Detik-detik sebelum kepergian Arif. Tiara masih bersamanya. Ia mendadak jatuh pingsan tak sadarkan diri. Tiara dan Sari segera membawa pria itu ke rumah sakit. Bima yang sudah menunggu kedatangan mereka segera membantu. Tapi sayang nyawa Arif tidak tertolong lagi.
Dokter Bima mengatakan bahwa pasien mengalami komplikasi. Sehingga saraf-saraf di tubuhnya tidak berfungsi dan menyebabkan gangguan jantung.
"Apa maksudnya semua ini? bukankah suamiku sudah sembuh, kenapa malah jadi seperti ini ha! apa kalian semua membohongiku!" teriak Sari pada mereka semua.
Reno datang untuk melerai mereka. Tiara hanya merunduk dan terus menangis.
Arwah Arif keluar dari tubuhnya. Dan Juna sang malaikat maut segera menggiringnya. Sesekali ia menatap Tiara. Seperti ada yang aneh pada wanita itu.
Saat pagi hari. Ketika Bima tertidur ia mendapat penglihatan tentang Tiara lagi.
Ia melihat wanita itu menangis di tepi jalan. Sambil menggenggam sebuah tas. Ia berjalan sempoyongan sampai ke bawah jembatan.
Bima tersentak dan bangun dari tidur.
"Apa lagi yang akan di alami Tiara, duhh, kenapa dia selalu saja mendapat masalah," gumam Bima seraya mengusap rambutnya yang tak gatal.
Setelah upacara pemakaman Arif sang Paman. Mereka semua undur pamit. Reno dan Tiara tampak berbicara.
"Untuk beberapa hari ini, beristirahatlah, aku tau ini sulit bagimu, kamu yang tegar ya," ucap pria itu seraya menepuk bahu Tiara.
"Iya Dok, makasih," sahut Tiara lirih.
Tiara ingin menghilangkan sedikit penat di kepalanya. Ia pergi minum-minum dengan Puput.
"Ra! udahlah, jangan kebanyakan minum kamu!" bentak Puput melerai temannya yang masih menuang bir ke dalam gelas.
"Tak ada yang bisa kulakukan lagi Put, hanya ini yang bisa membuatku tenang," isak Tiara dan masih terus minum.
"Kalau Paman Arif ngelihat kamu seperti ini, dia juga bakal marah!" bentaknya lagi.
Mendengar ucapan Puput. Tiara malah menangis.
"Haduhh, ni bocah," gerutu Puput entah bagaimana caranya menenangkan Tiara.
Tiara berjalan setengah sadar pulang ke rumah. Tapi apa yang ia dapati. Semua barang-barang dari kamarnya sudah di buang keluar oleh Sari. Ia menggedor pintu itu dengan keras.
"Bi! bibi! apa ini Bi? kenapa Bibi membuang semua barang-barangku! buka Bi, aku mau masuk!" Teriaknya sambil terus menangis.
Tapi Sari tak membuka pintu itu. Ia benar-benar marah karena mengikuti perkataan Tiara. Ia mengira kematian suaminya disebabkan oleh Tiara. Maka ia tak ingin wanita itu tinggal lagi di rumahnya.
"Bibiii!!!" Tiara menangis memanggil wanita itu. Ia mengepaki barang-barangnya yang berceceran di tanah sambil terus menangis.
Tiara pergi dengan luka di hatinya. Belum pulih dari kehilangan Arif sang paman. Kini ia pun harus kehilangan tempat tinggal. Ia naik taxi dan pergi ke rumah Reno. Dalam pikiran wanita itu hanya dialah yang tersisa sekarang.
Sesampainya di rumah Reno. Ia melihat pria itu juga ingin keluar dari rumah. Mendadak seorang wanita paruh baya juga keluar mengikutinya.
"Apa kamu sudah kehilangan akal, Reno? kenapa kamu selalu saja membela anak yatim itu!" bentak wanita itu yang tak lain adalah ibunya.
