PART 2
Seorang pengemudi ojek online menghentikan sepeda motor yang dikendarainya tepat di depan rumah bercat cream muda dengan arsitektur minimalis, rumah berlantai dua itu terlihat cukup asri dari luar karena ditumbuhi dua buah pohon mangga tak jauh dari pintu pagar besi berukuran sedada orang dewasa. Wongso turun dari boncengan motor kemudian langsung membayar ongkos pada sang pengemudi ojek online. Sang pengemudi ojol beranjak pergi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada mantan napi itu.
"Bagus juga rumah Andi." Gumam Wongso sebelum melangkah mendekati pintu pagar.
Rumah milik Andi berada di sebuah komplek perumahan, di kanan kirinya berjejer rumah lain dengan tipe dan bentuk nyaris serupa. Suasana di sekitar juga cukup sepi meskipun sudah nyaris sore hari, di depan gerbang perumahan tadi hanya ada satu pos keamanan dengan portal besi yang dijaga hanya oleh satu orang petugas keamanan. Sebagai mantan perampok, Wongso tau betul jika lokasi seperti ini adalah sasaran empuk untuk menjalankan aksi. Tapi pikiran-pikiran buruk itu segera dia tepis, tujuannya datang ke sini adalah untuk membuka lembaran hidup baru.
"Permisi! Permisi!" Kata Wongso sedikit berteriak setelah berdiri tepat di depan pintu pagar. Tak lama pintu rumah terbuka, Imania muncul dari balik pintu.
Wongso tercekat karena istri Andi itu hanya mengenakan daster tipis yang menerawang, khas baju ibu-ibu rumah tangga. Tapi entah kenapa, saat Ima yang mengenakan baju itu, terlihat sangat menggairahkan. Ima terlihat sangat cantik dan segar.
"Pakdhe Wongso? Udah lama Pakdhe? Maaf tadi Saya masih beresin cucian." Ujar Ima sambil membuka gembok pintu pagar.
"Barusan kok Nduk." Jawab Wongso, kedua matanya masih belum luput mengagumi kemolekan tubuh istri keponakannya itu. Walau tertutup, tapi Wongso bisa melihat jelas lekuk pantat sempurna milik Ima yang menerawang di balik daster.
"Ayo masuk Pakdhe." Ima dengan ramah mempersilahkan Paman suaminya itu untuk memasuki rumahnya. Wongso bergegas masuk, mengekor di belakang langkah kaki Ima.
"Mas Andi hari ini tiba-tiba ada jadwal ke luar kota jadi nggak bisa jemput Pakdhe."
"Iya, tadi Andi juga sudah telpon. Nggak apa-apa, namanya juga karyawan harus siap terima tugas kapanpun." Kata Wongso sambil mencari sofa untuk duduk.
"Oh begitu. " Jawab Ima sambil membungkuk untuk menyuguhkan secangkir teh hangat yang telah dia persiapkan untuk Wongso. Karena daster yang dipakai Ima sangat longgar, gerakan ini membuat Wongso bisa mengintip celah buah dada putih ranum yang menggiurkan di balik BH Ima.
Melihat keseksian Ima, kemaluan Wongso langsung mengeras. Mantan napi itu segera menyembunyikan tonjolan di selangkangannya. Setelah menata meja, Ima duduk di depan Wongso dan menyilangkan kakinya, seakan memamerkan kakinya yang putih mulus dan jenjang. Bulu-bulu halus di bagian kaki terlihat jelas oleh mata Wongso, menambah kesan sensual pada Ima. Wongso harus konsentrasi penuh untuk mendengarkan pertanyaan Ima.
"Jadi bagaimana perjalanannya? Pakdhe nggak nyasar kan tadi?" Tanya Ima.
"Ya ndak, jaman sekarang mau kemana aja gampang Nduk. Tinggal mencet udah nyampek, nggak pake nanya orang, paling kalo bingung tinggal nanya mbah google aja. Beres." Ima terkekeh ringan saat mendengar jawaban dari Paman suaminya itu.
Sebagai mantan napi sosok Wongso tak begitu menyeramkan di mata wanita cantik itu, kesan gahar dan urakan yang dia pikirkan sejak semalam buyar begitu saja. Dengan tinggi badan nyaris mencapai 180 sentimeter, Wongso bak raksasa tinggi di hadapan Ima yang hanya memiliki tinggi badan sekitar 160 sentimeter. Meskipun begitu, tubuhnya terlihat bugar dengan dada bidang dan badan kekar, tak seperti pria paruh baya seumurannya yang kadang sudah bertumbuh tambun dengan timbunan lemak di mana-mana.
