Di lampau, momen di mana term ‘sepasang kekasih’ masih tersertakan antara diriku dan si Arkais yang masih aku puja ini, hujan selalu jadi alasan kami menepi.
“Kalau-kalau kamu sakit gara-gara hujan, saya malu sama langit Rajanamu. Kok, kesayangan saya tidak bisa saya jaga dengan baik, Nadien?”
Ia akan berucap panjang begitu setelah mendengar aku protes perihal kami yang berakhir berdiri berdampingan di emperan toko. Menunggu tetes-tetes hujan mengakhiri hasratnya.
Walau aku sengit, tak bisa kupungkiri jika alat pompa darah yang berada di dalam dada itu menghentak-hentak. Bagai dijejali lagu nasional yang menggebu-gebu. Aku senang bukan kepalang sampai lupa diri. Gama begitu memperhatikan diriku bahkan sampai menyimpan malu pada langit Rajanamu.
Tapi itu dulu, saat jemari panjangnya masih hobi memilin-milin rambut sepunggungku. Saat tawanya melayang mendengar kicauan jengkelku.
Saat ini, hujan mengguyur kota kelahiranku. Kota penuh sejarah, Rajanamu. Tapi, Gama tak menepikan motornya. Tak bertanya apa aku sedang menggigil menahan dingin menyumbat indra. Ia melaju. Menembus anak-anak panah langit. Tak peduli benar dengan nasibku yang kini basah hingga ke dalam-dalam. Hingga ke hati rasanya. Dingin tapi perih.
Si Arkais ini baru berhenti setelah tiba di depan sebuah rumah bercat krem, dengan pagar besi sehitam jelaga. Rumahku, istanaku.
Aku melepas helm dengan kesal. Tiada guna juga mengajak si es batu kurang ajar ini bicara. Seenak udel membuat aku menahan gemeletuk gigi karena perbuatan lantangnya.
“Terimakasih!” kataku sedikit menghentak seraya mengembalikan helmnya.
Raut wajahnya tak berubah walau aku memberinya perlakuan tak bersahabat. Ia menerima cepat tanpa frasa. Aku pun begitu. Bergegas masuk ke dalam rumah tanpa salam perpisahan atau bertemu kembali.
Bahkan leher ini tak pengin menoleh kala suara motor itu bergerak menjauh dari muka rumah.
* * *
“Senderut dia karena Papah suruh dijemput oleh Gama.”
Tuh, ya. Aku sudah minta Papah untuk jangan membahas hal itu lagi. Rasanya acap kali mendengar nama teruna itu membuat hati gundah nun berang.
“Papah juga. Sudah tau mereka bekas kekasih. Masih saja dipertemukan,” celetuk Mamah sembari menuang nasi ke piring kami.
Papah tergelak. “Bila mereka balikan, Mamah bakal yang paling bungah. Sejak dulu mengaku Gama adalah calon suami yang cocok untuk Nadien.”
Mamah tersenyum tersipu membuat kekesalanku semakin menjadi. Aku pulang bukan untuk mengantongi godaan soal masa lalu. Tapi perhatian juga cinta kasih yang sudah aku rindukan.
Huh, Rajanamu. Apa tak sekalipun kau izinkan aku bahagia di bawah naunganmu? Bahagia betul dirimu nistakan diriku.
“Ah, sudah-sudah. Makan dulu, Pah. Nadien juga pasti lapar. Mana tadi sudah hujan-hujanan seperti di film-film India.”
“Mamah. Jangan membuat selera makan hilang, dong,” protesku dengan wajah masam.
Mamah dan Papah sama-sama menerbangkan tawa. Buat ruang makan jadi ramai. Aku menyendok isi piring sembari menyimpan rasa dongkol.
“Selesai mengisi perut, mampirlah ke rumah Paman kamu.”
