(Recommended to play the song: Halu – Feby Putri / Pupus – Hanin Dhiya)
Pukul empat pagi kakiku lari luntang-lantung bagai maling yang dikejar warga. Tujuan kaki hanya satu, rumah Arkais.
Mataku tidak bisa terpejam sejak semalam. Sosok Bunda serta Gama berseliweran di kepala. Akan aku beri si Arkais durjana itu pelajaran.
Aku sampai tak kenakan sandal dan baju hangat. Arkais mesti mendapatkan yang sepadan dengan perjuanganku yang macam serangan fajar ini.
Aku dorong saja gerbang rumah Gama dan kontan mengetuk pintu kayu itu. Tak beringas. Aku masih tahu malu pada tetangga. Fajar saja belum menyongsong, dimaki diri ini jika menjerit bagai peluit.
Suara kunci aku dapati, hingga penghalang ini tebuka lebar. Mempertunjukkan postur wajah Gama yang kelihatan bangun secara paksa dari pulau mimpi.
“Nadien?” katanya serak dengan kelereng mata menyorotku tak percaya.
Tangisku kembali merajalela. Sial Arkais sial. Mengapa harus aku tunjukkan sisi lemahku pada kamu?
Ia tentu terkejut. Ia tarik tubuhku pada rengkuhan hangat di pagi buta. Membawaku masuk ke dalam rumah yang dahulu selalu menyambut aku penuh hangat.
Arkais memelukku erat. Aku cinta sekaligus benci dengan dirinya. Mengapa rasa ini begitu menyiksa. Apa tiga tahun tak cukup memusnahkan afeksi yang aku punya?
Aroma Gama Arkais masih sama. Kayu manis yang meneduhkan jiwa. Gama, aku rindu.
Saat tangisku mereda, Gama mengajakku duduk di sofa. Masih setia tangannya mengelus punggungku agar lebih tenang.
“Apa hal yang membawa kamu ke mari?” tanyanya setelah beberapa menit kami tak bergeming. Sampai-sampai suara detak jarum jam terdengar memenuhi ruang.
“Bunda… Mengapa kamu tak mengabariku?” aku merespons lirih. Padahal diri bertindak impulsif sepagi ini guna mencaci-maki Gama. Apa daya. Lidah dan hati tak sanggup.
Si Arkais ini malah menciptakan ukiran kurva di wajah eloknya. Tangan hangat dan besarnya menepuk kepala milikku dengan lembut.
“Maaf, Nadien.”
Tangisku lagi-lagi membludak. Mata mengarah pada potret raksasa di ruangan itu. Foto Bunda bersama Arkais ditemani senyum lebar. Hatiku selalu menghangat acap manatap figura itu. Tapi kini rasanya sesak.
“Kamu benci aku sedemikian rupa? Kamu benci aku yang katamu tak ada cinta?” aku meringis ditiap tutur kata. Relungku serasa dicabik tiap detiknya.
“Kamu benci hingga kamu tak mau aku lihat Bunda untuk terakhir kalinya?”
Ia tak menjawab. Diam seribu atau bahkan sepuluh ribu bahasa. Malah dirinya kini mengangkat raga dari atas sofa dan berlalu ke belakang. Entah berbuat apa. Aku lagi menangis hingga kedua mata perih. Napas tersengal-sengal bagai dicekik rupa kenyataan. Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tangan agar tak nampak lebih menyedihkan.
Hingga sebuah handuk hangat membasuh kaki yang kotor. Kaki yang menembus jalanan lengang tanpa alas. Kaki yang membopong tubuh hingga ke mari.
“Apa yang kamu lakukan, Gama Arkais?”
Ia tersenyum getir. “Apa yang akan Bunda katakan bila aku yang membuat putrinya terluka begini?”
Aku mendengkus. “Ini bukan apa-apa jika dipadankan dengan goresan dalam yang kamu toreh di hati.”
Keluar sudah. Untaian frasa yang sudah lama hendak diucap. Kala Gama mengajak aku mengakhiri hubungan dengan alasan tak ada cinta, aku tak protes apa-apa. Kepala dan ulu hatiku seakan dihantam berton-ton baja.
“Nadien Kinahara…” Gama menggantung perkataan. Tangannya masih membasuh kedua kakiku yang kotor dan sedikit lecet pula.
Aku tak menatapnya. Lebih suka buang muka saja.
“Kamu itu matahari. Dikelilingi banyak planet berharga. Sedang saya ini tahi bintang yang hilang pun tak mengapa. Kamu pikir, saya sepadan jika bersama kamu?”
“Aku tak paham!”
“Singkatnya, saya ini tak pantas untuk kamu. Manalagi kamu mengambil studi terpisahkan jarak dengan saya, makin-makin rendah diri saya.”
“Kamu bodoh, Arkais,” cercaku padanya.
Bagimana bisa pemuda Rajanamu ini berpikir sedangkal itu. Apa tak tahu dia jika cintaku ini tulus padanya?
“Aku cinta kamu bukan karena status. Karena itu kamu. Kamu.”
