Di kantin rumah sakit. Bima duduk termenung. Ia bingung harus bagaimana menyikapi tentang penglihatannya. Di satu sisi ia juga masih kesal dengan Tiara. Tapi di sisi lain ia tak ingin Tiara bersama Reno.
Ia mendengar beberapa suster berbicara.
"Iya Sus, besok adalah hari ulang tahun Dokter Reno."
"Achh serius, siapa ya kali ini yang di ajak makan malam, penasaran deh."
"Udah kelihatan kali, pada nggak denger ya, kalau dokter Reno lagi deket ama Suster Tiara."
"Oh Tiara yang itu, bukannya dia juga deket ama Dokter Bima ya."
"Beruntungnya dia, bisa diperebutkan oleh Dokter setampan mereka, jadi ngiri deh."
"Ngimpi aja sono." Kedua Suster itu akhirnya berlalu.
Bima memikirkan sebuah ide. Ia bergegas ke ruangan Intan.
"Akhirnya kamu ke sini juga, kenapa?sudah kehilangan belahan jiwa kamu ya, baru inget aku deh," ejek Intan.
"Yaelah Tan, gitu aja ngambex," bujuknya.
"Emang bener kok, bukannya kamu kehilangan Suster kesayanganmu itu sekarang," ucap Intan ketus.
"Udah deh jangan di bahas, eh Tan, tau restoran yang bagus nggak kira-kira buat orang banyak gitu?" tanya Bima tiba-tiba.
"Tumben kamu nanyak, mau ngadain party ya?" tanya Intan.
"Iya-iya, udah cari aja napa!"
"Bentar aku cek." Intan mencari beberapa restoran yang bagus.
"Nih! di sini tempatnya ok," usul Indah.
"Ok makasih ya." Bima mencatat no telpon resto itu dan berlalu pergi.
"Aneh banget sih tu orang," ucap Intan seraya menggeleng.
Saat di restoran. Beberapa Suster dan Dokter sudah berkumpul di sana. Itu adalah rencana Bima untuk menggagalkan apa yang dia lihat sebelumnya. Ia memanfaatkan Puput untuk mengundang Tiara dan Reno sekaligus ke tempat itu. Saat kue ultah di hidangkan. Reno tiba-tiba berkata.
"Aku akan memberikan sedikit sambutan, terimakasih untuk pesta yang sudah kalian buat untukku, malam ini aku akan membuat pengumuman," ia menghadap ke Tiara," aku Reno, hanya menyukaimu Tiara, dan hanya kamu yang selalu ada di hatiku," ucapnya tanpa rasa malu.
Semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Bima tersentak karena kaget.
"Kenapa ini tidak berubah, kenapa kata-kata itu masih sama." Bima mengeryitkan dahinya.
Tiara sangat malu. Ia diam dan tak berkata apa-apa.
Sehari setelahnya. Di sebuah jalan, Anji berdiri dan menunggu.
"Kok belum datang juga sih, lama amat," gerutu sang malaikat maut itu.
Tak berapa lama. Seorang wanita sedang menyebrang jalan. Dan dari arah lain sebuah truk yang remnya tiba-tiba blong menabraknya. Wanita itu bergulingan beberapa kali. Dan kehilangan banyak darah, wanita itu adalah suster Rani.
Mobil ambuland segera datang dan membawa wanita itu ke rumah sakit.
Di koridor terdengar beberapa Suster berbicara.
"Eh, kalian tau nggak Suster Rani yang di skors itu, dia mengalami kecelakaan lo."
"Yg bener, terus gimana keadaannya sekarang?"
"Dia baru aja tiba dan di bawa ke UGD, moga aja ngak kenapa-napa."
Tiara mendengar itu dan bergegas ingin melihatnya.
Bima tampak membantu mengobati Suster Rani. Ia menggunakan getaran jantung untuk membangunkannya. Tapi hasilnya nihil. Wanita itu menghembuskan nafas terakir di rumah sakit itu.
