(Recommended to play the song: Everything I Need – Skylar Grey / Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti – Banda Neira)
Rajanamu hari ini terang benderang. Si cakrawala tak undang gumpalan mega bernaung. Ia biarkan biru cerah menaungi manusia-manusia yang berdiam di buana ini.
Beda biru langit Rajanamu, beda pula dengan biru di reluk hatiku. Biru di dalam sana suram. Bikin napas sesak dan mata panas.
Aku pandang pusara milik Bunda dalam keheningan. Pemakaman ini benar sepi walau masih siang. Sudah satu jam aku hanya duduk bersila di sebelah nisan. Tak mau tahu bila pakaian yang aku kenakan kotor karena tanah basah. Bekas hujan malam kemarin.
Tangis tak jua mau keluar. Barangkali air mata ini sudah habis menangisi si Arkais. Menangisi nasib sembari mengutuk Bumi Rajanamu ini.
Sedianya, kepala ini benar pusing. Macam dibolak-balik tubuh ini. Hal yang membuat diri begini tentu karena malam tadi aku habiskan menjerit di bawah guyuran hujan. Teguran Papah dan Mamah tak mau aku pedulikan. Biar tahu semesta sudah ia hancurkan hati putrinya ini. Angkuh mereka permainkan rasa yang aku punya.
“Bunda…”
Aku melirih. Sosok hangat Bunda berselirat di kepala ini. Senyum mendiang, suara mendiang, hingga halusnya sentuhan Bunda aku kenang. Ia betul sosok yang baik.
“Bunda pergi… Dan kini Arkais pun pergi. Tanpa izin. Tanpa kata selamat tinggal.”
Meringis diri ini. Apa dosa yang aku perbuat hingga peroleh takdir mengilukan hidup ini. Aku senantiasa jadi anak berbakti, jarang berbuat tak pantas.
“Bilang pada Arkais aku rindu…”
Aku kembali tak bergeming. Biar saja semilir angina mendecak senang. Aku ke sini ingin sendiri. Atau barangkali mati di sini pun tak mengapa. Tak payah bila bisa lekas dikubur di sisi Bunda.
“Kamu sudah di situ satu jam lewat. Lebih baik kita pulang.”
Aku menatap abang sepupuku itu tanpa gairah. Ia yang antar aku ke sini setelah aku desak sedemikian rupa.
“Aku pengin bersama Bunda.”
Abang mendekat padaku. Ia usap pucuk kepala dengan lembut dan penuh kasih. Tapi aku sudah hampa. Bagai kondisi udara di angkasa raya.
“Bunda bakal tidak suka bila kamu begini. Mari kita pulang. Kamu juga tidak terlihat sehat.”
Aku tak melawan. Sebelum angkat badan ini berdiri, aku kecup dulu nisan Bunda. Bilang aku sayang pada dia. Bilang agar dia bahagia dan selalu sertai aku jika ia bisa.
Abang merangkul bahu sempitku. Ia bawa aku ke pelataran parkir di luar pemakaman. Sana ada motor dia yang diparkir rapih.
“Abang sudah coba hubungi kantor Biruloka perihal Gama. Tapi tak ada jawaban memuaskan.”
Aku tak menyahut. Sudah pasrah pada keadaan. Bila Arkais memang telah pergi, apa yang bisa manusia lemah macam aku lakukan?
“Aku pusing. Jangan bahas Arkais. Bawa aku pulang. Ingin rebah raga ini,” kataku akhirnya.
Sinar aftab buat kepala kian tak enak. Menusuk-nusuk bagai paku berkarat. Bikin ingin meracau saja.
Setelah itu kami melenggang laju. Motor ini bawa tubuh kami berdua menjauh dari pemakaman itu. Kembali ke gang kecil tepat kaki pertama kali berpijak.
“Mau Abang temani? Boleh jadi kamu tak ingin sendiri,” ujar Abang saat kami tiba di depan rumah.
Aku gelengkan kepala menolak. Memang benar aku bakal sendiri. Papah dan Mamah sedang pergi menghadiri perhelatan di kecamatan seberang. Aku akan huni rumah sendiri hingga si raja siang tertidur di ufuk barat.
“Manakala kamu butuh sesuatu, tolong telepon Abang.”
“Iya. Hati-hati. Titip salam untuk Paman dan Bibi.”
Abang mengangguk singkat lalu lekas melajukan kendaraan beroda dua itu. Sedang aku masuk ke dalam rumah guna istirahatkan diri.
* * *
Baru juga setengah dari sejam terlelap, suara bel buat aku terusik. Diri terjaga sambil menggerutu. Siapa pula berkunjung menjelang sore saat Papah dan Mamah tak di rumah begini.
Aku paksa turun dari kasur. Tak peduli tampang macam babu. Bila tak penting tamu ini, aku usir tanpa kasihan.
