Kalau lagi libur panjang, aku sekeluarga sering pergi ke pantai yang cukup jauh dari rumah. Jalanannya belum diaspal dan masih berbatuan, jadi harus hati-hati saat mengendarai sepeda motor agar tidak jatuh. Pantai itu sepi di hari biasa, tapi ramai di hari libur. Beberapa bahkan datang jauh-jauh dari kota.
Karena aku masih kecil, aku biasanya dibonceng di tengah. Bapak yang mengendarai sepeda motor dan Mama di belakang. Jujur saja aku sangat suka posisi itu karena aku bisa menyandarkan kepala tepat di tetek Mama yang empuk.
Meski kami masih berjarak beberapa meter dari pantai, aku sudah mendengar suara banyak orang. Ternyata jumlah pengunjung kali ini jauh lebih banyak dari tahun sebelumnya. Banyak mobil dan bus berderet di parkiran ala kadarnya, sepeda motor yang tidak terhitung jumlahnya, dan warung-warung makanan yang buka tiba-tiba.
Bapak memarkir sepeda motornya, sementara aku dan Mama jalan kaki ke pantai. Mama membawa ransel besar berisi pakaian ganti, botol minuman, dan jajanan. Bapak menyusul kami dan ia menunjukkan arah pantai yang agak sepi dan lebih bersih.
Area yang diarahkan Bapak ternyata hampir di ujung batas pantai. Cuma ada beberapa orang yang bermain air sehingga areanya lebih luas. Memang ombaknya lebih kencang, jadi orang-orang tidak berani bermain terlalu jauh.
Aku dan Mama langsung menyemplung ke air, sementara Bapak merokok sambil mengobrol dengan bapak-bapak lain. Aku siram-siram air ke Mama, tujuannya biar bajunya basah kuyup sehingga lebih seksi.
Semakin basah baju Mama, semakin banyak laki-laki yang memerhatikan Mama. Jelas saja karena Mama memakai kaus putih sehingga beha hitamnya menerawang. Belum lagi Mama memakai celana pendek yang menjadi ketat karena basah. Teman ngobrol Bapak sampai mencuri pandang ke Mama beberapa kali.
Bermain di air memang menyenangkan, tapi tidak tahan panas. Aku beristirahat di bawah kelapa tempat Mama menaruh ransel. Mama masih berenang, katanya sekalian olahraga buat bakar lemak.
Aku mencari botol air minum di ransel. Kulihat sehelai pakaian ganti Mama beserta sempak dan behanya.
Mendadak aku mendapat ide. Berbahaya memang, tapi semoga saja manjur.
Kuambil semua pakaian ganti Mama, kugulung, lalu aku lari ke dalam pepohonan kelapa. Di sana aku menemukan sebuah tong sampah. Kutaruh semua pakaian Mama ke dalamnya, lalu aku lari balik pantai.
Aku lanjut bermain air bersama Mama lagi. Bapak ikut bermain air, tapi ia sebentar saja karena mau membeli rokok. Ia pergi ke warung yang jaraknya cukup jauh.
“Udah ah capek, Mama mau ganti baju,” kata Mama. Ia beranjak pergi. Aku mengikutinya untuk melihat reaksi Mama.
Mama terkejut saat melihat ransel yang terbuka. “Baju Mama hilang!” serunya.
“Ada apa Ma?” tanyaku dengan wajah polos.
“Baju Mama hilang!” ulangnya lagi. “Tadi kamu lihat orang di sini?”
“Waduh gak perhatikan Ma. Tadi sih gak ada,” jawabku.
“Aduh gimana dong, mana baju Mama basah gini.” Mama memeras ujung kausnya.
“Ya Mama jemur aja bajunya.” Kutunjuk sebuah dahan pohon. “Mumpung masih panas.”
“Bener juga.”
Mama melepas pakaiannya. Ia memeras kausnya sampai tidak ada air yang menetes, lalu dihamparkan ke dahan pohon.
“Celananya gak sekalian Ma?” tanyaku.
“Malu dilihat orang-orang nanti.”
“Sepi gini kok. Mana ketutup pohon pula,” aku bersikeras.
Mama mengamati sekitar. Pohon-pohon kelapa itu sebenarnya tidak menutupi Mama, tapi cukup aman karena sepi.
Mama menghela napas. "Ya okelah daripada masuk angin."
Mama melepas celana, kemudian menggantungnya bersebelahan dengan kausnya. Aku berdecak kagum memandang Mama yang cuma mengenakan sempak dan beha hitam. Beha dan sempaknya terlihat setengah mati menahan beban tetek dan pantat yang terlalu besar.
Ia duduk di sebuah batu besar dan mengajakku ngobrol. Aku tanggapi seadanya karena fokus memerhatikan badannya yang aduhai.
“Mama gak sekalian lepas beha ama sempak?” tanyaku. Tidak tahan ingin melihat isi sempak dan behanya.
“Lah telanjang bulat dong,” sahut Mama.
“Daripada masuk angin, mendingan buka aja Ma,” bujukku lagi.
