Dua orang dengan setelan rapi berjas hitam nampak keluar dari ruang pertemuan, salah satu pria dengan wajah oriental berusia sekitar 45 tahun menyalami Bu Yasmin dan Andi dengan hangat.
"Terima kasih, Saya puas dengan pertemuan kita hari ini. Segera Saya follow up ke manajement di Vietnam." Ujar pria itu dengan senyum mengembang.
"Saya juga mengucapkan banyak terima kasih Mr. Shin, hati-hati di perjalanan." Balas Bu Yasmin tak kalah ramah.
"Baik kalau begitu Saya mohon ijin dulu untuk kembali ke hotel."
Pria berwajah oriental itu bernama Mr.Shin, salah satu pimpinan vendor alat berat dari Vietnam. Pertemuannya dengan Bu Yasmin dan Andi adalah untuk membahas kerjasama antara kedua perusahaan dimana perusahaan Bu Yasmin ingin membeli beberapa alat berat untuk keperluan produksi. Pertemuan berjalan lancar, kedua belah pihak bersepakat untuk menindaklanjuti kerjasama ini dengan serius. Andi bisa bernafas lega setidaknya kegagalannya kemarin tak membuat kesepakatan besar ini juga ikut gagal, apalagi Mr.Shin tadi juga sempat memuji draft kontrak kerjasama yang disusun oleh Andi.
Lancarnya proses pertemuan ini juga membuat jadwal kepulangan Andi ke Jakarta akan lebih cepat dibanding yang direncanakan sebelumnya. Paling tidak ini membuat Andi lebih lega karena akan segera bertemu dengan istrinya. Sepanjang pertemuan tadi Andi juga masih memikirkan Ima yang sulit dihubungi, kekhawatirannya akan segera hilang jika dirinya segera kembali pulang. Begitu pikir pria berkacamata minus tersebut.
"Kamu sudah pesan hotel Ndi?" Tanya Bu Yasmin tiba-tiba sesaat setelah Mr.Shin dan anak buahnya pergi meninggalkan ruang pertemuan.
"Hotel? Kita nggak langsung balik ke Jakarta Bu?" Andi balik bertanya.
"Balik ke Jakarta sementara kesepakatan perusahaan kita belum deal dengan Mr.Shin? Kamu bodoh atau gimana sih Ndi?" Ternyata apa yang dipikirkan oleh Andi bertolak belakang dengan bos besarnya. Andi harus menunda jadwal kepulangannya kembali ke Jakarta.
"Ba..Baik Bu, Saya akan pesan hotel sekarang juga." Andi langsung mengeluarkan ponselnya untuk memesan kamar hotel lewat aplikasi, dia tak ingin membuat mood Bu Yasmin yang sudah bagus sedari tadi jadi berantakan hanya karena perkara hotel.
"Pesan nanti aja, ayo kita makan dulu." Potong Bu Yasmin, sekali lagi Andi hanya bisa menuruti perintah bos besarnya itu.
***
ANDI POV
Taksi online yang Kami tumpangi berhenti di halaman parkir sebuah rumah makan, meskipun besok sudah weekend tapi rumah makan terkenal ini terlihat cukup lenggang. Di halaman parkir hanya terdapat beberapa mobil dan motor pengunjung yang berjejer rapi. Kami melangkah masuk ke dalam, suasana di dalam tidakterlalu ramai, masih terlihat beberapa meja yang masih kosong. Bu Yasmin memilih tempat duduk di bagian ujung ruangan, tak jauh dari tangga menuju lantai dua. Selang beberapa saat setelah kami duduk, seorang pramusaji datang sembari menyerahkan buku menu.
"Kamu mau makan apa Ndi?" Tanya Bu Yasmin sambil membolak-balik halaman buku menu.
"Apa aja Bu, Saya ngikut." Ujarku.
"Ayam bakar mau?"
"Boleh Bu." Sahutku sekali lagi, di sampingku pramusaji sudah bersiap menulis pesanan kami dengan buku catatan kecil yang dipegangnya.
"Minumnya panas atau dingin?" Tanya Bu Yasmin sekali lagi.
"Orange jus aja Bu kalo ada."
"Oke Mbak, Kami pesan dua porsi ayam bakar dan dua orange jus. Sambalnya tolong dipisah ya, terus untuk orange jus yang satu tolong esnya jangan terlalu banyak." Pramusaji mencatat pesanan dengan teliti sebelum kembali mengulanginya, standar pelayanan di sebuah rumah makan menurutku. Sampai akhirnya pramusaji itu berlalu pergi untuk mempersiapkan pesanan kami.
