Komite kedispilanan mengadakan rapat mendadak.
"Masalah apa lagi ini?" tanya Ketua komite tanpa basa-basi.
Wakil ketua menyodorkan sebuah berkas. Dan beliau membacanya.
"Panggil Suster Rani ke depan," bentaknya.
"Baik Ketua."
Suster Rani berjalan ke depan aula yang dikelilingi banyak orang. Wajahnya pucat pasi entah apa yang akan berlaku padanya.
"Apa yang kamu katakan kepada keluarga korban sehingga mereka sangat marah?" tanya wanita berkacamata itu padanya.
"Saya hanya mengikuti prosedur rumah sakit ini Ketua, mereka tidak mampu membayar biaya operasi maka saya tidak memprosesnya," jawab Rani lirih.
"Seharusnya kamu konsultasikan dulu dengan Dokter Bima, apakah dia mau menerima pasien itu atau tidak! kenapa kamu bertindak diluar batas," ucapnya lagi.
"Maafkan saya Ketua, maaf," Rani tampak menyesal.
"Bagaimana aku harus mengakiri kasus ini, kamu baru saja mencemari nama baik rumah sakit ini," ucap Ketua komite seraya memegang dahi.
Bima akhirnya berdiri.
"Ketua, biarkan saya mengoperasi wanita itu," ucapnya tiba-tiba dengan lantang.
"Lalu bagaimana dengan biaya operasinya?" tanya Ketua komite.
"Saya akan membayarnya dengan gaji saya Ketua," jawab Bima lagi.
Intan yang berada di samping pria itu langsung menarik tangannya dan berbisik.
"Apa kamu sudah gila Bim, kamu nggak akan punya uang ntar!" ujar Intan lirih.
Ketua berkata lagi.
"Kamu tidak bisa melakukan itu, gaji kamu kan baru saja dipotong, karena kamu sudah menyelamatkan suster Rani, maka kamu akan mendapatkan bonus juga, jadi kusarankan gunakan saja bonus itu," usul Ketua komite.
"Siap Ketua, terimakasih." Bima tersenyum lebar.
"Tapi, apa kamu yakin bisa melakukannya, tanganmu kan masih terluka."
"Ini hanya luka kecil, saya akan segera sembuh Ketua," sahut Bima.
"Baiklah kalau begitu, untuk kamu Suster Rani, kamu akan saya skors satu minggu karena perbuatanmu, gunakan waktu itu untuk merenungi kesalahanmu, mengerti," ucap Ketua dengan tegas
"Baik, saya mengerti Ketua," sahut Rani.
Sesosok malaikat maut menatap dari kejauhan. Dokumen yang ia bawa di tangan mendadak terbakar dan hilang menjadi abu.
"Apa-apaan nih, haduhh! bisa kena marah aku," teriak Anji sang malaikat maut seraya kebingungan.
Di luar ruangan.
"Kamu yakin bisa melakukan operasi Bim? tangan kamu kan masih sakit?" tanya Intan.
"Aku bisa kok, ini cuman luka goresan," jawab Bima.
Tiara berjalan di belakang mereka.
Tiara merasa bersalah karena melibatkan Bima dalam masalahnya. Ia tak ingin Bima mengalami hal itu lagi. Ia memutuskan untuk tidak membicarakan tentang kemampuannya lagi pada pria itu.
"Permisi ya Dok." Tiara nyelonong gitu aja melewati mereka berdua.
"Eh Ra, tunggu--," ucapan Bima terpotong.
"Bim, ayo ke kantin dulu, anterin aku makan," Intan menarik tangan pria itu.
"Eh, iya-iya." Bima tak bisa menolak ajakan Intan.
Di ruangan Bima. Tiara duduk merenung. Ia tak ingin pria itu mendapat masalah lagi. Mendadak Bima datang dan membawakan makanan.
"Makanlah, aku tau kamu belum makan dari pagi." Bima menyodorkan sekotak nasi pada Tiara.
"Nggak perlu Dok, aku nggak lapar kok," ucap Tiara menolak.
Bima langsung duduk di kursi. Ia membuka kotak nasi itu. Aroma nasi yang baru dikukus dan ayam goreng rica-rica serta kering tempe dan sambal terasi keluar dari kotak berwarna putih itu. Bahkan aroma itu sempat menari-nari menuju ke hidung Tiara, perut Tiara seketika berbunyi.
Krooccccckkkkkkk!! "Haest! ni perut, nggak bisa di ajak bohong napa," gumam Tiara.
Bima tersenyum kecil melihatnya.
"Mulut kamu emang bisa bohong, tapi perut kamu nggak bisa, nggak kasian ama cacing yang hidup di perut kamu, pada kelaparan tuh," ejeknya.
Tiara berdiri dan menatap pria itu dengan cemberut.
"Dokterrrrr!" ucap Tiara dengan bibir manyun.
"Udah sini! apa perlu kusuapin nih, kalau kamu nggak makan terus mendadak pingsan, siapa yang akan bantuin aku, ha!" ucapnya membujuk Tiara agar mau makan.
"Hem, iya-iya." Tiara berjalan mendekat dan mengambil kotak nasi itu.
"Makasih ya Dok," ucapnya lirih.
Beberapa saat kemudian. Tampak Bima kesulitan mengganti perban di lengannya sendiri, dan Tiara yang sudah selesai makan lalu datang membantu pria itu.
"Kok nggak manggil aku sih Dok, aku kan bisa bantuin Dokter," ucap Tiara seraya mengambil perban baru untuk mengganti perban di tangan Bima.
"Kamu kan masih makan, jadi nggak mau ganggu," ucap Bima.
