Jantungku berdegup kencang. Suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Mama tampaknya juga menyadarinya. Tubuhnya semakin bergerak-gerak gelisah.
Kutebak mungkin ada dua atau tiga orang yang mau lewat. Aku bisa mendengar suara obrolan mereka. Tampaknya mereka masih anak-anak.
Benar saja, gak lama kemudian muncul dua anak, sebut saja Aris dan Zaki. Aku mengenal mereka karena kami satu sekolah (sampai sekarang pun kami masih ngobrolin Mama). Mereka terkejut melihat Mama yang berdiri dan terikat di pagar dalam keadaan telanjang.
“Loh itu kan Budhe!” seru Aris. Mama memang biasa dipanggil Budhe sama anak-anak.
Mama menggeliat saat tahu itu bukan suaraku atau suara Roni.
“Ngapain tuh dia telanjang begitu?” tanya Zaki.
“Mana kutahu.” Aris memandangi Mama dari atas ke bawah. “Bodinya bagus bener.”
“Teteknya gede banget tuh,” ujar Zaki.
Aku kurang ingat siapa yang mulai duluan, tapi seingatku Zaki duluan yang meraba-raba paha Mama, lalu disusul Aris. Kedua anak itu cekikikan sambil mengusap-usap paha Mama dengan tangan mereka yang kotor.
Tangan mereka perlahan-lahan bergerak semakin ke atas. Di sekolah, Aris biasanya pemalu, tapi kali ini dia berani memasukkan jari telunjuknya ke memek Mama. Zaki menonton kelakuan temannya itu dengan tatapan penasaran.
Kulihat kedua kaki Mama mengejang saat jari telunjuk Aris menerobos masuk ke memeknya.
“Gimana rasanya?” tanya Zaki penasaran.
“Basah banget nih,” kata Aris. “Ada cairan kayak ingus.”
Zaki gantian mencolok. “Wah bener becek nih memeknya.”
Aku menonton kelakuan mereka sambil mengocok kontolku. Roni gak memerhatikanku. Ia benar-benar terpaku melihat kejadian di depannya. Sebentar saja, kontolku sudah memuncratkan pejuh untuk yang ketiga kali. Kuperhatikan pejuhku yang berjatuhan di tanah.
Setelah puas, Zaki mengangkat tangan kanannya dan meremas tetek Mama. Pentil Mama ditariknya sampai mengencang seperti karet. Aris juga gak mau kalah; ia ikut meremas tetek Mama dan menarik-narik pentilnya.
“Jarang-jarang ada beginian,” kata Aris.
Kedua kaki Mama sampai menjinjit karena memek dan teteknya jadi mainan kedua anak itu. Tubuhnya berkeringat. Jujur saja pikiranku campur aduk antara kasihan, takut, dan doyan. Tapi aku terlalu asik menontonnya sampai gak ada niat untuk menghentikannya.
Muncul kejadian gak terduga: Zaki mengeluarkan batang kontolnya, lalu mengocoknya.
Aris kaget melihat Zaki. “Ngapain kamu anjir!”
Zaki gak mengubris. Tangan kanannya sibuk mengocok kontol, sementara tangan kirinya sibuk mencolok memek Mama. Sebentar saja, kontolnya sudah memuntahkan pejuh yang berjatuhan ke kaki Mama.
“Lega deh,” kata Zaki sambil memasukkan kontolnya ke dalam celana.
Aris tertegun. Ia juga mengeluarkan batang kontolnya yang sudah mengeras, lalu mengocoknya. Yang bikin ngakak, belum sempat ia memegang badan Mama, kontolnya sudah memuncratkan pejuh. Hampir saja aku ketahuan gara-gara menahan tawa!
Kedua anak itu mengelus paha Mama untuk terakhir kali sebelum akhirnya pergi. Sesekali mereka menoleh ke Mama untuk memastikan Mama masih ada di sana. Begitu mereka menghilang di ujung jalan, aku dan Roni buru-buru keluar dari tempat persembunyian.
Kukendurkan ikatan di tangan Mama. Begitu ikatan lepas, penglihatanku buyar dan pipiku terasa nyeri. Sedetik kemudian aku baru sadar kalau Mama menamparku.
“Anak kurang ajar! Bikin malu Mama aja!” teriak Mama.
Mama langsung menggendong Roni dan melangkah cepat menuju rumah, meninggalkan aku yang meringis kesakitan tapi bahagia.4453Please respect copyright.PENANAGFecyNvcRa