Gue tahu, sangat amat terlambat untuk menyadari bahwa Saoirse is my favourite person in the world. She's my another safe places after my family. Sejak dulu hingga kini, dia masih jadi Ethereal Sansa Diandra Saoirse yang gue kenal sedari SMP. Oleh karena itu, ngga ada satu hal pun dari dirinya yang ingin gue ubah. Sekalipun, hobi barunya buat travelingdan open trip. Jujur, gue sebenarnya kurang suka kalau Saoirse bepergian sendiri. Bukannya gue ngga percaya, tapi gue takut kalau pengalaman buruk dia terulang lagi. Ia merupakan anak perempuan satu-satunya dan gue ngga mau ngerusak kepercayaan dari mas Ben, kakaknya.
Hingga hari ini, gue bahkan ngga percaya, kalau gue sedang menjalani ‘semuanya’ dengan dia. Ketika Saoirse lewat di lapangan upacara untuk pertama kalinya, dia yang ngga jadi sekelas sama gue, kita yang selalu diolok-olok sama teman-teman di kelas karena katanya saling suka, dia yang hampir jadi anggota band gue, dan dia… satu hal yang paling membuat gue menyesal karena ngga pernah ‘melihat’ dirinya sejak dulu. Dia selalu ada buat gue, sekalipun gue merasa hancur dan ngga bernilai buat bokap gue. Dia ngga pernah men-judge gue, apalagi ketika dia tahu gue merokok, dari sahabatnya, Rano. Gue jadi ingat salah satu moment SMP yang pernah terjadi berulang kali, teman-teman sekelas gue sering mengejek dia yang katanya suka sama gue. Padahal, Rano bilang, dia ngga suka sama gue, karena gue perokok. Selain itu, dia ngga merasa kenal sama gue, hanya sekedar tahu saja.
Since I’m with her, Rano banyak cerita ke gue tentang dia. Sebelum pindah ke sekolah, Saoirse sering di bully sok popular dan kuper sama teman-teman di sekolah lamanya, karena ke sekolah masih naik bus jemputan kayak anak TK. Sumpah, menurut gue sih aneh, kalau seseorang di bully karena alasan ngga masuk akal seperti itu. Untungnya, Saoirse itu cueknya setengah mati kalau sama orang yang ngga dia anggapnya. Asal lo tahu nih, prinsip Saoirse dulu, ‘cuma numpang duduk di sekolah, terus pulang ke rumah’, kebayang kan cueknya kayak apa? Gue sih kebayang.
Oh iya, kenapa malah jadi flashback begini?
Saking khidmatnya flashback, gue ngga sadar kalau mobil sudah memasuki parkiran Stasiun Bandung. Gue mengambil se-bucket bunga rangkaian Erica, sepupu gue sekaligus sahabat Saoirse sejak SMA, untuk dibawa masuk kedalam ruang tunggu stasiun. Dari kejauhan, gue melihat dia yang tersenyum melambaikan tangan kanannya keatas. Dengan postur tubuh gue yang… kata dia kayak jerapah ini, memungkinkan untuk gue menemukan dirinya ketika ia nyasar di tempat ramai.
“Rayhan!”, teriaknya riang. Please... I miss her voice!
Cewek unik dari Jalan Cihampelas itu berlari-lari kecil kearah gue, dengan rambut model double buns nya yang lucu, mengingatkan gue kala pertama kali kita ngga sengaja bertemu di pensi SMK gue, guest star nya Vierratale, band kesukaan Saoirse. Hhh... kenapa sih ada manusia selucu ini? Gue jadi semakin gemas, sekaligus merutuki diri sendiri. “Gila lo Ray, kemana aja sih kemarin-kemarin?!”, keluh gue dalam hati. Untung Saoirse bukan boneka, coba kalau iya… sudah gue cubit-cubit tiap hari, terus gue masukkin kedalam tas untuk menemani gue dipesawat sewaktu-waktu. Ngga peduli deh Erica bakal ngecengin gue karena punya boneka!
“Kamu apa kabar, Ray? Kamu sakit ngga selama di Makassar kemarin?", tanyanya sembari meletakkan tangan mungilnya di dahi gue.
Ngga habis pikir sih gue, kok dia masih sempat-sempatnya mengkhawatirkan orang lain dulu ya? Selama ini, dia ngga pernah bilang, “Aku capek banget, pulang yuk!”, seperti yang umumnya orang-orang bilang kalau habis bepergian jauh. Gue tahu banget Saoirse pasti lelah, bukan pada tahap capek lagi.
