Seorang pemuda di persimpangan Jalan Anggrek kawasan Bandung sedang berdiri sembari memegangi kedua lututnya. Lalu, sebelah tangan kirinya mengusap peluh didahi. Hanya sebentar, ia kembali berdiri dan melihat jam ditangan kanannya, kemudian tersenyum. Pria dengan tinggi badan berkisar hampir 170cm itu melanjutkan olahraga pagi nya, ia berbelok arah ke kiri menyusuri sepanjang Jalan Riau - RE Martadinata.
“Haaaah, akhirnya sampai juga di rumah…”, batin gue.
Ya, pria tersebut itu Alwyn Rayhanda Alethea Sabine, gue biasa disapa dengan nama Ray, agar mudah diingat oleh client. Usia gue 25 tahun dan hobi jogging, juga main futsal. Oh iya, nama panggilan gue yang hanya terdiri dari 3 huruf itu sebenarnya sudah diberikan sejak lahir oleh Mama. Awalnya, beliau akan memanggil gue ‘Rhea’, karena beliau yakin sekali bahwa anak pertamanya ini terlahir perempuan. Ternyata, yang lahir adalah bayi laki-laki. Oleh karena itu, gue dipanggil dengan nama Ray oleh semua orang yang mengenal gue, kecuali….
“Aa, ada kiriman paket nih!”
Kalian tahu ngga itu suaranya siapa? Kalau kalian jawab itu suaranya nyokap gue, sudah pasti salah besar. Kenapa? Pertama, Mama ngga tinggal disini bersama gue. Kedua, beliau belum pernah berkunjung ke rumah gue. Ketiga, gue hanya tinggal berdua dengan ART yang Mama kirim kesini buat nemenin gue. Eh iya, gue jadi lupa kalo ada paket di kamar… saking capeknya olahraga, mungkin? Biasanya, gue ngga pernah secapek ini, lho.
“Paket? Dari siapa, Bi?”
“Itu Aa, dari mba Saoirse. Barusan juga ada telepon, sekitar 10 menit lalu.”
“Telepon? Dari Saoirse juga, Bi?”
“Iya, mba Saoirse tanya, paketnya sudah diterima sama Aa belum, terus ngasihtahu juga kalau mba Saoirse jadi pulang hari ini.”
“Hmm, okay... Oh iya, Bibi udah sarapan? Kalo belum, sarapan bareng saya yuk, Bi?”
Jadi, gue tinggal di rumah dinas ini bersama dengan Bibi Maya, plus Carmen, kucingnya Rhea yang dititipin disini. Tadinya, keluarga gue juga ingin pindah kesini. Namun, jadwal praktik Mama di rumah sakit sangat hectic, ditambah dengan Rhea yang sudah menginjak kelas 12 SMA. Tahu sendiri kan, gimana sibuknya jadi siswa-siswi tingkat akhir? Semua hal-hal yang gue sebut tadi, ngga memungkinkan bagi mereka ikut sama gue. Nah, semua keluarga gue sudah gue perkenalkan, kecuali… iya, gue tahu kok siapa yang kalian akan sebut atau tanyakan. Bokap gue, Ayah Finaldi, menjabat sebagai pimpinan program studi Teknik Sipil & Lingkungan disebuah universitas ternama di Indonesia. Beliau ngga tinggal bersama Mama dan Rhea, karena statusnya sudah bercerai sejak bertahun-tahun lalu.
Ah! Kenapa jadi cerita sampai sejauh itu ya gue?
Melihat ada paket yang cukup besar, membuat gue super excited untuk membukanya. Dasar, a cutest human alive! Seumur-umur, baru kali ini gue dikasih surprise kayak begini. Sembari membuka box nya, gue ngobrol ngalor-ngidul sama Bibi Maya. Beberapa bulan awal, gue masih merasa sepi, karena hanya tinggal berdua dengan perempuan berusia 50 tahun ini, dan gue terbiasa dengan keramaian. Mama yang membuka klinik di rumah dan selalu kedatangan pasien. Rhea yang berisik teleponan dengan pacar LDR-nya dan sibuk hahahihi sampai lupa waktu dengan teman-temannya yang sering main ke rumah.
Ngomong-ngomong soal Bibi Maya, keluarga gue sudah menganggap beliau seperti keluarga sendiri, makanya gue selalu bilang pada Bibi Maya untuk anggap saja rumah ini seperti rumahnya juga, dan gue ini anaknya. Apalagi, sekarang ia hidup sebatang kara. Suaminya sudah lama meninggal, korban tabrak lari. Mereka pun ngga memiliki anak setelah puluhan tahun menikah. Oleh karena itu, gue ngga ada masalah ketika Mama mengikutsertakan beliau pindah ke Bandung bersama gue.
“Oh iya, tadi dia sempat bilang mau telepon lagi ngga ya?”
“Dia? Dia yang mana lagi, Aa?”
Gue menoleh sebentar kearah Bibi Maya, kemudian mengalihkan kembali pandangan gue pada kotak yang berhasil gue unboxing. Lalu, gue tepuk jidat gue, “Pasti begini nih respon orang-orang yang lama kenal gue! Kenapa begini mulu sih?”, batin gue dalam hati.
