Di ruangan Bima. Pria itu duduk termanggu setelah membaca sebuah dokumen yang ada di meja. Itu adalah hasil tes kesehatannya. Ia tak menyangka akan menderita leukimia.
Tiara masuk dan terperanjat karena melihat asap hitam itu sudah berdiri tegak di belakang Bima lagi.
Juna mengangkat tangannya dan membaca berkas yang baru saja ia dapatkan.
"Kegagalan operasi, apa kini dia akan menghentikan takdir lagi!" gumam Juna.
Tiara mendekati Bima dan menepuk punggung pria yang dicintainya itu.
"Apa kamu tidak lapar Sayang?" ucap Tiara seraya menutup dokumen yang sedari tadi Bima tatap.
"Raa ...! apa ini mungkin, selama ini aku begitu sehat Ra!" ucap Bima yang tak percaya dengan penyakit yang ia derita.
"Sayang, Tuhan bisa melakukan apa pun yang Dia mau, orang yang sehat pun bisa menjadi sakit jika Dia berkehendak, sudahlah jangan memikirkan itu, kita juga sudah tau kalau saat seperti ini akan datang bukan," ujar Tiara memberinya semangat.
Bima memeluk wanita itu dan meneteskan air mata. Tiara ikut menangis dan berusaha menenangkan kekasihnya itu.
Di ruang diskusi. Tiara ingin memberi pengumuman dan mengumpulkan beberapa teman-temannya.
"Selamat sore semuanya, aku ingin membuat pengumuman, sebenarnya aku dan Dokter Bima sudah berkencan dalam beberapa bulan ini," ujar Tiara pada mereka.
"Wah ternyata."
"Bagaimana dengan Dokter Reno?"
"Tapi mereka sangat serasi kok."
Para Dokter dan Suster berbicara tentang mereka.
"Dan aku ingin mengundang kalian ke pernikahan kami hari minggu ini," ujar Tiara tiba-tiba.
"Kok cepat sekali Dok?" tanya salah satu Suster di sana.
"Karena Dokter Bima sudah lama melajang, aku ingin segera menjadi istrinya, jadi aku bisa memasak dan menjaganya, benarkan Dokter?" tanya Tiara seraya tersenyum pada pria itu.
"Hemm iya," sahut Bima membalas senyumannya.
"Dan juga setelah kami menikah, kami akan berbulan madu ke Barcelona," ujar Tiara lagi.
"Wahhh! kerennn," kata Aldi.
"Dan satu lagi yang terpenting." Tiara tampak menghela nafas dan begitu berat mengatakannya. "Jika sesuatu terjadi pada kami, dan kami tidak selamat, bisakah kalian menguburkan jasad kami bersama!" Perkataan Tiara membuat semua orang yang di sana bengong.
"Kenapa membicarakan kematian, di hari yang baik ini, sudahlah cukup, kami semua akan datang ke pernikahanmu," ujar Puput menetralkan keadaan semula. Tiara tersenyum menatap temannya itu.
Tiara ingin bertemu Reno di ruangan kerjanya.
Tok-tok-tok! Tiara mengetuk pintu ruangan Reno.
"Masuklah."
Tiara masuk dan menghampiri pria itu.
"Tiara, ada perlu apa?"
Tiara memberikan sebuah dokumen pada Reno.
"Bacalah!"
"Apa ini?" Reno membaca dokumen itu dan terkejut.
"Bagaimana bisa ini terjadi ha!" bantah Reno.
"Aku ke sini untuk mengundangmu, datanglah ke pernikahanku minggu ini, hanya itu yang kuharapkan darimu," pinta Tiara.
"Hah! jadi ini yang dimaksud Bima, dia tidak punya waktu lagi, tapi Tiara! kenapa kamu masih berada di sisi pria itu, jika tau dia akan seperti ini?" tanya Reno.
"Justru karena itu lah, aku akan tetap berada disisinya, sampai hari itu datang," sahut Tiara lirih.
"Tiara, kenapa kamu begitu bodoh, kamu masih muda, masa depanmu masih panjang," bantah Reno yang tak suka dengan keputusan wanita itu.
"Aku tak bisa hidup tanpa Bima, bagiku dia adalah segalanya, dia yang membuatku mengerti arti hidup ini, aku akan tetap bersamanya apa pun yang terjadi," ucap Tiara dengan tegas.
"Tapi Tiara -- !" Tiara langsung pergi meninggalkan Reno yang belum selesai berbicara.
