Berkali-kali gue hubungi kang Demas, namun ngga kunjung mendapatkan jawaban. Berkali-kali juga gue hubungi teman-teman kantor, untuk menanyakan keberadaannya beliau. Akhirnya, gue memutuskan untuk meninggalkan pesan, dan voicemail, serta voice note. Gue ngga mungkin, meninggalkan Saoirse, yang notabenenya calon istri gue, hanya demi kerjaan. Gue ngga sempat memikirkan lagi, apakah client tersebut tiba di Kafija seusai gue dan Rano berangkat ke Bandung. Jantung gue berdegup cepat, ketika mobil ini memasuki parkiran RS. Borromeus. Setelah Rano memarkirkan mobil, gue berlari ke ruangan ICU. Dari kejauhan, terlihat Erica menunggui Saoirse disana.
“Er, Saoirse gimana?! Ini kenapa Saoirse masih di ICU? Saoirse gapapa kan?!”, tanya gue bertubi-tubi kepada Erica.
“Lo bisa tenang dulu ngga sih? Ini rumah sakit Ray, bukan cuma lo aja yang khawatir. Banyak orang yang khawatir sama pasien disini, termasuk gue sama Erica”, jawab Rano sinis.
Erica berusaha menenangkan gue, ia menyentuh pundak gue, dan mengajak gue duduk. Tatapan Rano terus berfokus pada aktifitas pemeriksaan dokter terhadap Saoirse di dalam sana. Gue coba sekeras mungkin untuk mengatur kekalutan gue, meredakannya agar layak untuk berbicara lagi.
“Kejadiannya gimana, Er? Kok Saoirse bisa sampe kayak gini?”
“Jadi, sebelum lo nganter dia ke Sandyakala, gue sempat telfonan sama dia. Gue cuma mau ngasihtahu, kalo dia diundang juga ke wedding nya salah satu teman angkatan kita dulu di SMA. Gue pun tahu ini dari Darius, hitungannya gue cuma nerusin pesan ini aja ke Saoirse.”
“Iya, iya, terus apa yang terjadi di Sandyakala?”
“Kata teman kantornya, Saoirse tiba-tiba ditemuin pingsan di ruang kerjanya. Dari hidungnya juga ada darah, dugaan temannya dia mimisan. Soalnya, temannya itu ngecek seisi ruangannya Saoirse, ngga ada bangunan yang mau ambruk. Saoirse ngga ketimpa apa-apa, tapi memang dia kayaknya demam, juga keringat dingin banget pas gue sampe disana terus gue pegang dia, dan tadinya mau ngetik suatu pesan buat lo. Darius yang bilang ke gue, dia yang ngebawa Saoirse ke mobil.”
“Darius? Maksudnya gimana sih, Er?! Gue ngga ngerti, kok bisa ada dia?”
“Tenang dulu ya, Ray. Tenang dulu… gue sama Darius tadinya emang lagi pergi keluar bareng. Kita sama-sama mau beli kado pernikahan gitu. Gue juga shock banget, pas tahu kabar ini. Makanya, gue tadi langsung hubungi lo.”
Gue berdiri mengamati ruang ICU ini. Dalam hati, gue berharap semoga pintunya segera terbuka, dan membawa kabar baik untuk gue dan semuanya yang hadir untuk Saoirse. Ketika gue ingin mengurus biaya administrasi rumah sakit, gue melihat dia. Darius masih ada disini.
“Ngga perlu. I pay for that."
“Oh, kalo gitu, makasih untuk itu. Tapi, lo ngapain masih ada disini?”
“Gue yang harusnya tanya sama lo! Lo calon suaminya, tapi lo ada dimana?! Lo tahu kan kerjaan Saoirse berat! Susah buat dia berhenti kerja, even udah official resign dari Sandyakala. Control dong calon istri lo yang workaholic, katanya mau nikah? Tapi, lo malah ngebiarin dia masih kerja yang berat...”
“Eh, diem ya lo! Ngga usah sok tahu soal Saoirse, lo cuma masa lalu dia dan gue masa depannya! Lo ngga berhak sama sekali untuk ikut campur, apalagi sok tahu, tentang hubungan gue dan Saoirse. You know nothing about us. Ngerti lo?!”
“Wow, justru karena gue ngerti dan gue ngga habis pikir, kok bisa Saoirse dijodohin sama orang kayak lo? Jangan pikir gue ngga tahu, kalo semenjak dia sama lo, ada aja hal-hal sulit yang terus menimpa dia. Sadar ngga sih lo, man? Ngga usah pura-pura bodoh… atau selama ini lo tutup mata? Egois banget lo!”
Sumpah, bacot banget ya ternyata si Darius ini? Gue ngga ngerti, apa sih bagusnya ini orang, sampe Erica pernah bilang bahwa lebih baik Saoirse bersanding sama manusia kayak dia, dibandingkan dengan gue yang sepupunya sendiri? Ngga tahan banget nih tangan gue buat bogem si Darius bin sotoy ini. Untung, gue masih tahu diri, sekarang lagi ada dimana.
