Kejadian ini terjadi tahun 2002, tepatnya saat Piala Dunia sepak bola. Kejadian ini sempat bikin geger satu desa.
Aku ingat saat itu sudah masuk final Piala Dunia, Jerman lawan Brasil. Sebenarnya aku kurang suka sepak bola, tapi semua orang lagi fokus sama Piala Dunia jadi mau tidak mau aku pun ikut nonton.
Sudah jadi kebiasaan orang desa kalau ada Piala Dunia, mereka menggelar nonton bareng di lapangan pakai proyektor. Hampir semua orang berkumpul di lapangan, termasuk aku, Mama, dan Bapak. Meski ikut nonton, aku lebih tertarik sama jajanan yang dijual daripada pertandingannya.
Bapak duduk di bersila di barisan paling depan bareng teman-temannya. Mama yang juga ikut-ikutan nonton karena diajak Bapak, memilih nonton di belakang. Aku duduk di sebelah Mama sambil makan gorengan.
Orang-orang berteriak mendukung tim masing-masing. Aku dan Mama yang tidak mengerti sepak bola, cuma tersenyum melihat kelakuan mereka.
“Kalau Jerman kalah kamu bayar ya,” ujar orang di sebelahku ke temannya.
“Gampang. Kamu juga bayar kalau Brasil kalah,” jawab temannya.
Oh rupanya mereka lagi taruhan. Selain karena memang suka pertandingannya, orang-orang di desaku juga suka bertaruh di sepak bola.
Nah, tiba-tiba saja tercetus ide di kepalaku. Ide jahat memang, tapi hasilnya tidak bakal mengecewakan.
“Mama dukung mana nih?” tanyaku.
“Gak tahu nih,” jawab Mama. “Kayaknya Jerman lebih jago. Pasti menang deh.”
“Mama yakin?”
Mama mengangguk. “Yakin deh.”
“Gimana kalau kita taruhan,” kataku.
“Huuuuus gak boleh itu taruhan!” seru Mama.
“Tapi kita gak taruhan uang Ma,” sahutku. “Kita taruhan yang lain.”
“Apa itu Nak?”
"Gimana kalau…," aku menarik napas dalam-dalam. "... Mama nurutin yang aku mau kalau Jerman kalah."
Mama tertawa. "Terus kalau Brasil kalah?"
"Ya aku nurutin yang Mama mau," jawabku.
"Mama mau kamu belajar dan rangking 1!" kata Mama.
"Gimana Ma? Mau gak?"
Mama diam sebentar. "Oke deh, Mama mau."
"Mama janji bakal nurut kalau Jerman kalah ya?" Aku menegaskan kata-katanya.
"Insyaalloh, Mama nurut. Tapi pasti Jerman menang deh," kata Mama.
Di sepanjang pertandingan, jantungku berdebar kencang karena pertandingan ini menentukan segalanya. Aku jadi mengerti kenapa orang-orang kecanduan bertaruh; sensasi tegang ini menambah keseruan jadi berlipat-lipat ganda.
Hasilnya bisa ditebak, Brasil menang melawan Jerman. Aku bertepuk tangan bersama orang-orang yang juga mendukung Brasil. Sementara orang-orang yang mendukung Jerman, termasuk Mama, cuma bisa tertawa kecewa.
Aku terlalu senang sampai pundak Mama kuguncang-guncang. “Mama kalah! Mama kalah! Mama harus nurut ya!”
“Iya deh iya deh,” sahut Mama. “Bapakmu mana nih? Pengen cepat pulang. Banyak bener nyamuk di sini.”
Beberapa menit kemudian, Bapak muncul. Wajahnya terlihat kecewa. Dia pasti mendukung Jerman.
“Yuk pulang,” kata Bapak dengan suara lemas.
Kami pun pulang bareng. Di sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan untuk Mama.
Besoknya, aku hendak berangkat sekolah. Bapak sudah berangkat kerja, jadi tinggal Mama yang lagi menyiapkan sarapan di dapur.
