(Recommended to play the song: Kamu & Kenangan – Maudy Ayunda)
Kuliah kembali berjalan sebagaimana mestinya. Ketegangan mereda beberapa hari terakhir. Walau begitu, masih banyak yang mengambil libur pribadi.
Aku kembali dengan rutinitas di Ardanata. Belajar, mengerjakan tugas, sampai digodai oleh makhluk ciptaan Tuhan bernama Aska.
Seminggu pula lepas dari terakhir kali aku tatap sosok Arkais. Bagaimana kabar teruna itu? Apa dia baik? Apa dia rindu seperti aku yang rindu dia?
“Nadien, mari ke kantin. Pak Teguh tak datang. Takut dibom perut buncitnya.”
“Ada-ada saja kamu, Aska.”
Setelah berberes, kami kompak ke kantin kampus. Agak jauh memang, tapi makanan disana tak bikin kecewa. Membayangkan saja sudah membuat aku kelaparan pula. Padahal baru juga sarapan.
Sesekali gelak tawa mengudara. Aska ini benar menghibur. Guyonannya kadang jadi pelipur lara.
Masih jauh dari kantin, suara ledakan nyaring memekakkan telinga. Jeritan keras terdengar bersama api raksasa menyambar penglihatan.
Aku dan Aska sama-sama diam membeku hingga diteriaki kasar untuk menyelamatkan diri.
Kantin yang baru akan kami datangi meledak keras. Bagimana nasib kawan-kawanku yang ada disana.
Aku dan Aska lari keluar kampus. Tangisku sudah diujung pelupuk. Manalagi katanya ada dua lagi bom yang disembunyikan entah di mana.
Mobil pasukan Biruloka berhenti di depan gerbang utama. Aku merinding. Pasukan itu hebat benar. Masih berani padahal sudah ada korban berceceran.
Netraku menangkap postur tak asing. Itu dia, Gama Arkais.
Spontan aku berlari dari kerumunan yang selamat. Menyerobot guna menghampiri pujaan hati. Panggilanku keras padanya. Namun suara keributan ini meredam segalanya.
“Arkais! Arkais!”
Ia menoleh cepat. Bola matanya terrbuka lebar kala menemukan aku. Aku rebut tubuhnya, kupeluk dengan rakus.
“Nadien? Kamu tidak apa-apa? Tidak adak yang terluka?”
Aku menggeleng di dadanya. Lalu melepas pelukan indah itu. Ia betul khawatir padaku. Matanya tidak bisa berdusta. Aku pandang dia lama. Kudapatkan lencana emas berliris biru tua disana.
“Kamu sudah jadi pemimpin pasukannya?”
Ia mengangguk kecil. Pantas saja dia belum masuk ke dalam. Lucu memang negeri ini. Makin atas jabatanmu, makin dijaga dirimu. Tapi jahat aku ini. Senang pula dengan fakta itu.
“Kamu balik ke kos atau ke Rajanamu saja. Tak tenang di sini.”
Aku menggeleng kuat. Tak mau jauh darinya untuk saat ini. Sejak tadi kawan-kawanku sudah dievakuasi. Dibawa jauh dari tempat ini.
“Saya mohon, Nadien. Saya tidak ingin kamu kenapa-kenapa.”
“Aku juga begitu. Aku tidak mau bila kamu—“
Ledakan fantastis terjadi lagi. Gama dan aku terkesiap. Aku panik. Ku pegang erat lengan Gama.
“Pulang, Nadien. Tolong. Jangan di sini. Saya mohon.”
“Jangan masuk ke dalam, Gama. Jangan!”
Gama menggeleng lemah. “Ini tugas saya. Saya tidak boleh melanggar sumpah.”
Aku sudah menangis. Sialan. Aku tidak suka permainan takdir yang kejam dan begundal. Gama mendorong lembut tanganku. Ia lepas lencana miliknya dan ia sodorkan padaku.
