Andi melepas pelukan Bu Yasmin yang masih terlelap di atas ranjang. Pria itu melangkah menuju meja bucket yang berada tak jauh, meraih segelas air mineral kemudian menenggaknya sampai habis. Di atas ranjang Bu Yasmin nampak begitu lelap menikmati tidur setelah semalam meneguk birahi bersama Andi.
Bagi Andi ini adalah hal baru, tidur dengan wanita selain istrinya. Di satu sisi pria itu merasa bangga karena dari sekian banyak rekan kerjanya di kantor yang sering menjadikan sosok Bu Yasmin sebagai fantasi seksual mereka, dirinyalah yang pertama bisa langsung merasakan praktek langsung. Sisi keegoisannya sebagai pria terpenuhi semalam tanpa ada yang bisa membantahnya. Namun, di sisi lain Andi juga merasa bersalah pada Ima. Kesetiaan yang selama ini dia jaga seketika runtuh begitu saja hanya dalam waktu semalam karena pesona Bu Yasmin.
Dulu, tak pernah sekalipun Andi meniduri wanita lain setelah menikah dengan Ima. Jangankan meniduri, melirik atau sekedar speak-speak iblis pun tidak. Tapi entah kenapa semalam hanya dengan satu sentuhan kecil dari Bu Yasmin, janda semok itu serta merta langsung bisa meruntuhkan janji setia yang telah diikrarkan Andi. Sekali lagi, ini adalah hal baru bagi pria berkacamata minus itu, perasaannya sekarang gamang antara menikmati atau ingin segera menyudahi.
Andi beranjak dari meja bucket, pria itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa sambil meraih handphone yang sejak semalam tidak dia jamah sekalipun. Jarinya menscrol permukaan layar ponsel, mencari sebuah nomor kemudian meneleponnya.
"Halo Ndi." Suara berat milik Wongso terdengar dari sambungan telepon.
"Pakdhe, Ima kenapa? Kok dari kemarin Aku telepon nggak diangkat? Apa dia sakit?"
"Oh iya Ndi, sepertinya istrimu lagi kurang enak badan, dari kemarin cuma tiduran aja di kamar. Sebentar Pakdhe panggilkan ya?"
Tanpa diketahui oleh Andi, sebenarnya istrinya saat ini sedang menyiapkan kopi di dapur atas perintah Wongso. Lebih gilanya lagi, Ima menyiapkannya tanpa mengenakan pakaian alias telanjang bulat. Pria tua itu tersenyum mesum memandang tubuh mulus Ima dari belakang. Tau jika Andi sedang menelepon, Ima terbelalak kaget. Segera dia menghentikan aktifitas dan bergegas kembali ke lantai dua, tapi tatapan tajam mata Wongso mengehentikan langkah wanita cantik itu. Ima tau, jika Wongso menginginkannya agar tetap berada di dapur dan tak pergi kemana-mana.
"Oh nggak usah Pakdhe. Biar Aku telepon langsung ke HPnya aja, tolong sampaikan aja ke Ima buat aktifin HPnya."
"Oalaaahh ya sudah kalo gitu Ndi." Sahut Wongso sambil melirik mesum ke arah Ima yang berdiri mematung tanpa busana tepat di bawah anak tangga.
"Oh ya Pakdhe, di rumah nggak ada masalah kan?"
"Masalah? Maksudnya?" Wongso melangkah pelan mendekati Ima, istri Andi itu mulai begidik ketakutan apalagi raut wajah Wongso berubah. Tak ada lagi seringai mesum di wajah mantan napi itu, kini berganti dengan tatapan tajam.
"Maksud Andi, apa Pakdhe dengan Ima bertengkar atau gimana gitu?"
"Kalau bertengkar sepertinya nggak Ndi, cuma memang Ima terlihat lebih diam kalo ketemu Pakdhe. Apa Ima cerita tentang Aku ke Kamu Ndi?" Wongso sudah berada tepat di hadapan Ima, istri Andi itu berusaha untuk menghindar tapi pergelangan tangannya lebih cepat diraih oleh sang mantan napi.
"Diam! Atau Kamu mau Aku ceritakan semuanya ke Andi? Hmmm?" Ancam Wongso setengah berbisik pada Ima, sementara satu tangannya menutup bagian bawah ponsel dengan telapak tangan agar suaranya tak terdengar oleh Andi.
"Mungkin Ima cuma belum terbiasa aja tinggal dengan Aku Ndi." Lanjut Wongso melanjutkan percakapannya dengan Andi.
