Andi membereskan beberapa berkas ke dalam tas kerjanya, sedikit tergesa karena Bu Yasmin sudah mengirim pesan jika janda semok itu sudah menunggu di lobby kantor. Setelah memastikan semua berkas penting sudah masuk ke dalam tas kerja pria berkacamata minus itu segera menuju pintu lift kantor yang berada tak jauh dari kubik ruang kerja divisi marketing.
Di dalam lift Andi mencoba menghubungi Ima, istrinya, berniat untuk mengabari jika dirinya akan berangkat menuju Surabaya setelah kemarin tertunda. Beberapa kali Andi menelepon Ima tapi ponsel istrinya itu tak pernah aktif. Khawatir, tiba-tiba perasaan itu menjalarinya. Tak seperti biasanya, Ima menonaktifkan ponsel. Andi teringat komunikasi terakhir dengan Ima semalam, bagaimana istrinya itu ketakutan karena harus tinggal serumah dengan Pakdhe Wongso seorang diri. Apa mungkin Pakdhe Wongso melakukan sesuatu pada istrinya? Ah tidak mungkin! Ditepisnya pikiran-pikiran buruk itu, tidak mungkin orang yang telah merawatnya sejak kecil akan bertindak diluar nalar pada istrinya. Pakdhe Wongso bukan orang seperti itu meskipun dia adalah mantan napi.
"Udah siap semua?" Tanya Bu Yasmin membuyarkan lamunan Andi yang sudah berada di depannya.
"Su..Sudah Bu. Sudah beres semua." Jawab Andi sedikit tergugup. Bu Yasmin mengamati sekali lagi wajah bawahannya itu.
"Semalam tidur jam berapa?"
"Eh? Jam 2-3 an mungkin."
"Hmm, pantes. Wajahmu kucel kayak kanebo kering." Sindir Bu Yasmin.
"Ma..Maaf Bu." Andi tertunduk lesu tak berani menatap wajah bos besarnya itu.
"Ya udah ayo berangkat."
Keduanya langsung bergegas menuju area parkir dimana mobil operasional kantor sudah siap mengantar mereka menuju bandara. Di tengah perjalanan Andi masih mencoba menghubungi Ima, tapi tetap saja ponsel istrinya itu belum aktif. Kekhawatiran Andi jelas terlihat di wajahnya, Bu Yasmin bukannya tidak tau akan hal itu tapi lebih memilih untuk konsentrasi pada pertemuan penting dengan vendor nanti daripada ikut terlibat keresahan yang tengah dialami oleh anak buahnya.
***
"Lihat ini Nduk, susumu bagus banget kalo difoto dari atas." Wongso terkekeh ringan sambil menunjukkan layar ponselnya pada Ima yang meringkuk di sudut sofa.
Mata Ima menatap nanar layar ponsel mantan napi itu, salah satu foto vulgarnya tanpa busana terpampang jelas. Galery ponsel milik Wongso mungkin sudah terisi puluhan foto dan video vulgar dari Ima yang diambilnya secara paksa sejak pagi tadi. Pria tua itu ternyata benar-benar memanfaatkan ketakutan Ima pada dirinya dan ketiadaan Andi di dalam rumah, tak ada waktu untuk Ima beristirahat dari memenuhi hasrat birahi sang Paman.
"Udah Pakdhe, Aku capek!" Protes Ima.
"Hehehehe, capek? Bukannya Kamu puas banget dengan kontolku ini Nduk?" Wongso berdiri dan mendekati Ima, pria tua itu memamerkan batang penisnya yang berurat tepat di hadapan wajah Ima.
"Udah Pakdhe! Udah!" Ima berusaha menepis ujung batang penis itu agar menjauh tapi Wongso lebih cepat meraih tangan istri keponakannya itu.
"Pakdhe! Apa yang Pakdhe lakukan!? Aku tidak mau melakukannya lagi! Ini nista! Zina!" Ima menjerit dan meronta mencoba melepaskan diri dari pelukan Wongso.
"Percuma kamu teriak Nduk, di rumah ini cuma ada kamu dan aku aja?"
Ima mencoba meronta lebih keras lagi namun gagal, semua usahanya sia-sia. Dengan sekali sentak, Wongso menarik tubuh Ima dan melemparnya ke atas bantalan empuk bagian belakang sofa yang berada di dekat mereka. Tubuh Ima melayang dan mendarat hanya bertumpukan perut yang sekarang berada di atas bagian sandaran empuk sofa. Wanita cantik itu tersentak dan hampir muntah.
