Sesampainya mereka di rumah sakit. Pria itu menemui istrinya yang terbaring di ranjang. Pria itu menceritakan segalanya pada istrinya.
"Ibu nggak usah khawatir, dua hari lagi saya akan mengoperasi Anda, tolong dijaga kesehatannya ya," ujar Bima.
"Iya Dok, terimakasih." Ibu itu berlinang air mata.
Di ruangan Bima. Mereka berdua sedang membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang.
"Kamu pulang naik apa Ra?" tanya Bima tiba-tiba.
"Ehmm, naik bis Dok," jawab Tiara.
"Ayo sekalian aku antar," pintanya.
"Nggak usah Dok, makasih," tolak Tiara.
"Kenapa? apa kamu cuman mau Reno yang nganterin kamu pulang." Bima berkata dengan sinis.
"Kok Dokter ngomongnya gitu," ucap Tiara cemberut.
"Jadi benar, ada sesuatu di antara kalian nih," ucap Bima mendesaknya.
"Enggak kok, kami cuman teman," ucap Tiara datar.
"Kalau kamu cuman teman, kenapa kamu nolak aku buat nganterin kamu pulang," ujar Bima seraya menatap wanita itu dengan tajam.
"Hahhhh, aku cuman nggak mau ngrepotin Dokter." Tiara berkata dengan lesu.
"Aku nggak ngerasa direpotin, udah cepat! keburu kemaleman ntar," pinta Bima seraya berjalan keluar.
"Iya-iya Dok." Tiara mengikutinya berjalan.
Sesampainya di rumah Tiara.
"Jadi di sini kamu tinggal?" tanya Bima.
"Ehmm, iya Dok, makasih ya untuk tumpangan hari ini," ucap Tiara seraya melepaskan sabuk pengaman.
Bima mengangguk.
"Kalau gitu aku masuk dulu ya Dok, selamat malam," ucap Tiara.
"Malam."
Mendadak seseorang mengetuk jendela mobil Bima. Ia kaget dan menurunkan kaca mobilnya.
"Kukira Nak Reno beli mobil baru, ternyata orang lain, kamu siapa ya?" tanya Sari yang saat itu melihat mobil terparkir di depan rumahnya.
"Bibi." Tiara memanggil wanita itu.
Bima mendengar Tiara memanggilnya. "Malam Tante, saya Bima," sapanya.
Tiara keluar dan menarik tangan Sari.
"Apa-apaan sih Bi," ujar Tiara.
"Aku cuman ingin tau siapa yang kamu bawa pulang selain Reno," ucap Sari yang masih melirik ke Bima.
"Itu Dokter Bima, atasanku Bi."
"Oh, jadi ini alasan kamu menolak Reno, seleramu boleh juga."
"Bibi ini ngomong apa sih, ayo kita masuk," ucap Tiara dan menarik tangan Sari masuk ke pekarangan rumah.
Mereka berdua meninggalkan Bima tanpa sepatah katapun. Tiara berlari kembali menemui Bima.
"Maaf Dok, itu Bibiku yang sedari kecil menjagaku, tolong jangan di masukin hati ya omongan Bibiku tadi," ujar Tiara merasa tak enak.
"Iya aku tau kok," sahut Bima datar.
"Pulanglah Dok, hati-hati di jalan."
Bima mengangguk.
Tiara kembali menemui Sari.
"Bibi kenapa sih, selalu membuatku malu di depan semua orang," ucap Tiara dengan nada sedikit tinggi.
"Kenapa mesti malu, itu kan kenyataannya," bantah Sari.
Arif pamannya mendengar mereka ribut-ribut di luar pintu. Ia membuka pintu untuk melihat mereka.
"Kenapa kalian ribut-ribut di luar, malu di dengar tetangga," bentak pria itu.
Tiara menatap pamannya dan langsung terjatuh ke lantai karena ketakukan. Pasalnya ia melihat asap hitam berdiri tegak di belakang pria yang seperti ayahnya sendiri itu.