Aku sarapan pakai telur ceplok dan nasi. Makanan itu rasanya tersendat di tenggorokan karena aku tidak selera. Bukan karena tidak enak, tapi karena tegang memikirkan apa Mama benar-benar mau menepati janjinya.
Aku berhenti makan. Kudekati Mama yang lagi berjongkok di kamar mandi sambil membersihkan ikan.
Kupeluk Mama dari belakang. Mama tetap meneruskan kegiatannya.
Leher Mama kucium-cium. Mama cuma tersentak sedikit, mungkin karena geli.
“Mama kan kemarin kalah. Aku boleh minta sesuatu gak?” tanyaku.
“Mau minta apa kamu?” tanya Mama tanpa menoleh.
“Kasih lihat tetek Mama dong,” pintaku.
“Apa-apaan sih kayak bayi aja,” jawab Mama. Aku kira Mama bakal memarahiku, tapi kulihat ia tersenyum.
“Mama kemarin bilang mau nurut,” kataku menagih janji.
Kurasakan dada Mama menghela napas panjang. “Iya deh iya.”
Kulepas pelukanku. Mama membalikkan badan. Ia membuka semua kancing dasternya, lalu mengeluarkan tetek kirinya.
"Lihat nih tetek Mama," ujarnya sambil memegang teteknya agar tidak jatuh.
Meski sudah pernah melihat teteknya, aku tetap saja takjub memandang bongkahan tetek Mama yang sebesar pepaya dan berurat hijau. Pentilnya yang cokelat tua tampak siap disedot kapan saja. Sepertinya Mama bisa memberi makan satu desa dengan tetek sebesar itu!
“Kasih lihat dua-duanya dong Ma,” pintaku lagi.
“Kok maksa kamu,” kata Mama.
“Ayo dong Ma, ayo dong Ma,” aku mendesaknya.
Sambil tersenyum, Mama mengeluarkan tetek kanannya. Kini kedua teteknya bergelantungan keluar.
Aku menelan air liur. “Aku pegang boleh ya Ma.”
"Pegang dah," kata Mama. Lucunya, Mama malah menggoyangkan kedua teteknya seolah menantangku untuk memegangnya.
Tidak pakai basa-basi, aku langsung meremas kedua teteknya. Kurasakan bongkahan teteknya yang empuk, tapi padat.
"Pelan-pelan dong," kata Mama.
Kupelankan remasanku. Jari-jariku bergerak ke pentil Mama. Kutarik kedua pentilnya karena gemas.
"Mama bilang pelan-pelan!" seru Mama.
"Hehehehe sori Ma."
"Udahan ah. Udah jam berapa ini? Nanti kamu terlambat sekolah." Mama memasukkan kedua teteknya ke dalam daster kembali.
Aku cuma bisa menatap dada Mama. Ah, gila sih ini! Kontolku sampai memberontak ingin keluar dari celana. Tapi aku harus sadar diri.
Di sekolah, aku sama sekali tidak konsentrasi belajar. Pikiranku cuma membayangkan Mama, Mama, dan Mama. Tidak sabar rasanya keluar dari tempat membosankan ini dan pulang ke rumah!
Akhirnya lonceng pulang berdentang. Aku bergegas memasukkan buku ke ransel, lalu berlari pulang.
Mama sedang mengupas bawang saat aku tiba di rumah. Ia menatapku heran. "Loh kok tumben cepet pulang?"
"Ngantuk Ma," kataku beralasan.
"Udah laper? Mama belum masak."
"Gak laper sih Ma," jawabku sambil memerhatikan Mama. Ia masih mengenakan daster tadi pagi.
"Ya udah ganti baju dulu sana biar gak bau," kata Mama.
Aku masuk ke kamar dan berganti baju. Aku langsung duduk bersila di depan Mama.
"Dah lapar?" tanya Mama lagi.
"Belum Ma. Belum."
"Tumben nemenin Mama." Mama terus mengupas bawang.