Sekilas Aku mengamati Bu Yasmin, meskipun tubuhnya terbalut kemeja warna putih yang dipadu blazer navy, khas eksekutif wanita masa kini tapi tetap saja itu tak bisa sepenuhnya menyembunyikan "aset" bagian depan tubuhnya yang mencolok besar. Jauh lebih besar dari payudara istriku. Di bagian bawah, Bu Yasmin mengenakan rok ketat warna hitam selutut yang membuat pinggul dan bongkahan pantatnya semakin jelas terlihat, dengan penampilan "menggoda" seperti ini seringkali banyak rekan kerjaku menjadikan Bu Yasmin sebagai bahan obrolan. Tentu saja bahan obrolan yang menjurus ke urusan selangkangan.
Aku sendiri tak pernah ikut terlibat terlalu jauh ketika banyak rekan kerjaku memperbincangkan penampilan Bu Yasmin, Aku sangat menghormati dia sebagai seorang atasan, tidak lebih. Bahkan Aku cenderung salut dengan prestasi kerja Bu Yasmin. Sebagai seorang wanita jenjang karirnya terbilang sangat mentereng, bahkan dia adalah satu-satunya wanita yang memimpin divisi marketing nasional dalam sejarah perusahaan. Hari ini Aku melihat bagaimana kemampuannya melobby vendor ternama agar mau bekerjasama dengan perusahaan kami, lugas, tegas, dan tepat sasaran. Nyaris tanpa cela. Maka sangat wajar jika perusahaan membebankan tanggung jawab sebagai leader pada sosok Bu Yasmin, Aku pun merasa beruntung bisa menjadi bawahannya secara langsung. Paling tidak Aku bisa mencontohnya dalam hal urusan karier, begitu harapanku.
"Capek Ndi?" Tanya Bu Yasmin membuyarkan lamunanku, semoga saja dia tak menyadari tatapan mataku yang entah sudah berapa lama seperti kosong menatap ke arah payudaranya.
"Lumayan Bu, tapi Saya senang karena akhirnya nggak ada masalah gara-gara kemarin gagal berangkat." Ujarku rikuh sambil membenarkan posisi dudukku.
"Sabar dulu, sebagai eksekutif marketing baru, Kamu harus mulai membiasakan kunjungan kerja luar kota seperti ini. Satu bulan bisa sampek 4-5 kali Kamu akan melakukan hal seperti ini, ketemu klien baru, melobby vendor, maintenence kantor cabang dan lain sebagainya. Jadi, dikuat-kuatin dulu ya, nanti kalo kerjamu bener pasti perusahaan nggak akan nutup mata kok." Kata Bu Yasmin.
"I..Iya Bu. Terima kasih sebelumnya karena Ibu sudah merekomendasikan Saya sebagai eksekutif marketing."
"Nggak perlu terima kasih, Aku ngerekomendasikan Kamu bukan karena masalah personal tapi karena Aku lihat kerjamu bagus. Target-target marketing juga selalu terpenuhi, bahkan jauh melampaui marketing-marketing yang lain. So, wajar kalo Aku merekomendasikanmu untuk naik jabatan sebagai eksekutif marketing."
Aku tersenyum mendengar penjelasan dari Bu Yasmin, sekali lagi Aku dibuat kagum akan keprofesionalannya dalam hal pekerjaan, satu hal yang patut Aku tiru. Tak lama pesanan Kami datang, Bu Yasmin makan dengan cukup lahap pun begitu dengan diriku yang sejak berangkat memang belum merasakan asupan nasi. Di tengah-tengah menikmati makan malam Kami masih sesekali terlibat obrolan kecil, dari situ Aku baru menyadari di tengah sikap jutek dan judes yang seringkali diperlihatkan oleh Bu Yasmin saat di kantor ternyata wanita ini adalah teman ngobrol yang asyik. Wawasannya akan semua hal terbilang cukup luas, Bu Yasmin bisa membuat lawan bicaranya betah berlama-lama duduk bersama hanya untuk mendengar bagaimana dia melontarkan sebuah argumentasi.
"Udah dapet hotelnya Ndi?" Tanya Bu Yasmin sesaat setelah kami menyelesaikan suapan terakhir. Sementara di luar hujan deras mulai mengguyur kota Pahlawan, bahkan beberapa kali terdengar bunyi halilintar yang memecah langit malam.
"Belum Bu, kebanyakan tersisa satu kamar aja. Kalo untuk hotel di bawah bintang 3 ready banyak kamarnya." Ujarku sambil terus mencari kamar hotel lewat aplikasi di ponsel.
"Atau gini aja Bu, kita beda hotel aja. Ibu di hotel yang bagus, sementara Saya bisa tidur di hotel bintang 3 atau di bawahnya." Kataku memberi usul.
"Udah nggak usah, kita sekamar aja. Cepet pilih kamarnya, terus order taksi online juga." Tanpa menunggu janda semok itu langsung bangkit dari kursinya dan melangkah menuju meja kasir. Aku melongo mendengar perintahnya, malam ini Kami akan tidur sekamar? Berdua???
