Meski matahari bersinar terang, tapi udara masih dingin sampai ke tulang. Jika ada yang melihat kami saat itu, pastilah dia terheran-heran melihat seorang anak cowok berpakaian sekolah dan seorang wanita dengan pakaian tergulung ke atas sampai menampilkan tubuhnya yang telanjang.
Kami membisu. Mama menoleh ke kiri dan kanan dengan tatapan cemas. Badannya sedikit gemetar. Aku yakin badannya gemetar bukan karena dingin, tapi karena takut.
“Mama tutupin yah,” katanya sambil berusaha melepas gulungan bajunya.
“Ya gak seru dong,” kataku.
Orang pertama yang melihat kami adalah Bu Endang, tetangga kami yang lagi menyapu halaman rumah. Wajahnya langsung pucat begitu melihat Mama.
“Astagfirulloh!” serunya.
Mama sontak menutup teteknya dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menutup memeknya. Aku cuma terbatuk pelan. Akhirnya ada yang lihat juga!
“Ibu ngapain begitu?” kata Bu Endang memandang Mama tak percaya.
“Say-saya salah bernazar sama anak saya,” kata Mama tergagap. “Saya harus nemenin dia begini sampai sekolah.”
“Ya ampun mendingan pakai baju deh bu,” kata Bu Endang.
“Tapi…” sebelum Mama menjawab, aku cubit pantat Mama. “Oke ya Bu, saya permisi dulu.”
Bu Endang memandang kami sambil geleng-geleng. Aku sempat mendengarnya bergumam. “Ada-ada aja.”
Orang kedua yang melihat kami adalah Pak Paijan yang baru mau melangkah masuk ke jalan kebun. Sama seperti Bu Endang, wajahnya juga memucat.
“Astagfirulloh!” serunya.
Kami terus berjalan, sementara Pak Paijan memandang kami sampai kami membelok ke pertigaan.
Total cuma ada dua orang yang melihat Mama di jalan. Sekarang kami sudah berada di depan pagar sekolah. Nah inilah tantangannya: bagaimana bisa masuk sekolah tanpa dilihat guru-guru? Aku sudah memikirkannya semalaman.
“Kita lewat sana aja yuk, Ma,” kataku sambil menunjuk jalan kecil yang membelok di depan pagar sekolah. Jalan itu memutari sekolah sampai ke belakang sekolah. Sebentar saja kami sudah berada di belakang sekolah. Gak ada pintu masuk, tapi ada lubang besar di pagar yang sering dipakai murid-murid membolos.
“Mama masuk duluan deh,” kataku.
Mama menunduk, kemudian melangkah masuk. Rupanya pantat Mama terlalu besar sampai gak muat.
“Tolongin Mama!” seru Mama panik.
“Sabar Ma,” kataku sambil mendorong pantatnya. Belahan pantatnya begitu menggoda, aku jadi gak kuasa menahan diri untuk membuka belahan pantat Mama sampai luban anusnya menganga.
“Aduh jangan digituin!” seru Mama.
“Hehehehe lucu sih Ma,” kataku. Kupandangi lubang anus Mama sebentar, lalu kudorong pantatnya sampai badan Mama berhasil melewati pagar. Aku menyelonong masuk ke pagar. Mama berdiri di depanku sambil mengusap-usap pantatnya.
Sekarang kami berada di belakang sekolah. Gedung sekolahku kecil saja karena muridnya juga sedikit. Cuma ada tiga kelas, satu ruangan guru, satu ruangan kepala sekolah, dan lapangan upacara yang juga dipakai buat olahraga. Di setiap kelas ada dua pintu, pintu depan dan pintu belakang. Mustahil Mama ke depan sekolah karena bisa dilihat guru-guru.
Dari tempat kami berdiri saja sudah terdengar keributan di kelas. Tampaknya sudah banyak teman-temanku yang datang. Aku bisa melihat mereka sekilas dari jendela kelas.
“Kita gak harus ngelakuin ini,” kata Mama. Matanya terus memandang kelasku.
“Tapi Mama kan sudah janji,” kataku.
“Tapi masa sampai sebegininya?” tanya Mama.
“Udah deh Ma, sehari ini doang kok,” kataku. Kuelus pantatnya yang licin karena keringat.
Kubuka pintu belakang kelas. Kami pun melangkah masuk. 3477Please respect copyright.PENANA3MFAHA9oCX