"Lha aku sering nemenin Mama kok," ujarku.
Kuamati setiap lekuk tubuh Mama yang tercetak jelas di dasternya. Tubuhnya yang gempal membuat hampir semua daster yang dikenakannya jadi sempit.
Mama mengupas bawang sambil duduk bersila, akibatnya bagian bawah dasternya semakin tertarik ke atas. Napasku tercekik saat melihat beberapa helai rambut yang menyeruak keluar dari bagian bawah dasternya.
Mama tidak pakai sempak!
"Ma…"
"Ya sayang?"
"Boleh gak…," aku ragu-ragu mengucapkannya.
"Ya?" Mama menatapku.
Kukumpulkan keberanian untuk mengucapkannya. "Boleh gak pegang tempat pipis Mama?"
"Dari tadi mintanya aneh-aneh aja kamu!" seru Mama.
"Ayo dong Ma. Janji kemarin mau nurut."
Mama menghela napas. "Pelan-pelan pegangnya. Jangan keras-keras kayak kamu pegang tetek Mama tadi."
Aku berjongkok mendekati Mama. Kujulurkan tanganku ke memeknya. Ah, bulu jembut Mama yang kasar menggesek telapak tanganku.
Sebelumnya aku sudah pernah melihat memek wanita, tapi cuma lewat majalah. Kali ini aku merasakannya sungguhan!
Mama tidak bergeming saat telapak tanganku menggesek-gesek memeknya. Mungkin dia diam-diam menikmati atau memang bodo amat sama kelakuan anaknya, entahlah.
Jari telunjuk dan jempolku kuselipkan ke bibir memeknya. Mama tersentak. "Mau ngapain kamu?"
"Penasaran aja Ma dalemannya kayak gimana," jawabku.
Mama diam saja. Aku anggap itu lampu hijau untuk terus melakukan aksiku.
Bibir memeknya kubuka pelan-pelan. Rongga memeknya gelap dan agak kemerahan. Jari telunjuk dan jempolku sedikit basah kena lendir yang melapisi rongga memeknya.
"Oh jadi gitu bentuknya." Aku mengganguk-angguk seolah belajar hal baru.
"Udah, mau sampai kapan kamu buka-buka begitu. Tutup lagi," kata Mama.
"Bentar Ma, asik juga nih."
Aku terus membuka tutup memeknya. Lendir di rongga memeknya semakin banyak.
"Udah, udah, Mama mau masak." Mama menepis tanganku dan bangkit dari duduknya.
"Ma minta satu lagi dong," kataku.
"Mau apalagi? Pegang tetek, udah. Pegang tempat pipis Mama, udah juga."
"Pegang pantat Mama ya boleh ya," pintaku.
"Dari tadi ada-ada aja kamu," kata Mama.
Mama berdiri di depan kompor untuk menumis bumbu-bumbu dapur yang sudah dipotong kecil-kecil. Aku memeluknya dari belakang. Saat itu tinggi badanku cuma setara pantatnya, jadi wajahku tepat berada di pantat Mama.
Kugesek-gesek wajahku ke pantatnya yang masih terbungkus daster. Sensasi hangat menjalar di wajahku. Mama tetap meneruskan kegiatannya seolah-olah tidak terganggu.
Bagian bawah daster Mama kunaikkan sampai melewati pinggang. Pantat telanjang Mama menyembul keluar. Keringat membuat pantat Mama berkilauan tertimpa sinar matahari yang menembus jendela.
PLAK!
Kutampar pantat Mama sekali.
Mama tidak bereaksi.
PLAK!
Kutampar lagi.
Mama tetap menyiapkan bumbu dapur. Jelas ia tidak peduli apa yang aku lakukan! Mungkin ia mengira aku sedang bercanda saja.
Kuselipkan jari-jariku ke belahan pantat Mama, lalu kubuka sedikit. Anus Mama yang kecokelatan menganga.
“Udahan ah. Kok makin parah kamu,” tegur Mama.
