mereka tidak akan mengembalikan apa pun yang telah hilang.”
Tak ada yang langsung menanggapi. Namun setelah beberapa detik, suara lembut Tenebrist akhirnya terdengar. “Tapi mereka mencoba.”
Elijah menoleh padanya. Tenebrist tetap menatap lurus ke depan, suaranya datar, tetapi ada sesuatu di dalamnya—seperti kepastian yang tidak perlu dibuktikan lebih jauh.
“Tidak semua orang berani mengakui kesalahan,” lanjutnya. “Tapi Lyra melakukannya.”
Elijah tidak menjawab. Bukan karena ia tidak setuju, tetapi karena ia tahu, Tenebrist benar.
Suasana perlahan mereda, para rakyat elf telah melanjutkan aktivitas mereka dengan normal sepenuhnya. Tenebrist, Stark, dan Elijah masih berdiam diri di tempat yang sama—dekat dengan air mancur. Mereka masih menunggu Lyra, khususnya Elijah yang sebenarnya sangat ingin bertanya banyak hal. Namun, sebelum ada yang bisa melanjutkan pembicaraan, suara langkah kaki ringan mendekati mereka.
“Kalian sudah menunggu lama?”
Mereka bertiga menoleh.
Di depan mereka, Lyra melangkah dengan tenang, mengenakan pakaian yang jauh lebih santai dibanding biasanya.
Kaos putih tanpa lengan dengan aksen kuning di bahunya yang tak terhubung ke kaosnya memberi kesan sederhana, tetapi tetap berkelas. Celana hitam selututnya nyaman untuk perjalanan, dan sepatu bertali putihnya terlihat kuat namun tetap elegan. Rambut kuningnya yang biasanya tertata lebih rapi kini terurai santai hingga sebahu, dibiarkan bergelombang alami di bawah cahaya pagi. Di tangannya, ia membawa buku kesayangannya, seolah itu bagian dari dirinya yang tidak bisa dipisahkan.
Matanya yang biru menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berfokus pada Elijah. Ia mengangkat sedikit alisnya.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Elijah mengembuskan napas dan mengangguk. “Aku akan baik-baik saja.” Katanya sambil memasang armor di kepalanya kembali. Ia ingin bertanya banyak hal, tetapi ia merasa bahwa sekarang bukan saatnya. Mungkin karena ia masih terkejut, atau mungkin karena ia tahu bahwa Lyra pasti akan menjelaskan apa yang dibingungkannya nanti.
Lyra menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. Ia tidak menekan lebih jauh, tidak mengajukan pertanyaan yang tidak perlu. Sebaliknya, ia hanya mengangguk paham.
“Kalau begitu, ayo kita pergi.”
Tanpa perlu perpisahan formal, mereka mulai berjalan menuju gerbang utama kerajaan elf.
Kepergian Lyra seperti ini bukanlah hal asing bagi rakyatnya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa ia sering meninggalkan kerajaan untuk urusan pribadi atau misi tertentu, sehingga tidak ada upacara resmi atau pengawalan ketat.
Namun, kali ini, beberapa prajurit telah bersiap untuk mengantar mereka ke perbatasan menggunakan caravan khusus.
Di luar gerbang utama, kendaraan yang akan membawa mereka telah menunggu.
Caravan ini memiliki desain yang menggabungkan keanggunan teknologi elf dengan sentuhan modern yang berbeda dari kendaraan konvensional. Alih-alih ditarik oleh kuda atau makhluk lain, caravan ini bergerak dengan kekuatan sihir listrik yang berdenyut di sepanjang ukiran halus di bagian bodinya. Energi berwarna biru lembut mengalir seperti aliran sungai kecil, memancarkan cahaya samar yang berkilauan saat menyentuh permukaannya.
Bentuknya panjang dan ramping, dibuat dari bahan logam ringan yang dipadukan dengan kayu putih khas hutan elf. Dindingnya tidak sepenuhnya tertutup, melainkan memiliki jendela besar yang terbuka, memungkinkan udara segar masuk selama perjalanan. Atapnya berbentuk lengkungan halus, dihiasi ukiran motif daun dan cahaya kristal kecil yang mengikuti pola ukiran tersebut.
Di bagian depan, terdapat ruang kemudi dengan sebuah panel kristal transparan yang menampilkan berbagai simbol bercahaya. Alih-alih roda biasa, caravan ini melayang sedikit di atas tanah, digerakkan oleh medan energi yang stabil.
Di dalamnya, tempat duduk tertata rapi dengan bantalan nyaman berwarna biru keperakan. Meja kecil di tengah ruangan dilengkapi dengan peta holografis yang dapat diaktifkan dengan sentuhan ringan.
Seorang prajurit yang bertugas di caravan memberi salam hormat singkat sebelum membuka pintu.