Tiara menyaksikan itu. Ia menutup mulutnya dan menangis tersedu-sedu. Ia melihat asap hitam itu kembali mengitari Suster Rani.
Arwah Suster Rani keluar dari tubuhnya.
"Ayo sini ikut aku, aku sudah lama menunggumu," kata Anji seraya menggiring wanita itu.
"Loh Ji, bukankah dia arwah yang menghilang saat itu?" tanya Juna yang saat itu berada di sana.
"Iya, entah kenapa tadi pagi, mendadak aku mendapat berkasnya kembali, tapi cara matinya aja yang beda," ucap Anji menjelaskan.
"Kalau begitu arwah yang ku hilangkan, harusnya juga kembali ke padaku," pikir Juna.
"Kurasa iya, kamu harus menunggunya."
Bima duduk di ruangannya dan berfikir. Kenapa takdir yang ia rubah tetap terjadi. Apa maksud dari semua ini. Ia bingung memecahkan masalah itu sendiri.
Di rumah Tiara saat ia pulang. Ia melihat pamannya sedang di taman duduk bersama Doni. Air mata Tiara tiba-tiba berlinang tatkala melihat asap hitam berdiri lagi di belakang tubuh pria yang di sayanginya itu.
Dia menyadari bahwa dia hanyalah manusia biasa. Yang tak bisa melawan takdir yang sudah di gariskan. Sekuat apapun ia mencoba. Takdir itu akan tetap terjadi.
Tiara meminta cuti beberapa hari pada Reno. Ia ingin menghabiskan waktu bersama pamannya. Sebelum pergi ia duduk di taman sebentar, menatap ke langit.
"Mengapa Engkau mengambil orang-orang yang ku sayangi, tidakkah Engkau mengasihaniku." Tiara berkata dengan berderai air mata.
Bima melihatnya dan berjalan menghampiri.
"Tiara," sapanya membuat wanita itu kaget.
Tiara segera mengusap air matanya. Bima duduk disamping wanita berambut coklat itu.
"Maafkan aku Tiara, kukira aku bisa membantumu. Tapi kurasa aku hanya menunda takdir itu. Aku tak benar benar bisa menghentikannya, maafkan aku," ucap Bima merasa sedih.
"Iya Dok, aku tau itu, tapi aku tetap bersyukur aku masih punya cukup waktu bersama pamanku sebelum ia pergi," jawab Tiara.
"Jadi apa yang kamu rencanakan sekarang?" tanya Bima.
"Aku akan menggunakan beberapa hari ini untuk bersama pamanku, aku ingin menyisakan kenangan yang indah bersamanya sebelum beliau pergi dari sisiku," isak Tiara.
"Kamu yang tegar ya," pinta Bima.
"Iya Dok, aku permisi dulu."
"Hati-hati Tiara," ucap Bima merasa kasian pada wanita itu.
Di sebuah taman.
"Kenapa tiba-tiba kamu mau liburan sama Paman Ra? tumben," tanya Arif.
"Lagi pengen aja Paman, akhir-akhir ini kan Tiara sibuk kerja, jadi nggak bisa ngabisin waktu sama Paman," sahut Tiara.
"Hemm gitu ya."
"Paman, Tiara nggak akan pernah menyesal, aku yakin Tuhan pasti punya takdir sendiri untukku, Tiara nggak akan pernah mengubahnya lagi," ucap Tiara dengan lantang.
Arif tersenyum menatap keponakannya itu.
"Tiara, kita ini manusia biasa, tidak akan mampu melawan takdir, takdir itu untuk di jalani sayang, bukan di lawan," sahut Arif menjelaskan.
"Iya Paman, Tiara ngerti," ucapnya seraya memeluk pria yang sudah seperti ayahnya itu.
358Please respect copyright.PENANA5DPYFGoBSG
358Please respect copyright.PENANArs4abCrCZw