“Dikit lagi ya Ma,” kataku sambil terus memerhatikan anusnya. Oh jadi gitu bentuk anusnya, lucu juga.
Mama lanjut masak, sementara aku ke kamar. Dadaku masih berdebar membayangkan kejadian barusan. Siapa sangka Mama mengizinkanku melihat seluruh tubuhnya?
Sambil memikirkan Mama, mataku memberat dan aku pun tertidur.
Sorenya aku terbangun karena mendengar Mama berbicara dengan seseorang di luar. Aku mengintip di jendela. Rupanya Mama sedang mengobrol dengan penjual ayam potong yang sering lewat. Aku segera keluar dari kamar dan mendekati mereka.
“Cepetan makan, kamu belum makan dari tadi,” ujar Mama saat melihatku muncul di belakangnya.
“Cuci muka dulu, masih ngantuk tuh,” ujar penjual ayam.
Aku memeluk Mama dari belakang. Kutempelkan wajahku ke pantatnya.
“Udah gede masih manja bener,” ejek penjual ayam.
“Memang manja bener dia,” Mama membenarkan.
Mereka lanjut ngobrol soal Piala Dunia kemarin. Mama cuma sok paham saja, padahal aku tahu dia gak mengerti apa-apa soal sepak bola.
Tanganku masuk ke bagian bawah dasternya. Paham Mama kuelus. Kedua kakinya bergerak sedikit, mungkin ia merasa geli, tapi Mama gak menegurku dan masih lanjut ngobrol.
Kupegang tepi bagian bawah daster Mama, lalu aku naikkan sampai melewati pinggangnya. Pantat telanjangnya menyembul keluar.
Mama tersentak, begitu pula si penjual ayam.
"Eh ngapain kamu!" seru Mama.
“Mama janji loh mau nurut,” kataku. Jujur saja, aku takut mengatakan itu.
“Ya tapi gak gini juga.” Mama menepis tanganku dan menurunkan dasternya lagi.
“Gak mau! Gak mau! Mama udah janji!” Aku berusaha menaikkan bagian bawah dasternya. Mama menahan tanganku, tapi aku bersikeras.
"Sekali ini aja Ma!"
Mama melirik ke si penjual ayam yang tampak kebingungan, lalu menatapku dalam-dalam. "Oke, sekali ini aja ya," kata Mama.
Aku mengangguk senang.
Mama melirik si penjual ayam lagi. "Anak saya memang suka minta aneh-aneh. Om jangan risih ya."
"Oh gak Bu. Santai aja," sahut si penjual ayam.
Tangan Mama mengendur. Aku langsung menaikkan bagian bawah dasternya lagi. Tidak tanggung-tanggung, aku naikkan sampai melewati udelnya.
Si penjual ayam pura-pura menata daging. Aku cuma tersenyum melihatnya sesekali melirik ke memek Mama yang berbulu. Iyalah, cowok mana yang menolak melihat pemandangan indah di depan mata?
Waktu itu badanku masih pendek, jadi aku harus jinjit supaya bisa menaikkan daster Mama sampai melewati seluruh perutnya.
Sekarang bagian tubuh Mama yang tertutup cuma teteknya saja. Dari perut sampai ujung kakinya telanjang bulat.
Mama berusaha tenang dan mengajak ngobrol si penjual ayam. Lucunya, suaranya terbata-bata karena gugup. Begitu pula si penjual ayam.
“Saya ambil tiga kilo aja deh,” kata Mama sambil membuka dompet yang dikepitnya di ketiak.
Si penjual daging menerima uang dari Mama dan menyerahkan bungkusan daging ayam yang sudah ditimbang. Matanya terus melirik ke memek Mama. Bungkusan di tangannya sampai terlewat.
“Uangnya pas ya,” kata Mama. Ia menutup dompetnya lagi.
“Pas Bu,” balas si penjual ayam. Uang di tangannya dimasukkan ke laci kecil di atas gerobak.