“Segalanya sudah disiapkan. Perjalanan ke perbatasan Troll akan memakan waktu beberapa jam.”
Lyra mengangguk sebelum menoleh ke rekan-rekannya. “Mari berangkat.” Katanya singkat.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka naik ke dalam caravan, bersiap untuk meninggalkan kerajaan elf dan menuju ke wilayah yang lebih asing—wilayah para troll.
Caravan melayang dengan lembut saat mereka naik satu per satu. Tenebrist masuk lebih dulu, diikuti oleh Lyra yang duduk di sampingnya. Elijah dan Stark menyusul, duduk berhadapan dengan mereka. Ruang di dalamnya cukup luas, tetapi bagi Elijah yang bertubuh besar, kursinya terasa sempit. Ia menyesuaikan posisi, mencoba memberi ruang bagi dirinya sendiri tanpa terlalu menonjolkan ketidaknyamanannya.
Interior caravan memancarkan cahaya lembut dari ukiran sihir yang menyala samar di dinding dan langit-langit. Kursinya terbuat dari bahan lembut berwarna biru keperakan, dengan meja kecil di tengah yang menampilkan peta holografis. Udara di dalamnya sejuk, tidak pengap, dan sesekali, getaran halus dari sistem sihir listrik terasa di bawah kaki mereka.
Di luar, hamparan hutan elf berlalu dalam bayangan hijau dan keemasan. Cahaya matahari menyelinap di antara pepohonan, menciptakan siluet indah di kaca jendela caravan yang transparan. Angin berhembus pelan, membawa aroma dedaunan dan tanah basah yang masih menyisakan embun pagi.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Lyra akhirnya berbicara. Suaranya tenang, tetapi ada sedikit beban di dalamnya. "Elijah, ada sesuatu yang harus kau tahu tentang ibumu, Elvannia."
Elijah mengangkat kepalanya perlahan. Nama itu... sudah lama sekali ia tidak mendengarnya dari mulut orang lain.
"Aku mengenalnya," lanjut Lyra, menatap jari-jarinya yang bertaut di pangkuan. "Aku bukan hanya mengenalnya—aku adalah muridnya."
Stark dan Tenebrist menoleh, sedikit terkejut. Lyra tersenyum tipis, tetapi sorot matanya dipenuhi nostalgia. "Dia mengajarkanku banyak hal. Bukan hanya sejarah, bukan hanya hal-hal besar... tapi juga hal-hal sederhana, seperti cara menjahit baju, cara mencuci dengan benar. Baginya, kerapihan dan kebersihan adalah refleksi dari bagaimana kita menghargai diri sendiri. Aku masih ingat bagaimana ia membetulkan jubahku ketika aku kecil. Aku masih ingat bagaimana ia tersenyum puas setiap kali aku berhasil menyelesaikan tugas-tugas kecil yang ia berikan."
Mata birunya berkilat samar dalam cahaya. "Aku tidak pernah melupakan itu, tidak akan pernah. Karena di keluarga Vedera, aku tidak pernah diajarkan hal seperti itu. Aku harus anggun, tegas, berwibawa. Tidak boleh sederhana."
Elijah tetap diam, menatap Lyra dengan pandangan sulit diartikan.
Lyra menarik napas dalam sebelum melanjutkan. "Alasan ibumu dihukum mati... adalah karena keluargaku. Khususnya ayahku."
Seketika, udara di dalam caravan terasa lebih berat.
"Ayahku mengeluarkan hukum mati bagi semua elf yang menjadi korban troll di masa Perang Besar. Dia bersembunyi di balik alasan bahwa mereka adalah aib bagi ras elf, tetapi sebenarnya, alasannya lebih egois dari itu."
Lyra menatap ke luar jendela, seolah mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Ibuku juga salah satu korban dari kekejaman ras troll. Tapi ibuku tidak diberi kesempatan untuk hidup. Dia dihina, diperlakukan kejam, hingga akhirnya mati dalam penderitaan."
Elijah menggertakkan rahangnya pelan.
"Ayahku tidak bisa menerimanya," Lyra melanjutkan. "Dia kehilangan ibuku dengan cara yang mengerikan, sementara ada elf lain yang mengalami hal sama, tetapi masih hidup. Baginya, itu tidak adil. Dia... tidak berpikir jernih saat itu. Dan dalam kemarahannya, dia mengeluarkan keputusan kejam itu." Ia berhenti sejenak.
Di dalam caravan, hanya suara lembut roda energi yang bergemuruh di bawah mereka. Tenebrist menundukkan kepala sedikit, jari-jarinya mencengkeram ujung jubahnya. Stark bersandar ke kursi, menatap Lyra dalam diam, tanpa komentar sarkastik seperti sebelumnya ketika Lyra mencoba membuka diri.