Lalu, dia merapikan rambut gue, yang ngga pernah gue sisir seusai mandi. Lagi, dia ngga pernah protes soal itu. Terkadang, sebelumnya dia berkata demikian, “Ray, aku izin rapihin rambut kamu ya, biar makin bagus”, kemudian tersenyum. Saoirse selalu berhasil membuat crush nya 2 tahun lalu ini terenyuh. Oleh karena itu, gue paling ngga mampu untuk menahan hati memeluknya. Gue peluk dia dengan tangan kiri, kemudian gue kecup dahi dan rambutnya. Gue usap-usap punggungnya dan bilang, “Welcome home, Bébé!", sembari memberikan bucket bunga dengan sebelah tangan kanan gue.
“Ray, ini maksudnya apa? Kok kamu tiba-tiba bawain bunga aster begini?”
“Ya... aku kangen kamu. Gapapa kan?”
Dia terlihat bingung mendengar jawaban gue. Gue sendiri juga berpikir keras saat ini, “Kenapa lo jawab begitu sih, Nyet?!”, tanya gue pada diri sendiri. Gue merangkul dia, mengajaknya berjalan ke arah mobil.
“Kamu diajarin sama siapa romantis begini, hayo?”
“Ngga ada, ngga ada yang ngajarin. Aku kan emang romantic dari dulu, kamunya aja yang kemana...”
“Iya deh, Rayhan yang romantis. Hmm, berarti sama yang ‘dulu-dulu’ juga begini dong? Ketaker banget deh kamu, Ray!”
“Ih, ngga begitu, Sha. Masa aku tega sih nyamain kamu sama mantan-mantan aku? I just wanna make you happy, every single day in our lives. Sekarang kita lagi ngga jauh-jauhan, jadi biarin aku lakuin ini ya, Sha?”
“Iya... okay. Hmm, gimana Makassar? Tolong dong, ceritain ke aku. Aku orang Makassar, tapi belum pernah nih kesana.”
Dia cemberut usai menatap gue, ugh... she’s such a baby. Kadang, gue suka berfikir atau bertanya-tanya sendiri, terutama disela-sela waktu gabut. Sebelum ketemu dia lagi beberapa tahun lalu, kebaikan apa saja sih yang pernah gue lakukan di masa lalu? Sebanyak apa kebaikan yang gue lakukan bahkan kasih ke orang lain, sampai Tuhan kembali menghadirkan dia dalam hidup gue? Masa iya, cuma karena gue rela nemenin Erica refreshing nonton Game of Thrones selama seminggu, terus tiba-tiba hadiah dari Tuhan sebegini indahnya buat gue? Mana dia sopan banget lagi… kadang gue suka ngerasa ngga pantas buat dia, fyi. Apalagi kalo melihat ulang cuitan gue di Twitter, kontras banget bahasanya sama Saoirse, jadi miris sendiri begini gue…
“Hei, aku nanya lho barusan. Kamu kok diem aja sih, Rayhan?”, tersebut nih nama lengkap gue, pertanda Saoirse mulai geregetan.
“Belum jawab apa, Sha?”, tanya gue, sembari mengelus pipinya yang glowing kayak kaca di kamar Rhea.
“Aku tadi tanya, kamu tuh kabarnya gimana… sakit juga ngga selama aku pergi, aku tadi tanya itu ke kamu", jawabnya lembut dengan tatapan mata yang terpaku pada gue.
Gue mengalihkan pandangan, yang awalnya lurus ke jalan, berpindah tepat di manik mata miliknya yang selalu gue kagumi, “Aku gapapa, Sha. Aku baik-baik aja, as long as I’m with you, everything goes well”. Dia pun tersenyum, kemudian tertidur dengan headphone berwarna hijau yang terpasang ditelinganya. Gue ngga nyangka, barang itu masih ada sampai sekarang. Sewaktu kuliah, Saoirse sering banget pakai headphone itu, apalagi kalau naik KRL atau commuterline.
Sebisa mungkin, gue mengendarai mobil dengan santai. Sekeras mungkin, gue coba untuk mengingat-ingat rute arah rumah Saoirse dari stasiun. Sesekali, gue elus rambut panjangnya yang sudah tergerai. Sebelum sampai, gue memarkirkan mobil di parkiran supermarket terdekat. Gue tatap Saoirse yang masih tertidur, persis banget kayak Aurora si Sleeping Beauty. Setelah gue amati, dia terlihat pucat dan lelah, tertidur pulas sembari memeluk bucket bunga yang gue berikan. Mudah buat gue menebaknya, ia pasti lupa makan. Saoirse seringkali seperti ini, memperdulikan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Dia yang terlalu baik, terkadang membuat gue takut akan sakit maag yang dideritanya sejak SD kembali kambuh.
Demi mengurangi kekhawatiran gue akan kesehatannya itu, gue rapikan anak-anak rambutnya, kemudian gue ambil dompet di laci dashboard, dan turun dari mobil. Tak lupa, gue mengunci mobil dengan remote mobil agar aman. Gue masuk ke dalam supermarket dan melihat-lihat apa saja yang ada disana. Ngga butuh waktu lama, keranjang belanjaan gue sudah terisi dengan beberapa makanan, cemilan, dan minuman. Sesampainya dimobil, gue taruh plastik belanjaan di kursi belakang. Setelah itu, gue nyalakan radio mobil, biar ngga sepi-sepi banget.
