Di sebuah jalan raya, tampak sepasang kekasih sedang bersenda gurau di dalam mobil. Mereka berdua begitu bahagia dan saling tersenyum lebar.
Sang pria menggenggam tangan wanita itu. Wanita itu ikut tersenyum menatapnya. Tapi mendadak sebuah truk gandeng yang sangat besar menabrak mereka dari arah depan. Mereka berdua berteriak.
"Archhhhhhh, tidaaaakk!!" Bima berteriak dan bangun dari tidurnya.
"Siaaal!! mimpi itu terus, haesttt, apa sih maksudnya?"
Bima melihat jam beker di samping ranjang sudah pukul 8 pagi. Ia bergegas mandi dan memakai setelan kemeja. Tak lupa ia memakai dasi lalu bercermin. terbayang wajah wanita itu di benaknya.
"Wanita itu, siapa sih dia sebenarnya?" gumamnya.
Ia mengambil tas dan berangkat ke tempat kerja.
"Pagi Dokter." Semua orang menyapa pria bertinggi 175 cm itu.
"Iya pagi," jawab pria itu dengan datar.
Ia masuk ke sebuah ruangan Psikiater.
"Pagi Dokter Intan," sapa pria itu pada wanita berambut pendek yang sedang menyampirkan jaket.
Seorang wanita kaget karena ia juga baru saja datang.
"Duh, kamu ya Bim, kebiasaan."
Bima duduk dengan muka cemberut.
"Apa lagi sekarang? pasti tentang mimpi itu lagi kan?" tebak wanita yang menjadi temannya sejak masa kuliah itu.
Bima mengangguk.
"Apa kamu sudah meminum obat yang kuberikan?"
"Aku meminumnya setiap malam sebelum tidur, tapi tetap saja aku bermimpi buruk," keluh Bima.
"Mungkin karena kamu keseringan di UGD, jadi kamu mengalami mimpi buruk, kenapa kamu tak mengajukan liburan saja, aku bisa menemanimu," usul Intan.
"Haesttt, di sini lagi kurang Dokter tau, kamu malah nyuruh aku pergi, ya udah aku kerja dulu." Bima pergi dari ruangan itu.
Ia masuk ke ruangannya sendiri dan memakai jas putih yang sering ia pakai untuk bekerja. Ada name tag di dada jas itu. Dr Bima SPD, ya! nama itu begitu punya kharismatik. Secara, dia adalah dokter tertampan dan termuda di rumah sakit itu.
Seorang pria mengetuk ruangannya.
"Masuklah."
"Dok, ini data pelamar Suster pendamping untuk tahun ini." Tirta memberikan sebuah kertas padanya untuk dibaca.
Karena Bima orang yang super sibuk. jadi dia malas berurusan dengan hal-hal seperti itu.
"Tahun kemaren, kamu juga kan yang nyariin buat aku, kali ini, kamu aja yang urus, aku harus ke UGD," ucap Bima dan berlalu pergi.
"Tapi Dok, Anda nggak mau lihat dulu datanya?" tanya Tirta.
"Enggak! urus aja." Bima pergi meninggalkannya.
"Haesttt, apa dia begitu membenciku, haaa! kenapa tak ingin memilih sendiri," umpat Tirta.
Ia membayangkan kejadian tahun lalu saat ia merekrut suster pendamping untuk Bima.
"Maaf Dok, saya mengundurkan diri."
"Maaf Dok, saya nggak betah."
"Maaf Dok, saya mau cuti hamil."
"Maaf Dok maaf ...."
"Archhhhhh!!!" teriak tirta seraya mengorat-ngarit rambutnya sendiri.
Tidak ada yang betah bekerja dengan Bima kalau tidak untung-untungan. Karena pria itu memang sangat kolot dan begitu menyebalkan.
Tirta keluar dari ruangan Bima dan tampak lesu. Aldi menghampirinya.
"Bro, kok lesu gini."
"Di, bisa nggak ubah aku jadi cewek, aku pengen banget merkosa tu orang, biar tau rasa," umpat Tirta.
"Ha-ha-ha, aku tau, pasti Dokter Bima kan! untung aku kemaren ngajuin jadi asisten Dokter Reno, kalau nggak! aku bisa bernasip sial kayak kamu," ejek Aldi.
"Huhuhu, Di, kita tukeran yuk, kita kan temen baik nih," bujuk Tirta.
"Ogah ah, daa, aku masih banyak kerjaan." Aldi pergi meninggalkan temanya itu.
"Wahh, sialan kamu Di!"
Di ruang diskusi. Tirta bingung gimana milih suster pendamping buat Bima. Lalu dia baca data-data suster itu. Matanya terhenti di satu lembar formulir.
"Siapa ini? Tiara Angraini, kok kehidupan dia hampir sama kayak Dokter Bima, pernah bangun dari koma selama setahun juga," gumam Tirta seraya meringis.
"He-he-he, kayaknya mereka cocok nih, aku pilih dia aja deh."
Tirta mengambil ponsel dan menelpon Tiara.
(Yang bener Dok, aku benar-benar di terima kerja di situ?) ucap Tiara seraya menahan tawa.
(Iya, besok datanglah lebih awal, jam 7 an, aku akan mengajarimu tata cara kerja di sini)
(Siap Dok) ucap Tiara tegas.
Tiara menari-nari kegirangan.
"Yeeee akhirnya aku dapat pekerjaan, oh ya, aku harus ngabarin Puput dulu."
Tiara menelpon Puput temannya.
(Iya Ra, gimana hasilnya?) tanya Puput
(Akhirnya besok aku bisa kerja di situ Put, achh aku senang banget) ujar Tiara.
(Serius kamu Ra? syukurlah aku ikut senang, tapi kamu jadi Suster pendampingnya siapa ya?) tanya Puput.
(Ehhhh, aku lupa nggak nanyak?)
(Ahh kebiasaan kamu, ya udah nggak papa, besok aku tunggu kamu di sini ya) ucap Puput.
(Ok)
Saat makan malam di rumah Tiara.
"Ehmm, Paman, Bibi, mulai besok aku akan bekerja di rumah sakit," ujar Tiara tiba-tiba seraya menyendok nasi.
"Benarkah, baguslah, jadi kamu bisa melunasi semua hutang-hutangmu," ucap wanita berdaster itu dengan ketus.
"Bu, kenapa bicara seperti itu?" bantah suaminya.
"Tapi memang benarkan Yah, lihat kondisi kita sekarang, sejak kita membiayai dia di rumah sakit dulu, kita sudah kehilangan segalanya," sahut istrinya.
"Bu, Tiara itu keponakan kita sendiri, itu juga kewajiban kita sebagai keluarganya," ucap pria berkacamata itu.
Tiara tak ingin mereka saling berdebat.
"Sudahlah Bi, Paman, aku tau kok, aku akan menghasilkan uang yang banyak, Bibi nggak usah khawatir, aku udah kenyang." Tiara pergi membawa piringnya sendiri dan mencucinya.
Itulah kehidupan Tiara di rumah sehari-hari. Wanita itu tak bisa bernafas dengan lega. Makanya ia ingin segera bekerja dan menyibukkan dirinya, agar tidak diomeli oleh Bibinya terus.
441Please respect copyright.PENANAj4VAK7zwUf