Elijah menghela napas, mengangkat tangannya ke wajah, menutup matanya sebentar sebelum menurunkannya kembali. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi untuk saat ini, ia hanya bisa mendengarkan.
Di luar, cahaya matahari mulai meredup seiring perjalanan mereka semakin jauh dari kerajaan elf. Hutan lebat berganti dengan padang rumput luas, angin berhembus lebih dingin, membawa kesan bahwa mereka semakin mendekati wilayah yang berbeda.
Di dalam hatinya, Elijah merasakan sesuatu yang tidak ia duga sebelumnya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak melihat Lyra sebagai bagian dari keluarga Vedera. Ia melihatnya sebagai seseorang yang, seperti dirinya, kehilangan sesuatu yang tidak seharusnya hilang—sebagai korban.
"Aku tidak pernah menyukai didikan keluarga Vedera," lanjut Lyra, suaranya terdengar lebih lembut, seolah mengakui sesuatu yang selama ini ia pendam. "Aku lebih menyukai masa-masa—meskipun singkat—ketika aku dibimbing oleh Elvannia."
Ia menghela napas pelan, menatap jari-jarinya yang masih bertaut di pangkuan. "Aku merasa bersalah atas apa yang terjadi padanya. Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya. Maka aku berusaha menjadi perwakilan Vedera yang dipandang dan diakui, khususnya oleh ayahku. Aku ingin ia melihat bahwa ada cara lain, bahwa elf tidak harus bertindak seperti yang ia lakukan..."
Caravan terus melaju melewati padang rumput yang semakin luas. Angin berhembus lebih kencang, menggoyangkan dedaunan yang tumbuh jarang-jarang di antara rerumputan. Tenebrist sedikit menggeser duduknya, bersandar lebih dekat ke jendela, matanya tetap tertuju pada Lyra.
"Tapi beberapa puluh tahun setelahnya," Lyra melanjutkan, "ayahku bunuh diri."
Tidak ada yang berbicara. Bahkan Stark yang biasanya selalu punya komentar pun tetap diam.
"Mungkin karena ia tidak kuat memikul kenangan tentang ibuku. Mungkin juga karena, diam-diam, ia menyadari bahwa keputusan yang ia buat untuk menghukum mati para elf itu salah." Lyra menatap jauh ke depan, ke sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. "Yang jelas, ia bunuh diri. Dan aku… aku menjadi satu-satunya perwakilan Vedera."
Suara roda caravan yang berputar di jalan berbatu terdengar lebih jelas di antara keheningan mereka.
"Aku tidak bisa membiarkan kepanikan menyebar di kalangan elf, jadi aku tidak pernah memberitahu mereka tentang kematian ayahku. Aku hanya mengatakan bahwa ia jatuh sakit dan tidak dapat keluar dari kamar." Ia tersenyum kecil, senyum yang terasa getir. "Sementara itu, aku perlahan mengambil alih posisi dan tanggung jawabnya, sedikit demi sedikit mengubah kebijakan yang aku anggap tidak baik."
Ia menoleh pada Elijah, menatapnya langsung. "Itulah sebabnya rakyat elf tidak sesombong dulu. Meskipun masih ada segelintir yang tetap sombong, tapi mereka tidak lagi mendominasi. Itulah kenapa elf sekarang bisa menerima ras goblin dengan baik. Itulah juga alasan mengapa kau, Elijah, bisa diterima dan diperlakukan dengan hormat."
Elijah menatapnya, dalam dan penuh pemikiran. Tidak ada kata-kata, tetapi sorot matanya mengatakan lebih dari cukup.
"Dan itulah kenapa aku mau tidak mau harus bertindak terhadap Tenebrist," lanjut Lyra, suaranya lebih pelan. "Aku harus tegas. Jika ingin mencapai hasil yang aku inginkan, aku tidak bisa membiarkan segala sesuatunya berjalan tanpa arah."
Tenebrist mengangkat kepalanya sedikit, menatap Lyra dengan sorot mata yang sulit ditebak. Stark melipat tangan di dadanya, menghela napas panjang, lalu akhirnya berkata dengan suara lebih tenang dari biasanya. "Jadi... kau benar-benar sudah memikul tanggung jawab itu sendirian selama ini?"
Lyra hanya tersenyum tipis.
Di seberangnya, Elijah akhirnya berbicara. "Aku mengerti sekarang." Lyra menatapnya. "Aku mengerti kenapa kau melakukan semua ini. Kenapa kau bersikeras. Kenapa kau tidak pernah berhenti." Matanya yang biasanya penuh keteguhan kini memancarkan sesuatu yang berbeda—pemahaman yang tulus. Ia tidak mengatakan lebih dari itu, tetapi bagi Lyra, itu sudah cukup. Tenebrist dan Stark tidak dapat berkata-kata, tetapi mereka seketika merasa lebih dekat dengan Lyra. Mungkin karena mereka pun akhirnya mengerti bahwa Lyra hanyalah korban dari kejamnya Perang Besar.