"Mama kan tau bagaimana perasaanku terhadap Tiara," bantah Reno.
"Persetan dengan perasaanmu itu Reno, kamu sudah kelewatan! Mama tidak akan mengijinkan kamu menemui wanita itu lagi!" ancam ibunya.
"Tapi Ma! Reno harus menemui dia," ujar Reno yang masih tetap kekeh.
"Kalau kamu keluar dari pintu pagar rumah ini, Mama tidak akan menerimamu kembali," ucap wanita itu dan membuang muka.
"Maaamaa!!!" teriak Reno seraya putus asa dan bingung harus berbuat apa.
Tiara mendengar itu semua. Wanita itu berbalik dan lagi-lagi menangis. Ia duduk di sebuah kedai dan minum beberapa botol bir. Ia mematikan ponselnya karena Reno sedari tadi menelpon.
Ia melihat isi dompetnya. Hanya tinggal beberapa lembar uang. Ia harus berhemat. Wanita itu menyudahi minum-minum dan berjalan tak tentu arah. Lalu sampailah ia di bawah jembatan. Dia merasa itu tempat yang cocok untuk merenung.
Di sisi lain.
Bima ikut cemas. Ingin tau keadaan Tiara. Ia menelpon wanita itu beberapa kali tapi ponselnya tidak aktif.
"Kenapa aku begitu cemas, apa yang terjadi pada Tiara sekarang ya?" gumam Bima seraya berjalan ke sana ke mari.
Ia mengambil kunci mobil dan pergi ke rumah Tiara. Tapi apa yang ia dapati.
"Pergilah! Tiara tidak tinggal di sini lagi, Ia sudah pergi entah ke mana," ucap Sari mengusir pria itu.
"Apa dia tak bicara mau ke mana Tante?" tanya Bima.
"Tidak!" sahut Sari dengan ketus dan menutup pintu itu.
"Duh, ke mana ya Tiara? coba aku telpon Puput dulu," ujar Bima dan menelpon temannya Tiara itu.
"Iya Dokter Bima, ada apa malam-malam begini telpon?" tanya Puput bingung.
"Apa Tiara bersamamu Put?"
"Tiara! enggak kok Dok, kenapa emang?"
"Oh ya udah, nggak papa cuman nanyak kok," ujar Bima mengakiri panggilan itu.
"Hahh, aneh ni orang!" gumam puput menggeleng.
Di dalam mobil.
"Ayo Bim coba berfikir, ingat-ingat di mana tempat Tiara menangis saat di penglihatan terakir," gumamnya berbicara pada diri sendiri.
Bima mencoba mengingat. Tempat itu di kelilingi air dan banyak lampu-lampu malam bisa terlihat dari tempat itu.
"Oh aku tau, bawah jembatan!!" teriaknya bersemangat.
Bima segera bergegas ke tempat itu.
"Tunggu aku Tiara," ujarnya.
Tiara duduk di bawah jembatan. Tangan mungilnya mengambil beberapa kerikil dan melemparkan ke air. Ia menangis meratapi semua kejadian yang ia alami.
Ia menenggadah, "Apa Engkau mengutukku, kenapa aku selalu menderita seperti ini," ucapnya seraya membentak dan menatap ke langit-langit.
"Apa yang harus kulakukan, aku sudah tak mempunyai siapapun di dunia ini." Tiara merintih dan terus menangis.
Dari arah lain.
"Akhirnya aku menemukanmu," ujar Bima tersenyum dan mengatur nafas karena berlari ke arah jembatan. Ia segera menghampiri wanita itu.
"Di sini kamu rupanya? aku sudah mencarimu ke mana-mana," ujar Bima mengagetkan wanita yang terduduk di pinggir jembatan itu
Tiara kaget dan berbalik.
"Dokter Bima," ucapnya seraya menghapus air mata.
Bima mendekati wanita itu dan menghapus air mata yang berlinang di pipi mungilnya.
