Bapakku adalah seorang petani singkong dan Mama cuma ibu rumah tangga biasa. Rumah kami cuma berupa bangunan kecil yang berdiri di atas tanah warisan orangtua Bapak. Meski tidak kaya, tapi kami hidup berkecukupan.
Dari kecil, aku sudah menunjukkan ketertarikan ke Mama. Bukan ketertarikan anak ke ibunya, tapi ketertarikan seksual.
Aku akui kalau masa kecilku sudah dicekoki majalah-majalah dewasa yang dibawa teman-temanku di sekolah. Mereka diam-diam mengambil majalah itu dari orangtua mereka, lalu kami membacanya di belakang sekolah. Di majalah-majalah itu ada banyak foto-foto wanita telanjang. Semuanya aku suka, tapi yang paling aku sukai adalah foto-foto wanita yang lebih dewasa. Mereka punya pesona sendiri yang tidak bisa aku jelaskan.
Saat melihat foto-foto telanjang itu, pikiranku langsung mengarah ke Mama. Wajah Mama memang tidak secantik para model itu, tapi bentuk badannya sangat memesona. Badannya gemuk, tapi masih memperlihatkan lekuk pinggang. Kulitnya sawo matang. Rambutnya panjang sampai sepundak. Yang paling memesona tentu saja ukuran teteknya yang sebesar pepaya. Rasanya aku belum pernah melihat wanita lain yang punya tetek sebesar dia.
Seperti wanita desa zaman dulu pada umumnya, Mama sangat lugu dan polos. Dia selalu menepati janji karena menurutnya janji adalah utang yang wajib dibayar. Kalau dia berjanji akan membelikanku mainan saat ulang tahun, maka dia akan menepatinya. Tak peduli seberapa mahal mainan itu. Namun, aku cukup tahu diri dan jarang minta mainan mahal ke Mama.
Suasana desa yang sepi sering bikin Mama lupa diri kalau berpakaian. Ia sering memakai daster ketat atau malah kelonggaran. Kedua-duanya sama saja bikin tubuh Mama semakin memesona.
Awalnya, aku sering mencuri-curi pandang ke Mama. Kebiasaan Mama setiap sore adalah mencabut rumput di halaman depan rumah. Kalau dia pakai daster ketat, aku segera bawa buku ke teras depan dan pura-pura membaca. Mataku sesekali melirik ke Mama, siapa tahu ada pemandangan indah kudapat.
Pernah suatu sore, ia sedang mencabut rumput seperti biasa. Aku pun berpura-pura membaca majalah di teras sambil mengamatinya.
Sore itu panasnya luar biasa, Mama sampai membawa handuk kecil untuk mengelap keringat di keningnya.
Tiba-tiba saja aku memikirkan ide nakal. Kukumpulkan keberanianku untuk mengutarakannya ke Mama.
"Mama kepanasan?" tanyaku.
"Iya nih panas bener, padahal udah sore," jawab Mama sambil mengelap keringat.
"Mmm… gimana kalau…." Tenggorokanku terasa kering. "Gimana kalau Mama buka baju aja biar gak panas?"
"Ya janganlah," sahut Mama cepat. "Kalau dilihat orang gimana dong."
Jawabannya mengecewakan, tapi aku tidak menyerah. "Atau daster Mama dinaikin aja Ma. Daripada Mama kepanasan gitu."
Mama terdiam. Hasutanku tampaknya berhasil.
"Boleh juga," kata Mama. "Tapi kamu kasih tahu ya kalau ada orang lewat."
"Ooooh tentu saja Ma!" Aku bersemangat.
Mama berdiri. Ia celingukan ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang lewat. Setelah dirasa aman, Mama meraih bagian bawah dasternya, lalu menggulungnya sampai melewati perut.
Aku agak kecewa melihat Mama ternyata memakai sempak hitam. Tapi melihat perut dan kedua kakinya telanjang sudah membuat kontolku berdiri tegak.
"Adem juga nih," kata Mama sambil jongkok lagi.
Cuaca panas membuat kulitnya licin berkilau karena keringat. Sempaknya terlihat kecil sekali karena ukuran pantat Mama yang besar. Aku merasa kasihan sama sempak itu karena harus menahan beban berat setiap hari.
Saat Mama memunggungiku, aku bisa melihat seluruh punggung dan kedua bongkahan pantatnya. Sayangnya sempak sialan itu menutupi sebagian belahan pantatnya. Rasanya ingin sekali menarik sempak itu biar seluruh pantatnya terlihat.
Sore itu kuhabiskan dengan menonton Mama. Tidak kusangka itu baru awal mulanya.
11896Please respect copyright.PENANAGGV9iW1ZbE