PAK JASIM POV
Namaku Jasim Imran, menurut artinya dalam bahasa Arab, Jasim bisa dimaknai sebagai pria yang gagah, kuat, dan berotot. Di usiaku yang sudah menginjak 56 tahun, badanku sudah tak lagi seperti arti namaku. Perutku mulai membuncit, dengan beberapa timbunan lemak lain yang terlihat di banyak tempat. Wajar karena di masa senjaku ini Aku sudah tak lagi bekerja kasar seperti masa mudaku dulu. Sekarang kegiatanku hanya mengelola rumah kontrakan peninggalan mendiang mertuaku, itupun tak banyak menguras energiku, malah lebih banyak waktuku terbuang untuk memelihara burung-burung kesayanganku. Meskipun begitu Aku masih rajin berolahraga untuk menjaga kebugaran, maka jangan heran disaat banyak sahabat seusiaku yang sering keluar masuk rumah sakit karena keluhan kesehatan, Aku justru tak pernah sekalipun merasakan pengalaman itu. Badanku fit 100%.
Mariyati, adalah nama istriku. Usia kami terpaut 5 tahun saja. Kami menikah sudah hampir 30 tahun, dan selama itu pula kami tak dikaruniai seorang anak pun. Dulu hal ini membuat kehidupan pernikahanku dengan Maryati menjadi sangat hambar, bahkan sering juga menjadi pemicu terjadinya pertengkaran. Omongan miring tetangga dan keluarga sudah sangat sering kami dengarkan hingga terasa kebal di telinga. Berbagai macam usaha untuk mendapat keturunanpun sudah kami lakukan, mulai dari pengobatan alternatif hingga jalur medis sudah ditempuh untuk mendapatkan keturunan namun sepertinya takdir berkehendak lain. Kami berdua sudah berdamai dengan keadaan dan berusaha untuk menerima kenyataan jika Tuhan tak menginginkan Aku dan istriku bisa memiliki seorang anak kandung.
Belasan tahun hidup hanya berdua saja sama sekali tak membuat kebahagiaan pernikahan kami terusik. Memang kadang selalu ada pertengkaran kecil tapi hal itu bisa segera kami atasi berdua dengan cepat. Hingga dua tahun lalu Maryati mengutarakan maksudnya untuk merawat Bagus, anak nomor dua Jayadi, adik iparku, yang baru saja lulus SMA. Tentu Aku heran dengan keinginan istriku itu, apalagi Bagus sudah memasuki usia dewasa.
"Aku pengen kayak Ibu-Ibu yang laen Mas, pergi kemana-mana dianter anaknya." Ujar Maryati saat itu ketika Aku bertanya alasanya mau mengangkat Bagus sebagai anak.
Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Aku menyetujui keinginan istriku tersebut. Kami berdua datang ke rumah Jayadi dan mengutarakan maksud untuk bisa merawat salah satu anaknya. Berbeda dengan kakaknya, Jayadi bisa dibilang sangat produktif menghasilkan anak. Selain Bagus, Jayadi masih memiliki 5 anak lain, bahkan yang paling kecil masih berusia 2 tahun! Aku sama sekali tak mempermasalahkannya, tapi ketika melihat kehidupan ekonomi keluarga Jayadi yang jauh dikatakan mapan maka keberadaan anak-anaknya membuat hatiku miris.
Mendengar permintaan kami, Jayadi dengan senang hati mengabulkannya, pun begitu pula dengan Bagus yang entah kenapa begitu bahagia saat mendengar maksud kedatanganku dan Maryati di rumahnya kala itu. Singkat cerita sejak dua tahun lalu Bagus akhirnya ikut pulang bersama kami dan tinggal di rumahku. Awalnya Aku berniat membiayai pemuda berusia 18 tahun itu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi tapi Bagus malah menolaknya dengan halus.
"Nggak usah Pakdhe, Saya langsung kerja aja sama nemenin Budhe di rumah." Ujar Bagus saat menjawab tawaranku perihal niatku untuk membiayai pendidikannya.
Aku sempat mendiskusikan hal ini dengan Maryati, tapi sama dengan Bagus, istriku itu justru mendukung keinginan Bagus untuk langsung bekerja tanpa perlu kuliah. Awalnya berat, tapi Aku akhirnya mengikuti keinginan mereka berdua, apalagi Maryati terlihat begitu bahagia semenjak Bagus tinggal bersama kami. Aku tentu tak ingin merusak kebahagiaannya demi memaksakan kehendakku.
Beruntung Aku memiliki banyak teman yang memiliki usaha sendiri. Salah satunya adalah Maman, dia adalah teman seperjuanganku dulu ketika masih bekerja di proyek bangunan. Sekarang dia sudah memiliki bengkel motor sendiri, suatu hari Aku membawa Bagus ke sana, tujuanku tentu saja mencarikan pekerjaan untuk Bagus. Tak butuh waktu lama, Maman tanpa pikir panjang langsung menerima Bagus sebagai salah satu karyawannya meskipun anak angkatku itu sama sekali tak memiliki pengalaman bekerja di bengkel sebelumnya.
