Rombongan mereka akhirnya bisa menikmati santapan makan malam mereka, walaupun sebenarnya beberapa dari mereka masih sibuk dengan pikiran yang berkecamuk di kepala.
“Goy, bukannya kita tuh seharusnya udah deket ya sama puncak? Soalnya di awal pas sesudah tebing harusnya kita sampai di HM 39?” Tanya Ngani sambil mengaduk mie instan di tangannya itu.
“Iya kayaknya dikit lagi sampai tapi karena kita kemalaman mending istirahat aja.” jawab Igoy. “Besok kita bakal ketemu tebing yang lebih curam lagi dari ini jadi siapin mental aja, Pai.” sambungnya sebelum menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
“Gampang lo ngomong, njir.” kata Pai sambil misuh, pasalnya ia sangat takut dengan ketinggian. Bukan phobia tetapi entahlah, ia sangat-sangat tidak menyukai ketinggian. Ia akan menangis bahkan sampai pingsan jika terlalu lama berada di ketinggian. Jangankan tebing curam, melewati jembatan layang yang berada di tengah kota saja ia tidak berani. Kalaupun harus melewatinya, ia akan berpegangan pada pinggiran besinya dan berakhir dengan wajah pucat setelahnya.
“Itung-itung buat olahraga mental, Pai. Siapa tau nanti phobia lo ilang.” kata Ngani dengan santainya sambil membakar sebatang rokok setelah selesai menyantap makanannya habis tak bersisa.
“Bukan phobia, serius ini mah bukan phobia deh soalnya gak terlalu parah kayak orang yang phobia kebanyakan.” sanggah Pai yang tetap tidak ingin menganggap jika itu bukan phobia, hanya ketakutannya semata.
“Terserah kata tuan putri aja, para prajurit males balesnya.” kata Ngani mengejek Pai dan disambut tawa oleh teman-teman yang lainnya.
Malam hari itu, sebagian dari mereka menghabiskan untuk mengistirahatkan tubuh untuk menyambut kegiatan mendaki di hari selanjutnya sedangkan untuk para laki-laki menghabiskan waktunya di luar tenda yang memang hanya dipasang satu saja untuk para perempuan. Hitung-hitung agar tidak membongkar banyak peralatan, mereka juga berjaga sambil mendiskusikan perjalanan esok hari.
****
Sabtu, 04.00 wib
Dini hari mereka sudah mulai bangun dan mempersiapkan sarapan ringan yang bisa mengisi tenaga mereka di pagi hari itu. Sedangkan para pria sudah bersiap untuk merapikan tenda serta peralatan lainnya kedalam carrier dan menyisakan alat masak saja.
Tidak banyak pembicaraan yang terdengar saat itu, hanya suara sendok dan misting saja yang terdengar. Hingga saat mereka sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju pundak dan mereka melakukan doa bersama sebagai ritual seperti biasa.
Igoy sudah mengingatkan jika jalur yang akan mereka tempuh di depan adalah trek tebing yang curam. Sekitar 7-8 webbing Igoy pasang untuk membantu mereka melewati tebing-tebing itu. Igoy memang spesialis untuk Panjat Tebing, jadi tidak mengherankan kalau ia sudah sangat mahir untuk melakukan semua itu bahkan ia sudah sempat mengikuti beberapa perlombaan antar Mapala se-Indonesia.
“Pelan-pelan aja, jangan terlalu fokus ke bawah. Yang penting pegangan kamu udah bener.” kata Riad menyemangati Pai yang sudah pucat pasi memegang erat tali webbing untuk melewati jalan yang sudah dibuka oleh Igoy.
“Tau kalau ada kek gini, mending aing ikutan susur pantai aja anjir.” rengek Pai ketakutan yang hampir setiap detik melihat ke arah bawah tebing.
Riad mengelus punggungnya pelan sambil berkata, “Pelan-pelan aja, Ngani di tengah bakal nungguin maneh. Gak usah takut, kita disini.” ucapan Riad itu mau tidak mau membuat Pai memberanikan diri untuk menggerakkan tubuhnya kedepan. Ia percaya kalau teman-temannya itu akan melindunginya, apapun yang terjadi teman-temannya bakal selalu ada di depan dan di belakangnya.
Dengan perjuangan juga derai air mata yang dramatis akhirnya Pai berhasil melewati tebing curam itu. Beberapa dari mereka yang sudah melewati jalan curam itu hanya menertawakan keadaan Pai yang hampir seperti anak kecil menangis yang ditinggalkan orang tuanya itu.
Tidak terasa setelah beberapa lama mereka berjalan akhirnya palang HM menunjukkan HM 49 yang berarti sebentar lagi mereka akan menemukan puncak. Dengan disambut oleh pohon-pohon Akasia, akhirnya mereka sampai di puncak tertinggi gunung Salak.
Daerah puncak yang terbuka dan daerah yang kami digunakan untuk berkemah yang dinaungi pohon-pohon Akasia. Setelah mendirikan tenda, mereka lanjut untuk mengambil dokumentasi di sekitar puncak untuk keperluan laporan pendakian mereka.
ns 15.158.61.41da2