Entah kenapa wajah Risa sedikit lebih pucat dari biasanya dan sikapnya tidak seperti biasa. Dari tadi sewaktu aku dan Ina mengobrol, Risa hanya merespon dengan tatapan atau hanya anggukan kecil saja. Apa dia sakit? Tetapi aku tidak terlalu memperhatikannya karena perhatianku terfokus pada informasi tentang tempat aku tinggal yang diduga angker.
Tiba-tiba hawa dingin yang sejak tadi aku rasakan semakin tidak enak saja, ranting-ranting pohon bergerak padahal angin tidak terlalu kencang hingga bisa menggoyangkan ranting pohon itu. Perasaanku juga mulai terasa was-was, seolah-olah ada yang sesuatu yang mengganggu tetapi aku tidak bisa meraba apa yang sedang aku takutkan.
“Hey Sa, lo gapapa?” tanya Herman lagi tetapi hanya dibalas dengan gumaman tidak jelas dari mulut Risa.
Entah kenapa setelah aku amati wajah pucat Risa, aku seperti tidak mengenal raut muka yang sekarang ada di wajahnya. Tidak ada ‘ekspresi’ Risa yang aku kenal, seperti sosok didepanku ini terasa asing. Aku hanya memandang wajahnya saja tanpa berani untuk menyentuhnya sedangkan Ina dan Herman sudah merasa khawatir akan keadaan diam Risa.
Tidak berapa lama, aku mendengar sayup-sayup suara gumaman berupa nyanyian yang tidak jelas dari mulut Risa. Sontak aku langsung melihat wajahnya yang dari tadi menunduk, membiarkan rambut panjangnya terurai dan menutupi wajahnya. Ina berusaha menyentuh bahunya, tetapi Risa sedikit menghindar seolah-olah tidak ingin diganggu. Aku beranikan diri untuk membenarkan tatanan poni rambutnya agar wajahnya terlihat jelas.
Tetapi yang membuatku kaget adalah tatapan matanya yang langsung mendelik ke arahku saat aku menyelipkan rambut di daun telinganya. Tatapan tajam matanya membuat kudukku merinding, mengingatkanku pada sosok psikopat yang sering aku tonton. “Sa, lo gapapa?” tanyaku.
Risa tidak menjawab sedikitpun pertanyaan kami, dan hanya tertawa pelan sambil masih menundukkan kepalanya. Kami panik saat itu, takut kalau terjadi apa-apa pada Risa. Tiba-tiba tawanya semakin keras dan tak terkendali, beberapa orang yang sedang berada dekat dengan kami pun mulai memperhatikan, kami semakin menjadi panik dan tidak tahu harus bagaimana lagi.
Tiba-tiba Risa memandangku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan, matanya melotot kearahku sambil memegang lenganku dengan erat, “Ulah balik kaditu deui!” Dengan mata yang seperti ketakutan dia terus berbicara seolah-olah memperingatkanku akan sesuatu.
Seketika suasana mulai diluar kendali, beberapa teman-teman kampusku berusaha menahan Risa yang terus sama menarik lenganku, bahkan bisa kurasakan cengkraman kukunya melukai kulitku. Aku tidak sempat lagi mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Herman dan yang lainnya berusaha untuk menahan tubuh Risa yang sekarang dipegang oleh empat orang. Padahal dari postur Risa yang bertubuh kecil, ditahan oleh empat orang itu terlalu berlebihan.
“Ulah balik ka tempat eta deui lamun mbung paeh!” Aneh, itu bukan suara Risa, pikirku. Aku bisa melihat wajah Ina yang ketakutan mendengar apa yang dikatakan Risa, sedangkan wajah Herman menegang. Beberapa dari teman-temanku yang ikut membantu pun saling melempar pandangan karena ucapan Risa yang tiba-tiba itu.
