Ardanata, 2015
“Kamu sudah lihat pengumunan di mading?”
Aku menengok pada pribadi yang duduk di sebelahku. Hingga kepalaku menggeleng sejenak kemudian mengutarakan sesuatu, “Belum. Apa penting?”
Adam itu mengangguk dengan tangan masih bergerak mengisi catatannya yang kosong. “Iya. Katanya, kampus diliburkan seminggu penuh. Bisa lebih pula daripada itu.”
Aku tentu tak terkejut dengan hal itu. Justru diri ini malah bakal heran jika kampus tidak memberi libur disaat situasi kacau begini.
“Ah, begitu.” Aku menyahut sekadar saja.
“Kamu bakal pulang ke kota asalmu?” tanya Aska—nama si adam—lagi. Ia nampak cukup penasaran dengan jawabanku. Sampai-sampai berhenti menulis begitu.
“Mungkin saja. Mana betah di kos jika sedang liburan,” kataku menjawab.
Dia tersimpul, menatap diriku dengan penuh maksud berguyon. “Mana tahu kamu justru tidak betah bila tidak bersamaku,” kelakarnya yang disanggah lewat dengkusan olehku.
“Percaya diri betul. Aku justru kewalahan jika ada kamu.” Aku mencibir tapi dia malah lanjut tergelak. Pundaknya naik-turun dihantam gelitik.
“Kewalahan karena menampung rasa sukaku ini?” Dia bertanya bersama alis yang digerakkan usil.
Aku mengibaskan tanganku di depan muka. Tidak ingin menanggapi candaannya. Ia suka sekali berguyon soal rasa dan untung saja aku bukan tipikal gadis yang mudah terbawa suasana.
“Liburnya mulai kapan?” tanyaku mengalihkan topik percakapan.
“Besok. Kan kamu sudah nonton di tv kalau bom mulai dijejali dengan nakal di mana-mana.”
Aku mengangguk singkat. Teringat bahwa sempat melihat tv di salah satu warung kopi yang aku singgahi. Informasi soal benda-benda peledak itu sudah menyebar luas. Barangkali, negara ini akan hancur jika begini terus. Penanganan sangat lamban. Mau berapa puluh jiwa lagi yang akan dikorbankan? Sudah seperti tengah memberikan tumbal saja.
“Kamu tidak takut?”
Kedua manik milikku menilik Aska yang bertanya dengan sedikit menyimpan ragu. Aku mengangkat sebelah sisi alis. “Takut apa?”
“Mati. Mati karena ledakan bom itu.”
Aku menghela napas pelan. “Kenapa takut? Nanti juga akan mati.”
“Tapi mati karena terpental bukan akhir yang bagus.”
Aku tertawa mendengar tuturan si Aska. Apa-apaan dengan pikiran si pemuda yang biasanya sangat suka mengulas-ulas canda ini.
“Jadi kamu mau bagaimana? Kan tidak bisa kamu ubah juga.” Aku menepuk pundak si adam ini pelan.
“Benar memang. Tapi aku minta pada Tuhan agar hidup lebih lama lagi.”
“Bagus. Manusia sudah kuadratnya memohon pada Yang Kuasa.”
“Tahu tidak mengapa?” tanyanya. Aku merotasikan dua bola mata punyaku dengan malas kala menemukan ekspresi jenaka kembali bersemayam di wajah berpipi tembam itu.
“Tidak tahu. Tidak ingin tahu juga.” Aku menyusun alat-alat tulis dan bukuku saat menjawab. Walau sudah bilang begitu, Aska mana akan peduli. Ia pasti akan tetap melontarkan frasa penuh bualannya.
“Aku ingin meminangmu dulu, hehe…” Cengiran miliknya menjajah wajah yang cukup rupawan itu. Sayang sekali, aku tidak cinta. Kalau saja bisa. Mau loh diri ini dijadikan kekasih oleh Aska. Lagipula dia baik, ramah, cerdas, dan ranggi pula.
“Terserah kamu. Aku mau balik. Sekalian beres-beres buat besok.”
“Kamu pulang besok?”
“Iya. Tidak ada juga gunanya mengulur waktu. Toh kalau memang bakalan mati, aku ingin di kampung halamanku.”
“Jangan mati, dong. Nanti aku sendirian sampai tua.”
Ah, lelah jika sudah berhadapan dengan mulut manis Aska yang tidak ada habisnya. Aku memilih tak merespons lalu segera beranjak keluar dari ruang kelas yang hampir kosong. Sejak tadi memang begitu. Dosen tidak masuk sudah hampir lima hari. Mengamankan diri. Pengecut sedikit. Tapi siapapun pasti sayang nyawa.
“Aku duluan,” ucapku tanpa melihat Aska. Sudah pasti laki-laki itu tertawa puas karena berhasil menggodaku.
Selama berjalan di koridor, pikiranku melalang buana. Seputar pulang kampung. Sudah tiga tahun aku tak pernah menginjakkan kaki ke sana. Bukan karena jauh atau karena tidak rindu pada Papah juga Mamah. Hanya malas aja—anggap begitu dulu. Inginnya wisuda dahulu baru cari kerja di sana.