Ia mendongak, menatapku selembut beludru. “Tak mengapa, Nadien. Jangan memaksa. Barangkali, kita dipertemukan memang begini. Pantasnya hanya berteman saja.”
“Bualan apalagi ini, Arkais? Kamu benar-benar kejam pada rasaku.” Aku menatapnya nyalang.
“Kamu mungkin lelah, Nadien. Mari saya antar pulang.”
“Arkais, kamu… Apa tidak mencintai aku lagi?” konyol. Aku bertanya begitu pula. Rendah kau, Nadien. Mendamba sendirian.
Arkais menatapku lamat. “Dulu. Tiga tahun tak bertemu aku jadi lupa.”
Aku tertawa miris. Aku tepis tangannya yang hendak meraih lenganku. “Jauh. Aku bakal pulang sendiri.”
“Tapi—“
“Aku tidak mau kenal kamu lagi, Arkais. Jika bukan karena Bunda aku juga tak sudi melihat wajahmu. Kamu egois. Pikirmu di Rajanamu ini hanya kamu seorang.”
Aku menarik raga menjauh dan secepat mungkin keluar dari kesesakan ini. Merasa telak. Aku hanya mencintai sendirian. Rupa-rupa si kasih telah lupa. Bahkan menolak sok halus pula. Jengah aku. Tapi sungguh, aku sadar kedua iris sekelam palung milik Arkais tadi sempat mengumbar sayang. Boleh bila aku berharap bahwa Arkais sedang berdusta?
“Perihal perasaanmu, hanya kamu yang tahu. Tapi aku disini gamblang. Aku masih cinta kamu. Namun harapku, di kota ini, tak perlu lagi kita bertemu.”
* * *
Aku duduk seraya menekan-nekan tombol di ponsel. Membalas surel-surel menjengkelkan dari Aska. Bahkan saat tubuhnya tak di depan netra pun bisa dia membuat aku kesal begini.
Kekesalanku pada Arkais membuatku tak lagi bisa menangis. Bilamana bertemu aku justru ingin mencakar wajah indah rupa itu.
Papah dan Mamah pun paham jika aku sedang merajuk pada mereka perihal Bunda. Mereka sudah minta maaf dan aku tentu memaafkan. Tak ingin berlarut-larut dalam emosi.
“Dua hari di sini, mukamu macam belimbing muda. Masam.”
“Memangnya ada orang marah malah tertawa?” dengkus ku sembari mematikan ponsel.
Papah terkekeh pendek. “Kamu mau dengar sedikit tuturan tentang Gama?”
Aku menolak, menggeleng penuh tak minat. “Aku tak pengin dengar soal dia lagi.”
“Tapi kamu yang paling kenal dia di Rajanamu ini, Nadien.”
Napasku tertahan. Tidak-tidak. Aku bahkan sudah tidak tahu apa-apa tentang pemuda itu. Ia tak bisa aku jangkau lagi. Ia jauh. Bagai langit dan bumi kami ini.
Lantaran aku tak respons kalimat Papah, beliau meneruskan cerita tanpa aku pinta.
“Ia sekarang bekerja di Biruloka.”
Saraf refleksku membuat leherku bergerak. Sendiku berputar. Aku pandang Papah penuh dengan rasa curiga. “Bohong.”
“Percuma Papah bohong. Tidak peroleh apa-apa. Gama sungguh kerja di sana. Besok berangkat ke ibukota guna tugas yang dia emban.”
Darahku berdesir sempurna. Jantung ini meletup bagai minyak mendidih. Gila. Apa hal dengan isi kepala si Arkais itu. Niat benar bekerja di sana.
Biruloka itu adalah sebutan untuk pasukan khusus penjinak bom. Mulai beroperasi lima tahun lalu. Bertugas gila-gilaan mulai tahun kemarin karena pemberontakan tak masuk di akal ini.
“Sejak kapan?” tanyaku bercicit bagai burung.
“Sejak Bunda-nya meninggal. Walau begitu, ia masih cerita-cerita pada Papah. Maka Papah tahu.”
Pekerjaan itu bahaya betul. Meski sudah profesional, bom bukan seperti anjing liar.benda itu lebih parah. Kembali rasanya ingin bertemu dengan Gama tapi sayang lisanku sudah berucap penuh perihal pertemuan.
“Besok dia ke Ardanata. Di sini kan tidak banyak serangan. Tak seperti di ibukota tempat kamu berkuliah itu. Papah tonton di layar saja bom itu benar-benar bengis di sana.” Papah meraih koran di meja rotan itu lalu melebarkannya. “Kerjanya memang seram. Nyawa jadi taruhan.”
“Papah mengapa tidak larang dia?” sela ku cepat. Teringat kata-kata Gama lagi tadi. Perihal dirinya menolak perasaanku yang belum kunjung tewas digerogoti waktu.
“Kenapa bukan kamu saja. Lagipula, ia sudah jadi kepala pasukan dua. Ia hebat. Kamu percaya pada dia.”
Aku diam. Kututup belah bibir rapat rapat. Rajanamu, kota misteri, kau kasih kejutan apa lagi diri ini?
ns 15.158.61.45da2