Mama bergegas pulang. Aku mengikuti Mama sambil menoleh ke si penjual ayam yang masih tertegun mengamati pantat telanjang Mama.
Begitu sampai di dalam rumah, Mama buru-buru menurunkan dasternya lagi.
“Udah deh ini yang terakhir kamu minta macam-macam!” seru Mama.
“Lha Mama sendiri udah janji kemarin,” aku tidak mau kalah.
“Ya tapi gak kasih lihat pantat Mama ke orang lain dong,” balas Mama.
“Mama selalu ngajarin biar gak bohong, nah ini Mama sendiri bohong,” kataku. “Buktikan dong kalau Mama juga nepatin janji.”
Aku tahu ucapanku barangkali tidak setegas seperti itu, tapi kurang lebih begitulah yang aku ingat.
Entah karena Mama terlalu polos, Mama cuma menghela napas dan bilang. “Oke Mama tepatin, tapi kamu jangan minta aneh-aneh.”
“Aku maunya aneh-aneh Ma,” kataku. “Mama ‘kan udah janji, terserah aku mau minta apa.”
Setelah itu aku lupa apa yang terjadi, tapi aku masih ingat kalau Mama mengomel panjang. Meski begitu, ia bilang bakal menepati janjinya sendiri.
Jujur saja, saat itu aku seperti hidup di dunia dongeng. Aku punya ibu yang semok, terlalu lugu, gampang percaya sama saya yang masih bocah. Barangkali aku agak kasar kalau bilang IQ Mama rendah. Tapi itu justru bagus karena aku bisa mengusili Mama.
Saat itu aku punya banyak rencana ke Mama.
Seminggu kemudian, Mama bilang mau pergi ke arisan di RT sebelah. Ia memang aktif di kegiatan ibu-ibu rumah tangga, termasuk pengajian, kerja bakti, dan arisan. Bahkan ia sering ke desa lain untuk ikut acara organisasi desa.
Di desa yang rumahnya masih berjauhan dan banyak kebun, rumah yang beda RT saja jaraknya bisa sepuluh meter lebih. Begitu juga rumah yang jadi tempat arisan nanti, kita harus melewati sekitar lima atau enam rumah yang jaraknya saling berjauhan untuk sampai ke sana.
Begitu mendengar Mama mau ke arisan, aku terpikir untuk mengetes keberanian dan janji Mama. Aku pun mendesak ikut ke arisan itu.
“Lah tumben mau ikut, biasanya gak mau,” kata Mama.
“Bosen di rumah terus,” kataku.
“Ya udah, ganti baju cepetan,” kata Mama yang sudah bersiap-siap. Ia mengenakan gamis panjang yang menutupi seluruh tubuhnya, jilbab, dan tas jinjing. Meski ia memakai gamis, tetap saja lekuk tubuhnya masih tercetak jelas. Bahkan aku bisa melihat garis-garis sempak dan behanya yang tercetak di permukaan gamis.
Lima menit kemudian aku sudah berganti pakaian. Mama mengunci pintu rumah. Bapak biasanya pulang sebelum magrib dan ia punya kunci sendiri, jadi kami tidak mencemaskan Bapak.
Setelah yakin semua aman, aku dan Mama pun berjalan kaki menuju tempat arisan.
Baru beberapa langkah, aku sudah meminta Mama untuk memperlihatkan teteknya.
“Yang bener aja kamu, ini di jalan loh,” kata Mama.
“Sepi gini aman kok,” kataku. ‘Lagian ‘kan Mama udah janji.”
“Oke deh, tapi kasih tahu Mama kalau ada orang lewat ya,” kata Mama. Ia melepas kancing atas gamisnya. Tangannya masuk ke dalam kerah gamis yang melonggar dan mengeluarkan tetek kanannya.
“Aduh susah bener kena beha,” keluh Mama.
“Mama udah tahu teteknya gede masih aja pakai beha. Lepas aja behanya Ma,” kataku.