"Sejak kapan Dokter nggak pernah ganggu aku," gumam Tiara lirih.
"Apa kamu bilang!" bentak Bima.
"Enggak kok Dok." Tiara tersenyum kecut.
Tiara mengganti perban itu dengan sangat hati-hati. Sesekali ia melihat wajah Bima yang tak bergeming karena menatapnya. Bima membayangkan betapa cantiknya tiara saat sinar matahari yang redup menyinari sebagian wajah wanita berkulit putih itu. Bima pun tersenyum menunjukkan lesung pipitnya. Tiara yang tau itu ikut tersenyum karena melihat pria di depannya juga sangat tampan.
"Dok," panggil Tiara pada pria itu.
Suara tiara membuyarkan lamunan Bima.
"Eh, iya kenapa?" tanyanya.
"Udah selesai nih," ujar Tiara seraya mengembalikan kain perban yang tersisa.
"Oh, iya makasih," ucap Bima seraya menggerakkan tangannya.
Tiba tiba suara telpon berbunyi.
"Iya, dengan Dokter Bima di sini, apa! ke kantor polisi, oh iya baiklah saya akan segera ke sana." Bima menutup telponnya dan tampak berfikir.
"Ada apa Dok?" tanya Tiara.
"Aku harus memberi peryataan di kantor polisi," sahut Bima seraya melepas jas dokter dan menyampirkan baju itu di dinding.
"Bolehkan aku ikut Dok?" pinta Tiara.
Bima mengangguk.
Sesampainya di kantor polisi. Pria yang baru saja menusuk lengan Bima, langsung bersujud kepadanya.
"Maafkan saya Dok, saya benar-benar tak bermaksud melukai Dokter, saya nggak tau kalau Dokter akan melindungi Suster itu, maafkan saya Dok," rintih pria berumur 50 tahunan itu.
"Bapak jangan bersikap seperti ini, ayo bangun." Bima mengangkat pria itu untuk duduk di samping kursinya.
"Pak polisi, saya ke sini untuk mencabut gugatan dari rumah sakit saya," ujar Bima.
"Tapi, bukankah dia melakukan percobaan pembunuhan?" tanya pak polisi itu.
"Tidak Pak, ini hanya kesalahfahaman, itu bisa disebut membela diri, tolong bebaskan Bapak ini ya," pinta Bima.
"Baiklah, lalu, apa kamu bisa menjamin kalau Bapak ini tidak akan melakukan kejahatan lagi," ujar pria berpakaian polisi itu
"Iya Pak, saya yang akan menjaminnya," sahut Bima tanpa berpikir lagi.
"Tanda tangan di sini, dan kalian bisa meninggalkan tempat ini."
Pria itu menatap Bima dengan mata berkaca-kaca.
Di luar kantor polisi.
"Terima kasih Dok, atas semua bantuannya, saya sudah melukai Dokter, tapi Dokter masih sudi membantu saya," isak pria itu.
"Iya Pak sama-sama, mari ikut saya ke rumah sakit ya, dua hari lagi saya akan mengoperasi istri Bapak, jadi Bapak nggak perlu khawatir," ujar Bima.
"Tapi Dok, saya tidak punya uang sepeserpun," bantah pria itu.
"Bapak tidak perlu khawatir, saya yang akan menanggung semua biaya operasi itu," sahut Bima.
"Terimakasih Dokter, semoga Tuhan selalu melindungi Anda," ujar pria itu dan memeluk Bima seraya meneteskan air mata kebahagiaan.
"Mari Pak," ujar Bima mengajak pria itu masuk ke mobil.
Mereka semua masuk ke mobil.
Di dalam mobil. Tampak Bima dan pria itu berbincang-bincang. Bima tak risih sama sekali bergaul dengan orang dari kalangan bawah. Biasanya kebanyakan Dokter yang sudah sukses. Mereka tidak mempedulikan kalangan bawah atau orang miskin.
Tapi berbeda dengan Bima. Ia menerima semua pasien tanpa melihat latar belakang mereka. Mungkin itulah yang membuat Bima berbeda dari Dokter lain. Tidak seperti yang dibicarakan orang-orang. Katanya Bima itu pria kolot, kasar dan tidak berprikemanusiaan. Nyatanya itu semua bertolak belakang. Bima baik dan penuh kasih sayang.
Tiara tersipu saat pikirannya membayangkan tentang pria itu. Bima sesekali melirik Tiara dari kaca mobil, pria itu jadi ikut tersenyum. Tiba-tiba lamunan Tiara terhenti karena ia mendapat telpon dari Reno.
"Iya Dokter Reno," jawab Tiara.
"Kamu di mana? ini udah waktunya pulang," ujar pria yang memang menyukai Tiara sejak lama itu.
Bima mendengar itu dan mengubah mimik wajahnya menjadi murung.
"Ehmm, aku habis dari kantor polisi sama Dokter Bima."
"Jadi kamu sama dia!" Nada suara Reno mulai meninggi.
"Iya, ini juga sama Bapak yang istrinya akan dioperasi, Dokter Bima habis mencabut gugatan dari rumah sakit," jelas Tiara.
"Oh gitu ya, kalau gitu aku tungguin kamu ya," pinta Reno.
"Nggak usah, ini masih di jalan kok, dan kayaknya masih lama, Dokter pulang aja dulu, aku bisa pulang sendiri kok," tolak Tiara yang sesekali melirik ke arah Bima.
"Ya udah kalau gitu, kalau ada apa-apa hubungi aku ya."
"Iya Dok." Tiara menutup telponnya dan menatap Bima yang tampak murung.
406Please respect copyright.PENANAfKxie3Pl3N
406Please respect copyright.PENANAVWQb3hx7EO