Logatnya yang medhok membuat kesan jenaka ketika Wongso melontarkan kata-kata, sesuatu yang sempat menggelitik Ima saat mendengarnya. Di tengah lamunannya, Ima tak menyadari jika sedari tadi mata Wongso bergerak menelusuri seluruh lekuk tubuh Ima, dari atas sampai bawah, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Ima mulai sedikit rikuh dengan tatapan mata Wongso yang seakan menelanjanginya saat perlahan mulai menyadarinya.
"Oh ya, Pakdhe nanti bisa tidur di kamar ini ya." Kata Ima sambil menunjuk satu kamar yang berada tak jauh dari tangga.
"Kamar mandinya ada di dekat dapur." Lanjut Ima seraya menunjuk kamar mandi yang berada di ujung ruangan, berdekatan dengan dapur. Wongso mengangguk pelan sambil mengumbar senyum.
"Anggap aja rumah sendiri Pakdhe, Saya naik dulu ya, mau beresin kamar." Ima pamit seraya mengangkat pantat semoknya dari atas sofa, tatapan jalang Wongso mengiringinya.
"Iya Nduk, makasih banyak sebelumnya. Maaf kalo Pakdhe ngrepotin."
"Nggak apa-apa Pakdhe, Mas Andi berhutang budi banyak sama Pakdhe. Cuma ini yang bisa kami lakukan untuk membalas kebaikan Pakdhe dulu." Ujar Ima sebelum beranjak pergi menaiki tangga menuju kamar pribadinya.
Mata Wongso tidak lepas dari goyangan pantat Ima yang aduhai sampai ke atas tangga. Walaupun sudah uzur, tapi Wongso tetap laki-laki normal, dia butuh melepaskan hasrat birahinya setelah nyaris 3 bulan terakhir dibiarkan terkurung di ruang sel isolasi oleh Djarot. Dia ingin masturbasi untuk melepaskan gejolak nafsunya. Saat itu ponselnya berbunyi. Wongso mengangkatnya.
"Halo?"
"Halo, Pakdhe udah nyampek rumah? Nggak nyasar kan?" Berondong Andi dari sambungan seluler.
"Sudah Ndi, udah ketemu Ima juga kok." Jawab Wongso.
"Pakdhe, aku minta maaf nggak bisa pulang hari ini, soalnya aku harus lembur di luar kota dan baru akan pulang sekitar hari Minggu sore. Mendadak banget dan nggak bisa ditunda. Tolong pamitin ke Ima ya? Pesawatnya hampir berangkat, aku tidak bisa lama-lama. Maaf tidak bisa menemani Pakdhe. Aku telpon kalau sudah sampai di sana nanti."
"Baik, Ndi. Nanti Pakdhe sampaikan. Hati-hati di jalan."
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Wongso menutup telepon. Pria paruh baya itu menyruput teh hangat yang disajikan oleh Ima tadi, pikiran mesumnya masih belum benar-benar reda. Bayangan tubuh semok nan aduhai milik Ima mengganggu pikirannya, Wongso gelisah, diliriknya kembali anak tangga yang berada tak jauh dari hadapannya.
"Ah! Persetan!" Gumam Wongso sebelum bangkit dari duduknya, meninggalkan tas bawaannya di atas sofa kemudian mulai mengarahkan langkah kakinya menuju tangga.
Perlahan Wongso menaiki tangga, berusaha agar langkah kakinya tak terdengar hingga akhirnya pria tua itu sampai di depan pintu kamar milik Ima dan Andi. Terdengar deru suara air mengalir dari kamar mandi yang terletak di dalam kamar utama. Setelah berpikir keras, dia memutuskan untuk memasuki kamar tidur utama pasangan Andi dan Ima. Diraihnya gagang pintu kamar itu, menekannya ke bawah pelan-pelan hingga terbuka.
Suara gemercik air dari shower terdengar makin jelas kala pria tua itu sudah berada di dalam kamar. Mata jalangnya mendapati celana dalam tipis dan BH milik Ima di atas ranjang, Wongso benar-benar tidak kuat lagi menahan birahinya. Diambilnya celana dalam Ima, sebelum dibukanya celananya sendiri, dan mulailah mantan napi itu melakukan masturbasi dengan menggesekkan celdam Ima di penisnya yang mulai keriput.
