Everything happens for a reason, no one knows about the future. Gue bertemu kembali dengan Saoirse ketika awal-awal berkuliah, sewaktu sama-sama kuliah di Jakarta. Namun, kampus dan jurusan kita berbeda. Gue memilih akuntansi dan Saoirse memilih Administrasi Bisnis serta Arsitektur. Canggih ya dianya gue? That’s how lucky I am.
The journey of ours, Rayhan dan Saoirse. Kala itu, gue dan Saoirse masih berusia 18 tahun, ketika kami mulai mengenal masing-masing. Ngga hanya sekedar tahu seperti saat SMP. Tentunya, saat itu gue masih bersama yang ‘lain’. Hingga saat ini, stasiun KRL masuk kedalam beberapa tempat bersejarah buat gue. Oh iya, lucunya, setiap kali kita ketemu di lokasi yang sama, pasti selalu gue yang menyapanya terlebih dahulu. Saoirse ngga pernah sadar bahwa ada gue disana. Mungkin, saking cueknya dia, ngga cuma kehadiran gue yang ngga disadari olehnya. Tetapi, HP nya hilang pun juga ngga dia sadari. Sampai sekarang, gue juga masih penasaran. Kok bisa hilang ya? Padahal, gue disebelah dia, dan dia memegang saku almet kampusnya. Secara logika, harusnya gue merasa ada yang aneh saat itu pada penumpang KRL yang berdiri disebelah kanan Saoirse. Kenyataannya, semuanya berjalan biasa saja.
Uniknya, pertemuan gue dan Saoirse ngga hanya terhenti sampai disitu. Entah selang beberapa bulan, kita berdua selalu ketemu lagi, dan ngga pernah disengaja. Kami masih kerap bertemu di stasiun KRL, tapi dalam masa yang berbeda. Awal masuk kuliah, pertengahan masa kuliah, dan ketika sudah sama-sama kerja dengan status ‘anak kantoran’. Ngga ada yang berubah dalam kurun waktu berbeda itu, gue masih bertemu dengan Saoirse yang sederhana dan ngga pernah memoles makeup diwajahnya. Kecuali, dia yang makin sibuk kerja, terlihat dari barang bawaannya ketika melanjutkan pekerjaanya di sebuah coffeeshop yang sempat gue datangi bersama mantan pacar gue. Saat itu, gue sedang iseng melihat Instastory of people I follow, tiba-tiba muncul lah pemberitahuandari akun miliknya. Then, she was there, wore her glass like I did. Ingin rasanya memanggil Saoirse, sebelum dia naik ke lantai 3. Tapi, saat itu kan ngga mungkin ya, gue memanggil perempuan lain di depan mantan pacar gue? Yang ada, Saoirse keburu ilfeel duluan sama gue. Makin ancur aja image gue depan dia.
Bersyukurnya, moment itu terus berlanjut hingga saat ini. Nantinya, moments yang gue dan Saoirse lewati dimasa lalu akan menjadi kumpulan kisah berharga yang sampai tua nanti akan selalu kami kenang serta ceritakan ke anak dan cucu. Mereka harus tahu, sebangga apa gue sama Saoirse. It’s rare to find or meet your other half since you’re both young, but I got that opportunity. Tuhan memberikan petunjuk yang sangat dini untuk gue dan selama 2 tahun gue ngga pernah ‘melihat’ kehadiran seseorang yang Dia berikan. Ngga kerasa, waktu berjalan begitu cepat. Saat ini, dia ada dalam hidup gue, for real, man! Kalau lo pernah dengar lagu 18 nya One Direction, mungkin tanpa gue sadarpun hal itu pula yang gue rasakan ke dia. She was my school-mate, sekalipun kita ngga sedekat saat ini.
***
Banyak yang bilang, bahwa pertemuan pertama itu ngga akan mungkin terlupa, oleh siapapun yang mengalaminya. Begitu juga dengan gue yang mampu mengingat semuanya dengan utuh, dengan bahagia gue bisa membagikannya bersama kalian seperti celotehan gue sebelumnya. For me, semua hal tentang Saoirse sangatlah berkesan dan indah. Apalagi, ketika gue dan dia mulai berbicara secara langsung. Biasanya, kami hanya berinteraksi melalui Twitter. Kalau sekarang, Saoirse ngga active nge-tweet lagi. Berbeda dengan gue yang masih sering nge-tweet karena disanalah zona nyaman gue, lebih tepatnya sih bebas misuh-misuh dan melampiaskan rasa kecewa akan sesuatu, termasuk pada diri gue sendiri.