"Sudah berapa kali aku bilang, aku nggak suka kamu menangis," ucap pria itu.
Tiara langsung memeluk pria itu tanpa permisi sama sekali. Dan ia malah menangis di pelukan pria itu. Bima menepuk-nepuk bahu Tiara untuk membuatnya tenang. Akhirnya Bima mengajak Tiara untuk pergi ke rumahnya.
Tiara memasuki rumah Bima yang cukup luas. Bola matanya melihat ke seluruh rumah besar yang bersih itu.
"Ayo masuk," ajak Bima.
"Iya Dok."
"Untungnya aku punya dua kamar, untuk sementara kamu bisa memakai kamar itu," ujar Bima padanya.
"Aku hanya akan bermalam sehari Dok, aku akan segera mencari kontrakan besok," sahut Tiara.
Bima memegang pundak wanita itu.
"Nggak usah terburu-buru, kamu bisa tinggal di sini selama kamu mau," ujar pria itu membuat Tiara malu.
Tiara tampak merunduk dan menahan malu.
"Apa kamu lapar?" tanya Bima.
"Enggak Dok aku dah makan tadi!" Mendadak suara perut tiara berbunyi.
Kroooooookkk!
"Haestt, nih perut," gumam Tiara makin malu.
Bima tersenyum kecil.
"Masih bisa bohong kamu ya," ucap Bima.
Bima memasak mie telur untuk wanita itu. Aroma mie yang di campur telur mata sapi sudah hinggap ke hidung wanita itu.
"Nih makan," ucap Bima seraya menyodorkan semangkok mie di atas meja.
"Makasih Dok," sahut Tiara dengan mata berkaca-kaca.
"Aku penasaran, apakah kamu juga berbohong kepadaku tentang pertukaranmu dengan Puput hari itu," tanya Bima tiba-tiba.
Tiara tersedak.
"Uhuk, uhuk, uhuk." Bima segera memberinya air.
Tiara menghela nafas.
"Maafin aku Dok, atas kata-kataku saat itu, aku benar-benar nggak bermaksud mengatakannya," ujar Tiara yang masih sibuk menyumpit mie di mangkok.
"Lalu, apa yang membuatmu pergi dariku dan berada di sisi Reno?"
"Aku melakukan kesepakatan dengannya," jawab Tiara.
"Kesepakatan apa?"
"Saat itu, Bibiku tak ingin mendengarkan ide Dokter untuk menyuntikkan obat biotik ke tubuh Paman, aku memohon pada Dokter Reno untuk meyakinkan Bibi, tapi ia memberiku syarat, aku harus bertukar dengan Puput, maka aku menyetujui syarat itu," ucap Tiara menjelaskan.
"Hahhhh! licik banget tu orang, kenapa nggak bisa bersaing secara adil!" bentak Bima yang tak sadar dengan apa yang ia katakan.
"Maksudnya Dok?" tanya Tiara yang masih bingung.
"Oh nggak papa, terusin aja makannya."
"Dokter kok bisa tau aku ada di sana tadi?" tanya Tiara lagi.
"Apa kamu percaya, kalau aku bilang aku punya telepati denganmu."
"Hahh! Dokter pasti bohong, ya kan, mana ada telepati."
"Memangnya kapan aku berbohong sama kamu, bukankah kamu yang selalunya berbohong," ucap Bima menatap wanita itu.
"Ehmm, iya-iya Dok." Tiara kembali merunduk karena malu.
"Lalu sekarang apa kamu akan kembali ke sisiku?" tanya Bima padanya.
"Ehmm, iya Dok, aku akan kembali ke sisi Dokter mulai besok," ujar Tiara menutup mulutnya karena kata-kata yang ia ucapkan barusan mempunyai banyak arti.
Bima tersenyum menatapnya.
366Please respect copyright.PENANAVakS9nDdlR
366Please respect copyright.PENANAf2WFdaHvZX
366Please respect copyright.PENANAFwbeUYt3lK