“Itu loh masih ada orang di luar.” Mama menunjuk ke orang-orang yang lewat di kejauhan.
“Jauh itu. Mereka gak bakal lihat Mama,” kataku.
“Boleh aja sih, memang rada dingin juga kalau dipakai terus,” kata Mama. “Kamu lagi-lagi awasi ya.”
Mama bangkit dari batu, lalu melepas sempak dan behanya. Badanku bergetar kegirangan karena bisa melihat pentil dan memeknya yang tertutup jembut tipis. Kalau saja aku tidak segera membenarkan posisi dudukku, Mama pasti bisa melihat kontolku yang mengeras.
Beha dan sempak itu diletakkan bersebelahan di dahan yang sama. Supaya tidak kelihatan orang-orang, Mama duduk di belakang pohon kelapa besar meski tetap saja tubuhnya masih terlihat sebagian.
Bapakku belum balik, mungkin dia lagi ngobrol sama yang lain. Di desa memang semua orang saling mengenal, jadi besar kemungkinan bertemu tetangga di mana-mana.
“Sudah kering belum?” tanya Mama sambil mengipas-ngipas lehernya.
Kuremas beha Mama yang digantung. “Belum Ma. Masih lama kayaknya.”
Kami terus mengobrol. Angin semilir pantai membuat Mama mulai mengantuk. Aku pun juga mengantuk, tapi aku menguatkan diri untuk tetap sadar.
“Mama ngantuk bener,” kata Mama sambil menguap. “Tidur bentar aman kalik ya.”
“Aman aja Ma. Aku jagain deh sampai Bapak datang,” kataku.
Mama bersandar di batang pohon kelapa dan mulai terlelap. Aku menunggu sampai napas Mama perlahan-lahan mulai mendengkur. Begitu ia mendengkur, itu menunjukkan kalau Mama sudah tidur nyenyak.
Aku merayap pelan-pelan ke tempat jemuran Mama. Semua jemurannya kuambil, lalu aku cepat-cepat pergi.
Jauh dari tempat Mama, aku menemukan tong sampah lain. Kulempar semua pakaiannya, kemudian aku balik lagi, tapi kali ini aku menyelinap diam-diam di belakang semak. Aku tidak ingin membangunkannya.
Aku duduk di semak-semak sambil memerhatikan Mama yang masih terlelap di bawah pohon kelapa. Posisinya badannya agak miring ke kanan. Kalau dia bergerak sedikit lagi, badannya pasti jatuh ke belakang.
Dugaanku benar. Mama mengigau dan badannya bergerak-gerak sehingga keluar dari sandaran. Nyaris saja ia terjengkang kalau ia tidak terbangun duluan.
Aku menahan napas. Jantungku berdegup kencang. Apa yang bakal terjadi?
Mama celingukan saat menyadari aku menghilang. Ia memanggilku beberapa kali sambil melirik ke pepohonan.
Wajahnya yang kebingungan berubah jadi kaget saat tahu pakaiannya sudah menghilang di jemuran.
Dia memanggilku beberapa kali, lalu diam. Barangkali ia takut kalau ada orang yang terpancing dan melihatnya telanjang.
Aku cuma bisa menahan tawa. Yah aku mau menunggu dululah, asik juga mengerjainya.
Mama menutup tetek dan memeknya dengan kedua tangan. Ia masih memanggilku, tapi dengan suara lebih pelan.
Ada dua laki-laki melintas. Mama meringkuk di belakang pohon kelapa sambil mengintip. Tubuh Mama yang lebar dan gempal itu jelas tidak terlindungi. Tampaknya kedua laki-laki itu tidak menyadari Mama karena mereka teru saja berjalan.
Setelah kurasa cukup, aku keluar dari tempat persembunyian. Mama langsung memelukku. Lumayan wajahku bisa menempel di teteknya.
“Hi-hilang,” Mama tergagap. “Baju Mama hilang!”
“Maksudnya hilang?” aku berusaha terlihat polos.
“Hilang dicuri!” seru Mama. "Kamu dari mana?"
"Pipis Ma," jawabku cepat. "Aku denger Mama manggil aku, jadi aku cepet-cepet ke sini."
"Kamu gak liat orang lain?"
Aku menggeleng. "Gak ada tuh."
"Waduh gimana ini." Mama mengurut keningnya. "Kamu ada lihat Bapak?"
Aku menggeleng lagi. Mama mendengus kesal. "Gimana sih Bapakmu itu. Pasti dia ketemu temennya."
"Gimana kalau aku belikan baju Mama?" tanyaku. Berikan dia solusi biar Mama gak curiga.
"Mama gak bawa dompet. Semuanya sama bapakmu," jawab Mama.
"Apa kita mau cari baju Mama? Siapa tahu malingnya ngebuang baju Mama."
Mama menggaruk dagu. "Ayo aja dah. Yang penting Mama gak telanjang gini."
Kami pun berjalan di bawah naungan pepohonan kelapa. Mama terus melirik ke kiri dan kanan, cemas kalau saja ada orang yang melihatnya. Memang ada beberapa orang, tapi jaraknya masih jauh.