It’s funny, pertemuan gue dan Saoirse yang disertai dengan hilangnya HP miliknya adalah moment kesukaan gue. Pagi itu, gue sedang duduk santai menunggu KRL tujuan Jakarta Kota, yang mana sekitar 10 menit lagi akan tiba. Dari kejauhan, gue seperti mengenali sosok perempuan berkuncir kuda yang arah jalannya akan melewati tempat gue duduk. Semakin dekat, gue coba memberanikan diri memanggilnya, “Saoirse!”.
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sesosok manusia yang baru saja memanggil namanya. Saoirse menyadari bahwa orang tersebut adalah gue, ketika dirinya menoleh ke belakang.
“Rayhan? Aku kirain siapa tadi. Soalnya, ada yang manggil aku, tapi… orangnya ngga kelihatan.”
“Hehehe, iya Sha, aku tadi duduk dibawah, itu… disamping kursi, diatas semen.”
“Pantesan ngga kelihatan, kamu disitu toh...”
“Habis, kursinya penuh semua, didudukkin penumpang lain yang lagi nunggu KRL lewat.”
“Iya, aku juga daritadi ngga lihat ada kursi kosong.”
“Mungkin, kalo penumpang tujuan Manggarai udah turun, kita baru bisa duduk. Oh iya, kamu sering naik KRL dari peron ini?”
“Untuk sekarang sih sering pulang-pergi kuliah naik KRL. Soalnya, kakak aku ngga bisa antar aku lagi sampai ke kampus, dan begitu juga pas ngejemputnya. Katanya, beliau harus on site ketemu beberapa rekan kerjanya.”
“Kamu punya kakak?”
“Punya, namanya Benarga, biasanya dipanggil mas Ben.”
“Hmm, pas SMP aku ngga pernah lihat mas Ben, Sha.”
“Ya… itu karena kita ngga pernah sekelas. Aku juga akrabnya sama Rano, bukan sama kamu. Lagipula, mas Ben sibuk, ngga sempat buat ambil raport dihari yang sama.”
Setiap kali ingat awal-awal percakapan kita berdua, gue suka merasa aneh sama diri sendiri. Antara sok akrab banget dan mulai pikun lebih awal. Akhirnya, gue hanya bergumam dalam hati, “Oh iya ya, benar juga”.
“Sorry, aku ngga tahu…”
“Gapapa, santai aja. Mas Ben biasa ambil raport aku H+1 kok, langsung ketemu sama Bu Okeu.”
“Ah, iya ya, Bu Okeu! Sayang banget, banyak guru-guru kita yang dimutasi, salah satunya ya Bu Okeu itu, wali kelas kamu.”
Dia mengangguk, hanya mengangguk sesekali, kemudian mengedarkan pandangannya ke arah peron diseberang. Ternyata, jam digital pada peron arah Jakarta baru saja mati, dan hanya jam digital peron seberang lah yang menyala. Saoirse memicingkan mata, berusaha untuk tahu berapa menit lagi KRL akan datang. Tak lama, announcer stasiun memberitahukan bahwa kereta mengalami gangguan, sehingga mengalami keterlambatan tiba di stasiun ini.
“Eh, sorry ya, waktu awal-awal kamu pindah, beberapa anak sekolah kita ada yang ngecengin kamu, soal… kamu suka sama aku. Jujur, aku ngerasa ngga enak banget kamu digituin.”
“Oh… itu, gapapa kok. Aku juga ngga terlalu mikirin sih dulu. Cuma bingung aja, kok bisa ya anak-anak bilang gitu? Padahal, kita ngga akrab sama sekali. Aku emang tahu kamu, tapi aku kan ngga kenal siapa kamu.”
“Hmm, emangnya, apa yang kamu tahu soal aku?”
“Rayhan anak band, Rayhan anak OSIS, Rayhan anak futsal, Rayhan yang selalu masuk kelas unggulan. That’s all I know, selebihnya aku ngga tahu.”
Duh… innocent banget sih teman sekolah gue yang satu ini. Jarang lho, gue ketemu perempuan yang super polos kayak Saoirse. Apalagi dengan kalimat terakhirnya, yang masih terdengar lucu bagi gue. Selain itu, apa yang dia tahu, berbeda dengan apa yang kebanyakan orang lain tahu tentang gue, dan Saoirse ngga menyebutkan itu. Entah karena dia ngga enak menyebutnya atau dia betul-betul ngga tahu.