“Ray, udah. Ingat, Saoirse ngga suka keributan. Lo tahu kan?”, tanya Rano.
Gue mengangguk, menjauh kearah kursi diujung lorong. Segala upaya gue coba untuk menenangkan diri, sembari mengatur emosi yang harus banget dikeluarkan ini. Gue berusaha mengingat-ingat kembali, kejadian sebelum Saoirse pingsan di kantornya.
***
“Bébé, kamu ngapain sih masih ke Sandyakala? Kan udah resign.”
“Sayang, ada beberapa barang aku yang masih ketinggalan disana. Aku harus ambil, Ray.”
“Ngga bisa dikirim aja ya pake ojol? Aku yang orderin deh Sha, gapapa.”
“Bisa, tapi aku sekalian mau ke toko souvenir dekat kantor. Buat teman aku, Ray. Gapapa ya? Dekat kok, tinggal jalan kaki.”
Gue mendengus pelan, entah kenapa ingin sekali memeluknya. Jauh dilubuk hati gue, rasanya berat ingin pergi tugas dinas hari ini. Ngga ingin kemana-mana, maunya di teras rumah Saoirse seharian ini.
Gue cium pucuk kepala dan rambutnya, “I love you Sha, jangan capek-capek. Kamu udah ngga tidur selama 2 hari untuk nulis. Kita kan juga mau lihat beberapa wedding venue besok, Sha”, bisik gue ditelinganya, masih dengan keadaan mendekapnya erat dalam mobil.
Ia membalas pelukan gue, kemudian berkata, “Sayang, gapapa kok. Aku bisa jaga diri, beneran deh gapapa. Aku masih bisa tidur kok selama kamu nyetir, iya kan?”, jawabnya ringan dan tak lupa, ia tersenyum begitu manis. Satu kata yang membuat hati gue selalu berdesir, sejak pertama kali dia memanggil gue dengan sebutan itu, ‘sayang’.
***
Gue menyisir rambutnya dengan jari-jari gue, sekaligus upaya membangunkannya, “Bébé, bangun dong… bangun yuk, udah sampe nih di Sandyakala.”
Saoirse pun bangun, ia merentangkan kedua tangannya, “Beneran udah sampe? Sini, Ray.”
Langsung gue peluk dia kembali, kemudian ia mencium pipi kiri gue, “Bébé, lagi kenapa sih? Tumben banget. Aku lagi ganteng banget ya hari ini?”
Dia tertawa, mendorong pelan bahu gue, “Hahaha, pede! Eh, tapi bener sih… dikit. Ngga tahu kenapa, aku kangen banget sama kamu. Padahal, kamu sempat nemenin aku nulis di rumah beberapa hari ini.”
Gue tersenyum, mengacak-acak rambutnya, dan kemudian gue rapikan kembali. Saoirse yang cuek dan jutek, sebegini handalnya lho, mampu buat gue jatuh cinta berkali-kali. Mungkin ini kali ya, cara Tuhan ngebuat gue sadar, kalau Dia begitu menyayangi gue lewat kehadiran Saoirse disisi gue?
“Bé, sebelum kamu turun, kamu inget ngga sih tentang love language yang kamu sempet obrolin ke aku? Yang pas kamu masak lasagna itu lho di rumah.”
“Iya, ingat kok. Kenapa?”
“Kayaknya, aku tahu deh, bahasa cintaku apa aja. Aku kira, aku cuma punya 1, physical touch aja.”
"Kalo udah tahu, coba tebak apa aja?”
“Kan katanya ada 3 ya biasanya pada diri seseorang. Nah, kalo aku itu kayaknya…”
“Bentar! Biar aku yang tebak.”
Gue mengangguk, seraya memicingkan mata kearahnya seperti berkata, “Hayo, apa coba bahasa cintaku? Ada 2 lagi kan, Bébé”, Saoirse memainkan jarinya, ia putar-putar bak menganalisa diri gue.
“Sayang, aku sekarang tahu!”
“Tell me, Princess.”
“My love, aku tahu mungkin ini ngga urut, tapi 99% aku yakin pasti benar. Physical touch, quality time, and words of affirmation. Am I right?”
“YOU KNOW ME SO WELL, Bé! Benar semua kok. How cool you are, Princess!”
“Iya dong, masa 3 tahun aku ngga tahu apa-apa tentang kamu. Yaudah ya, aku turun dulu Ray, kamu hati-hati lho berangkatnya. Ingat, jangan ngebut! Atau nanti aku cembetut!”
“Siap, Bébé! Tolong kabarin aku ya kalo mau ke toko souvenir nya. I love you always Sha, take care.”
“Will do, sayang, I love you even more, Rayhan.”
ns 15.158.61.8da2