Detak jantung Wongso makin cepat karena ia tahu Ima sedang mandi sementara dia masturbasi menggunakan celana dalam yang akan dipakai istri keponakannya itu. Gerakan tangan Wongso makin cepat mengocok batang penisnya sendiri. Wongso membayangkan kemolekan tubuh Ima, Wongso juga membayangkan asyiknya melihat tubuh molek Ima terhentak-hentak didera sodokan penisnya. Tapi itu tak cukup, pikiran mesumnya meminta lebih, adrenalinnya terpacu untuk bertindak lebih jauh lagi. Diliriknya pintu kamar mandi, Ima rupanya lalai dan membiarkan pintu kamar mandi sedikit terbuka, memudahkan akses bagi pria tua itu untuk mengintip. Wongso mengintip sedikit ke kamar mandi. Wongso mendapati Ima sedang menyabuni buah dadanya yang besar dan kenyal.
"Gila! Gede banget!!!" Batin Wongso.
Wongso meneruskan aksi bejatnya saat Ima membungkuk untuk menyabuni kakinya yang jenjang dan pahanya. Tak lama kemudian, Ima bersandar pada dinding sementara air shower membilas tubuhnya yang putih mulus. Tangan kiri Ima menangkup dua buah dadanya. Jemarinya mulai mengelus dan memilin puting secara bergantian. Wongso terpana melihat pemandangan erotis itu sambil terus mengocok batang penisnya. Tangan kanan Ima menuruni perutnya yang langsing dan masuk ke selangkangan.
"Aaaaahhhhhh!" Ima mendesah kecil.
Tangan kiri Ima yang penuh gelembung sabun kini memilin dan meremas-remas puting payudaranya hingga mengeras, lalu meremas buah dadanya bergantian. Tangan kanan Ima masih berada di selangkangan. Semakin mencondongkan tubuhnya ke belakang, Ima membentangkan kakinya sedikit. Wongso bisa melihat jemari lentik tangan perempuan cantik itu keluar masuk di dalam liang peranakan. Wongso makin terpesona saat melihat si cantik Ima menggunakan jempolnya untuk menggosok dan menggerakkan daging menonjol yang ada di ujung atas bibir vaginanya.
"Ah! Ah! Ah! Ehm! Ehm! Ooooohhh!!!" Kaki Ima melengkung saat si jelita itu melenguh perlahan. Akhirnya tangan kirinya turun lemas ke samping badannya, sementara jari-jarinya berhenti bergerak, namun tetap berada di dalam liang vagina. Detik itu pula Wongso merasakan ejakulasi.
Tangannya belepotan sperma buru-buru Wongso membersihkannya menggunakan celana dalam Ima. Terdengar suara shower dimatikan, Ima meraih handuk untuk mengeringkan badannya yang basah kuyup. Secepat kilat Wongso meletakkan celdam Ima seperti sediakala dan meninggalkan kamar itu. Wongso menutup pintu kamar, namun masih terbuka sedikit celah. Saat sudah beranjak meninggalkan tempat itu, terlihat Ima keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di tubuhnya.
Wongso masih mengamati tiap gerak tubuh istri keponakannya itu dari luar, hingga tanpa sengaja Ima menjatuhkan handuk yang dikenakannya. Wongso dibuat menelan ludahnya sendiri ketika wanita cantik itu menungging untuk mengambil haduk dari atas lantai.
Perlahan-lahan Ima berbalik dan Wongso hampir tak kuat menahan nafsu. Baru kali inilah dia menyaksikan keindahan tubuh Ima secara langsung tanpa sehelai benangpun. Rambut di atas kemaluan Ima terlihat terawat karena dipotong rapi dan sangat lembut, sementara payudara Ima yang montok sangat ranum dan besar. Si molek itu mengambil handuk lalu mengeringkan rambutnya yang dikeramas. Karena bergerak cepat, buah dada Ima bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan erotis.
Saat Ima usai mengeringkan rambut, istri Andi itu mengambil celana dalamnya dengan sedikit membungkuk. Tentu saja Wongso makin puas karena bisa melihat lebih jelas ke arah lubang anus milik Ima. Untung saja Wongso kuat menahan diri, bisa saja ia masuk ke dalam dan menyetubuhi Ima dari belakang dengan paksa. Warna merah muda anus mungil milik menantunya itu sangat mengundang selera sang pria tua. Wongso berandai-andai apakah Andi pernah menyodomi istrinya?
"Luar biasa! Beruntung sekali Aku ada di rumah ini!" Batin Wongso sambil perlahan melangkah pergi kembali ke kamarnya di lantai satu.
"Rejeki
nomplok seperti ini tidak boleh Aku sia-siakan!" Batin Wongso sekali lagi.7221Please respect copyright.PENANAN9gHZdkINH
*BERSAMBUNG*
ns 15.158.61.5da2