Ketika uang Bapak sudah lumayan banyak, dia membangun kamar mandi di belakang rumah. Sebelumnya untuk keperluan mencuci baju, buang air, dan mandi kami lakukan di kamar mandi umum atau ke sungai terdekat yang jarak sebenarnya agak jauh. 4599Please respect copyright.PENANAgRTeIEyYFq
Untuk beberapa bulan, kami gak perlu lagi bolak-balik keluar untuk mencuci atau mandi. Tapi suatu pagi aku mendengar Mama mengeluh soal air yang memancur dari lantai kamar mandi. Bapak memeriksa kamar mandi dan ketahuan kalau salah satu pipa air bocor.
“Harus keluar lagi deh,” keluh Mama. “Padahal anak harus mandi, Mama juga mau mandi.”
“Palingan sehari kelar,” kata Bapak yang masih berjongkok sambil memeriksa pipa.
Akhirnya aku keluar bersama Mama ke kamar mandi umum. Jaraknya agak jauh dan harus melewati beberapa rumah. Kami berjalan cepat-cepat karena aku harus berangkat sekolah.
Sesampainya di kamar mandi umum, kami mengantri karena ada banyak orang yang mandi pagi. Kebanyakan adalah teman-temanku sendiri bersama orangtuanya yang juga mau sekolah. Sialnya, kami adalah orang yang mengantri terakhir.
Begitu giliranku tiba, aku mandi duluan, sementara Mama menunggu di luar.
Kuperhatikan kalau kamar mandi umum itu gak ada gantungan pakaiannya. Pakaian disampirkan di dinding kamar mandi yang bagian atasnya lebih lowong. Mama sering mengeluh kalau pakaiannya sering kotor kalau disampirkan di celah dinding, tapi gak ada pilihan lain.
Mendadak aku dapat ide nakal…
Selesai mandi, aku bergantian sama Mama. Ketika aku masih lebih kecil, biasanya aku mandi bareng Mama, tapi rupanya Mama sudah menganggapku lebih besar jadi mandinya bergantian. Gak masalah karena aku bisa melancarkan ide nakalku.
Aku menyelinap ke samping kamar mandi. Sebagian pakaian Mama tersampir keluar seperti dugaanku. Cepat-cepat kutarik pakaian Mama sekaligus handuknya, lalu aku lari ke dalam hutan. Aku sempat mendengar suara Mama memekik kaget.
Pakaian Mama kubuang ke lubang bakaran sampah, lalu aku balik ke kamar mandi. Mama rupanya masih di dalam kamar mandi. Ia memanggil-manggilku.
“Baju Mama hilang!” teriaknya.
“Tadi ada anak-anak ngambil baju Mama, terus lari ke hutan,” kataku. Suaraku kubuat segugup mungkin.
“Astagfirulloh, handuknya juga diambil. Mama gak ada baju lain!”
Suasana hening sebentar.
“Di luar ada orang gak?” tanya Mama.
“Gak ada siapa-siapa Ma,” jawabku.
“Okelah kita cepet-cepet pulang sekarang,” kata Mama. Pintu terbuka dan Mama keluar dalam keadaan hampir telanjang bulat. Pakaian yang menempel di tubuhnya cuma jilbab dan sempak. Aku gak sempat mengambil kedua barang itu karena terburu-buru.
“Amanlah ya?” Mama berusaha menenangkan diri.
“Kayaknya sih aman Ma,” kataku sambil memandang takjub ke kedua bongkahan teteknya yang telanjang. Kupegang paha Mama yang terasa dingin karena masih basah.
“Yuk kita jalan,” ajak Mama.
Kami melangkah cepat-cepat di bawah bayang-bayang pepohonan. Di sekeliling kami sepi karena masih pagi. Mama tampaknya bisa bernapas lega.
Tantangan sebenarnya adalah melewati rumah-rumah tetangga.
Mama terdiam sebentar sambil mengamati sekitar. Rumah-rumah tetangga memang jaraknya agak berjauhan, tapi tetap saja menegangkan kalau harus lewat di depan mereka sambil telanjang bulat. Kami gak mungkin lewat belakang karena rumah-rumah itu dipasang pagar sampai ke belakang.
“Kita lari ya,” kata Mama. “Satu… dua… tiga!”
Kami pun berlari melewati rumah pertama. Ember kecil berisi peralatan mandi saling berbenturan di tanganku. Mama gak bisa berlari kencang karena tubuhnya yang gemuk.
Setelah susah payah, kami berhasil melewati rumah pertama. Masih ada dua rumah lagi yang harus dilewati.
Baru saja bersiap lari, tiba-tiba pintu depan terbuka. Bu Ainur dan anaknya keluar. Mereka bersiap-siap pergi ke sekolah. Begitu melihat kamu, kedua mata Bu Ainur melotot, sementara anaknya tertawa.
“Astagfirulloh Bu!” seru Bu Ainur.
Aku mengira Mama bakal terus berlari, tapi dia malah berhenti dan menjelaskan ke Bu Ainur kenapa dia telanjang bulat.
“Waduh masa ada maling baju di sini,” kata Bu Ainur.
“Iya anak saya tadi sempat ngejar, tapi keburu hilang,” kata Mama.
Bu Ainur menatap Mama dari bawah ke atas. “Ibu mendingan cepat-cepat sampai rumah deh. Jangan sampai dilihat orang lain.”
Kami buru-buru melanjutkan perjalanan. Sampai di rumah ketiga, aku kecewa karena gak ada orang yang melihat Mama. Kami pun sampai di rumah.
Dari dalam rumah terdengar suara dentingan palu menghantam lantai. Bapak masih memperbaiki kamar mandi sendirian. Pintu depan gak dikunci, jadi kami bisa masuk diam-diam.
“Loh sudah sampai toh,” kata Bapak saat melihat Mama yang sudah berpakaian. “Kok kalian kayak capek banget. Habis lari-lari?”
“Olahraga sedikit,” jawab Mama sambil mengedipkan mata ke arahku.
ns 15.158.61.54da2