Terik matahari menyengat saat aku akhirnya sampai di apartemen dimana aku akan tinggal selama akhir semester. Aku akan mulai tinggal disini agar dekat dengan kampusku yang kebetulan juga berada di depan apartemen ini.
Sebenarnya aku bukanlah anak dari kalangan yang berada tapi tidak terlalu susah juga. Aku bisa tinggal di apartemen ini juga karena menurut teman-temanku harga sewanya di bawah standar harga sewa apartemen yang lain. Dan kemarin akhirnya aku berhasil mengontraknya untuk tiga bulan kedepan. Hari ini, setelah selesai kuliah aku berniat untuk memindahkan barang-barang dari kosan lamaku ke tempat baruku.
Kenalkan, namaku Pai Setiawan. Aku berasal dari luar kota yang sedang menempuh pendidikan tingkat kuliah di salah satu kota kedua terbesar di Indonesia. Aku mengambil jurusan Sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi. Ya walaupun bahasa Inggris ku tidak terlalu membanggakan dan masih harus membuka kamus. Dengan bermodal nilai bahasa asing di raport SMA, aku diterima di kampus ini.
Sekitar jam 3 sore, aku dibantu oleh ketiga temanku untuk memindahkan barang bawaanku ke tempat baru. Lumayan untuk menghemat keuangan yang hampir terkuras karena harus menyewa kendaraan mengangkut barang-barang.
“Pai, bisa party dong di tempat baru lo?” tanya Herman, salah satu teman pria yang menjadi sahabatku selama beberapa tahun terakhir ini.
Mungkin jika kalian hanya tau nama Herman Pridanto pasti kalian akan berpikir lelaki yang berasal dari daerah, gaya berpakaiannya urak-urakan dan wong ndeso. Tapi percaya deh, setelah kalian mengenalnya, kalian akan berpikir kalau namanya tidak cocok dengan penampilannya. Perawakan yang tinggi dan tegap, badan yang atletis, alis tebal mempesona, pintar, baik dan orang yang berada. Hanya saja semua orang itu tidak sempurna ‘kan. Apapun guyonan yang ia lontarkan, pasti. sangat. tidak. lucu. bahkan selalu tidak tepat waktu atau tempat. Ya mungkin itu juga yang membuat dia gak terlalu dekat dengan banyak orang, meskipun bertampang lumayan tapi dia selalu bersikap pendiam di hadapan orang lain, kecuali kelompok kami. Dia pernah bilang ‘gue bukannya sok cool sih, tapi gue gak mau aja kalo ngerusak suasana mereka atau bikin mereka illfeel sama gue’. Tapi satu hal yang gue suka dari dia, dia itu gentleman dan selalu ada disaat kami para gadis-gadis di ambang labil ini ada masalah. Bahkan dia siap pasang badan jika ada salah satu dari kami disakiti oleh orang lain. Bagi gue, dia adalah sosok kakak laki-laki yang gak pernah gue punya.
“Alah lagak lu mau party segala, disuruh beli bir aja keringat dingin.” sahut Ina.
Ina adalah salah satu cewek yang populer di kampus. Dari segi penampilan, Ina adalah sosok cewek idaman. Diidamkan para lelaki untuk menjadi kekasihnya dan juga diidamkan oleh semua cewek untuk menjadi tolak ukur penampilan. Dengan perawakan tinggi semampai, badan langsing berisi, rambut panjang dan kulit putih. Siapa yang tidak ingin menjadi seperti dia? Hanya saja satu kekurangannya. Dia punya mulut pedas yang membuatnya diberi title ‘ICE QUEEN’. Jika dia gak suka sesuatu atau seseorang, siap-siap saja makan hati karena omongan pedas sekaligus nyelekitnya. Tapi sebenarnya dia adalah sosok yang jujur dengan perasaannya, dia tidak akan menutupi apapun yang sedang dia rasakan dan itu yang membuat kami tetap bersahabat beberapa tahun ini walaupun kita sering perang mulut karena hal sepele.
“Ya itu kan beda lagi. Bir sama party beda ya. Bir itu dosa, party itu senang-senang.” bela Herman
“Naon bedanya kamprit? Sama-sama seneng. Heran anjir gue sama lu. Tampang kece tapi otaknya rada sengklek.” nah kan mulut si Ina mah gitu, suka bener. Hehe
“Umm, ini mau ditaruh dimana Pai?” tanya Risa ditengah argumen gak penting Ina dan Herman.
Risa itu anaknya tuh pendiem dan pintar. Kutu buku sih lebih tepatnya. Dia suka banget bau buku baru, aromanya menenangkan katanya. Aku suka dari Risa itu karena anaknya gak banyak bacot kayak si Ina, dia juga ngerti situasi tanpa harus dijelaskan. TERKADANG. Karena kalau situasinya yang menjurus keisengan kita, dia gak akan ngerti. Kalau ada orang yang polosnya level anak sekolah dasar, dia bisa dibilang kayak gitu. Pernah waktu itu, kita lagi belanja di **mart dan si Ina. Ina ngeliat penjaga kasirnya itu cowok cakep, dia ngebisikin aku dan Herman kalau dia mau isengin si cowok itu. Kita sih udah ngakak ketawa duluan di barisan makanan ringan gara-gara ide Ina. Risa masih belum kita kasih tau waktu itu. Setelah semua belanjaan kita dapat, akhirnya kita ke meja kasir berniat mau bayar. Ina tiba-tiba nyeletuk ke cowok penjaga kasir itu.
“A, ada jual Fi*sta gak? Lagi pengen nih.” Kita di belakang barisan Ina udah nahan ketawa aja gara-gara celetukan Ina yang gayanya dibuat-buat menggoda gitu, tapi Risa masih diem ngeluarin semua belanjaan kita diatas meja kasir.
“Umm, mau rasa apa teh?” jawab aa cakep itu sambil senyam senyum.
“Emang ada rasa apa aja ‘a?” tanya Ina sambil senyum menggoda.
“Kalau saya sih enaknya rasa strawberry teh.” muka si penjaga kasirnya udah senyum-senyum mesum gitu.
Tiba-tiba Risa nyeletuk, “Emang nugget ada rasa strawberry, aku baru tau loh? Mau dong satu, aku belum pernah ngerasa.”
Dan kita pun bengong dengar omongan Risa. Herman langsung ngakak kencang gara-gara itu. Ingetin aku buat ngajarin Risa biar dia gak polos-polos amat.
ns 15.158.61.16da2