“Wih apaan tuh!” itulah seruan pertama yang kudengar saat kami melangkah masuk. Sekitar lima belas murid menatap kami. Segala keributan yang kami dengar di luar tergantikan kesunyian mendadak. 3566Please respect copyright.PENANAdQHGWhmNIr
Aku berusaha bersikap santai dan melangkah menuju mejaku. Mama berdiri sendirian di sebelah papan tulis. Wajahnya jauh lebih pucat dari sebelumnya. Tangannya berusaha menutup tetek dan memeknya yang telanjang, tapi teteknya terlalu besar jadi pentilnya selalu saja lolos menyempil keluar.
“Ibu kamu kenapa tuh?” tanya Aris yang sempat menyicipi tubuh Mama.
“Dia ada nazar bakal nurut kalau aku masuk lima besar.” kataku. “Biarin ajalah.”
Murid-murid cewek terdiam, sementara murid-murid cowok mendadak ribut sambil meneriaki Mama. Beberapa murid yang pemalu cuma bisa menunduk, meski sesekali melirik ke Mama.
“Teteknya gede bener!” seru temanku.
“Memeknya bersih tuh, hihihihi,” kata yang lain.
“Gak malu apa ya dia?” tanya yang lain.
Hampir semua teman-temanku meributkan Mama. Mama cuma membisu. Badannya memang gak bergetar lagi, tapi keringatnya mengucur deras. Bulir-bulir keringat berjatuhan di keningnya.
Mama berdiri di depan kelas selama kira-kira sepuluh menit. Selama itu pula teman-temanku menertawakan Mama. Bel masuk kelas berbunyi. Aku segera mendekati Mama dan mendorongnya keluar lewat pintu belakang kelas.
“Mama pulang sekarang ya?” tanya Mama. Wajahnya memerah karena menahan malu.
“Jangan dong, kan sampai pulang sekolah,” kataku sambil mengelus pantatnya.
“Gak kelamaan itu?”
“Gak kok Ma. Biasanya cepat pulang kalau baru hari pertama masuk,” kataku menenangkan.
Aku menggiring Mama ke sebuah bangku kayu panjang di bawah pohon. “Mama duduk sini saja deh sampai bel istirahat,” kataku. Usai menempatkan Mama, aku balik ke kelas.
Seperti dugaanku, hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang cuma diisi ceramah guru. Aku mendengarkan sambil melirik ke jendela. Kasihan juga melihat Mama duduk sendirian di bawah pohon. Wajahnya terlihat bingung, tapi waspada. Teman-temanku yang duduk di dekat jendela juga memerhatikan Mama.
“Kalian lihatin apa sih?” seru Pak Surya, guru bahasa indonesia di sekolahku. Jelas saja dia kesal karena murid-murid gak mendengarnya.
Jantungku berdegup kencang. Aduh jangan sampai Pak Surya tahu Mama ada di sini!
“Gak apa-apa Pak. Ada kucing masuk ke halaman sekolah,” kataku. Teman-temanku menganggapku lagi bercanda, jadi mereka juga mengiyakan.
“Kalian lebih suka lihatin kucing daripada dengerin bapak?” tanya Pak Surya.
“Dengerih kok Pak,” kata murid lain.
Pak Surya melanjutkan nasihatnya dengan suara lebih nyaring. Teman-temanku yang takut sama Pak Surya, akhirnya terpaksa duduk diam sambil mendengarkan.
Aku menghela napas lega. Untung saja dia gak mengecek keluar jendela!
Pak Surya terus berbicara sampai bel istirahat pertama berbunyi. Begitu dia keluar kelas, aku buka jendela kelas, lalu bersiul ke arah Mama. Mama menoleh. Aku menggerakkan tanganku, meminta Mama masuk kembali ke kelas.
Begitu Mama masuk ke kelas, seisi kelas ribut kembali. Teman-temanku bersiul ke Mama. Murid-murid cewek memilih keluar kelas daripada melihat pemandangan memalukan itu.
Mama berdiri kembali di samping papan tulis. Teman-temanku mengerumuninya seperti semut mengerumuni gula. Beberapa sampai jongkok supaya bisa melihat memek dan pantat Mama lebih jelas. Mata mereka berpinda-pindah memandang ke tetek dan memek Mama.
“Gila memeknya tembem euy!” seru temanku.
“Ih memeknya basah tuh!” seru yang lain.
“Jembutnya kayak baru dicukur ya?” kata yang lain.
Aku tersenyum di belakang mereka. Pasti ini pertama kali mereka lihat tubuh cewek telanjang secara langsung. Nikmatilah selagi bisa!
Ekspresi Mama sulit kujelaskan. Wajahnya seperti campuran kesal, cemberut, dan marah. Ia gak berani menatap wajah anak-anak yang mengerumuninya. Pasti dia malu sekali.
Tiba-tiba badan Mama mengejang. Seorang anak rupanya mencolok jari telunjukknya ke memek Mama. “Aduh!” seru Mama. Teman-temanku mundur sebentar, mungkin takut Mama bakal marah. Tapi Mama diam saja. Anak-anak itu lanjut menonton Mama sambil menunjuk-nunjuk memeknya, tanpa berani menyentuhnya.
Gak terasa lima belas menit berlalu, bel masuk kelas berbunyi. Aku buru-buru meminta Mama kembali ke kursi panjang di bawah pohon. Kali ini dia pergi sendiri.
Jam pelajaran kedua juga diisi nasihat dari guru yang lain. Kali ini cepat saja, kira-kira cuma satu jam. Setelah itu anak-anak dibolehkan pulang.
Begitu guru keluar kelas, murid-murid cowok berhamburan keluar lewat pintu belakang untuk melihat Mama. Aku juga segera keluar, khawatir terjadi sesuatu sama Mama. Teman-temanku bisa saja bertingkah brutal.
“Bude kok telanjang gitu? Apa gak malu?” tanya temanku yang sudah mengenal Mama.
“Ya malu dong,” jawab Mama singkat.
“Bude, boleh pegang teteknya gak?” tanya temanku yang lain dengan penuh harap.
“Boleh, tapi satu-satu,” kataku dari belakang. Mama menatapku gak percaya. Mulutnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi anak-anak itu sudah berebutan memegang teteknya.
“Pelan-pelan!” seru Mama.
Anak-anak itu ada yang meremas tetek Mama, mencubit lipatan perutnya, mencolok-colok udelnya, dan ada juga yang mencolok lubang memeknya. Mama berusaha melepas tangan anak yang mencolok memeknya, tapi selalu ada tangan-tangan lain yang ingin mencicipi memeknya.
Mama mengerang karena ada anak yang menarik pentilnya sampai panjang. Tetek dan perut Mama memerah bekas tangan anak-anak itu.
“Sudah, sudah, lepasin!” seruku ke teman-temanku sebelum mereka semakin brutal. Mama bangkit dari tempat duduknya. Kupegang tangan Mama, lalu kami cepat-cepat jalan ke pagar di belakang sekolah.
ns 15.158.61.20da2