(Recommended to play the song: Pamit – Tulus / Muara – Adera )
Aku terkaget-kaget. Sosok Gama Arkais mendadak muncul dengan gaya khasnya di depan rumah. Menjemputku malam-malam. Katanya ingin jalan bersama.
Heran. Padahal tadi pagi aku sudah tegaskan dirinya kalau aku tidak mau kenal dia lagi. Kendati begitu, aku tetap mau. Kupakai jaket merah mudaku lalu kuhampiri adam itu.
“Masih suka es kedondong?”
Aku yang berjalan di sisi kiri dia mengangguk kecil. Es kesukaanku yang selalu aku nikmati bila keluar bersama Gama. Ia selalu jadi pihak yang membayar dan aku yang kenyang. Soal es kedondong, bukan tebuat dari buah masam itu. Bentuknya saja yang mirip, kalu rasanya jangan ditanya. Jagoan. Manis. Kalah gula aren.
“Jadi, kita teman sekarang?” tanyanya lagi.
“Teman ecek-ecek,” sahutku asal. Mana bisa aku berteman dengan orang yang aku suka. Orang yang telah mengambil kepingan hati ini.
“Boleh saja. Asal kamu tidak menghindariku saja.”
Aku tak menjawab. Dalam hening aku perhatikan sosoknya. Tinggi menjulang, tegap, wajah rupawan, senyum menawan, hidung bangir, mata yang temaram, juga kulit yang cerah. Tak ada alasan yang membuat hati benci pada dia. Aku hanya berusaha mencari dalih agar bisa lupa padanya.
Sialnya, tak bisa. Tak seperti dia. Lupa padaku setelah kenal bom namanya.
“Besok saya ke Ardanata. Menjalankan tugas negara.”
“Aku tahu.”
“Aku butuh doa dan restu.”
Aku mendelik padanya. “Teman ecek-ecek tidak berpean banyak. Cari yang lain saja.”
Ia tertawa kecil. Aku terkesiap. Tak bersiap diri akan serangan tiba-tiba itu.
“Kamu… Tidak takut mati?”
Dasar pander. Kemarin kau tertawakan Aska perihal tanya itu. Sekarang kau malah menjilat liurmu kembali. Hebat kau, Nadien Kinahara.
Gama menghentikan jalannya. “Menurut kamu?”
“Aku tidak tahu. Kamu bukan Arkais yang aku kenal. Kamu tidak bisa aku jangkau. Isi hatimu bukan milikku seperti dulu.”
Ia bukan Gama yang sejak usia tujuh tahun aku kenal. Kawanku bermain gundu atau kartu bergambar power ranger. Ia beda.
Ia menghela napas pelan. “Kamu jangan buat saya ragu.”
“Ragu atas apa? Papah bilang kamu hebat. Jadi kemungkinan mati pasti sudah kamu pertimbangkan jauh-jauh hari.”
Ia mengangguk kecil. “Saya siap untuk mati.”
Tapi aku tidak, Arkais. Aku tidak rela. Kamu belum aku rengkuh sepuas mungkin. Aku ingin melarang. Menantang hal yang kau idamkan ini. Sayang, aku bukan siapa-siapa.
“Itu es kedondong. Mari.”
Aku ikut langkah dia mendekati gerobak pedagang itu. Ia memesan untuk kami berdua. Aku duduk di kursi panjang yang disediakan. Mencibir langit malam Rajanamu yang angkuh itu. Aku sungguh semakin tidak suka kota ini. Ia kejam padaku.
“Ini.”
Aku menerima semangkok es kedondong. Disusul pula oleh Gama yang duduk di sebelahku. Kami cicip isi mangkok masing-masing.
“Nadien, kamu tahu, kerjaku bagai es kedondong ini.”
“Maksud kamu?” kedua alisku menyatu bingung.
“Saat orang dengar es kedondong, bayang mereka rasanya bakalan asam hingga menokak lidah. Padahal rasanya manis. Begitu pula dengan jadi pasukan Biruloka. Orang langsung nilai seram, hingga batas kematian. Padahal tidak begitu nian.”