“Ini, saya pastikan saya kembali. Jadi kamu pergi. Jauh. Jangan di sini. Saya pasti pulang.”
Aku menggeleng lemah. Tanganku menatap nanar lencana emas itu.
“Bawa dia ke Rajanamu. Dengan selamat. Paham?”
Bawahan Gama menurut. Ia mengajakku dengan sabar. Aku menolak keras. Menggenggam erat lencana di tanganku. “Gama! Gama! Jangan ke dalam!”
Aku berlari mendekati dirinya yang sudah bersiap menembus medan tempur gila ini. Rupa-rupa, tanganku di tariknya lembut namun cepat.
Dan detik selanjutnya, bibir kami menempel sejenak. Aku terkejut. Napasku tercekat.
“Saya cinta kamu.”
Setelah kalimat berisi tiga kata yang manis namun sayang terdengar menyakitkan itu, Gama berlari memasuki area kampus.
Aku dibawa menjauh kembali oleh pasukan Biruloka itu. Dengan isi kepala acak-acakan. Otak usangku mencoba mencerna, apa kian yang sedang terjadi.
Saat tungkaiku bersiap naik ke atas mobil evakuasi, ledakan sinting itu kembali menggelegar pongah.
Sekujur tubuhku mati rasa. Seperti terkena anak panah penuh racun.
“Ga…ma…?”
Aku tersadar. Tak ikut aba-aba si anggota Biruloka. Kakiku membawaku mendekati area kampus lagi.
“Nona, jangan! Kembali. Disana berbahaya.”
“Gama. Gama Arkais!”
“GAMA ARKAIS!”
Jiwaku terguncang. Mataku memandang nanar bara api raksasa serta puing-puing yang berserakan itu. Berharap bila jantung ini lebih baik lupa caranya bekerja.
* * *
Semenjak hari itu, semua tak sama. Aku lebih suka hanyut dalam lamunan. Makan tak selera, tidur susah, parahnya bernapas pun enggan.
Lencana milik Gama tiap hari aku genggam. Wajahnya juga tiap detik aku khayalkan. Teruna Rajanamu itu tak punya berita. Entah ia mati atau masih bernapas tak ada yang tahu. Orang-orang enggan mencari tahu ke Ardanata. Kota sial itu benar mengerikan.
Ketukan di pintu buat aku mengalihkan perhatian. Rupanya Mamah masuk bersama senyum lembut terpatri di wajah. Sedang aku menyambut dengan ekspresi sedingin pualam.
Mamah mungkin sudah maklum. Sudah dua Minggu aku tak bercakap dengan siapa-siapa. Papah dan Mamah pun tak niat mengganggu kesendirianku.
“Mamah mau kasih sesuatu. Ini Gama yang berikan sebelum dia bertugas.”
Aku menoleh cepat. Kulihat sebuah kertas tersemat di tangan Mamah. Beliau memberinya padaku. Kuterima dengan rasa syukur dan gelisah. Apa kira-kira isinya.
Mamah langsung keluar. Tak ingin merecoki diriku yang kian hari kian terlihat tak bernyawa. Aku buka tak sabaran kertas itu. Rupa-rupa surat. Ditulis langsung oleh Gama Arkais sendiri.
Teman ecek-ecek, rindu tidak pada saya?
Kalau kamu telah dapat surat ini maka saya sudah tiada. Sudah meledak bersama bom yang saya samakan dengan es kedondong itu.
Kamu jangan menangis. Saya tidak di sana untuk menghapus air mata kamu. Saya sudah jauh. Melihatmu pun butuh mukjizat luar biasa.
Kamu tahu, saya bohong selama ini perihal rasa. Perihal isi hati saya. Perihal cinta saya yang sebenarnya penuh kuasa atas diri.
Saya cinta kamu.