Dengan cekatan Wongso melucuti kaos yang dikenakan Ima. Pria yang sudah gelap mata itu sekaligus menarik BH yang dikenakan Ima dan menggunakannya untuk mengikat tangannya. Kecepatannya menarik BH dan kaos cukup membuat Ima kaget sesaat, seakan-akan pria tua itu sudah sering melakukan hal ini sebelumnya. Wongso menarik rok pendek yang dikenakan Ima ke pinggang dan dengan kasar melucuti celana dalamnya.
Ima berusaha keras menendang ayah mertuanya, tapi karena posisinya yang kurang pas, Wongso bisa menghindar. Setelah seluruh tubuh Ima terekspos, Wongso dengan leluasa bergerak bebas. Ia segera menampar pipi pantat Ima dengan sekeras mungkin. Ima menjerit kesakitan. Sayang, hal itu malah menambah semangat Wongso yang kemudian tertawa terbahak-bahak dan mengulangi tamparannya beberapa kali lagi. Wongso menarik rambut Ima dan membalik kepalanya sehingga mereka bisa saling berhadapan.
"Itu hukuman buat kamu yang nakal. Jangan pernah menolakku lagi! Mengerti? Sekarang coba tebak apa yang Pakdhe bakal lakukan sama kamu?" Wongso tertawa terbahak-bahak melihat wajah Ima yang memelas.
"Pakdhe bakal ngentotin kamu sampai kamu tidak bisa berdiri tegak lagi!"
Setelah mengatakan itu, Wongso melepaskan jambakannya pada rambut Ima dan merenggangkan kedua kakinya melebar. Dia kini memiliki akses penuh ke vagina Ima yang sudah menantang. Pria tua itu menggunakan jempol tangannya untuk membuka lebar-lebar bibir vagina Ima. Tanpa basa-basi lagi, Wongso menekan penisnya ke dalam vagina Ima dengan satu sentakan yang sangat menyakitkan Ima.
Wanita cantik itu menjerit kesakitan dan berusaha keras melepaskan diri dari Wongso, tapi usahanya gagal. Wongso menarik penisnya dan kembali dia sentakkan ke dalam vagina Ima keras-keras. Ima kembali menjerit kesakitan karena liang rahimnya belum terlumas secara sempurna, sehingga penetrasi yang dilakukan Wongso membuatnya sangat kesakitan. Wongso kembali tertawa terbahak-bahak melihat menantunya menjerit tanpa daya.
Tangan Wongso mencoba meraih buah dada Ima yang bergelantungan. Setelah mendapatkan yang dicari, tangan kekar Wongso mulai meremas serta memilin payudara Ima seiring gerakan penisnya yang keluar masuk di liang senggama. Ima menangis dan terus memohon pada Wongso agar menghentikan perbuatannya, tapi yang dilakukan mantan napi gila itu malah terus menjejalkan penisnya ke dalam vagina Ima.
Kemudian saat-saat yang ditakutkan Ima akhirnya datang juga. Wanita cantik bertubuh indah itu mulai merasakan kenikmatan merambat naik ke seluruh penjuru badan. Mulai dari rangsangan Wongso yang meremas payudaranya sampai kecepatan penis sang paman yang masih terus keluar masuk di lubang vaginanya. Entah kenapa Ima mulai menikmati perlakuan seperti ini. Rasa takut dan bersalah yang ada di benak Ima bertarung dengan rasa nikmat yang melanda seluruh tubuhnya. Ada kenikmatan unik yang bercampur antara rasa sakit dan kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh sang paman. Istri Andi itu makin kebingungan saat Wongso akhirnya menyemprotkan maninya ke dalam liang rahim Ima. Dia bingung karena entah harus merasa lega atau malah kecewa.
Tubuh Wongso menegang dan sesaat kemudian penisnya perlahan melemas. Ima berbaring di atas sofa dengan perasaan campur aduk. Dia merasa lelah dan malu. Ima merasakan sentakan kecil dalam tubuhnya, hampir saja si cantik itu mencapai puncak kenikmatan. Wongso berjalan mengitari sofa menuju ke arah Ima. Sekali lagi pria tua cabul itu menjambak rambut Ima dan menarik kepalanya. Dengan terpaksa Ima duduk di sofa sementara Wongso berdiri. Kepala Ima tepat berada di depan selangkangan Wongso.
"Bersihkan kontolku." Perintah Wongso.
"Apa?!" Seru Ima dengan raut wajah heran.
Dia tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Walaupun sudah mulai melemas, tapi penis Wongso itu masih cukup keras dan belepotan air mani. Tangan Ima masih terikat oleh kaos dan BHnya sendiri hingga dia tidak bisa banyak bergerak.
"Jilati kontolku sampai bersih, Nduk. Cuma gitu aja kok repot? Lebih baik cepat kau lakukan apa yang aku perintah lebih bagus! Kalau tidak mau, akan kuhajar kau malam ini juga!"