Caravan terus melaju, meninggalkan padang rumput di belakang mereka, menuju wilayah troll yang terbentang di cakrawala. Angin yang berhembus kini lebih gerah, membawa aroma tanah dan batu dari pegunungan di kejauhan. Perjalanan masih panjang, tetapi kali ini, mereka merasa lebih dekat satu sama lain.
Wilayah troll membentang luas di tanah tandus yang dikelilingi pegunungan bergerigi dengan puncak-puncak tajam menusuk langit kelam. Udara di sini tebal dengan aroma belerang dan logam, sisa dari pertambangan kasar yang menjadi salah satu mata pencaharian utama mereka. Tanahnya penuh retakan dan berwarna merah kecoklatan, nyaris seperti gurun berbatu, tetapi di beberapa tempat, api kecil menyala dari celah-celah bumi, menandakan adanya aktivitas vulkanik di bawah permukaan. Angin yang bertiup kering membawa debu dan serpihan batu, sementara langit di atas mereka hampir selalu tampak suram, dihiasi awan gelap yang berputar perlahan.
Desa-desa troll tidak memiliki keanggunan seperti kota elf atau keteraturan seperti pemukiman manusia di Sylodia. Rumah-rumah mereka lebih mirip benteng batu yang dibangun secara asal, dengan kayu kasar dan logam hitam sebagai penguat. Beberapa rumah bahkan tidak memiliki atap, hanya berupa dinding-dinding tinggi untuk melindungi dari angin gurun yang menderu. Tidak ada jalanan rapi; tanah yang diinjak hanyalah padang berbatu dengan jejak-jejak kaki besar troll yang tertanam dalam di permukaannya.
Budaya troll didasarkan pada kekuatan dan ketahanan. Tidak ada belas kasihan di antara mereka, dan hukum ditegakkan dengan tangan besi. Kesalahan kecil dapat berujung pada hukuman yang brutal—pencurian kecil bisa dihukum dengan pemotongan tangan, sedangkan pengkhianatan bisa berarti eksekusi publik di tengah alun-alun pusat, di mana tubuh terhukum dipajang sebagai peringatan bagi yang lain. Rakyat troll, memiliki mata berwarna kuning dan sebagian berambut tipis ungu hitam, tidak mengenal belas kasihan, bahkan kepada keluarga mereka sendiri. Mereka menghormati yang kuat dan merendahkan yang lemah, sehingga hanya yang paling tangguh yang dapat bertahan dan memperoleh posisi dalam masyarakat mereka.
Di siang hari, pasar pusat mereka penuh dengan troll yang berbadan besar, masing-masing mengenakan pakaian seadanya—hanya kain kasar yang melilit pinggang mereka atau mantel bulu hewan yang robek di sana-sini. Mereka tidak menggunakan emas atau perhiasan; bagi troll, harta sejati adalah senjata terbaik dan kemampuan bertarung. Di sudut-sudut jalanan, para pandai besi membentuk baja kasar menjadi kapak raksasa, palu tempur, atau perisai tebal dengan paku tajam. Di tempat lain, para petarung berlatih satu sama lain, menggunakan tangan kosong atau senjata tumpul, sering kali mengakhiri latihan dengan tubuh yang berlumuran darah tetapi tetap tertawa liar.
Militer troll terdiri dari prajurit yang telah ditempa oleh pertempuran tanpa henti. Mereka dilatih sejak kecil untuk bertarung dalam pertempuran brutal tanpa strategi yang rumit—murni kekuatan, kecepatan, dan insting membunuh. Tanpa fatum, mereka bertarung dengan tangan kosong atau senjata raksasa, mengandalkan kekuatan fisik mereka yang luar biasa. Pukulan mereka cukup untuk meremukkan tulang, dan guncangan dari palu tempur mereka bisa membuat tanah bergetar. Namun, ketika mereka menggunakan fatum, pertarungan menjadi lebih mengerikan. Beberapa troll menguasai elemen api, menghembuskan napas panas yang membakar lawan mereka atau menyalakan senjata mereka dengan kobaran api. Yang lain menguasai elemen es, membekukan tanah di bawah kaki musuh atau melapisi tubuh mereka sendiri dengan lapisan es yang keras seperti baja. Ada pula yang mengandalkan fatum penguatan fisik, membuat mereka lebih cepat, lebih kuat, dan lebih kebal dari sebelumnya, hingga mereka bisa menahan serangan langsung dari senjata berat tanpa terluka sedikit pun.