“Saoirse, Bi… siapa lagi coba dia-nya saya sekarang…”
“Kirain Aa masih kayak dulu, hehehe…”
“Ngga ah. Saya mau buka lembaran baru, Bi. She’s enough, susah cari yang mau sama saya…. saya ngikutin apa yang Mama bilang aja deh, pokoknya.”
“Ya makanya, Aa… Aa jangan sibuk terus. Aa tahu ngga, Ibu kalau telepon Bibi suka nanyain tentang Aa sama mba Saoirse, sering teleponan atau ngga, lagi berantem atau ngga… Aa kapan pulang… Aa mainnya sama siapa saja sekarang.”
“Iya Bi, nanti saya telepon Mama ya habis ini. Oh iya, Saoirse tadi ninggalin pesan lain gitu ngga, Bi? Atau sempat bilang mau telepon langsung ke saya?”
“Ih! Aa pengen banget ditelepon ya?”
“Yeee… Bibi, lupa ya? Saya ini kan…”
Seperti biasa, jam weker di kamar gue berbunyi. Pertanda bahwa sekarang ini sudah jam 9 pagi. Oleh karena itu, gue bergegas mandi dan siap-siap lanjut mencicil kerjaan gue dari boss baru di kantor, dan setelah itu jemput dianya gue.
***
Damn it! Gue baru sadar nih kalo ketiduran, mungkin karena semalaman lembur di kantor? Supaya lebih segar, gue berenang di halaman belakang sekitar 30 menit. Gue biasa melakukannya sebanyak 3x seminggu, pagi hari dengan rentang waktu pukul 7-9 pagi, sesuai anjuran atau saran dari Mama. Keluar dari kolam renang, gue langsung mengeringkan diri dengan handuk dikursi panjang kayu pinggir kolam. Lalu, gue berjalan ke arah dapur.
Sekeranjang apel hijau yang selalu dibeli Bibi Maya atas permintaan Mama tersedia diatas meja makan, sebagai cemilan sehat sekaligus pengganti rokok gue. Iya, I was a smoker years ago. Banyak hal yang membuat gue menjadi perokok. Namun, ada pula beberapa alasan yang mendukung gue untuk hidup lebih sehat. Selain Mama yang merupakan seorang dokter, semenjak kakek gue, dari pihak Mama, meninggal karena kebanyakan merokok, gue memutuskan untuk berhenti. Hal tersebut juga didukung dengan gue yang saat ini sudah bersama Saoirse, she hates cigarettes. Lagipula, gue belum siap mati! Punya bekal apa gue pengen mati cepat?
Sembari menghabiskan apel, gue memanggil Bibi Maya. Gue ingin mengajaknya pergi ke Stasiun Bandung, ikut menjemput Saoirse. Namun, ngga ada satupun panggilan dari gue yang dijawab olehnya. Gue baru ingat, sebelum Bibi Maya pergi, biasanya beliau selalu meninggalkan notes di meja makan. Ternyata, Bibi Maya pergi berbelanja ke Riau Junction. Nah, kalau seperti ini, biasanya gue suka bingung harus melakukan apa. Akhirnya, gue coba untuk sign in kembali di Instagram. Sebelumnya, gue memang hiatus dari semua sosial media yang gue punya. Hal itu disebabkan oleh masa lalu gue yang cukup buruk, kesibukan berpindah kota kesini, dan belajar beradaptasi di kantor baru. Saking sibuk karena 2 hal terakhir itu, kemana-mana pun gue masih bergantung pada Google Maps. Termasuk sebentar lagi akan menjemput Saoirse. Eh iya, Saoirse kan pulang hari ini ya? Kok jam segini gue masih leha-leha di rumah?
Ngga pakai mikir, gue langsung tancap gas ke Stasiun Bandung. Terpaksa, gue mengendarai mobil, karena gue yakin banget sebentar lagi hujan akan turun, dan Saoirse pasti kelelahan akibat berjam-jam duduk dalam kereta api. Gue pun menarik nafas lega, setelah sadar kalau gue sudah mengganti celana, dari celana pendek berbahan kaos menjadi celana jeans panjang. Mumpung masih setengah jalan perjalanan, gue mengirimkan Saoirse sebuah chat.
To: Ethereal S. D. Saoirse
From: Alwyn Rayhanda A. S.
“Sha, kamu dimana? Aku masih di jalan, kayaknya bakalan hujan nih… kamu jangan pulang sendiri ya. Please call me back kalo mau sampai di stasiun.”
Gue semakin merasa lega, karena gue tahu bahwa chat gue telah sampai pada Saoirse, lewat keterangan ceklis dua. Biasanya, ketika dalam perjalanan, kemanapun itu, dia suka sekali menonaktifkan HP nya. Kadang, hal itu membuat gue khawatir, karena Saoirse pernah memiliki trauma bepergian sendiri. Mulai lagi kan… gue cepat-cepat menghalau kekhawatiran tersebut, dengan berusaha kembali fokus menyetir. Melihat plang toko bunga milik seseorang yang kami berdua kenali, gue mampir sebentar membeli bunga kesukaannya.
Keluar dari toko tersebut, gue kembali melanjutkan perjalanan menuju stasiun. Wah, rasanya gila sih sekarang ini... gue happy banget mau jemput Saoirse. Padahal, sejak 2 hari yang lalu gue sudah tahu dia mau pulang, walaupun gue telat berjam-jam membaca chat nya. Hmm, apa karena gue terlalu kangen dia ya?
ns 15.158.61.48da2