Karena rasa takut maka tidak ada jalan lain bagi Ima kecuali menuruti perintah Wongso. Dengan perasaan segan, istri Andi itu mulai menjilati ujung penis Wongso yang masih belepotan air mani. Ima membersihkan penis Wongso dengan bibir dan lidahnya. Pria tua itu merem melek karena akhirnya Ima tunduk di hadapannya. Perasaan nikmat karena disepong menyatu dengan pikiran erotis bahwa penisnya sedang dijilati oleh istri keponakannya sendiri yang luar biasa cantik dan seksi.
Penis itupun perlahan kembali mengeras. Wongso menarik kepala Ima dan menggerakkannya maju mundur. Wanita cantik itu hampir kehabisan nafas dan tersedak karena penis Wongso terus didesak masuk makin dalam. Ima merintih dan mencoba menarik kepalanya, tapi Wongso jauh lebih kuat darinya. Entah kenapa rintihan Ima membuat Wongso berhenti menggerakkan pinggulnya.
"Wah wah, sepertinya aku terlalu berlebihan ya Nduk?" tanya Wongso.
"Lebih baik kita ngentot lagi ya Nduk." Seru Wongso.
Sebelum Ima mampu berpikir jernih tentang apa yang dikatakan Wongso, pria tua dengan tubuh kekar itu menarik tubuh Ima dan menyandarkannya ke tembok, di bagian belakang sofa. Perasaan sesak yang diderita Ima menyebabkan tubuhnya lunglai dan lemas hingga tidak mampu berdiri tegak. Tiba-tiba Wongso menampar Ima. Lagi dan lagi. Dengan kasar Wongso menampar Ima berulang-ulang kali. Ima menjerit-jerit kesakitan dan mohon ampun. Airmatanya mengalir deras. Akhirnya Wongso menghentikan siksaannya.
"Jadi begini situasinya, Nduk." Bisik Wongso. Wajahnya sangat dekat dengan Ima hingga wanita jelita itu bisa merasakan hembusan nafas penuh nafsu Wongso di pipinya.
"Aku masih terangsang dan pengen menyetubuhimu lagi malam ini. Hanya saja karena aku baru saja orgasme, tentunya kali ini akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke klimaks kedua. Aku ingin mencapai orgasme keduaku malam ini, bahkan kalau untuk mencapai kesana aku harus menyetubuhimu sampai pagi. Aku harap kamu mau bekerja sama, karena kalau sampai aku tidak mencapai apa yang aku inginkan, aku akan menghajarmu!"
7113Please respect copyright.PENANA2zLf29hlY3
Ima panik, si cantik itu tak tahu mantan napi itu serius atau tidak, tapi yang jelas tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya sendiri kecuali menurut pada permintaan Wongso.
"Jangan, Pakdhe. Aku mohon..." bisik Ima lemah.
"Aku mohon jangan sakiti aku lagi."
"Mengemis tidak akan mengubah pendirianku. Bahkan rengekanmu malah membuat kontolku jadi lemas lagi, Nduk. Tentunya kamu tidak ingin itu terjadi setelah bekerja keras mengeraskannya dengan mulutmu kan? Ayo kita ngentot lagi!"
Dengan terpaksa Ima menurut saat Wongso mengangkat tubuh telanjangnya dan menyandarkannya ke tembok. Wongso melesakkan penisnya masuk ke dalam vagina Ima dengan lebih lembut kali ini. Wanita cantik itu mengangkat kakinya dan mengaitkannya di pinggang Wongso sementara tangannya menggantung di leher pria tua itu, tangan Wongso sendiri menahan beban tubuh Ima dengan mengangkat pantatnya.
Vagina Ima masih licin oleh air mani yang tadi disemprotkan Wongso ke dalam liang rahimnya hingga pria tua itu bisa melesakkan penisnya dengan mudah. Kali ini jejalan penis sang paman di dalam liang senggama membuat Ima merasa nyaman dan bergairah, seluruh tubuhnya bergetar merasakan liang rahimnya yang sempit kini meremas-remas penis besar Wongso yang meraja di dalam vagina.
Dengan punggung Ima bersandar pada tembok, kedua manusia berlainan jenis itu mulai bergerak bersamaan. Ima mulai merasa nikmat karena Wongso kali ini memperlakukannya lebih lembut. Rasa sakit yang diderita kedua pipinya karena tamparan Wongso menghilang berganti rasa nikmat yang meraja di selangkangannya. Ima berusaha keras menyembunyikan perasaan nikmatnya agar tidak terlihat di depan sang mantan napi yang cabul. Klitoris Ima menempel di tubuh Wongso dan setiap gerakan naik turun membuatnya tergesek seirama, tambahan bulu-bulu halus yang menyentuh ujung klitoris Ima membuatnya melejit ke nirwana. Ima memejamkan mata dan berusaha keras tidak mendesah keenakan.
