Kalo biasanya jam segini gue belum bangun, biasanya Bibi Maya udah ribut untuk bangunin gue yang super sleepyhead ini. Tapi, karena saat ini gue stay di rumah Saoirse, untuk hari ini gue ngga dengar suara beliau, hehehe…
Gue melihat ke ruang tamu, ternyata Saoirse ngga ada disana. Gue cari ke ruang TV, pun sama, kosong. Gue memanggil namanya berkali-kali ke seisi rumah, tapi yang gue temukan hanya lampu CCTV yang berkedip-kedip setiap satu jam sekali.
“Ray, aku disini!”, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang arahnya seperti dari luar rumah. Gue berlari kecil mengikuti sumber suara.
Dia disana. Saoirse dengan piyama snoopy nya ada di taman belakang, menyiram berbagai bunga di taman rumahnya, dan tersenyum melambaikan tangannya ke gue. Dia merentangkan tangannya, dan dengan senang hati gue berjalan kearahnya, menyambut rentangan tersebut.
“Aku fikir kamu kemana, Sha… kamu sebelum ke taman ngapain? Looking for breakfast, huh?”
“Sayang, ngga kok. Aku udah masak buat kita, Ray. How’s your sleeping, btw?”
“Nyenyak banget, apalagi pagi-pagi udah dipeluk gini sama istri, disenyumin lagi!”
“Rayhaaan, calon ya… masih calon!”
“Kan nantinya emang bener, kamu bakalan jadi istri aku. Atau… you don’t want to ya, Bébé?”
Dia melepaskan watering can ditangannya dan melepaskan pula tubuhnya dari pelukan gue. Dia menggamit tangan gue menuju ruang makan yang letaknya dekat dengan dapur.
“Wah, Bébé masak apa nih? Pasti enak! Semalam aja enak banget lho lasagnanya.”
“Hihihi… terimakasih, my love! Aku…”
“Eh... eh… apa tadi? My love? Aku ngga salah denger?”
Selama ini, cuma gue yang punya panggilan lebih dari 1 buat Saoirse. Tapi, kali ini, jadi ada panggilan tersendiri dari dia buat gue. Kenapa… gue merasa special banget ya? Rasanya kayak makin jatuh cinta setiap hari sama ini cewek. Gila…. bisa jadi bucin mampus ini gue.
“Iya… ‘my love’, I wanna call you with that, not only ‘sayang’. You have cute calling or naming, whatever it calls, kayak Bébé and Princess. Jadi, aku mau panggil kamu, ‘sayang’ dan ‘my love’. Pas aku coba latihan, kayaknya emang agak aneh. Tapi, gapapa deh, aku coba, hehehe… maaf ya Ray, kalo agak kaku, aku masih belajar.”
“Bébé… gapapa, aku suka kamu kayak gini. You’re making me a special man. Malah aku yang jadi gemes. Kamu tuh kenapa sih 2 hari ini jadi ajaib begini? I’m fucking more into you, Sha. Bisa ga sih kita married nya dicepetin aja? I wanna make you are really fully mine, so I can put another names or callings like “my wife” and “Saoirse Alethea Sabine.”
***
Siang hari ini, gue memutuskan untuk mengajak Saoirse jalan-jalan ke museum. Kita sama-sama suka melakukan museum or art gallery date. Kali ini, kita pergi ke Semesta Gallery di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Sesampainya disana, gue membantunya untuk turun dari mobil. As always, we hold each other’s hand and stroll around the area.
“Sha, rasanya enak ya bisa jalan-jalan kayak gini? Pergi sering-sering ke tempat yang kita suka. Jujur, akhir-akhir ini aku jadi ngerasa capek juga jadi auditor kayak begini. Suka kefikiran aja gitu tiba-tiba, kalo aku banting setir atau vakum dulu, gimana ya?”
“Itu terserah kamu, Ray. Kamu yang ngejalanin pekerjaan itu. Kalo capek, jangan lupa bua istirahat dulu, sebentar aja. Kamu tuh kebiasaan juga, sayang, kalo udah capek kerja itu masih diterusin. Ngga baik kayak gitu, Ray.”
“Hmm, tapi aku juga suka sih sama akuntansi. Mungkin, aku lagi jenuh aja ya sekarang?”
“Iya, lagi jenuh aja, mungkin. Aku lihat, kamu enjoy kok. Coba deh, lihat apa yang udah kamu peroleh sekarang ini dari bekerja sebagai auditor. Apa aja?”
“Banyak. Banyak banget, Bé. Ya ngga cuma materil ya yang aku dapet, tapi kayak pembelajaran critical thinking, skeptis dalam dunia profesional, kecerdasan emosi, sama yang paling penting sih kepoku bermanfaat. Kalo aku inget-inget lagi, aku jarang kepo gitu soalnya. Aku juga bisa bantu Erica ngebangun bisnisnya, lewat beberapa perspektif bisnis yang pernah aku kasihtahu ke dia.”
“Tuh kan, banyak banget yang bisa kamu dapetin sekarang. Kamu udah membantu banyak orang, Ray. Kamu cuma ngga sadar itu aja.”
Masih dengan genggaman tangannya yang bertaut disela-sela jemari gue, Saoirse berjalan terlebih dulu. Ia mengangkat kamera polaroid yang dikalungkannya dan memotret beberapa sudut dari Semesta Gallery. Dari pancaran matanya, gue bisa tahu betapa cintanya dia sama tempat ini, walaupun baru 1x kesini, and just call it love at the first sight.