***
Wongso duduk sendirian di teras rumah milik Andi, sebuah meja kecil dengan alas kaca berada di sisi kanan tempat duduknya, di atas meja sudah tersaji secangkir kopi pahit yang baru saja dibuatnya sendiri, sementara itu mulutnya beberapa kali mengeluarkan asap tebal rokok kretek favoritnya. Mantan napi itu sesekali tersenyum tipis saat melihat foto dan video Ima di galery ponsel, kepuasan dan kemenangan dirasakan oleh mantan napi itu. Bagaimana tidak setelah hampir 10 tahun dirinya dikurung dalam teralis besi untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya, ketika sudah bebas dia mendapat durian runtuh pelega hasrat birahinya yang sudah membuncah lewat tubuh istri keponakannya sendiri.
Meskipun awalnya Wongso mencoba untuk mengusir pikiran kotor dalam otaknya ketika pertama kali bertemu dengan Ima tapi tetap saja nafsu dan birahi memenangkan perang batin dalam diri pria tua itu. Bahkan sampai detik ini pun tak ada sedikitpun rasa penyesalan, justru sebaliknya perasaan berkuasa begitu dominan saat menatap tubuh Ima yang tak berdaya. Wongso begitu nikmati kebebasan seperti ini yang mungkin saja tak akan terulang untuk kedua kalinya, setidaknya dia masih bisa melampiaskan nafsu bejatnya hingga kepulangan Andi dari Surabaya.
KLING!
Sebuah pesan masuki dari nomor asing masuk ke ponsel Wongso, pria tua itu sesaat mengamati nomor itu sebelum membuka inbox pesan singkat.
"Bos! Ini nomorku yang baru. Anwar."
Anwar adalah salah satu anak buah Wongso ketika masih aktif menjadi perampok. Pria tambun berusia 48 tahun itu bernasib lebih baik dibanding dua anak buah Wongso yang lain Joni dan Gono . Dua orang itu tewas tertembak Polisi saat berusaha kabur dari sergapan ketika menjalankan aksi perampokan. Wongso tersenyum, segera dia menelepon Anwar.
"Halo, Lu dimana sekarang?" Tanya Wongso setelah sambungan telepon tersambung.
"Saya di rumah istri Gono Bos." Sahut Anwar antusias,
"Heh? Lu ngentotin istri Gono?"
"Hehehehe, Iya Bos. Udah dari dulu ni janda ketagihan sama kontol Saya." Seloroh Anwar membanggakan kelebihannya dalam hal memuaskan birahi istri mendiang Gono.
"Muke gile Lu! Hahahahaha! Lu tau nomor Gue darimana?"
"Dari keponakan Saya Bos, Jacky. Dia dulu pernah di sel 8 bulan gara-gara kasus narkoba, sebenernya Saya udah pengen menghubungi Bos Wongso dari dulu tapi kata Jacky situasinya lagi nggak mendukung karena Bos Wongso sedang ada di sel isolasi." Terang Anwar panjang lebar.
"Iya, ini Gue aja baru bebas. Gara-gara si bangsat Djarot nasib Gue jadi berantakan!" Umpat Wongso dengan geram, dia mengingat bagaimana buruknya perlakuan kepala sipir itu pada dirinya saat gagal memberikan setoran uang haram hasil rampokan.
"Nah kebetulan banget ini Bos! Saya dapat informasi kalo si Djarot punya rumah mewah di selatan kota. Cuma ada istri mudanya di sana Bos! Kalo Bos pengen balas dendam sepertinya itu bisa jadi sasaran yang tepat." Ujar Anwar. Wongso mengangguk-angguk mendengar penjelasan anak buahnya itu seperti menyetujui dengan ide jahat itu.
"Kita harus ketemu dulu kalo gitu buat ngrencanain ini." Ucap Wongso.
"Oke Bos siap! Saya tunggu kabar secepatnya." Balas Anwar penuh rasa keantusiasan.
Wongso menutup telponnya, dihisapnya rokok kretek dalam-dalam sebelum kembali menghembuskan asap pekat dari mulutnya ke langit-langit. Pria tua itu merasa jika momen kebebasannya adalah jalan lain untuk memberi pelajaran pada Djarot yang telah memperlakukannya dengan sangat tak manusiawi hanya karena sebuah kegagalan misi perampokan. Kali ini dendam itu akan segera terbalas, Wongso bertekad membuat Djarot menyesal telah bermasalah dengan dirinya.
5631Please respect copyright.PENANAPoP3MnKxhV
BERSAMBUNG
Cerita "PAKDHE WONGSO" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI5631Please respect copyright.PENANAAdd6tU18wj