Awal aku intip dahulu lewat jendela. Siapa tahu orang niat jahat. Tapi tak apalah, paling parah juga bakal mati. Bagus juga.
Rupanya ada pasukan Biruloka. Pakai topi hitam dengan logo harimau di depan. Seragam biru itu tentu aku kenal. Sosok mereka sudah kian ke mari di layar tv. Jadi buah bibir sebab jasa mereka.
Aku tak kenal lelaki ini siapa manalagi dia kenakan masker, bikin curiga sebab rupa dia tak bisa aku tangkap. Tapi bila dia bawa berita soal Arkais aku sambut dengan syukur. Walau berita buruk, tetap aku berterimakasih.
“Nona Nadien Kinahara?” suara dia berat teredam lapis masker hitam itu pula.
“Ya, benar. Apa gerangan?” tanyaku sedikit was-was.
“Saya dari Biruloka. Hendak memberi Nona surat.”
“Dari siapa?”
“Tidak tahu, Nona. Hanya diperintah untuk mengantar lalu membawa balasan ke Ardanata.”
Aku sungguh heran benar. Balasan apa pula? Apa aku harus tulis balasan surat dari Biruloka ini. Bila mereka mengkasih tahu kalau Arkais mati, apa harus aku balas… aku juga ingin mati, begitu?
Ia sodorkan sebuah amplop putih. Aku terima sedikit ragu. Sekonyong-konyong aku tatap pula dia tak percaya.
“Saya sungguh dari Biruloka. Jangan rambang pada saya. Saya tutup wajah begini, karena Nona adalah keluarga korban.”
“Korban?”
Ia nampak tak yakin meneruskan kalimatnya. “Maaf, saya ucapkan yang tak semestinya.”
Aku gemetar. Keluarga korban. Keluarga korban. Kata itu melekat di kepala. Berusaha tak acuh pun tak sanggup. Aku lantas buka amplop itu dan keluarkan secarik kertas di dalamnya.
Aku tarik napas dalam-dalam sebelum membuka lipatan itu. Tubuh merinding membayangkan bila isinya benar kabar buruk.
Saya pulang.
Dahi ini mengernyit. Ini betul surat? Isi hanya dua kata begini. Langsung saja diri hendak protes pada si pasukan Biruloka.
“Kamu main—“
Kalimat mengambang di udara kala melihat sosok di depan mata. Topi sudah ia buka, masker ia buang entah ke mana pula. Ia tersenyum indah. Senyum yang aku elu-elukan sepanjang hidup.
“Saya pulang, Nadien Kinahara. Maaf, saya terlambat.”
Gama Arkais kembali Rajanamu. Kau ajak dia pulang? Kau paksa?
“Arkais… Ini… Sungguh… Kamu?” aku terbata. Melihat wajahnya bagai melihat mukjizat dari surge. Aku perlahan mendekat. Aku raih pipinya yang hangat.
“Ini saya, sungguh saya. Saya bersandiwara sejenak tadi.”
Tak ada tunggu, aku lekas peluk dia. Biar dia sesak napas. Biar dia tahu rasa. Aku hirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Dan aku bisa rasakan tubuh kecil ini direngkuh balik. Diusap lembut bagai barang benar berharga.
“Saya kembali. Saya kembali ke Bumi Rajanamu. Saya kembali untuk jadikan candu itu milik saya.”
Aku menangis. Bukan karena pilu, melainkan rasa bahagia yang membuncah bagai ombak raksasa. Terimakasih Tuhan, Bumi Rajanamu, Semesta, kau bawa pulang teruna ini. Kau izinkan raga peluk dia kembali.
“Terimakasih, Arkais. Terimakasih sudah tepati janji kamu.”
“Saya jauh terimakasih, kamu menanti saya dengan sabar. Sekarang biar saya katakan langsung.”
Ia menjeda. Melepas rengkuhan kami. Ia tarik wajahku mendekat, lalu ia berikan sebuah kecupan manis di kening.
Ia tatap aku begitu lekat, bagai aku bisa hilang barang sekejap mata.
“Saya cinta kamu. Kiranya kamu sudi menikah dengan saya, Nadien Kinahara.”
Aku tak menjawab, tak menyahut. Justru merengkuhnya balik. Hati amat senang. Berbunga-bunga. Tak bisa aku ungkap lagi.
Rupa-rupa, Rajanamu. Kau tetap penuh kejutan. Penuh misteri. Penuh pilu. Penuh suka pula. Aku sempat benci kau. Pisahkan aku dengan Arkais. Tapi kali ini, biar aku bilang satu hal khusus padamu.
Biar aku habiskan masa di bumi mu Rajanamu bersama dia, Gama Arkais. Hingga kelak ada yang panggil aku Bunda. Hingga kelak, kau rengkuh aku kembali bersama jiwa berpulang ke Yang Kuasa.
[END]
ns 15.158.61.16da2