"Paaaaaa--mannn, apa merasa sakit?" Tiara bertanya dengan cemas.
"Kamu ngomong apa sih Tiara, ayo bangun, Paman nggak papa kok." Arif membantunya bangun.
"Paman, ayo kita ke rumah sakit, mungkin ada penyakit yang Paman tidak tau, ayo Paman, aku antar," isak Tiara memaksanya.
"Sinting kamu ya! suamiku ini sehat! kenapa kamu mau bawa dia ke rumah sakit, gila kamu!" bentak Sari.
"Bi, kita nggak akan tau kapan seseorang itu mendapat penyakit," bantah Tiara.
"Udah jangan ngaco kamu, kembali ke kamarmu sekarang!" bentak Sari mengusirnya.
Tiara bergegas masuk ke kamar. Ia menangis dan menutup mulutnya agar mereka tak mendengar suaranya. Dadanya sesak dan sulit bernafas. Ia memukul-mukul dadanya, sambil terus menangis.
"Ayah dengar itu tadi, dasar keponakan nggak di untung, apa dia baru nyumpahin Ayah," ucap Sari yang masih kesal dengan omongan Tiara.
"Ibu jangan ngomong seperti itu, Doni pergilah ke kamar jika kamu sudah selesai belajar Nak," pinta Arif pada anaknya.
"Iya Yah," sahut Doni dan pergi ke kamar.
Di tengah malam. Bima mendapatkan mimpi itu lagi.
Di mana Tiara sedang menangis meraung-raung.
Ia terbangun di malam hari, dan mengatur nafasnya yang terengah-engah.
"Kenapa mimpi itu datang lagi, bukankah aku sudah mempercayai kemampuan Tiara, ada yang aneh," gumam Bima.
Pagi hari di ruangan Bima.
"Pagi Tiara," sapa pria itu tapi Tiara tak menyahut.
"Tiara!" Bima memanggil lagi dan membuat wanita itu terkejut.
"Eh, iya Dok pagi," ucap Tiara lesu.
Bima melihat wajah tiara yang pucat.
"Tiara, apa kamu sakit? kenapa wajahmu pucat gini," tanya Bima.
"Enggak kok Dok, aku cuman kurang tidur aja," sahut Tiara yang masih sibuk mengganti sprei.
"Apa ada masalah, ceritalah padaku," pinta Bima.
Tiara menggeleng.
Dalam hatinya. Di satu sisi ia tak ingin melibatkan Bima dalam masalahnya. Ia khawatir Bima akan mendapatkan masalah seperti sebelumnya. Tapi di sisi lain, ia juga ingin Bima mengubah takdir Paman Arif seperti ia mengubah takdir orang lain sebelumnya.
Hatinya saling memberontak. Tiara bingung harus berbuat apa.
"Dokter, bisakah ...." Tiara tak meneruskan perkataan itu, karena mendadak ada telepon dari Sari.
"Iya Bi ada apa?" Wajah Tiara mulai cemas.
"Tiara, di mana kamu? Pamanmu, pamanmu ..., "suara Sari tertatih-tatih.
"Ada apa Bi! apa yang terjadi dengan Paman?" Nada suara Tiara meninggi.
"Pamanmu sekarang ada di rumah sakit, Bibi bingung harus menjelaskan dari mana," isak wanita itu.
"Baiklah Bi, Tiara akan ke situ, Bibi tunggu aku ya," pinta Tiara dan mematikan ponsel, ia ingin segera keluar.
"Tiara! mau ke mana kamu?" tanya Bima.
"Dok, Pamanku ada di sini, dia mungkin sedang di UGD sekarang, aku harus ke sana," isak Tiara yang mulai meneteskan air mata.
"Baiklah, ayo kita ke sana sama-sama," ujar Bima dan ikut pergi bersama Tiara untuk melihat keadaan pamannya.
ns 15.158.61.8da2