Tapi realitas benar-benar tak pernah mencapai ekspektasi manusia. Buktinya, kini aku keluarkan telepon genggam lalu menghubungi nomor Papah. Hendak memberitahu beliau, bahwa putrinya ingin kembali, setelah tiga tahun lamanya.
* * *
Rajanamu, 2015
Adimarga di kota lahirku tak ada bedanya dengan yang ada di Ardanata, kota pelarian tiga tahunku itu. Dulunya padat, kini melenggang. Tak banyak mobil pribadi yang membelah dan melindas marka putih yang panjang itu. Orang-orang mulai mengambil antisipasi menjaga nyawa sendiri.
Tahun ini benar-benar ngeri. Aku sampai takjub pada diri sendiri yang berani duduk sendiri di halte bus ini. Menunggu Papah yang katanya sudah di jalan. Padahal bisa jadi baru berangkat. Mentang-mentang jaraknya sedekat hidung dan mata.
Kembali ke awal maksudku. Tahun ini negara kami—ini bukan negaraku sendiri—parah betul. Pemberontakan meluber di mana-mana, tak ayal bom-bom menggila di setiap sudut kota. Terakhir yang aku dengar, kejadiannya kemarin hari. Sejam setelah aku selesai berbenah diri.
Sebuah restoran mewah di kota Ardanata diserang. Meledak hingga bersisakan puing-puing tidak berarti. Ada delapan belas korban jiwa. Rata-rata pebisnis berat semua. Sumber pemasukan negara.
Aku menghela napas berat. Kapan teror ini berakhir. Aku nestapa dengan negara ini. Mengapa manusia menyimpan sisi yang punya keinginan kuat mencelakakan sesama. Bukannya bisa dibicarakan baik-baik jika ingin menuntut sesuatu? Bukan malah menggunakan barang pemicu suara keras dan api kurang ajar itu. Pintar si pembuat, sayang bukan guna kebaikan loka.
Oh, Nadien. Pikirmu ini masalah sepele? Newton bahkan tidak sanggup jika ditodong hal begini. Politik dan tetek bengeknya betul-betul seperti menghujam kepala. Cukup pikirkan masa depanmu yang masih tak jelas. Kecil bagai biji ketumbar figurnya.
Aku mendongak ke langit Rajanamu, mulai mendung. Ikut sedih bisa jadi. Dunia ini kian hari kian membusuk saja sisi damainya.
Asyik-asyik bertelepati dengan langit, sebuah sepeda motor berhenti tepat di depan halte. Aku kenal kendaraan itu. Tak pernah lupa meski sudah tiga tahun lamanya kedua netra ini tak melihat. Bagaimana tidak, motor itu sudah pernah membawa tubuh dan sukmaku ke setiap sudut kota ini.
Aku tahan napas. Mencubit lengan barangkali aku sedang bermimpi atau berhalusinasi gara-gara kebanyakan berpikir mengenai ofensif di negara sendiri.
Rupa-rupa tidak. Sakit di lenganku terasa nyata. Manalagi kala si pemilik kendaraan roda dua itu melepas helm yang menutup kepala. Sempat pula merapikan rambut padahal aku sudah ketar-ketir begini.
Selama beberapa sekon menatap pantulan diri di kaca spion, si lelaki dengan surai hitam legam itu melempar tatapan padaku. Senyum ia gurat setipis mungkin. Jelas tidak ikhlas menyambut kedatangan ragaku.
“Papah kamu yang meminta saya ke sini. Kamu tidak keberatan kan kalau diantar kerumah oleh saya?”
Aku menelisik sepasang obsidian yang masih seperti dulu. Masih teduh dan hangat. Bedanya tidak ada lagi pancaran cinta. Bagai api, disiram air. Terus menerus hingga asapnya pun tak tersisa.
Lara itu kembali bercokol di rongga dada. Aku menunduk sebelum menjawab pertanyaan retoris miliknya. “Iya. Tidak masalah.”
Suaraku kecil. Ingin menangis. Ingin protes pada langit Rajanamu yang semakin abu-abu itu. Sungguh kejam. Ini alasanku tak ingin ke kota ini sebelum berhasil. Berhasil wisuda dan juga berhasil melepaskan ampas rasa di hati.
Rajanamu, tiga tahun aku pergi jauh darimu. Guna menghilangkan bayangan tentang satu orang teruna milikmu yang berhasil menyiksa hati ini. Aku tak ingin pulang dari Ardanata karena lelaki yang tengah memakaikan helm ke kepala kecilku ini.
Kebiasaannya itu tak ada ubah. Kenapa hal kecil itu ia lakukan? Apa tak sadar dirinya jika iris madu milikku tremor karena kegiatannya?
Gama Arkais.
Sama seperti arti nama terakhirnya. Dia kuno, primitif, sampai-sampai mau disuruh Papah untuk menjemput mantan kekasihnya sendiri.
Tapi Gama terlalu antik untuk aku lepas. Untuk aku musnahkan dari gerigi otak yang kian hari kian tak berguna. Maka tak heran hingga detik ini, meski sudah dilukai, aku masih ingin memulai kembali.513Please respect copyright.PENANAjWTV0hidUP