Sejak dulu, hingga detik dimana saya tak bisa lagi melihat langit. Terutama langit Rajanamu. Bumi kita berdua. Saya akhiri bukan karena saya sanggup. Saya malah menderita. Bagai kebocoran neraka.
Saya kangen kamu tiap sekon, tiap tarikan napas saya, tiap dentuman jantung saya. Hanya saja saya ini rendah. Saya tak yakin bisa buat kamu bahagia. Uang saya tak punya, manalagi kamu calon sarjana.
Lalu soal Bunda, saya sengaja tidak beritahu kamu. Saya takut kamu akan menghakimi saya. Saya takut kamu makin membenci saya karena tak bisa jaga Bunda.
Saya senang betul saat disuruh Papah menjemput kamu. Kamu duduk di halte, menatap langit Rajanamu dengan sengit. Kamu selalu seindah senja. Saya suka. Senyum kamu candu saya. Hendaknya jadi milik saya, tapi saya tidak bisa.
Saya berusaha lupa kamu. Tapi nol hasilnya. Saya senang kamu masih cinta saya. Saya kira kamu selama ini sudah lupa dan benci pada saya. Karena saya ini benar pengecut.
Saya selalu cinta kamu. Sampai tidak bisa saya utarakan lagi rasanya. Perihal hubungan yang tidak ingin saya jalin itu berhubungan dengan pekerjaan saya.
Saya terlibat dengan taruhan nyawa. Dan mencintai kamu seharusnya tidak saya lakukan. Saya jadi takut mati. Pertanyaan kamu tempo hari menggetarkan yakinku.
Tapi saya sudah janji pada negara sendiri, untuk korbankan napas demi negara ini. Demi orang-orang yang saya sayangi.
Jangan takut, Rajanamu setenang tabiatmu, Nadien. Rajanamu selalu sedamai itu. Bumi Rajanamu adalah kota terbaik yang saya punya. Di dalamnya ada kamu juga senyum dan cinta kamu.
Maaf bila saya tak bisa kembali. Maaf. Saya punya hutang besar buat kamu. Jaga dirimu, bahagialah, tetap tersenyum. Lupakan luka kamu. Lupakan saya. Banyak orang yang sayang kamu. Kamu matahari.
Jika kelak kamu telah punya seorang yang kamu cintai, jangan cerita mengenai lakon saya dalam hidup kamu. Saya hanya penyumbang luka. Kamu layaknya mendapat yang lebih baik.
Malam nanti, tatap langit Rajanamu, siapa tahu tahi bintang macam saya sempat menampakkan diri. Lambaikan tanganmu, bisikan kamu bahagia. Dan setelah itu kamu akan lupa soal saya.
Sampai jumpa, Nadien Kinahara. Teimakasih banyak untuk enam belas tahun kita berkenalan. Saya cinta kamu.
Titip salam pada Bumi Rajanamu, suruh dia cintai kamu seperti saya mencintai kamu.
Aku menjerit pilu. Duniaku telah runtuh. Aku genggam surat itu erat. Lalu berlari kesetanan menuju jalan. Aku berdiri di tengah, menatap langit penuh benci, penuh kesal, meminta penjelasan.
“AKU TIDAK BAHAGIA ARKAIS! AKU TIDAK! BAHAGIAKU ADALAH KAMU! KAMU!”
Tangisku benar pilu. Lukaku selebar samudera. Arkaisku direbut paksa. Apa sebenarnya kehendak semesta?
Rajanamu, ini mau mu? Melihat aku hancur di kota kelahiranku sendiri? Kota penuh cinta ini menyiksaku.
“Arkais… Pulang. Pulanglah. Aku tidak percaya pada orang lain. Aku butuh kamu.”
Bisikanku lirih. Angin malam betul tak mampu membuatku kedinginan. Aku sudah mati. Arkais membawa segalanya.
Gama dan Bumi Rajanamu. Apakah kisah kita berujung pada luka?
ns 15.158.61.45da2