Siang-siang, aku mendengar dari Mama kalau sepupuku mau datang ke rumah. Sebut saja namanya Roni. Setahun lagi dia masuk sekolah dasar. Meski masih kecil, tapi anak ini nakalnya bukan main. Suka lari-lari sampai ke dalam kebun, coret-coret dinding pakai pulpen, membanting mainan kalau marah, dan kelakuan lainnya yang bikin kesal siapa saja.4416Please respect copyright.PENANAFjM6xLswXq
Kata Mama, kedua orangtua Roni mau mengurus surat-surat di kota, jadi Roni mau dititipkan ke Mama semalam saja. Aku gak keberatan sama Roni asalkan dia gak masuk ke kamarku dan menghancurkan mainanku. Aku cuma perlu rajin mengunci pintu kamar.
Sekitar jam setengah empat sore, Roni datang dengan diantar bapaknya. Setelah ngobrol sebentar, bapaknya langsung pulang. Anak itu menangis meraung-raung, tapi Mama segera menggendongnya masuk ke dalam rumah.
“Keluarin mainan yang gak kamu pakai,” bisik Mama.
Aku masuk ke dalam kamar. Kutarik kardus berisi tumpukkan mainan. Hmmm, robot-robotan ini masih kupakai, mobil-mobilan pemadam kebakaran ini juga, mobil Tamiya masih kumainkan, ah ini dia! Kuambil dua mainan mobil polisi yang rodanya sudah longgar. Meski begitu, bentuknya masih bagus dan yang penting bisa mengalihkan perhatian si Roni.
Kutunjukkan kedua mainan itu ke Roni. Anak itu langsung diam dan mengambil mainan itu. Mama menurunkan Roni. Dia duduk bersila dan mendorong-dorong mainan itu sambil bergumam “Ngeeeng… ngeeeng!”
Mama menghela napas lega, lalu masuk ke dalam dapur. Tinggal aku yang menemani Roni.
Melihat kelakuan anak itu, aku mendapat ide.
“Roni mau jadi polisi beneran gak?” tanyaku.
“Mau, mau, mau!” teriak Roni.
“Sekarang Roni jadi polisi,” kataku sambil menjabat tangannya. “Bude jadi penjahatnya.”
“Tapi Bude lagi di dapur,” keluh Roni. “Roni mau nangkap Bude!”
“Bentar ya, tak panggilin Bude,” kataku.
Kutemui Mama di dapur.
“Mama, si Roni ngajak main polisi-polisian,” kataku.
“Memangnya kamu gak bisa nemenin dia?” Mama mengerutkan kening.
“Dia mau jadi polisi, Mama jadi penjahatnya.”
“Tapi Mama mau motong ayam,” kata Mama.
“Sebentar aja kok Ma. Daripada dia nangis lagi,” kataku.
“Oke tunggu sebentar. Mama mau motong ayam sedikit.”
Aku balik lagi ke Roni yang masih bermain mobil-mobilan.
“Kita main di sana aja yuk,” kataku sambil menunjuk ke teras depan rumah. Anak itu menurut dan pindah ke teras depan. Aku masuk lagi ke kamarku dan mengambil beberapa peralatan yang bakal berguna nanti.
Lima menit kemudian Mama menyusul Roni.
“Bude jadi penjahat!” seru Roni begitu melihat Mama.
“Iya iya, Bude jadi penjahat,” sahut Mama.
Aku menemui mereka. “Nah, Mama harus diiket biar mirip penjahat.”
“Haruskah sampai begitu?” tanya Mama.
“Udahlah Ma, biar Roni seneng,” kataku sambil mengikat kedua tangan Mama di belakang pakai tali rafia. Tali itu kuikat kuat-kuat biar gak mudah lepas.
“Sekarang mata Mama harus ditutup,” kataku sambil melilitkan sehelai kaus hitamku. Mama gak melawan, ia membiarkanku menutup matanya.
“Mulutnya Mama juga ya,” kataku. Mama hendak berbicara, tapi aku buru-buru menempel lakban ke mulutnya.
“Suruh Bude jongkok,” bisikku ke Roni. Anak itu mengangguk.
“Penjahat jongkok!” teriak Roni.
Mama menurut. Ia jongkok dalam keadaan tangan terikat, sementara mulut dan matanya tertutup.
“Penjahat harus ditelanjangi, siapa tahu dia nyimpen senjata,” kataku.
Mama menggoyangkan badan, tanda menolak. Tapi aku sudah menaikkan bagian bawah dasternya sampai kedua bongkahan pantatnya kelihatan. Aku berdecak kagum melihat sempak hitam Mama yang terlihat ketat menutupi pantatnya yang tebal.
Kuendus-endus bagian belakang sempak Mama. Wah masih tercium aroma wangi deterjen bercampur keringat Mama. Kuselipkan jari-jariku ke karet sempaknya, lalu kutarik sampai melewati kedua pahanya.
Mama meronta-ronta. Jelas ia menolak!
“Eits penjahat gak boleh ngelawan polisi,” kataku sambil menahan tawa.
Kini kedua pantat Mama telanjang. Kuselipkan jari telunjukku ke lubang anusnya. “Siapa tahu ada narkoba disembunyiin,” kataku sambil mengelus lubang anus Mama. Kurasakan kerutan anus Mama yang berdenyut-denyut tiap kali jari telunjukku mengelus pinggirannya.
Kudorong badan Mama sampai keningnya menyentuh lantai. Otomatis ia jadi menungging. Lucunya, Mama gak melawan. Tubuhnya jatuh begitu saja ke depan.
Kupanggil Roni supaya mendekat.
“Begini nih caranya ngecek penjahat bawa barang-barang berbahaya atau nggak,” kataku sambil membuka lebar-lebar belahan pantatnya. Lubang anus Mama ikut menganga lebar.
Roni tertawa melihat lubang anus Mama. “Wiiih lubang pantat Bude!”
“Coba lihat, dia bawa barang berbahaya nggak?” kataku.
Roni mendekatkan wajahnya ke anus Mama. “Gak ada apa-apa.”
“Oh aman berarti,” kataku. “Sekarang kamu cek sekeliling kira-kira ada orang gak?”
Roni bergegas pergi.
Aku mengamati sekeliling. Gak ada orang lewat. Cuma ada aku dan Mama.
Kuturunkan celanaku dan kukeluarkan batang kontolku yang dari tadi sudah mengeras. Meski waktu itu aku belum sunat, tapi kepala kontolku sudah siap.
Kukocok batang kontolku, pelan-pelan saja asalkan cepat keluar. Tangan kananku mengocok kontol, sementara jari-jari tangan kiriku masih membuka belahan pantat Mama.
Sebentar saja, kontolku sudah memuncratkan pejuh ke pantat Mama. Kuperhatikan cairan pejuhku yang mengalir turun di permukaan pantat Mama yang licin. Beberapa pejuh bahkan mengalir turun di belahan pantatnya dan masuk ke lubang anusnya yang menganga.
Seketika kepalaku jadi enteng. Kuambil beberapa lembar tisu yang sudah kusiapkan di saku celanaku. “Aduh Mama kok keringetan banyak bener,” kataku sambil mengelap pejuhku di pantatnya.
Itulah pertama kalinya aku coli di pantat Mama secara langsung. Tapi hari itu, petualangan seksku bersama Mama belum berakhir.
ns 15.158.61.54da2