Mama mendelik. “Ya Mama malulah kalau lepas beha.”
“Lepas aja Ma,” kataku lagi.
Mama menghelas napas panjang. “Kamu ini ada-ada aja.”
Mama membuka semua kancing gamisnya. Kedua teteknya menyembul keluar, satu dalam keadaan telanjang, satunya lagi masih tertutup beha. Ia menyelipkan kedua tanganya ke belakang. Terdengar suara klik pelan. Beha yang dipakainya mengendur. Ia menarik beha itu sampai lepas.
“Nih, puas kamu?” tanya Mama. Ia menaruh beha itu ke dalam tas jinjingnya. Beha itu begitu besar sampai sebagian talinya masih menyembul keluar dari dalam tas.
“Gitu dong Ma. Mama bener-bener nepatin janji,” kataku.
Jadi Mama berjalan kaki dengan kedua teteknya menyembul keluar. Ah andai saja saat itu sudah ada handphone berkamera….
Beberapa rumah sudah kami lewati. Rumah-rumah itu sepi karena penghuninya masih berkebun. Meski terlihat sepi, Mama terus mengamati rumah-rumah itu.
Melihat kedua tetek telanjang Mama yang bergoyang seirama langkahnya membuat kontolku nyut-nyutan. Aduh, ini jauh lebih seru dari apa pun!
Tiba-tiba dari arah depan terdengar suara sepeda motor melaju.
Mama tidak sempat menutupi kedua teteknya saat sepeda motor itu lewat. Si pengendara sepeda motor menoleh ke Mama saat melintas di sebelah kami. Dia tidak pakai helm, jadi aku bisa melihat mata si pengendara sepeda motor yang melotot ke arah kedua tetek Mama.
"Kok kamu gak bilang kalau ada motor?" Mama menatapku kesal.
"Mana aku tahu Ma. Motornya cepet gitu."
"Aduh gimana kalau dia kasih tahu ke orang-orang," ujar Mama cemas.
Kami hampir tiba di rumah Bu Endah, tetanggaku, yang jadi tempat arisan. Mama memasukkan kembali kedua teteknya ke dalam kerah gamis dan mengancingnya.
"Assalamualikum," sapa Mama ke ibu-ibu yang berdiri di halaman rumah.
"Walaikumsalam. Masuk Bu," sahut Bu Endah dari dalam rumah. Ia lagi sibuk menata cemilan.
"Mau bergosip dulu," kata Mama. Beberapa detik kemudian ia sudah tenggelam dalam gosip bareng ibu-ibu yang lain.
Aku duduk di teras sambil makan cemilan yang ditawarkan Bu Endah. Kuamati Mama yang lagi asik ngobrol. Di antara ibu-ibu lain, tetap Mama yang paling cantik dan seksi.
Lama-lama aku bosan juga makan cemilan. Aku turun dari teras rumah, lalu mendekati Mama.
"Eh tumben anaknya ikut," ujar Bu Siti, tetangga sebelah rumah.
"Katanya bosen di rumah," sahut Mama sambil mengelus kepalaku. "Ya baguslah, daripada di rumah melulu."
"Di sini jarang anak-anak seusianya. Kebanyakan udah pada gede semua," sahut Bu Ira, tetangga yang rumahnya cukup jauh dari rumahku.
Aku memeluk kaki Mama dari belakang, sementara topik gosip mereka berganti haluan jadi soal anak-anak di kampung.
Kutempelkan wajahku ke pantatnya yang hangat. Rasanya ingin kubenamkan wajahku dalam-dalam ke pantatnya.
Sambil terus memeluknya, kedua tanganku bergerak ke bagian bawah gamisnya. Entah Mama sadar atau tidak, tanganku meraih bagian bawah gamisnya, lalu kunaikkan sampai pahanya kelihatan.
Orang yang pertama kali menyadarinya malah Bu Ira.
"Anaknya usil banget tuh," kata Bu Ira.