"Udeh, titipin aja dulu di sini. Nanti kalo udah pinteran dikit baru pindah ke bengkel resmi Honda, hehehehhe." Seloroh Maman saat itu. Aku mengucapkan banyak terima kasih padanya, karena tau betul sahabatku itu menerima Bagus sebagai karyawan karena masih memandangku sebagai seorang sahabat.
***
Semenjak kehadiran Bagus di rumah, Aku melihat perbedaan sikap dan penampilan dari Maryati. Istriku itu jadi sering berdandan dan mengenakan pakaian-pakaian yang terkesan lebih sexy dibanding sebelumnya. Daster sebatas lutut, bahkan tak jarang Maryati mengenakan celana pendek yang memamerkan kemulusan pahanya. Usia Maryati memang sudah 40 tahun lebih, tapi tetap saja jejak kemolekan tubuh istriku itu belum benar-benar pupus termakan waktu. Bahkan semakin tua, menurutku istriku justru semakin menggairahkan. Kulitnya belum keriput karena memang rajin melakukan perawatan, sementara badannya yang sintal masih terpelihara tiap lekuknya karena rutin mengikuti senam aerobik.
Aku sama sekali tak menaruh kecurigaan berlebih pada Maryati perihal pakaiannya yang semakin sexy saat berada di rumah. Aku pikir mungkin ini adalah salah satu fase puber keduanya, toh selama ini kehidupan ranjang kami juga baik-baik saja, masih aktif melakukan hubungan suami istri rutin seminggu dua sampai tiga kali. Namun semua prasangka baik itu pudar begitu saja satu tahun yang lalu.
Di suatu hari, Aku mendapat kabar jika salah satu temanku semasa bekerja di proyek bangunan menghembuskan nafas terakhir karena penyakit yang lama dideritanya. Berita itu datang dari Maman yang tiba-tiba datang ke rumahku untuk mengabarkan kabar duka tersebut. Tanpa pikir panjang Aku dan Maman bersepakat untuk pergi ke rumah duka yang ada di luar kota, memberi penghormatan terakhir pada mendiang rekan kerjaku tersebut.
"Bapak nanti nginep?" Tanya Maryati saat melihatku memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas ransel yang sudah cukup lama tidak aku gunakan.
"Kayaknya gitu Bu, sekalian ikut acara pengajiannya." Jawabku.
"Oh, ya udah hati-hati di jalan ya Mas."
"Iya tenang aja, kamu nggak apa-apa kan Aku tinggal satu dua hari ini?"
"Nggak apa-apa kok Mas, kan di rumah ada Bagus. Aman lah pokoknya." Ujar Maryati sambil tersenyum.
Akhirnya siang itu Aku dan Maman langsung pergi menuju rumah duka dengan mengendarai mobil sahabatku itu. Sesampainya di sana Aku dan Maman langsung menemui keluarga almarhum untuk mengucapkan belasungkawa. Beruntung kami masih bisa mengikuti prosesi pemakaman hingga selesai. Rencananya setelah acara pemakaman, Aku dan Maman berniat untuk ikut pula acara pengajian yang dilaksanakan malam harinya namun saat sore menjelang Maman mendapat telepon dari salah satu karyawannya di bengkel. Sahabatku itu harus kembali pulang karena ada salah satu vendor langganannya yang mengajukan komplain. Mau tak mau Akupun harus ikut kembali pulang bersama Maman.
Kami tiba nyaris tengah malam, Maman langsung mengantarku menuju rumah sebelum dia kembali pulang. Ketika turun dari mobil perasaan menjadi aneh karena melihat lampu teras rumahku padam, sesuatu yang sangat jarang terjadi jika Aku berada di rumah. Aku melangkah pelan mendekati pintu bagian depan, belum sempat Aku mengetuk pintu untuk membangunkan istriku atau Bagus, indera pendengaranku menangkap sesuatu yang aneh dan janggal.
"Aaaachhhhh...Iya..Terus begitu..Iyaahhhh..." Itu adalah suara desahan Maryati, istriku!
"Eeeemmcchhhh! Aaachh! Dasar anak nakal!"
"Enak Budhe? Lebih enak mana dibanding kontol Pakdhe Jasim?"
"Aaacchhh!! Enak punyamu Le! Enak punyamu! Aaachhhhh!!"