Aku mengorek semak-semak. "Yah gak ada nih Ma."
Mama ikut mengorek-ngorek. "Aduh harus nemu nih."
Kami lanjut berjalan. Saat berbelok di jalan setapak, ada sekelompok anak-anak membawa ban berenang. Mereka berhenti dan bersiul ke Mama.
"Tante godain kita dong!" seru mereka.
Mama menggeram. Ia cepat-cepat melangkah sambil tangannya mengibas seolah mengusir anak-anak itu.
Mereka bukannya menjauh, tapi malah mengekor Mama.
"Buset pantatnya tebel bener," ujar mereka.
"Tuh tuh lihat tuh bulu jembutnya keliatan dikit," ujar yang lain sambil menunjuk ke pantat Mama.
Aku melambatkan langkah biar Mama dan anak-anak itu berada di depan. Astaga aku sangat menikmati momen itu!
"Pergi! Pergi sana!" seru Mama. Kibasan tangannya semakin kencang.
"Tante seksi deh," goda mereka.
Seorang anak tiba-tiba menjulurkan tangan dan mengelus memek Mama. "Kena nih!"
Mama hendak menampar anak itu, tapi anak itu buru-buru kabur. Ia terbahak-bahak sambil mencium tangan bekas mengelus memek Mama.
Anak-anak lain jadi terpicu. Dua anak menampar pantat Mama, disusul anak ketiga. Yang ketiga ini malah sempat menyelipkan jari telunjuknya ke belahan pantat Mama.
"Anak bajingan!" teriak Mama.
Anak-anak itu menghambur supaya tidak terkena tamparan Mama. Namun, mereka masih mengerumuninya.
Wah kayaknya makin seru, batinku.
Aku mundur lagi supaya anak-anak itu semakin leluasa mengerjai Mama. Di samping itu aku juga bisa menyaksikan keseruan mereka dengan lebih tenang.
Setiap kali Mama mencoba menampar mereka, anak-anak bandel itu cuma melangkah mundur selangkah, lalu maju lagi. Mereka lebih lincah daripada Mama.
“Eits kena pantatnya lagi!” seru seorang anak saat berhasil menampar pantat Mama. Pantat Mama kini memerah karena sudah beberapa kali ditampar anak-anak itu. Suara plak plak plak terus berkumandang dari pantat gempal Mama.
Mama tersenggal-senggal. Meladeni anak-anak itu jelas melelahkan. Ia mencoba berlari, tapi anak-anak itu masih mengikuti.
“Tante bohay mau ke mana?” ujar anak-anak itu sambil berlari mengikuti Mama.
Di sini salah satu kejadian paling seru dimulai.
Salah satu anak menjegal kaki Mama sampai Mama terjerembap. Mama jatuh dalam keadaan menungging.
Aku bergegas mendekati Mama, tapi anak-anak itu keburu mengelilingi Mama seperti semut mengerumuni gula.
“Pantatnya! Pantatnya!” seru mereka.
Tangan mereka berebutan meremas dan menampar pantat Mama. Mama buru-buru bangkit berdiri dan mengibas tangannya. Anak-anak itu melompat mundur dan lari sambil terbahak-bahak.
“Mama gak apa-apa?” tanyaku.
Mama mengusap pantatnya yang memerah dan dipenuhi bekas tamparan. “Gak apa-apa. Dasar anak-anak bandel.”
Tampaknya Mama benar-benar kesal karena wajahnya terus merengut.
Meski seru melihat Mama telanjang sambil jalan kaki, jujur saja aku kasihan melihatnya kebingungan. Mama benar-benar tidak tahu kalau anaknya sendiri adalah pelakunya.
Akhirnya aku mengajak Mama untuk mencari di area tempatku menyembunyikan pakaiannya. Dalam hati aku berharap semoga pakaian Mama masih berada di sana. Kasihan juga kalau dia sampai telanjang seharian di pantai yang panas ini!
Kuintip tong sampah itu. Ah rupanya baju Mama masih ada di sana!
Aku ambil baju Mama, lalu kukibarkan supaya Mama bisa melihatnya.
Mama berlari ke arahku. Ia tersenyum lebar. “Terima kasih Nak! Untung ketemu bajunya!”
Kubusungkan dada. “Anaknya siapa dulu dong Ma!”
“Kamu memang anak kesayangan Mama!” Mama memelukku. Wajahku hampir sepenuhnya tenggelam di belahan teteknya. Kujepit kedua kakiku agar kontolku tidak menerobos keluar dari celana kolorku.
Mama melepas pelukannya dan memakai bajunya. Untungnya tong sampah itu cuma berisi dedaunan kering, jadi baju Mama tidak bau sampah. Ia mengusap dedaunan kering yang menempel di bajunya. “Yuk kita cari Bapak,” ujar Mama sambil menarik tanganku.
Bapak rupanya sudah di pinggir pantai sambil mencari-cari kami. Mama tidak menjelaskan kejadian yang barusan dia alami. Aku juga diam saja karena Mama tampaknya tidak mau Bapak tahu kejadian itu.
ns 15.158.61.6da2