Bima tergesa-gesa menuju ke ruangan Intan. Ia tak tahu kalau Intan sedang ada pasien. Pria itu langsung membuka pintu ruangannya.
"Oh maaf, saya lupa mengetuk pintu," ucap Bima seraya meringis karena malu.
Beberapa saat kemudian.
"Apaan sih Bim! kenapa kamu jadi bersikap aneh seperti ini?" Intan memarahinya.
"Tan, aku akhirnya bertemu wanita yang ada dimimpiku itu," ucap Bima.
"Hahhh! serius kamu! di mana kamu ketemu dia?"
"Di ...." Bima tak meneruskan kata-katanya.
"Hei Bim, di mana? kok berhenti sih!"
"Ehh, di jalan Tan, tadi pagi waktu aku berangkat kerja, itu tandanya apa Tan?" Bima tak ingin Intan tau yang sebenarnya, maka ia berbohong.
"Ehmm, gitu ya, jadi kemungkinan peristiwa yang selalu kamu mimpikan akan terjadi," ucap Intan.
"Maksudnya, aku akan mati Tan?"
"Iya."
"Hah! lalu apa yang harus aku lakukan, aku masih muda Tan, aku juga belum nikah, masak aku harus mati muda," keluh Bima seraya cemberut.
"Hehhh, kamu kan bisa mengubah mimpimu itu," ujar Intan.
"Maksud kamu?"
"Jangan pernah dekati wanita itu, jangan pernah kenal sama dia, maka mimpimu tidak akan menjadi kenyataan, beres kan," ucapnya.
"Hahhh!" Pria itu mengeryitkan dahi.
Di ruang diskusi.
"Mana-mana, sini uang kamu, aku yang menang taruhan, cepetan!" ucap Tirta meminta uang taruhan pada Aldi.
"Yaelah Ta, tega banget sih kamu, ini kan baru sehari," pungkas Aldi.
"Eh Di, aku tuh belum pernah ngelihat Dokter Bima ngebelain cewek kecuali Dokter Intan, nah! maka dari itu, si Tiara itu pasti akan lama berada disisinya, sini uangnya cepetan!" paksa Tirta.
"Iya-iya, nih!" Aldi mengeluarkan 5 lembar uang seratus ribuan. Tirta segera menyabet uang itu.
Mendadak pintu dibuka dan Tiara masuk ke dalam. Tirta dan Aldi bingung gelagapan menyembunyikan uang itu.
"Maaf Dok, kalau mengagetkan kalian, bisakah aku beristirahat sebentar?" tanya Tiara.
"Oh tentu, masuklah Tiara."
"Makasih Dok."
Tiara duduk di depan mereka.
"Oh, jadi kamu Suster pendamping yang baru itu?" tanya Aldi.
"Iya Dok."
"Pantes aja, ternyata kamu sama Dokter Intan nggak jauh beda, sama-sama cantik." Tirta langsung menutup mulut Aldi yang ngoceh ke mana-mana.
"Eh Di, jangan bikin risuh deh, diem napa!" bentak Tirta.
"Apa Dok?" Tiara tak mendengar yang mereka ucapkan.
"Nggak papa kok, jangan dihiraukan." Tirta nyengir.
Tak berapa lama Puput masuk ke ruangan itu. Ia melihat Tiara dan langsung memeluk temannya itu.
"Achh, aku kangen banget sama kamu Ra." ujar Puput.
"Iya, aku juga Put."
"Kamu kok kurusan gini Ra, apa Bibimu nggak ngasih makan?" tanya Puput.
"Ada kok."
"Eh, kalian udah saling kenal?" tanya Aldi.
"Iya Dok, Tiara ini teman sekolahku, jadi kita udah kenal lama," jawab Puput.
Mereka tampak asyik berbincang-bincang.
Bima berjalan sambil berpikir tentang kata-kata Intan tadi.
"Jika aku ingin hidup, aku harus menjauhi wanita itu, tapi bagaimana caraku membuatnya pergi ya?" gumam Bima.
Di sela-sela ia berfikir. Pria itu berjalan melewati ruang diskusi. Dari jendela kaca, Bima bisa melihat Tiara sedang asyik mengobrol dengan yang lain. Tampak semua orang ikut tertawa mendengar ucapan wanita itu.
Bima begitu penasaran. Ia khawatir kalau Tiara menceritakan tentang kejadian pagi tadi. Ia menempelkan muka dan telinganya ke jendela kaca itu untuk mendengar, sesekali ia melihat ke dalam pula.
Tirta yang tak sengaja melihat wajah Bima menempel di jendela kaca langsung terperanjat.
"Astagaa naga! siapa itu," Tirta melongo seraya memperhatikan.
Semua orang menatap Bima. Pria itu menyadari mereka melihat ke arahnya, lalu ia membuka pintu itu.
"Apa begini kerjamu di hari pertama!" bentaknya pada Tiara sebagai alasan.
"Oh, maaf Dok, apa ada yang bisa kubantu?" tanya Tiara.
"Ikut aku!" Bima pergi meninggalkan mereka semua.
"Maaf ya aku tinggal dulu." Tiara berpamitan.
"Duh, lihat nggak tuh! kejem banget sih Dokter Bima," ucap Aldi.
"Iya ya, betah nggak ya si Tiara? kasian dia harus kerja sama orang yang kolot kayak gitu." Puput ikut bicara.
"Kalian ini, udah sana kerja lagi, ntar kita juga kena marah nih," usir Tirta pada mereka.
Mereka akhirnya pergi berhamburan.
Di ruangan Bima.
"Apa yang kamu bicarakan dengan mereka?" tanya pria itu dengan ketus.
"Kami hanya berbincang-bincang Dok," jawab Tiara.
"Benarkah itu? apa aku bisa mempercayaimu?"
Tiara mengangguk. Bima hanya menatap wanita itu. Mendadak pintu di buka.
"Oh maaf, kukira kamu sendiri Bim?"
"Oh Intan, kenapa?"
"Ini siapa?" tanya Intan yang melihat wanita cantik berdiri di depan Bima.
Tiara melihat wanita cantik itu masuk dan mendekati Bima.
"Ini suster pendampingku yang baru," jawab Bima.
"Siang Dok." Tiara menyapa wanita itu.
"Iya, siang, ayo makan siang Bim, aku laper," ajak Intan.
Bima melihat jam tangan.
"Oh, udah waktunya makan siang ya, ayo ke kantin," ujar pria itu seraya pergi dengan Intan.
Mereka berdua meninggalkan Tiara yang masih berdiri sendirian di sana.
Tiara masih melihat dari kejauhan. Tampak Bima begitu bahagia bersanding dengan Intan. Ia merasa ada yang salah dengan dirinya.
"Apa ini! kenapa aku jadi susah bernafas, perasaan apa ini, aneh." Tiara berusaha mengatur nafasnya kembali.
347Please respect copyright.PENANAFLJvrxygf8
347Please respect copyright.PENANATszt4FtmXg