“Assalamu’alaikum, nami abdi Kamil, nami didinya saha? Naon maksud didinya tadi? Ulah balik ka mana?” Kamil, salah satu teman skate Herman bertanya pada Risa yang dalam keadaan ditahan oleh teman-teman di lantai.
“Teu penting saha urang. Urang ngan ngingetan hungkul, maneh -menunjuk ke arahku- tong balik deui ka tempat eta. Nyaah ka nyawa maneh.” Jawab sosok didalam tubuh Risa.
Aku memang tidak terlalu percaya dengan hal gaib dan sebagainya, tetapi melihat gelagat Risa yang tidak biasa apalagi matanya. Ada sesuatu yang tidak beres, instingku terganggu saat melihat matanya yang lebih didominasi warna hitam dengan warna putih di tengah pupilnya. Itu bukan warna mata biasa, terasa lebih mengerikan. Apalagi dia -yang aku sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang merasuki Risa, sedang memperingatkanku. Aku berusaha mencerna apa yang dia coba sampaikan. ‘Tempat apa?’, ‘Kenapa aku yang diperingatkan?’, ‘Apa sebenarnya tujuannya merasuki Risa hanya untuk memperingatkanku?’. Begitu banyak pertanyaan yang muncul tetapi ku tepis, mengingat keadaan Risa yang harus lebih dulu dibereskan.
“Lamun urusan didinya ngan saukur ngingetan hungkul, mereun ayeuna didinya geus tiasa indit ti awak ieu. Sing karunya ka awak nu didinya tunggangan.” Kamil mencoba untuk membujuk agar siapapun -atau apapun dia bisa keluar dari tubuh Risa.
“Ayeuna urang indit, ngan urang bakal datang deui lamun misalkan maneh teu ngadengekeun omongan urang.” Masih melihat dan menunjuk ke arahku, perlahan mata Risa meredup hingga akhirnya dia jatuh terkulai diantara anak-anak yang memeganginya.
*
*
*
TRANSLATE SUNDA - BAHASA :
“Ulah balik kaditu deui!” = “Jangan balik kesana lagi!”471Please respect copyright.PENANA2P8Nli8gVy
471Please respect copyright.PENANAsiwYSxMG16
“Ulah balik ka tempat eta deui lamun mbung paeh!” = “Jangan balik ke tempat itu lagi kalau gak mau mati!”471Please respect copyright.PENANAFkXH6UslTW
471Please respect copyright.PENANAaI4uFLZz7K
“Assalamu’alaikum, nami abdi Kamil, nami didinya saha? Naon maksud didinya tadi? Ulah balik ka mana?” = “Assalamu’alaikum, nama saya Kamil, nama kamu siapa? Apa maksud kamu tadi?”471Please respect copyright.PENANAha7zIk2tvy
471Please respect copyright.PENANAwbN6kx0Ysy
“Teu penting saha urang. Urang ngan ngingetan hungkul, maneh -menunjuk ke arahku- tong balik deui ka tempat eta. Nyaah ka nyawa maneh.” = “Gak penting siapa saya. Saya cuma mengingatkan, kamu --menunjuk ke arahku- jangan balik lagi ke tempat itu. Sayang nyawa kamu.”471Please respect copyright.PENANA88vYwPaeX0
471Please respect copyright.PENANABKuBXLPq6A
“Lamun urusan didinya ngan saukur ngingetan hungkul, mereun ayeuna didinya geus tiasa indit ti awak ieu. Sing karunya ka awak nu didinya tunggangan.” = “Kalau urusan kamu hanya sekedar mengingatkan saja, mungkin sekarang kamu bisa pergi dati tubuh ini. Kasihan sama badan orang yang kamu masuki.”471Please respect copyright.PENANABnPadsbNZ8
471Please respect copyright.PENANADlPYB8NEE5
“Ayeuna urang indit, ngan urang bakal datang deui lamun misalkan maneh teu ngadengekeun omongan urang.” = “Sekarang saya pergi, tapi saya bakal datang lagi kalau misalkan kamu gak mendengarkan omongan saya.”