"Mana susumu Nduk?"
Dengan wajah memerah karena terhina, Ima menyorongkan buah dadanya dengan satu tangan ke arah mulut Wongso. Pria tua itu meringis penuh kemenangan dan menikmati wajah malu sang istri keponakan. Dengan penuh nafsu, Wongso segera menyerang puting payudara Ima. Dia tidak lembut lagi kali ini, tapi sangat lihai memainkannya. Dia menarik dan menghisap pentil itu dengan mulutnya, lalu menjilati pinggiran puting payudara Ima, setelah itu mengulum puting itu dan menggigitinya dengan penuh nafsu. Rangsangan yang dirasakan Ima terlalu hebat hingga menggiring wanita jelita itu ke puncak kenikmatan. Tanpa sadar dia menggerakkan pinggangnya lebih cepat, jemarinya meremas keras di punggung Wongso sampai akhirnya Ima orgasme.
"Aaacchhhhh!! Pakdheee!!!"
Ima bisa merasakan vaginanya meremas batang kemaluan Wongso dengan kuat, diapun mulai merintih serta menjerit lirih penuh nikmat. Keduanya terbuka selang beberapa saat setelah ledakan orgasme yang menyerang tubuhnya perlahan mereda. Wongso tersenyum penuh kemenangan. Penisnya tetap keras, masih terus menumbuk vagina Ima dengan kecepatan sedang.
Tak lama setelah Ima mencapai klimaks, Wongso dengan sengaja menarik penisnya keluar. Pria tua itu lalu duduk di anak tangga. Dia memberi isyarat agar Ima menghampiri dan duduk mengangkanginya. Dengan patuh, wanita cantik itu duduk di pangkuan Wongso. Ima menurunkan badannya perlahan, membiarkan penis Wongso yang masih keras menusuk vaginanya dari bawah. Seluruh tubuhnya melejit begitu penis itu menguasai bagian dalam lubang rahimnya. Rangsangan yang memberikan nafsu hewani dan kenikmatan pada Ima kembali terpusat pada selangkangannya. Kali ini Wongso tidak perlu meminta karena Ima tahu apa yang diinginkan oleh pria tua itu. Ima mulai bergerak naik turun menggenjot penis Wongso.
Payudara Ima bergerak liar terlihat sangat erotis di hadapan Wongso. Pria tua itu segera memainkan kedua payudara Ima dan menghisap putingnya dalam-dalam. Ima melenguh manja dan merintih keenakan. Dia tidak peduli lagi, seluruh pikirannya, seluruh kesetiaan dan perasaan bersalahnya seakan menghilang ditelan gelombang nafsu birahi yang diberikan pria tua itu. Semakin kasar perlakuan Wongso, semakin memuncak nafsu Ima.
"Ahhh! Enak banget goyanganmu Nduk!" Puji Wongso di tengah gerakan naik turun tubuh Ima. Wanita cantik itu hanya memejamkan mata sambil sesekali menggigit bibirnya. Hingga setelah beberapa lama akhirnya pria tua itu sampai juga pada ujung klimaksnya.
"Oooohhh!!! Nduk!! Oohh!!!"
Wongso meremas pinggul Ima dan menyemprotkan sperma ke dalam liang vagina. Untuk beberapa saat Ima dan Wongso terbaring berpelukan telanjang di anak tangga. Tubuh mereka basah bermandikan keringat dan nafas mereka mendengus karena kecapekan. Perlahan kesadaran akan kejadian yang telah berlalu menyadarkan Ima. Dia kembali sadar akan nistanya perbuatan ini. Bagaimana mungkin dia malah melayani nafsu binatang Wongso? Kemana istri Andi yang telah bersumpah setia itu?
Ima menangis sejadi-jadinya. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena terlena oleh nafsu birahi. Ima meronta dari pelukan Wongso, mengumpulkan pakaiannya yang tercecer dan lari ke kamar, langsung menuju kamar mandi. Saat Wongso masuk ke kamar dan menyusul Ima, istri Andi yang cantik itu tengah menggosok seluruh tubuhnya dengan sabun.
"Beberapa hari lagi Andi pulang. Kalau tidak mau semua terbongkar, sebaiknya mulai sekarang kamu turuti kemauanku! Besok pagi kalau aku masuk ke sini, aku tidak ingin melihatmu mengenakan sehelai pakaianpun, mengerti? Aku ingin melihat tubuh indahmu telanjang !"
Wongso melangkah keluar kamar meninggalkan Ima yang terhina, putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan diri dari situasi ini. Kisahnya masih jauh dari kata usai.
BERSAMBUNG
Cerita "PAKDHE WONGSO" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.51da2