“Benar. Tapi tolong kamu bedakan konteksnya, Arkais. Kalau tahu rasa es manis dibandingkan berita berpulang, apa itu sebanding?” Aku mengaduk-aduk isi mangkok yang sudah mencair.
“Apa sekarang kamu cemas pada saya?”
“Kamu betul-betul bodoh. Sudah jelas. Kamu masih menempati hatiku kendati kamu bilang aku tidak ada cinta.”
Arkais tersenyum tipis. Ia letakkan mangkoknya di sisi kursi yang kosong lalu ia raih kedua pipiku. Aku memanas. Mataku susah payah untuk beralih dari dia. Wajah rupawan itu, dalam jarak sedekat ini, buat hidup lupa cara tarik oksigen.
Dan tiba-tiba, Arkais mengecup keningku lembut. Menyalurkan sayang dan tenang.
“Saya bakalan baik-baik saja. Ini kecupan untuk meyakinkan teman ecek-ecek ini.”
Aku tersipu. Pipi murahanku merona. Ah, indahnya bila Arkais masih punya rasa yang sama. Bila saja.
* * *
Aku bersembunyi di balik jendela saat menampak Gama tengah bersaliman dengan Papah dan Mamah, aku tak ada nyali keluar, menghampiri lelaki itu dan memberikan pelukan hangat.
Aku pengecut. Takut bila ikut mendengar dia berpamitan, hati jadi tak ikhlas dia pergi bertugas. Kerjanya baik. Demi selamatkan negara. Demi nyawa-nyawa yang terancam.
Aku tahu betul dia sadar kalau aku mengintip. Tapi ia kelihatan tak ingin ambil pusing. Ia pergi sambil melambai tangan. Membawa diri bersama seragam biru itu menjauh.
Tangisku aku redam. Segala pikiran jahat berceceran di dalam kepala. Takut sekali jika Arkais pergi. Bilamana bom itu gagal dijinakkan, bagaimana nasib Arkais?
Ardanata itu seram. Sudah banyak korban jiwa bertumpah disana. Banyak pula pasukan Biruloka yang pulang dengan kondisi jasad tak sempurna.
Merasa Gama sudah berjalan jauh menuju simpang gang. Aku keluar dari rumah. Tak indahkan Papah dan Mamah yang bertanya. Berdiri melintang ragaku di tengah jalan. Menatap punggung Arkais yang tegap itu. Yang siap menampung segala jenis beban.
“Punggung saya seluas samudera, Nadien. Beban saya, beban Bunda, pun beban kamu bisa saya tanggung sedemikian rupa. Jangan segan berceita. Saya siap jadi segalanya untuk kamu.”
Sosok tegap itu makin jauh. Makin terlihat kecil. Makin sesak pula rongga dadaku. Padahal Ardanata hanya satu jam dari Rajanamu, tapi aku tetap tak rela. Pekerjaannya itu buat aku tremor. Dari sekian banyak sumber duit, mengapa memilih yang korbankan jiwa itu?
Di ujung jalan aku menatap kamu. Renjana ini kian menusuk relung kalbu. Aku akui batin ini telah membiru. Bukan perkara dingin sorotmu. Melainkan anganku sendiri yang telah menamparku.
Anganku meminta kamu jadi milikku. Tempat aku pulang. Tempat hati ini merindu. Tapi kamu tolak, Arkais. Kamu enggan. Alasanmu tak bisa aku terima.
Tapi sosok tegap itu mendadak berhenti melangkah. Ia memutar tubuh dan berjejer dalam garis yang sama denganku.
Aku berikan dia senyum paling hebat yang aku punya. Kendati mata sudah bercucuran ditambah hati bagai diterpa badai topan. Remuk.
Ia membalas senyumanku. Lalu memberi sebuah hormat. Ia lalu tertawa kemudian melambaikan tangan.
Aku balas dengan riang. Aku balas dengan tawa perih yang melayang-layang. Ia kembali berbalik. Membawa raga menjauh. Mengemban tugas berat yang dia tanggung.
Aku terhenyak. Lututku melemas. Napasku berat.
Gama Arkais. Jaga dirimu, kasihku.
ns 15.158.61.16da2