"Okay, mendingan... sekarang kita kenalan, untuk yang pertama kalinya. Namaku Alwyn Rayhanda Alethea Sabine, panggil aja… Rayhan. Soalnya, kamu udah manggil aku kayak gitu dari tadi. So, aku ituRayhan, lahir di Jakarta tanggal 15 Agustus 1997, tinggalnya sama kayak kamu di Bogor, baru lulus SMK akuntansi, sekarang lanjut kuliah D3 akuntansi di Jakarta, dan ini ID account LINE aku. Kalo kamu?”
Dia mengangkat kepalanya dan melihat tepat di kedua mata gue. Ia terdiam untuk beberapa saat. Gue ingin memecah diamnya, karena gue ingin tahu lebih banyak lagi tentang dirinya. Namun, gue urungkan karena matanya yang sangat indah dan teduh itu. Gue sampai agak terbata-bata mau lanjut ngobrol sama dia. Padahal, kalimat yang gue ucapkan sependek ini, “Sha, aku kecepatan ya ngomongnya?”. Lalu, kereta tujuan gue tiba. Suprisingly, dia naik kereta yang sama dengan gue. Sejak saat itu, gue baru percaya kalau Princess yang ada di buku-buku dongeng milik Rhea benar adanya.
Sialnya, ketika Saoirse hendak turun, ia baru menyadari bahwa HP disaku almet kampusnya tidak ada. Dia tidak jadi turun di stasiun tujuannya, tetapi ikut di dalam KRL sampai beberapa stasiun terlewati. Wajahnya terlihat panik sekali, perlahan memerah. Berulang kali ia bertanya kepada gue, apakah gue melihat HP nya yang jatuh atau sekedar mendengar suara benda keras terjatuh. Namun, gue sendiri ngga melihat atau mendengarnya. Beberapa penumpang lain yang menangkap signal panik darinya, membantu Saoirse menghubungi HP miliknya. Naas, tersambung namun tak ada yang mengangkat ponselnya. Tiba-tiba, ia teringat akan gerak-gerik dua orang penumpang yang cukup aneh turun terlebih dulu, ketika memasuki KRL seperti pura-pura hampir terjatuh dan mengenai bahu kanannya. Waktu itu, gue berdiri disisi kirinya, suasana dalam KRL pun tidak seramai hari-hari biasa.
“Kemana sih HP nya?! Biasanya aku taruh disaku, mode nya juga aku vibrate, dan ngga kenapa-kenapa. Saku almet nya pun ngga bolong. Kok bisa ya?”
Matanya menahan tangis, perlahan-lahan redup dan sendu. Ia melihat jam monol hijau yang dipakainya ditangan kanan. Tbh, gue bingung harus melakukan apa. Soalnya, waktu itu adalah pertama kalinya orang yang gue kenal kehilangan barang miliknya, dan saat itu sedang bersama gue. Hati gue terdorong untuk menenangkan dirinya, tetapi Mama pernah bilang untuk jangan menyentuh orang sembarangan, apalagi perempuan. Oleh karena itu, gue urungkan niat menyentuh bahunya.
“Rayhan, aku boleh minta tolong ngga?”
“Hah? Ap… apa, Sha? Boleh kok, gapapa.”
“Tolong simpan HP aku ya kalo ketemu. 30 menit lagi kelasku mulai, tapi aku mau balik dulu ke stasiun awal tadi. Siapatahu jatuh disana, direlnya. Tolong ya? Nanti, kalo jam kuliahku selesai, aku chat kamu pakai salah satu account LINE nya temen sekelasku.”
“Iya Sha, pasti nanti aku simpan kalo ketemu. Aku masih sempat kok bantuin kamu cari, Stasiun Cikini masih jauh juga.”
“Kalo misalnya ngga ketemu sampai di stasiun tujuan kamu, gapapa kok. Ngga perlu dicari lagi. Kalo gitu, aku turun disini ya, kamu hati-hati.”
Selepas Saoirse turun KRL, salah satu penumpang yang masih berupaya membantu menghubungi HP nya mengatakan ke gue, bahwa sepertinya HP itu sudah dalam mode power off. Hal tersebut makin membuat gue risau, harus jawab apa kalau nanti Saoirse bertanya. Walaupun, dia sendiri tahu, kemungkinan besar HP nya akan hilang. Kebingungan gue ter-distract kala Masinis memberhentikan KRL dan pintunya ikut terbuka. Persis didepan gue terpampang keterangan ‘Cikini’. Gue turun ditujuan akhir dengan langkah kaki yang gontai. Gue saja merasa seperti itu, gimana dengan Saoirse ya? Apa kelas paginya terkejar?
ns 15.158.61.6da2