Mama menoleh ke bawah. Bagian bawah gamisnya sudah terangkat sampai melewati pahanya. Ia menggeleng. "Gak apa-apa Bu, sudah biasa kok ini."
Ah Mama tampaknya mengerti kelakuanku. Bagian bawah gamisnya kugulung sampai melewati pantatnya. Ibu-ibu itu kaget melihat sempak hitam Mama mulai terlihat.
"Waduh sempaknya kelihatan tuh Bu," sahut ibu-ibu lain.
"Udah biarin aja, nanti dia diem sendiri," kata Mama.
Gamis itu kugulung lagi sampai melewati perutnya. Aku bisa mencium aroma keringat punggungnya yang telanjang.
"Aduh Bu cepetan tutup sebelum ada cowok yang lihat," ujar Bu Siti.
Belum selesai ia bicara, sempak Mama kupelorot sampai ke mata kaki. Ibu-ibu itu memekik histeris. Mama juga kaget melihat memeknya dilihat ibu-ibu lain.
"Apa-apaan kamu!" seru Mama. Aku mundur karena mengira akan ditampar, ternyata Mama cuma membungkuk dan menarik sempaknya ke tempat semula.
Di saat bersamaan, Bu Endah memanggil ibu-ibu itu dari dalam rumah. "Yuk masuk, arisannya kita mulai."
Ibu-ibu itu bergegas masuk sambil berbisik. Mama tidak ikut masuk karena sibuk menurunkan gulungan gamisnya kembali.
"Kamu itu gimana sih, masa Mama ditelanjangin begini," omel Mama sambil meluruskan gulungan gamisnya. "Aduh ini kok susah banget sih!"
Jelas saja ia kesulitan menurunkan gamisnya karena aku menggulungnya serapat mungkin.
"Jadi Mama gak mau nepatin janji?" tanyaku. "Mama kalau gak janji bakal masuk neraka loh."
"Tapi gak begini caranya," kata Mama.
"Mama harus nurut!" bentakku. Aku kaget juga mendengar suaraku sendiri.
Mama tertegun. Kami terdiam agak lama.
"Mau sampai kapan kamu minta begini?" tanya Mama memecah keheningan.
"Hari ini terakhir deh, tapi Mama harus bener-bener ngelakuin," kataku berbohong. Tentu saja aku mau Mama melakukan kebodohan itu seterusnya!
"Kamu mau apa?" tanya Mama lesu.
Aku berbisik ke Mama. Mama menatapku. "Tapi itu keterlaluan!"
"Kan isinya cuma ibu-ibu," kataku. "Lagian cuma sekali ini."
"Cuma sekali ini ya," Mama mengulangi kata-kataku. "Cuma sekali ini."
Mama memegang bagian bawah gamisnya, lalu digulung seperti yang aku lakukan sebelumnya.
"Biar aku aja Ma," aku menawarkan diri.
Mama berjongkok. Aku pun melanjutkan menggulung bagian bawah gamisnya. Kali ini kugulung sampai melewati teteknya. Dua gunung kembar itu bergelayutan saat keluar dari gamis yang sempit.
“Mama ada peniti?” tanyaku.
Mama mengorek tasnya, lalu memberikan tiga buah peniti yang berbeda ukuran. “Pilih mana yang kamu mau.”
Aku ambil semua peniti itu. Gulungan gamis di punggung Mama kuselipkan dua peniti, sementara satu peniti aku sematkan di gulungan depan, tepat di atas belahan teteknya.
Gulungan gamis itu jadi mustahil diturunkan selama ketiga peniti itu masih tersemat.
Mama bangkit dari jongkoknya. Sebelum ia bangkit, aku sempat menarik kedua pentilnya yang tebal. Wajahnya terlihat cemas. “Kamu yakin pengen Mama begini?”
Aku mengangguk.
“Tapi Mama takut,” keluh Mama.
“Sekali ini aja kok Ma,” kataku sambil mengelus pantatnya yang masih terbungkus sempak hitam. “Oh iya, ini juga dilepas dong.”