"Iya mungkin aja kayak gitu Pakdhe. Titip Ima ya Pakdhe, Aku mungkin 2-3 hari ini akan segera pulang karena sepertinya pekerjaan beres lebih cepat."
"Oh gitu, iya..iya. Eh ini Ima sudah turun Ndi. Kamu mau ngobrol dengan istrimu?" Ima tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Wongso. Sebelum Ima mengelak, pria tua itu sudah menempelkan ponsel di telinganya.
"Ngomong sama suamimu sekarang Nduk!" Perintah Wongso dengan nada penuh ancaman. Ima tak punya pilihan lain selain menuruti perintah itu. Dengan keadaan telanjang bulat dan Wongso kini sudah berpindah ke belakang tubuhnya sambil memberikan pelukan Ima harus menanggapi suara suaminya lewat sambungan telepon.
"Ha..Halo Mas."
"Dek, Kamu kenapa dari kemarin nggak angkat telponku? Nomormu juga tumben jarang aktif?" Cerca Andi. Sementara itu, Wongso mulai meremasi payudara Ima dari belakang, Ima menahan geli setengah mati.
"A..Aku lagi nggak enak badan Mas." Ima mengatur ritme nafasnya karena Wongso sekarang mulai memilin kedua putingny. Ima juga mulai merasakan penis Wongso mulai mengeras, menyentuh kulit pantatnya yang terbuka.
"Kecapekan atau kenapa Dek? Udah minum obat kan tapi?"
"Kecapekan mungkin Mas. Emmchhh! Uud..Udah minum obat juga kok Mas.." Bulu kuduk Ima mulai meremang karena Wongso mulai semakin gila dengan menggesek-gesekkan kepala penisnya pada liang senggama wanita cantik itu dari belakang. Nafasnya mulai tak beraturan.
"Kamu kenapa Dek?" Tanya Andi penasaran setelah mendengar pekikan pendek dari istrinya.
"Emcchh! Anu Mas, ini lagi ber..resin dapur sebentar." Ima menoleh ke belakang, terlambat, pria tua bejat yang telah menyetubuhinya dari kemarin itu mulai melakukan aksi.
Wongso mendorong tubuh Ima ke tembok di sisi kiri tangga hingga membuat tubuh bagian depan tubuh istri Andi itu menyentuh permukaan dinding. Lalu tanpa aba-aba Wongso langsung menghujamkan seluruh batang penisnya ke lubang senggama Ima. Wanita cantik itu kembali setengah mati menahan diri agar tak mengeluarkan suara yang mencurigakan, rasa perih dan ngilu menjalar ke seluruh tubuhnya ketika Wongso mulai menggerakkan pinggul maju mundur. Penis pria tua itu melesak dengan kecepatan tinggi meskipun vagina Ima belum cukup basah untuk menerima penetrasi.
"Jangan capek-capek dulu Dek kalo masih sakit. Lagipula di rumah kan ada Pakdhe Wongso, cobalah untuk minta tolong ke dia. Aku tau, Kamu mungkin belum terbiasa dengan kehadiran Pakdhe Wongso di rumah kita tapi cobalah untuk lebih mengenalnya. Meskipun Pakdhe adalah mantan napi, tapi pada dasarnya dia orang baik."
Ima sudah tak lagi bisa mencerna dengan jernih apa yang dikatakan oleh sang suami karena gerakan tubuh Wongso dari belakang yang menghujaminya dengan sodokan penis kekar membuat buyar konsentrasi. Saat melirik ke belakang seringai mesum si mantan napi itu terlihat jelas penuh kepuasan.
"I..Iya Mas...Nanti Aku minta tolong ke Pak..Pakdhe.." Tubuh Ima makin terdorong ke depan, bahkan sisi kanan pipinya sudah menyentuh permukaan tembok.
"Ya sudah kalo gitu Dek. Aku mau mandi dulu. Nanti agak sore Aku telpon lagi."
"I..Iya..Mas...Ehhmmcchhh!"
"Dek...?"
"Iya Mas...?" Ima sudah tak tahan lagi, apalagi sekarang Wongso juga menjambak rambutnya hingga membuat kepalanya terdongak ke belakang.
"Aku sayang Kamu."
"A..Aku ju..juga Mas.." Sambungan telepon langsung terputus. Batin Ima tersiksa perih setelah mendengar ungkapan sayang dari Andi disaat dirinya justru sedang disetubuhi oleh pria lain. Wongso seolah tak peduli dengan itu semua, pria tua itu terus memuaskan hasrat birahinya pada tubuh Ima dengan terus menggenjot tubuh wanita cantik itu dari belakang.