Tepat di ruang tamu rumahku bisa Aku dengar dengan sangat jelas desahan manja istriku disahuti oleh suara seorang pria yang bisa Aku pastikan itu adalah suara Bagus, anak angkatku. Aku tak bisa melongok ke dalam dan memastikannya karena kaca pembatas di bagian ruang tamu rumahku tertutup kain korden gelap. Ditengah kekalutan pikiranku saat itu, otak sadarku mengarahkan langkah kakiku menuju pintu bagian belakang rumahku yang berbatasan dengan area kebun kecil. Biasanya pintu di bagian belakang tak pernah dikunci oleh Maryati.
Benar seperti dugaanku, setelah sampai di bagian belakang rumah, Aku dengan leluasa membuka pintu. Dadaku bergemuruh luar biasa saat satu persatu langkah kakiku mendekati ruang tamu. Apalagi, semakin lama suara desahan Maryati dan anak angkatku terdengar makin jelas dibumbui kata-kata kotor. Emosiku menggelegak luar biasa tak sabar melihat apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh istriku dan Bagus.
Satu langkah sebelum sampai di ruang tamu, dengan perasaan tercabik langsung Aku nyalakan lampu yang sedari tadi dibiarkan padam. Bagus dan istriku langsung kaget bukan kepalang menyaksikan Aku sudah berdiri tak jauh dari tempat mereka bergumul. Tapi kekagetan mereka berdua tak lebih besar dibanding keterkejutanku menyaksikan tubuh telanjang istriku sedang menungging di atas sofa, sementara Bagus mengangkanginya dari belakang! Ya, anak angkatku menyetubuhi istriku!
"BAJINGAN!!!!"
Teriakan emosiku menggema di seluruh ruangan, dengan amarah yang tak bisa kubendung lagi Aku merangsek maju dan langsung menyerang tubuh Bagus. Aku hujani tubuh pemuda itu dengan pukulan bertubi-tubi, tanpa perlawanan pemuda bangsat itu hanya meringkuk di bagian ujung sofa sambil berusaha melindungi bagian kepalanya dari tiap hantamanku. Maryati yang semula shock, kini bertambah histeris, istriku itu berusaha memisahkan kami tapi usahanya sia-sia Aku mendorongnya hingga terjatuh sebelum kembali menghajar tubuh Bagus.
Maryati berteriak histeris dan meminta tolong, keributan malam itu pada akhirnya mengundang perhatian para tetanggaku. Selang beberapa saat rumahku yang semula senyap dan sepi berubah menjadi begitu ramai karena banyak orang datang karena teriakan histeris Maryati. Perlu empat orang lebih untuk memisahkankan Aku dan Bagus. Wajah anak angkatku itu sudah babak belur, darah mengalir di hidung serta mulutnya, Aku benar-benar kalap, jika saja tidak ada yang datang memisahkan kami berdua, bisa saja nyawa Bagus tak tertolong.
Malam itu juga kami bertiga di bawa ke kantor desa untuk menjelaskan duduk permasalahan hingga terjadi keributan besar di rumahku. Aku dengan gamblang menjelaskan kronologinya hingga terang benderang. Aparat desa dan para tetangga tentu terkejut setelah mendengar penjelasanku, mereka bahkan menyarankan untuk melanjutkan kasus ini ke jalur hukum. Namun setelah emosiku mulai mereda Aku memutuskan untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan tanpa perlu melibatkan aparat hukum. Aku tidak ingin masalah keluargaku menjadi makin ruwet karena keputusan gegabah dan penuh emosional.
Esok harinya Aku menghubungi Jayadi untuk menjemput Bagus dari rumahku. Adik iparku itu awalnya marah bukan main melihat wajah Bagus babak belur karena malam sebelumnya Aku hajar. Tapi setelah mendengar penjelasanku, Jayadi malah muntab pada anak kandungnya sendiri. Umpatan kasar keluar dari adik iparku itu pada Bagus, bahkan dia juga berusaha memukul Bagus, beruntung Aku bisa mencegahnya. Jayadi makin tercengang ketika Maryati, adik kandungnya, menceritakan jika hubungan terlarangnya bersama Bagus sudah terjadi sejak 1 tahun yang lalu. Mengangkat Bagus sebagai anak hanyalah salah satu cara mereka agar perselingkuhan tetap terjaga.
Aku memang marah pada Maryati karena telah mengkhianatiku. Bahkan dia melakukannya dengan seorang remaja tanggung yang kami angkat sebagai anak! Sama sekali tak pernah terbayangkan olehku badai sebesar ini akan mengiyak keharmonisan rumah tangga yang telah terjalin puluhan tahun. Namun, aku ingin menjaga nama baikku. Kegagalan pernikahan akan mencoreng citraku di mata keluarga dan kolega. Aku tidak ingin semua itu terjadi. Tapi, kemarahan itu masih ada dan akan terus ada sepanjang aku masih hidup bersama Maryati.
BERSAMBUNG
Cerita "ISTRIKU DAN PRIA LAIN" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan
ns 15.158.61.20da2