Gue melepas tautan jari kami dan membiarkannya lebih bebas bergerak. Dari belakang, gue menggumam, “Betapa beruntungnya gue memiliki calon istri seperti dia, yang dewasa dan mampu membuka pikiran gue dikala penat, dan ternyata sangat mencintai gue. Kenapa ngga dari dulu aja ya gue jadikan dia pacar gue?”
“Sha, aku boleh tanya ngga sekarang… kamu kemarin ngilang kemana?”
“Aku… aku baru balik tadi pagi dari luar kota, Ray.”
“Luar kota? Kamu pergi kemana, Sha? Mas Ben tahu soal ini?”
“Nggak… kakak aku ngga tahu aku pergi ke Malang…”
“Malang?! Sha, gapapa deh kalo misalnya kamu ngga kasih tahu aku. Mungkin, karena kita belum married juga. Tapi, lain kali kamu harus kabarin Mas Ben ya? Aku udah janji sama Mas Ben, kamu ingat kan? Aku bertanggung jawab atas kamu, since day 1 we’re together, right?”
“Iya Rayhan, aku ingat kok. Ingat banget. Tapi, aku udah dewasa. I feel like I’m always fine to do everything alone. Aku gapapa, kamu lihat kan sekarang?”
Gue menatap dirinya lekat. Gue menarik napas sedalam dan sepelan mungkin gue hembuskan. Dia selalu seperti ini, very independent. She’s such an alpha woman. Namun, terkadang gue ngerasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan olehnya dibalik kemandiriannya itu.
“Selain itu, aku mau ngomong sama kamu suatu hal, Ray.”
DEG! Apa lagi ini, Sha? Jangan bilang putus, break, atau apapun itu yang mampu buat kita pisah. Please, don’t do this to me. Apa kamu tiba-tiba lupa sama kita yang bahagia banget kemarin, Sha? Don’t tell me.
“Ray, kamu tahu kan aku ingin banget jadi penulis novel?”
“Iya, aku tahu. Itu mimpi kamu sedari SMP, you told me 3 months ago.”
“Nah, sejak 3 bulan lalu di pameran buku itu, aku jadi mikir, Ray. Aku mau serius ngejar mimpi aku. So, I decided to quit from my job last month.”
“What? Are you serious, Sha?”
“I’m serious. Aku udah ajuin one month notice ke HRD sebulan lalu, minggu depan aku udah fix keluar dari perusahaan aku kerja sekarang.”
“Bentar deh… kamu yakin? Sha, kamu masih bisa lho untuk ngerubah keputusan kamu, kalo kamu masih belum yakin 100%.”
“Yes, aku yakin kok, 1000%. Aku mau jadi penulis, Rayhan. I’ll do everything to make it happen.”
“Tapi, kamu tahu kan Sha, jadi penulis itu ada prosesnya. Ngga hanya asal nulis, terus langsung jadi, dan bisa diterbitin. Kamu udah pikirin juga dari segi penghasilannya gimana?”
“Sayang, tenang dulu ya… dengerin aku dulu ya. Pertama, aku sudah research. Kedua, aku fikir…. aku ngga masalah sama pendapatan sebagai penulis, tabunganku masih cukup kok selama nanti proses aku belajar dan nulis novel. Ray, aku mau kerja dari sesuatu yang memang aku suka, aku ingin selamanya terjun didalam passion aku.”
“Okay, apa yang kamu rasain sekarang?”
“Happy. Ngga mungkin lah aku ngga bahagia. Kenapa? Karena saat ini aku udah ketemu waktunya, Ray. Kemarin adalah dinas dan proyek terakhir aku di kantor. I don’t have any responsibilities anymore. Aku ngga perlu lagi capek-capek cari tempat buat memperluas bisnis produk kantorku, ngga perlu lagi nge-desain store, no need to do hand-offer, dan semuanya yang berkaitan sama project management. I’m really down.”
Usai ia bicara, gue menggenggam jari-jarinya. Gue sentuh telapak tangan kanannya. Lalu, gue tatap matanya dalam-dalam. Ngga pernah gue sangka, gue terjebak dalam ruang keraguan sendiri. Takut kehilangan dia, tetapi sebagai calon suaminya, harusnya gue mendukung dia kan? Calon istri gue, Saoirse.
Walaupun, mungkin saja dia ngga akan selalu ada di rumah untuk gue. Gue hanya ingin calon istri gue bahagia lahir dan bathin. Kebahagiaan Saoirse ya kebahagiaan gue juga. Gue ngga mau terpaksa membiarkan dia pergi, tapi rasanya berat sekali untuk melanjutkan obrolan ini.
“Sha, kamu tahu kan kita akan menikah?”
“Iya, aku tahu. Kita akan menikah sebentar lagi. Sayang ya, Papaku ngga akan bisa lihat aku menikah…”
Terbersit kesedihan diwajah ayunya. Saoirse menunduk, melepaskan kedua tangannya dari genggaman gue. Diam-diam, ia menghapus air matanya. Begitu pelan sekali geraknya. Entah serindu apa dia saat ini dengan almarhum Om Alex. Oh iya, gue jadi ingat sesuatu. Mungkin, kalian masih merasa Saoirse itu ‘abu-abu’. Baik, sedikit banyak gue akan ceritakan hal mendalam tentang dia, dan kali ini beserta dengan keluarganya.
ns 15.158.61.20da2