Di kejauhan, Tenebrist dan kelompoknya akhirnya sampai di tepi wilayah pusat troll. Dari tempat mereka berdiri, mereka bisa melihat jalur besar yang menurun tajam ke dalam lembah berbatu, di mana gerbang utama kota troll berdiri kokoh. Dua troll penjaga berdiri di depan gerbang itu, masing-masing setinggi hampir dua kali tinggi manusia biasa. Kulit mereka tertutup bulu hitam tebal, dan mereka mengenakan armor berat dari besi hitam yang ditempa kasar, dengan paku besar di bahu dan pelindung lengan. Salah satu dari mereka memegang kapak dua tangan yang lebih besar dari tubuh manusia, sedangkan yang lain bersandar pada tombak raksasa dengan ujung menyala merah karena panasnya. Mereka berdiri diam, mata kuning mereka menyala di bawah helm yang hanya menutupi setengah wajah mereka, memancarkan aura yang tak diragukan lagi penuh dengan bahaya.
Dari tempatnya, Tenebrist bisa merasakan atmosfer yang menindas. Ia menarik napas dalam, menatap rekan-rekannya. Perjalanan mereka ke jantung wilayah troll baru saja dimulai.
Mereka perlahan turun dari Caravan, yang dengan sendirinya bergerak ke tepi jalan dan berhenti di bawah naungan sebuah pohon, seolah memiliki kesadaran sendiri. Di antara mereka, Lyra tampak sedikit ragu. Meskipun ekspresinya tetap tenang, gerak-geriknya menunjukkan ketidaknyamanan yang samar. Tidak mengherankan, mengingat sejarah panjang permusuhan antara troll dan elf sejak Perang Besar.
Tenebrist, yang tampaknya menyadari kegelisahan Lyra—atau mungkin karena memang sudah terbiasa mengambil inisiatif dalam situasi seperti ini—melangkah maju untuk memimpin kelompok mereka mendekati gerbang penjagaan. Dua troll berdiri di sana, tubuh mereka menjulang dengan postur yang mengintimidasi. Salah satu dari mereka, yang lebih besar, menatap Tenebrist seolah-olah ia hanyalah kurcaci yang tak berarti sebelum akhirnya bertanya dengan suara berat dan bergema, "Apa keperluan kalian di sini?"
Tanpa ragu, Tenebrist tetap tenang dan menjawab dengan suara mantap, "Kami pengelana. Kami ingin memahami setiap wilayah yang kami kunjungi dengan lebih baik."
Troll itu menyipitkan matanya, lalu terkekeh. "Memahami? Kau pikir apa yang perlu dipahami dari wilayah troll, anak manusia?"
Tenebrist tersenyum tipis. Ia tahu troll bangga akan kejayaan mereka, jadi ia menjawab dengan nada datar namun penuh maksud, "Kami sudah mengunjungi berbagai tempat, tapi rasanya belum ada yang bisa menandingi kebesaran wilayah troll, bukan?"
Para troll saling berpandangan, lalu meledak dalam tawa keras. Dada mereka membusung bangga, seperti yang Tenebrist perkirakan. Salah satu dari mereka mengayunkan kapaknya ke tanah dengan percaya diri. "Tentu saja! Wilayah troll adalah yang terkuat! Tidak ada yang bisa menandingi kekuatan kami!"
Dengan suasana yang lebih santai, mereka akhirnya mengizinkan kelompok Tenebrist masuk. Namun, sebelum mereka melewati gerbang, salah satu troll melirik Lyra dengan senyum lebar yang memperlihatkan giginya yang besar dan kasar. "Cantik sekali," katanya, suaranya mengandung nada menggoda yang menggelitik bulu kuduk. "Dulu, para elf lebih sering meronta ketakutan saat bertemu kami."
Lyra tetap tegar, meskipun jelas bahwa kata-kata itu tidak menyenangkan baginya. Stark dan Elijah segera bergerak lebih dekat, secara halus membentuk barikade perlindungan di sekelilingnya. Namun, sebelum situasi semakin memanas, Tenebrist dengan tenang melangkah maju, menatap troll itu lurus-lurus, lalu berkata dengan nada santai, "Dulu, ya? Sepertinya itu sudah lama sekali. Kalian pasti merindukan masa-masa itu, tapi sayang sekali… zaman sudah berubah. Sekarang kalian hanya bisa bernostalgia."
Troll itu berhenti sejenak, mengernyit, sebelum akhirnya mendengus. "Hah! Anak manusia ini pintar bicara."
Temannya tertawa dan menepuk bahunya. "Sudahlah. Biarkan mereka masuk sebelum dia semakin banyak omong."
Dengan demikian, Tenebrist dan kelompoknya melangkah melewati gerbang, memasuki jantung wilayah troll yang penuh bahaya dan misteri.