“Ray...”
“Eh, kamu kebangun ya, Sha? Ah, pasti aku nyetel volume radionya kelebihan lagi nih... aku kecilin atau matiin aja deh.”
“No! Begini aja Rayhan, gapapa kok. Aku emang udah bangun juga, around 10 minutes ago. Tapi, aku baru buka mata pas kamu udah masuk mobil. Tadi aku kebangun karena suara orang-orang ribut gitu. Ternyata, lagi konvoi.”
“Hah, konvoi?!”
“Iya, tapi...”
“Sha, maafin aku. Kamu ngga kenapa-kenapa kan? Ada yang luka ngga? Atau kaca mobil sempet digedor ngga? Sumpah, aku tadi udah nge-lock mobil sebelum turun. Duh! Harusnya tuh tadi aku ngajak…"
“Rayhan, udah... aku gapapa kok. No need to worry ya, I’m fine. Kamu belanja apa tadi? Ada di kursi mobil belakang ya? Aku mau lihat.”
Lagi-lagi gue dibuat terenyuh olehnya, Saoirse si boneka hidup. Ngga ngerti gue, dia selalu mampu bikin gue tenang dan khawatir diwaktu yang sama. Bahkan, seolah-olah kayak ngga terjadi apa-apa sebelumnya. Demi Tuhan, gue ngerasa bersalah dan parno setengah mati saat ini. Andai dia tahu seberapa besar ketakutan gue terhadap kejadian yang sama beberapa tahun lalu.
“Yaudah... kita pulang, yuk? Kamu pasti ingat Rhea yang pernah kejebak konvoi beberapa tahun lalu”, she’s telling me very on point.
Daripada gue makin panik, gue cuma bisa menggenggam tangannya dan berkata, “Iya, aku takut. Kita langsung pulang ya, sekarang.”
Sepanjang perjalanan, Saoirse tertawa kecil melihat layar ponselnya. Ia ngga melanjutkan tidurnya, karena dia bukan sleepyhead. Kalo sleepyhead sih gue banget. Waktu gue tanya kenapa dia ngga tidur lagi, dia cuma menjawab, “Aku udah banyak tidur dari kemarin, tapi sempet kok buat beliin kamu sama Bibi Maya sesuatu”. Dia menoleh ke jok mobil belakang dan menunjuk beberapa paperbag yang dibawanya dari Malang. Saoirse bilang, dia membawakan gue dan Bibi Maya oleh-oleh, Strudel Malang.
“Okay, tapi… kayaknya kita langsung balik aja ya ke rumah kamu, Sha?”
“Lho, kenapa? Kamu ngga mau mampir kemana dulu, gitu? Biasanya kalo habis jemput aku, kamu mau melipir dulu, Ray.”
“Ngga, lain kali aja. Sekarang ini, buat aku yang penting itu kamu istirahat dulu, kan capek 2 minggu terjun langsung ikut kegiatan sosial di Nganget, terus pergi ke Malang lagi.”
“Kalo mampirnya ke rumah kamu, boleh ngga? Aku pengen main sama Carmen, kangen.”
Gue merasa aneh karena tersaingi dengan Carmen si kucing munchkin, “Jadi... kamu segitu kangennya sama si Carmen?”
“Iya, emangnya kenapa?”, dia yang seperti ini menambah tingkat kegemasan gue akan dirinya. Soalnya, kadang-kadang Saoirse suka flat banget, polosnya keterlaluan.
“Kamu ngga kangen gitu sama aku? Aku lama lho di Makassar, Sha.”
“Rayhan, udah deh… aku mendadak kangen sama Carmen karena liat meme kucing yang di share sama Rano di Whatsapp status. Ini lho, isn’t it cute? Btw, kamu ngga mau nambah kucing lain gitu di rumah?”
“Sha, kamu sejak kapan sih jadi suka banget sama kucing begini? Perasaan, baru deh… belum lama kan?”
“Ya… iya, kan kalo dulu aku takut banget sama kucing. Habisnya, kucingnya nakal! Pernah nyakar kepala aku pas masih kecil. Tapi, aku sebenarnya ngga tega kalo ada kucing yang terlantar gitu sekarang. Apalagi kalo ingat Carmen, pasti dia tambah seru di rumah kalo ada teman mainnya. Bener kan, Ray?”
Gue bergumam, “Teman mainnya Carmen…”, okay baik… untung aku sayang banget sama kamu, Sha. Terserah kamu deh, kali ini aku ngga bakal protes
ns 15.158.61.48da2