“Ini aja udah bikin malu, apalagi kalau lepas sempak,” ujar Mama.
“Udah jangan kelamaan Ma, udah ditungguin tuh,” kataku sambil menurunkan sempaknya sampai ke lututnya. “Dah begini aja cukup deh.”
Aku tersenyum melihat memek Mama yang terpampang jelas. Angin yang bertiup pelan membuatku bisa menghirup aroma memeknya.
Kami melangkah masuk ke rumah Bu Endah. Sebelum masuk, Mama sempat berdiri mematung di depan pintu yang sudah terbuka lalu mengucap “Bismillah.”
Kamu bisa membayangkan betapa terkejutnya wajah ibu-ibu di dalam rumah saat melihat Mama masuk. Jelas saja mereka kaget karena tetek dan memek Mama benar-benar telanjang. Bagian tubuh Mama yang tertutup cuma pundak, lengan, dan kepalanya yang tertutup jilbab.
“Astagfirulloh Bu!” seru Bu Endah. “Kok bisa begitu?!”
“Anak saya ngambek pengen lihat saya begini,” jelas Mama. Wajahnya memerah seperti menahan tangis.
“Tapi ‘kan gak harus diturutin semua,” kata Bu Siti. “Teteknya Ibu… Aduh kenapa harus dilihatin sih?”
“Sudah, ayo kita mulai arisannya. Ini udah terlalu sore, nanti suami-suami kita keburu udah pulang,” ujar Bu Endah. “Saya saranin Ibu sebaiknya tutup aurat Ibu daripada nanti ada bapak-bapak yang lihat. Untung saja mereka belum pulang.”
Mama menggeleng. “Saya begini saja. Toh cuma sebentar.”
“Ya terserah Ibu saja sih. Saya cuma menyarankan demi kebaikan Ibu,” sahut Bu Endah.
Mama duduk bersila di dekat pintu, sementara aku juga duduk bersila di sebelahnya. Ibu-ibu di tempat itu masih diam sambil sesekali melirik ke Mama. Wajah Mama terlihat tegang.
Tetek telanjang Mama terlalu menggoda untuk disia-siakan, jadi tanganku bergerak mendekatinya. Pentil Mama kutarik-tarik sampai mengeras.
“Bu, anaknya sebenarnya sudah cukup gede. Apa boleh mainan tetek ibunya kayak gitu?” komentar Bu Ira yang duduk di sebelah Mama.
“Boleh aja sih Bu, ini sudah biasa kok,” jawab Mama.
Arisan itu berjalan sekitar lima belas menit, tapi rasanya seperti lama sekali karena tidak ada yang berbicara kecuali Bu Endah yang mengumumkan siapa yang dapat arisan.
Setelah diumumkan siapa yang dapat arisan, ibu-ibu itu bergegas pulang. Aku rada kasihan sama Bu Endah karena jajanannya cuma sedikit yang makan, jadi ia menaruh jajanan yang masih banyak itu ke plastik dan memberikannya ke para tamu.
“Ibu gak pulang kayak gitu ‘kan?” tanya Bu Ira saat Mama melangkah keluar.
“Oh iya, saya lupa. Nak tolong bantuin Mama benerin baju,” ujar Mama sambil berjongkok.
Aku membantu Mama melepas peniti-peniti yang tersemat di gulungan gamisnya. Mama berdiri dan meluruskan gamisnya yang kusut. Dalam sekejap, tubuh telanjang Mama tertutup gamis panjang.
Sebenarnya aku ingin Mama pulang dalam keadaan telanjang, tapi itu akan bikin ibu-ibu itu curiga dan risikonya terlalu besar. Jadi kali ini aku biarkan Mama pulang dalam keadaan tertutup.
Hari itu aku menyadari kalau Mama benar-benar bodoh. Kebodohannya itu bisa aku manfaatkan untuk kejahilan-jahilan lainnya.
ns 15.158.61.48da2