Saat mereka melangkah melewati gerbang, dunia di dalam wilayah troll pun tersingkap dengan segala kekasarannya. Jalanan berbatu yang retak dan tidak rata membentang di depan mereka, dilapisi debu tebal yang berterbangan setiap kali ada langkah kaki besar menghantam tanah. Bangunan-bangunan di sekitar mereka tampak kokoh tetapi kasar, dibangun dari batu besar yang tidak sepenuhnya dipahat rapi, seolah hanya ditumpuk dan disatukan dengan kekuatan brutal. Sebagian bangunan memiliki ukiran primitif yang kasar, menggambarkan troll dalam berbagai adegan pertempuran, seakan seluruh kota ini adalah monumen kebanggaan atas kekuatan mereka.
Di udara, bau asap bercampur dengan aroma besi panas dan tanah basah. Suara dentang logam terdengar dari kejauhan—mungkin bengkel tempat para pandai besi troll menempa senjata dan baju zirah mereka. Sesekali, suara pekikan samar bercampur dengan tawa berat khas troll, menandakan adanya interaksi yang mungkin tidak bersahabat.
Saat mereka berjalan lebih jauh, mereka melihat sendiri bagaimana kehidupan di kota ini berlangsung. Para troll berkulit kasar berjalan dengan santai, beberapa membawa kapak besar di bahu mereka, sementara yang lain tertawa terbahak-bahak di depan kedai yang tampak lebih mirip gubuk daripada tempat makan. Di sudut jalan, sekumpulan troll terlihat mengelilingi satu troll lain yang lebih kecil. Mereka menyeringai lebar, dan salah satu dari mereka mengayunkan tangannya ke depan, menciptakan bola api yang langsung melesat dan meledak di dekat kaki korban mereka. Troll yang lebih kecil itu mundur ketakutan, tetapi tidak ada seorang pun di sekitar yang berusaha menghentikan kejadian itu.
Mereka yang lewat hanya melirik sekilas sebelum kembali melanjutkan urusan masing-masing. Tawa kasar para pelaku intimidasi bergema di udara, dan tidak ada satu pun yang tampak peduli. Kekejaman seperti ini tampaknya bukan hal yang aneh di sini—ini adalah norma, atau mungkin bagian dari hukum yang berbeda dengan yang mereka kenal.
Stark mengepalkan tangannya, napasnya mulai memburu. "Tenebrist, kita tidak bisa diam saja melihat ini."
Tenebrist, yang berjalan sedikit di depan, tidak menoleh. Suaranya tetap datar dan tenang. "Kita tidak bisa menyelamatkan setiap orang yang kita temui, Stark. Kita punya tujuan yang lebih besar."
Stark mendengus pelan, jelas tidak puas, tetapi tidak bisa membantah. Lyra, di sisi lain, tampak lebih tegang dibanding sebelumnya. Walaupun ia berusaha mempertahankan senyum khasnya, ada ketegangan di matanya yang tidak bisa disembunyikan. Wilayah ini terasa sangat asing dan berbahaya baginya.
Elijah menyadari ini tanpa perlu melihat langsung. Tanpa berkata apa pun, ia mendekatkan diri ke Lyra, berjalan sedikit lebih dekat di sisinya. Itu bukan sekadar tindakan refleks—ia tahu persis bagaimana rasanya berada di tempat yang membuat seseorang merasa tidak diterima. Sama seperti bagaimana ia sendiri merasakan ketegangan saat berada di kerajaan elf. Untuk itu, Lyra berterima kasih pelan.
Mereka terus berjalan, mengabaikan segala kekacauan di sekitar mereka, hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan besar di pusat kota dengan pintu kayu sangat besar yang permukaannya kasar. Batu-batu yang membentuk dindingnya lebih halus dibandingkan bangunan lain di sekitarnya, dan di atas pintu, ada tulisan besar dalam bahasa troll; Vorn’krossa, yang berarti "Pusat Distrik."
Di sekitar bangunan itu, beberapa patung kasar berdiri tegak, menggambarkan troll dalam berbagai pose heroik—ada yang mengangkat kapak raksasa, ada yang menginjak makhluk lain di bawah kakinya, dan ada yang tertawa dengan tangan terangkat ke udara, seakan sedang merayakan kemenangan. Di kiri bangunan itu, terdapat sebuah pasar kecil yang lebih terlihat seperti arena pertempuran dibanding tempat perdagangan. Troll-troll di sana tampak saling berteriak dan berdebat dengan kasar, dan beberapa di antaranya bahkan nyaris saling serang.
Di sisi kanan, ada menara pendek dengan kobaran api besar di puncaknya, yang terus menyala meskipun angin kencang bertiup. Cahaya oranye dari api itu berpendar di dinding-dinding sekitarnya, memberikan kesan seolah seluruh area ini dipenuhi oleh sinar yang berdenyut seperti jantung yang berdetak.
Tanpa banyak berbicara, mereka melangkah menuju pintu bangunan Pusat Distrik itu. Tenebrist berada di depan, diikuti oleh yang lainnya. Dengan penuh dorongan, pintu kayu berat itu terbuka, mengungkapkan apa yang menanti mereka di dalam.
