Kejadian ini cukup bikin ramai, tapi cuma ramai di rumah saja. Kejadiannya ketika lebaran di tahun 2000.
Seperti biasa, rumahku selalu ramai orang ketika lebaran. Saat itu Bapak gak pulang kampung karena dia ada kerjaan sampingan jadi supir truk di bisnis kayu milik temannya. Kebetulan pembelian kayu lagi banyak ketika mendekati lebaran, jadi Bapak banyak menghabiskan waktu di luar daripada di rumah. Ditambah dia masih bertani, makin susahlah kami ke rumah nenek.
Tamu-tamu yang datang ke rumah kami kebanyakan adalah keluarga terdekat dan tetangga. Begitu sholat idul fitri selesai, satu jam kemudian pasti sudah ada tamu datang.
Gelombang tamu pertama adalah saudara-saudara. Mama dan Bapak ngobrol bareng tamu sampai siang. Aku cuma bermain bareng sepupu-sepupu seumuranku karena malas nimbrung ke orang-orang yang lebih tua. Kami bermain kejar-kejaran dan petak umpet.
Siangnya, Bapak pamit bertamu ke rumah tetangga, sementara Mama tetap tinggal karena masih melayani tamu. Siang itu panasnya luar biasa, Mama dan tamu-tamu ngobrol sambil kipas-kipas pakai koran karena belum punya kipas angin. Tamu-tamu itu sebentar saja mampir karena mereka mau ke tempat yang lain.
Akhirnya tinggal aku dan Mama berdua.
“Astagfirulloh panas banget,” keluh Mama sambil mengipas lehernya yang basah.
“Mama pakai gamis sih, makanya panas. Coba pakai yang tipisan Ma,” kataku.
“Ambilin baju Mama di kamar deh,” kata Mama.
Aku buru-buru ke kamar. Kubuka lemari pakaian Mama. Hmmm mana ya yang cocok buat Mama. Ah ini dia!
Kuserahkan baju pilihanku ke Mama. Kening Mama berkerut melihat baju di tanganku.
“Kaos putih ini kan kekecilan,” kata Mama.
“Tapi adem,” kataku.
Mama tetap mengambil kaos itu. Ia berdiri, lalu membuka gamisnya. Aku jongkok di sebelah Mama sambil menikmati pemandangan Mama berganti baju. Ia memakai beha dan sayangnya pakai celana pendek.
“Ma mendingan behanya dilepas aja deh,” kataku.
“Iya nih sumuk banget,” kata Mama sambil melepas kait behanya. Kedua teteknya yang sebesar pepaya bergelantungan bebas saat beha itu lepas.
Mama memakai kaos putih itu. Kaos itu benar-benar kecil sampai kedua pentilnya nyemplak, bahkan gak menutupi udelnya.
“Eh untung bahannya adem. Nah ini baru adem,” kata Mama. Ia duduk bersila sambil kipas-kipas.
“Gini dong Ma biar lebih adem,” kataku sambil menarik bagian bawah kaosnya sampai melewati teteknya. Kedua teteknya melonjot keluar. Karena kaosnya sempit, baju itu bakal susah sekali diturunkan karena tertahan tetek Mama.
“Wah jangan begini nanti bisa kelihatan tamu!” protes Mama.
“Jam segini dah sepi Ma. Orang-orang pada istirahat dulu,” aku berusaha meyakinkan Mama.
Mama merebahkan badan di lantai. Kami mengobrol soal macam-macam. Tapi aku kurang fokus mengobrol karena melihat kedua tetek Mama yang bergerak naik turun setiap kali ia bernapas.
Mama keasikan ngobrol sampai ketiduran. Aku menunggu sampai ia mendengkur. Ini dia kesempatanku!
Kuendus-endus udel Mama sampai ke teteknya. Hmmmm ada aroma sabun dan keringat. Kujulurkan lidah sampai ujung lidahku menyentuh pentilnya. Mama cuma bergerak sedikit, lalu mendengkur lagi. Bibirku bergerak semakin maju sampai berhasil melumat pentilnya. Mama sempat melenguh sebentar. Napasnya naik turun, begitu juga napasku. Tapi ia tetap mendengkur. Aku pindah ke tetek satunya dan melumatnya lagi. Aku gak berani menyedot pentilnya kuat-kuat, meski aku ingin sekali.
Tanganku turun ke paha Mama. Ia memakai celana pendek ketat yang untungnya masih gak terlalu ketat. Kulepas isapanku di pentil Mama. Aku mau fokus ke bibir bawahnya.
Celana Mama kuturunkan sampai ke setengah paha. Sebenarnya aku ingin melepas celananya, tapi jelas itu beresiko. Memek Mama yang ditumbuhi jembut tipis terpampang di depanku, siap untuk dikerjai.
Kuendus-endus memeknya yang sedikit berorama pesing. Kujulurkan lagi lidahku sampai ujung lidahku menyentuh bibir memeknya. Agak asin. Pelan-pelan kucolok memeknya pakai jari telunjuk. Ah agak basah.
Tiba-tiba Mama membalik badan ke kanan. Aku terpaku sebentar dan jantungku rasanya mau copot. Untung saja jariku keburu kutarik. Sayang sekali padahal aku masih mau bermain di memeknya.
Kini pandanganku fokus ke belahan pantatnya yang gelap. Yah kalau gak bisa menjelajahi memeknya, pantatnya pun bisa.
Kubuka belahan pantatnya yang gelap sampai anusnya kelihatan. Kuelus kerutan-kerutan anus Mama. Ingin juga kucolok anusnya itu, tapi dia pasti terbangun.
Lagi asik-asiknya berpetualang di anus Mama, aku mendengar suara langkah kaki di halaman depan. Aku melongok ke jendela. Ah ada Pakde dan Bude Sumi!
Aku buru-buru lari ke belakang dan mengintip dari balik dinding. Pasti bakal ada kejadian menarik nih!
“Assalamualaikum!” seru Pakde Sumi.
“Eh walaikumsalam!” seru Mama kaget. Ia merenggangkan badan, lalu bangun dari lantai. Mama membuka pintu tanpa sadar kalau teteknya masih keluar.
“Astagfirulloh!” seru Pakde dan Bude Sumi nyaris bersamaan.
Mama baru sadar kesalahannya. Ia segera menurunkan kaosnya, tapi kaos itu susah diturunkan. Kedua tangannya berusaha menggapai bagian belakang kaos, tapi gak berhasil.
“Sini sini tak bantu,” kata Pakde Sumi. Ia menarik bagian belakang kaos Mama yang macet, sementara Mama menurunkan bagian depan kaosnya. Kaos sempit itu pun menutupi teteknya.
“Celananya juga tuh,” kata Bude Sumi.
Mama melirik ke celananya yang turun sampai ke paha. Ia buru-buru menaikkan celananya kembali.
Sebelum Mama menaikkan celananya, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau Pakde Sumi sempat menyelipkan jarinya di belahan pantat Mama. Entah Mama sadar itu atau nggak.
“Maaf, ayo masuk,” kata Mama berusaha ceria.
Mama mengambil kembali baju gamisnya dan berganti pakaian di kamar. Aku cuma geleng-geleng melihat tingkahnya.
ns 15.158.61.8da2