Kedua bola mata milikku menelisik wajah Mamah yang sudah sedikit berkeriput. Lantas aku menanggapi kalimat beliau. “Mengapa harus malam ini? Besok juga bisa.”
Mamah menggeleng, menolak bantahanku. “Jangan seperti itu. Bawa beberapa buah tanganmu tadi dan beri salam pada Paman dan Bibi kamu.”
Aku mendesah pelan. Bagaimana pun jua, Mamah tak bisa ku lawan. Dia singa sedang aku rusa. Ujung cerita, aku jadi korban saja. Kurasa kami berbeda. Mamah jauh lebih berjaya.
“Baik. Aku ke sana malam ini juga,” kataku menutup perdebatan. Ingin makan dengan tenang pun harus berkorban banyak macam ini.
* * *
“Mengkhayal saja kamu. Sambil lihat-lihat rumah mantan kekasih pula.”
Aku mendecak pelan. Kedua manik menatap figur abang sepupuku yang kini coba-coba menggodaku.
“Jangan picu pertikaian. Aku tak punya energi,” sahutku malas.
Selain tak ingin ketemu abang sepupu yang degil ini, rumah yang punya pohon manga itu pun jadi alasan mengapa aku enggan ke mari malam ini.
“Berdusta saja mulut kamu itu. Bilang kalau kangen. Tidak ada juga yang bakalan marah.” Abang berkata kembali sembari menutup pintu gerbang rumah. Aku tak menanggapi. Malas saja. Teringat sikap Gama Arkais tadi siang buat aku pegal hati.
Kami jalan berdua. Abang sepupuku ini memaksa untuk mengantar raga ini pulang. Sesudah berbincang sedikit bersama Paman dan Bibi—juga manusia sedikit aberasi yang mengayunkan tungkai di sebelahku kini—aku pamit pulang. Sudah terlalu larut untuk bertamu.
Diam-diam diri ini melirik ke arah rumah itu baru bertanya pelan pada Abang, “Bunda sehat kan?”
Bunda adalah Ibu dari Gama. Aku memanggil beliau begitu gara-gara Gama yang minta.
“Nanti kamu juga akan jadi putri sira. Maka belajar memanggil Bunda sejak sekarang.”
Hah. Miris benar acap kali mengingat tiap tutur kata semanis sukrosa itu.
Abang rupa-rupa sejak tadi memandangku kalut. Dia nampak berat hati untuk menjawab.
“Abang?”
“Bunda sudah berpulang. Sudah setahun lamanya.”
Kedua kaki ini spontan berhenti. Menengok ke arah Abang dengan rasa yang menyala-nyala. Marah, hancur, pun merana.
“Mengapa tidak ada yang memberitahu aku?” tuntutku dengan suara bergetar. “Semua sekongkol? Termasuk si Arkais?” sentakku tak terima.
“Dia yang pinta. Kami tak mampu menolak.”
Arkais sinting. Pergi ke mana kewarasan teruna mu itu Rajanamu?! Tega nian menutupi berita pilu yang merunjam hati ini.
“Aku pulang sendiri. Jangan dikawali,” ucapku tegas. Pelupuk mata sudah berat. Tangisku bakal menerobos sebentar lagi.
“Nadien Kinahara, maafkan Abang.”
Persetan. Aku benci. Mengapa mereka sampai hati memperlakukan aku begini. Bunda… Maafkan Nadien. Nadien dungu sampai tak turut mengantar raga Bunda ke pelukan buana. Tak turut mendoakan atma Bunda tenang di sisi Yang Maha Kuasa. Maaf, Bunda, maaf.
Aku merintih sepanjang jalan menuju rumah. Bening-bening berjatuhan dari kedua pelupuk mata. Dadaku rasanya begitu sesak. Begitu penuh dengan duka.
Bumi Rajanamu, sekali lagi kau berhasil. Berhasil membuatku menyesal pulang padamu. Kau hanya tahu mengasihkan luka saja.
ns 15.158.61.45da2