Di ruangan lain.
"Aku tanya sama kamu Bim, apa benar Tiara adalah wanita yang selalu kamu lihat dimimpimu?" tanya Intan penasaran.
"Iya."
"Sudah kuduga, dan aku tau solusinya ,kamu harus tinggalin Tiara, maka kamu nggak akan mati Bim!" jelas wanita itu.
Bima menggeleng.
"Bukan Tiara yang menakdirkanku mati, tapi takdirku sendiri yang akan membunuhku, sedangkan Tiara, rela berkorban dan tetap setia disisiku, aku tak bisa meninggalkannya," jawab Bima.
"Tapi Bim, apa nggak ada cara lain, kamu bisa melakukan operasi bukan?" pinta Intan.
"Tidak, percuma saja Tan, kita tak akan bisa melawan takdir," bantah Bima.
"Haestttt!" keluh Intan.
***
Hari yang di tunggu-tunggu akhirnya datang. Puput menangis tak henti-hentinya.
"Puput! aku ini akan menikah, kenapa kamu malah menangis seperti itu?" tanya Tiara.
"Aku hanya sedih, mungkin aku tak kan bisa melihatmu lagi setelah ini," isaknya.
"Aku tetap bisa melihatmu dari surga," ujar Tiara seraya tersenyum.
"Apa kamu masih bisa tersenyum di saat seperti ini ha!" bentak Puput.
Tiara tak menyahut dan masih tersenyum. Puput hanya menggeleng.
Tiara dan Bima berjalan di sebuah mimbar beraltar merah. Tiara menatap Bima yang sudah menunggu kedatangannya. Sebelum mereka mengucap janji, tampak Reno dan Sari datang. Doni keponakannya langsung berlari ke arah Tiara dan memeluk wanita itu.
"Apa Tante akan pergi jauh? kenapa Om Reno bilang, tante nggak akan kembali lagi," ujar Doni yang masih memeluk tubuh Tiara dengan erat.
Tiara meneteskan air mata.
"Tante nggak akan pergi jauh kok Sayang, Tante akan selalu ada di hati kamu Doni, kamu harus rajin belajar dan jadi Dokter yang sukses ya." Pesan Tiara pada keponakannya itu
"Iya Tante."
Tiara menatap Bibinya yang juga hadir di sana. Sari langsung memeluk wanita yang sering ia sia-siakan itu.
"Maafkan Bibi Tiara, maaf karena sudah membuatmu menderita seperti ini," isak Sari.
"Bibi nggak salah kok, Tiara sendiri yang mengambil keputusan seperti ini," bantah Tiara.
"Sudah jangan sedih, ini kan hari bahagia kalian, tersenyumlah," pinta Sari pada mereka.
Tiara tersenyum menatap Bibinya.
Setelah mereka mengucap janji suci dan sah menjadi suami-istri. Bima memberikan beberapa sambutan.
"Terima kasih karena kalian semua sudah hadir di pernikahan kami, saya Dokter Bima mengucapkan dengan tulus meminta maaf kepada kalian semua, jika selama ini saya ada salah, atau kasar sama kalian, saya berharap kalian semua sukses dalam karir kalian masing-masing."
Bima tak bisa meneruskan kata-katanya karena dadanya terasa sesak. Tiara maju mendampingi pria itu.
"Teman-teman dan keluargaku semuanya, kami tidak akan melupakan kalian semua, kami akan hidup berbahagia sampai ajal menjemput kami," ucap Tiara.
Beberapa dari mereka pun sudah menangis.
"Kami ..., merasa senang mengenal kalian, dan bisa menghabiskan waktu bersama kalian, kami akan selalu mengenang kalian, terima kasih," ucap Bima mengakiri pidatonya.
Semua orang bertepuk tangan dan berlinang air mata.
Saat pelemparan bunga.
"Kalian siap ya, 1, 2, 3!" Tiara melempar buket bunga itu.
Bunga itu jatuh ke pangkuan Intan.
"Wahh, kok aku yang dapat, aku kan nggak punya pasangan?" celetuk Intan.
"Ehmm, ehmm, Dokter Intan, saya juga masih jomblo kok," ujar Tirta merayu wanita itu.
"Achh, dasar kecebong kamu!" bantah Intan seraya memukul kepala Tirta dengan bunga itu.
Mereka semua ikut tertawa.
375Please respect copyright.PENANAyUNAedGJAV
ns 15.158.2.213da2