***
Andi menyandarkan kepalanya di atas sandaran sofa, pikiranya kini dipenuhi dengan banyak tanda tanya akan gelagat aneh yang ditunjukkan oleh oleh Ima. Nafas berat sambil sesekali dengusan panjang helaan nafas disertai pekikan kecil membuat Andi bertanya sedang apa istrinya di rumah. Apakah mungkin Ima sedang melakukan...?
"Ah tidak mungkin!" Gumam Andi sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Apa yang tidak mungkin?" Dari atas ranjang Bu Yasmin ternyata sudah bangun dari tidurnya. Tanpa disadari oleh Andi, janda semok itu beberapa saat sempat mendengar percakapannya dengan Ima.
"Eh, bukan apa-apa kok." Sergah Andi enggan berterus terang pada bos besarnya itu tentang apa yang kini menghantui isi kepalanya. Bu Yasmin tersenyum tipis kemudian beranjak dari atas ranjang dan mendekati Andi yang masih terduduk di sofa.
"Tau nggak, Lu itu kalo lagi gugup kayak gini bikin Gue makin horny." Celetuk Bu Yasmin, janda itu mulai mengarahkan jemarinya menuju selangkangan Andi. Tapi, tanpa diduga suami Ima itu justru menyingkirkannya.
"Aku lagi nggak mood, sorry ya." Ucap Andi lirih, pikirannya tak hanya masih dihantui dengan perasaan bersalah pada Ima tapi juga sekarang dibumbui oleh prasangka pada Paman dan istrinya. Bu Yasmin sama sekali tak marah dengan penolakan Andi, dia seolah tau ada sesuatu yang tengah mengganjal dalam diri anak buahnya itu.
"Lagi ada masalah di rumah?" Tanya Bu Yasmin. Andi menghela nafas panjang, seperti sedang mengurai benang kusut sumber kerusakan moodnya di pagi ini.
"Ndi, Gue minta maaf ya. Mungkin karena sikap Gue tadi malam yang bikin mood Lu hari ini jadi berantakan. Gue juga minta maaf ke istri Lu karena udah..."
"Stop, jangan diterusin. Kalo ada yang salah dari tadi malam, itu bukan hanya Kamu tapi Aku juga. Kita berdua yang salah." Potong Andi, pria itu menatap lekat wajah Bu Yasmin yang duduk tepat di sampingnya, dengan lembut dia mulai membelai rambut atasannya itu.
"Jujur, Aku sangat menikmati momen kita berdua tadi malam. Kamu adalah sex terbaik sepanjang hidupku. Tapi, ini baru pertama kali Aku lakukan setelah menikah. Aku tidak pernah berselingkuh sebelumnya, mungkin sekarang perasaanku bukan hanya sedang dipenuhi rasa bersalah terhadap istriku tapi juga terhadapmu." Lanjut Andi.
"Lu nggak salah apa-apa sama Gue Ndi. Gue juga menikmati banget ngewe sama Lu semalem, puas banget malah."
"Bukan itu maksudku, tapi Aku ngerasa kalo sekarang udah jadi pria brengsek. Aku ini udah punya istri, dan selama menikah tak sekalipun Aku bisa membuat istriku puas. Justru denganmu Aku bisa, dengan wanita yang nggak mungkin bisa Aku miliki." Ucap Andi, kali ini raut wajahnya menunjukkan keseriusan.
"Its okey Ndi, Gue juga nggak mungkin bisa ngrebut Lu dari istri Lu kan? So, kenapa kita harus mikirin sesuatu yang nggak mungkin terjadi? Kenapa kita nggak nikmatin aja selama masih bisa?"
"Maksudnya? Kamu mau hanya jadi pelampiasanku saja?" Andi menatap heran.
"Selama itu bisa membuat Gue puas nggak ada masalah dengan itu semua Ndi. Lagipula Gue masih trauma dengan hubungan yang serius, mantan suamiku sudah memberi banyak kenangan buruk buat Gue. Mengulang kesalahan bukan salah satu hobi Gue untuk saat ini Ndi." Kata Bu Yasmin dengan santai seolah tanpa beban.
"Jadi kita..."
"Iya, Lu boleh nglampiasin hasrat Lu ke Gue tanpa perlu mikirin perasaan Gue." Ucap Bu Yasmin sebelum memagut bibir Andi.
6800Please respect copyright.PENANAHel82grbgG
BERSAMBUNG
Cerita "PAKDHE WONGSO" telah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.42da2