Begitu mereka melangkah ke dalam Pusat Distrik, udara di dalam terasa lebih berat dibandingkan jalanan di luar. Bangunan ini luas, dengan langit-langit tinggi yang ditopang pilar batu besar yang kasar dan penuh ukiran. Cahaya temaram dari obor-obor raksasa yang ditempelkan di dinding menciptakan bayangan bergerak yang menari di antara reruntuhan ukiran yang terkelupas dan berdebu. Ruangan ini terasa seperti campuran antara balai pertemuan dan markas militer, dengan beberapa meja kayu panjang di tengah, tempat troll-troll berkumpul, berbicara, dan sesekali tertawa keras.
Lantai bangunan ini terbuat dari batu besar yang dipoles kasar, penuh goresan, bekas cakar, dan bercak-bercak gelap yang entah berasal dari apa. Dinding-dindingnya memiliki bendera dan lambang troll, dengan kain kusam berwarna merah tua dan emas, menampilkan simbol kapak dan gada bersilang di atas kepala seekor troll yang mengaum.
Di sekitar ruangan, para troll terlihat melakukan berbagai aktivitas. Ada yang duduk sambil mengasah senjata besar mereka—kapak bermata dua, gada berat, bahkan pedang yang tampak terlalu besar untuk digunakan oleh manusia. Beberapa troll berbaju zirah ringan tampak sedang bercakap serius dengan ekspresi keras, kemungkinan membicarakan strategi atau urusan militer. Sementara itu, sekelompok prajurit troll berdiri di dekat dinding, mengenakan armor tebal berwarna besi kusam dengan hiasan paku di bahu dan sabuk kulit besar yang melingkar di pinggang mereka.
Di antara mereka, seorang petugas troll berdiri lebih tegap dibanding yang lain. Tubuhnya besar, bahkan untuk ukuran troll, dengan tinggi mendekati tiga meter. Kulitnya berwarna hijau gelap dengan bekas luka yang menonjol di salah satu pipinya. Ia mengenakan armor berat berwarna hitam pekat dengan ukiran kasar di dada, mungkin melambangkan statusnya sebagai penjaga atau kapten di tempat ini. Pelindung bahunya besar, dihiasi duri-duri pendek yang terlihat lebih fungsional daripada dekoratif. Sebuah kapak besar tergantung di punggungnya, pegangan kayunya berlapis kulit yang sudah terlihat tua.
Tenebrist, tetap tenang seperti biasanya, melangkah mendekat ke arah petugas troll itu. Ia mengangkat sedikit kepalanya untuk menatap wajah troll yang jauh lebih tinggi darinya.
"Kami pengelana," ucapnya dengan suara netral, tidak terlalu keras namun cukup tegas untuk didengar di tengah kebisingan ruangan. "Kami telah mengunjungi berbagai wilayah dan mempelajari budaya masing-masing ras. Saat ini, kami memiliki sebuah catatan dalam bahasa troll yang perlu kami artikan."
Petugas troll itu menyipitkan matanya, menatap Tenebrist seperti sedang menilai apakah manusia ini berbicara jujur atau hanya mencari masalah. Tenebrist tetap berdiri dengan sikap santai, tidak menunjukkan rasa gentar sedikit pun.
Dengan gerakan halus, Tenebrist memberi isyarat pada Lyra untuk mendekat. Lyra melangkah maju, mengeluarkan catatan itu dari bukunya dengan tangan yang terlihat sedikit kaku, namun tetap terkendali. Ia menyerahkan lembaran itu pada Tenebrist, dan Tenebrist kemudian menyerahkannya kepada petugas troll.
Troll itu mengambilnya dengan tangan besar dan kasar, matanya menyapu tulisan yang tergores di atasnya. Rahangnya mengencang sedikit, lalu ia mengeluarkan suara berat seperti gumaman sebelum berbicara dengan singkat.
"Tunggu di sini."
Tanpa memberi penjelasan lebih lanjut, troll itu berbalik, langkah kakinya menghantam lantai batu dengan dentuman berat. Ia berjalan lurus ke pintu besar di sisi ruangan, membuka pintu kayu raksasa itu dengan dorongan satu tangan, lalu melangkah keluar sambil membawa catatan tersebut.
Tenebrist dan yang lainnya tetap berdiri di tempat, mengamati suasana sekitar sambil menunggu. Meski terlihat tenang, ada ketegangan yang menggantung di udara.
Mereka menunggu dalam diam, hanya ditemani suara langkah troll yang sesekali berlalu-lalang di dalam pusat distrik. Udara di ruangan itu terasa berat, seperti penuh dengan kepulan debu dan asap yang mengendap di antara batu-batu kasar yang menyusun bangunan. Cahaya redup dari obor-obor besar yang tergantung di langit-langit memberikan kesan suram.
Stark berdiri dengan tangan terlipat di dada, gelisah. Sesekali ia melirik ke arah pintu tempat petugas troll tadi menghilang. "Lama sekali," gumamnya, suaranya sedikit kesal.
Elijah, yang duduk di salah satu bangku kayu berukir kasar, menatap lantai seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia lebih sabar dibandingkan Stark, tetapi ketegangan tetap terpancar dari rahangnya yang mengeras.
Sementara itu, Lyra berdiri agak di belakang mereka. Ia mencoba mengatur napasnya, tetapi dadanya terasa sesak. Ada sesuatu yang tidak beres. "Aku tidak tahu... tapi aku merasa ini aneh," bisiknya pelan.
Tenebrist, yang bersandar pada salah satu pilar batu, hanya melirik sekilas ke arahnya. "Kau curiga dengan troll tadi?" tanyanya tenang.
Lyra menggeleng, ragu untuk mengatakannya. "Mungkin hanya perasaanku..."
Namun sebelum mereka bisa melanjutkan pembicaraan, suara berat terdengar dari luar. Langkah kaki besar—banyak, dan cepat. Seperti sekelompok troll yang datang dengan tergesa-gesa. Insting Stark langsung bekerja, ia tahu ada sesuatu yang salah meskipun ia masih belum tahu apa. Ia berdiri sigap, meminta teman-temannya ikut waspada.
Pintu kayu besar pusat distrik tiba-tiba terbuka dengan kasar, engselnya berderit nyaring. Petugas troll tadi masuk kembali, tetapi kali ini ia tidak sendirian. Beberapa prajurit troll yang mengenakan baju zirah tebal berwarna gelap mengikuti di belakangnya. Mata mereka tajam, penuh kewaspadaan.
"Hei, ada apa ini?" tanya Stark, matanya menyipit curiga. Tangannya siap di gagang katananya.
Salah satu prajurit troll melangkah maju, suaranya dalam dan menggelegar, "Perempuan elf itu akan kami bawa. Dia membawa catatan yang hilang dari sejarah troll."
Suasana seketika membeku.
"Catatan hilang?" ulang Tenebrist, matanya sedikit menyipit. "Aku rasa ini hanya kesalahpahaman. Kami hanya ingin menerjemahkannya, tidak lebih."
Namun troll itu tidak menggubris. "Kami tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Dia akan diinterogasi," tegasnya.
Stark langsung maju selangkah. "Kalian tidak bisa seenaknya menangkap orang tanpa alasan jelas!"
Elijah juga bangkit, meskipun gerakannya lebih tenang dibandingkan Stark. Matanya menatap tajam ke arah para prajurit troll, siap bertindak jika perlu.
Namun sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, dua prajurit lain sudah lebih dulu mencengkeram lengan Lyra. Ia terkejut, tetapi menahan diri untuk tidak memberontak. Wajahnya sedikit pucat, namun bibirnya tetap terkatup rapat.
Tenebrist mencoba berdiplomasi, suaranya tetap tenang meski situasinya semakin buruk. "Dengar, kami tidak ingin membuat masalah. Jika memang catatan ini penting, kami bisa menyerahkannya dan pergi begitu saja."
Prajurit troll itu terkekeh pendek. "Terlambat."
Dalam sekejap, suasana meledak. Stark melompat, mencoba melepaskan Lyra dari cengkeraman mereka, tetapi dua troll besar langsung menangkapnya dan membantingnya ke tanah. Ia kalah tenaga dibandingkan dua troll besar itu. Elijah mencoba membantu, tetapi pergerakannya juga dihentikan oleh tiga prajurit lain yang segera mengeroyoknya.
Tenebrist sendiri merasakan cengkeraman kuat di kedua lengannya sebelum ia sempat menyusun strategi lain. Napasnya terengah, bukan karena kelelahan, tetapi karena frustrasi. Ia tahu, ini kesalahannya. Ia terlalu fokus pada tujuan hingga mengabaikan kemungkinan pengkhianatan dari troll. Mungkin ini salah satu bentuk lengahnya karena ia, secara perlahan, mulai menghilangkan rasa skeptisnya pada seluruh hal di sekelilingnya.
Lyra masih berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun wajahnya semakin pucat. "Tenebrist…" suaranya nyaris bergetar, tetapi ia mencoba tetap berdiri tegak.
"Jangan khawatir," jawab Tenebrist pelan, meskipun kali ini, ia sendiri tidak yakin dengan kata-katanya.
Dengan tangan terikat, mereka semua digiring keluar pusat distrik. Langkah kaki para troll bergema di sepanjang jalan berbatu, membawa mereka menuju tempat yang lebih gelap—tempat tahanan di wilayah troll.16Please respect copyright.PENANAaYVSbukeA4