It’s been a week since the day I sent the message for her. Jujur, gue juga ngga tahu kenapa Saoirse jadi susah dihubungi begini. Apa karena masa-masa PMS ya?
Rasanya, ingin sekali bertanya kepada siapapun yang mengenalnya, termasuk Erica. Namun, setiap kali gue bertanya ada apa dengan sahabatnya itu, ia juga ngga tahu apa penyebabnya. Kalau gue tanya pada Rano, pasti dia lebih heran, masa gue sebagai tunangannya Saoirse sama sekali ngga tahu, kenapa sahabatnya jadi aneh begini? Oleh karena itu, gue urungkan untuk menghubunginya, kemudian menimbang-nimbang keputusan gue untuk menghubungi mas Ben. Tetapi, sejujurnya gue sedikit ragu untuk menghubungi kakak semata wayangnya Saoirse itu. Beberapa hari lalu, gue lihat dari Instagram account nya mba Tresha, kalau keduanya sudah berangkat ke Swiss. Rencananya, mba Tresha akan melahirkan anak pertamanya dengan mas Ben disana. Maklum, selain karena keluarga besar mba Tresha menetap disana, beliau juga blasteran Indonesia – Swiss. Lagi-lagi, gue urungkan opsi terakhir, gue ngga mau mengganggu konsentrasi mas Ben akan kelahiran anak pertamanya itu.
Ngomong-ngomong soal Saoirse dan mas Ben, mereka berdua sangatlah berbeda. Mas Ben tipikal orang yang ceplas-ceplos, terbuka, dan easy going. Sementara sang adik, lebih kepada kebalikan dirinya. Saoirse yang pendiam, tertutup, dan misterius. Dia ngga akan bertanya, kecuali jika dirinya yang ditanya. Ia ngga akan menyapa terlebih dulu, kecuali pada orang yang dikenalnya, itupun jarang sekali. Walaupun dia ngga suka ngobrol dengan banyak orang, ia tetap menggunakan sosial media Ask.fm, karena baginya lebih seru ngobrol dengan banyak orang di dunia maya dibandingkan di dunia nyata. Jalan pikirannya memang kompleks, Saoirse memiliki dunianya sendiri, yang hingga kini masih sulit untuk gue masuki, walaupun bisa dibilang kita sudah melewati beberapa tahun terakhir ini berdua. Saoirse ngga pernah bilang ‘cinta’ ke gue, karena baginya cinta itu sakral. Oleh karena itu, sampai detik ini, gue pun ngga pernah tahu. Does she truly love me or not?
Kalau gue mampu menceritakan beberapa hal tentang keluarganya Saoirse, jelas informasi tersebut gue peroleh dari mas Ben. Termasuk soal mba Tresha yang gue ceritakan sebelumnya itu. Saoirse ngga pernah bercerita tentang keluarga dan dirinya. Gue lebih sering mengobservasi dia, dengan cara ikut bepergian dengannya, misalnya. Hal tersebut merupakan salah satu cara gue untuk bisa lebih jauh mengenalinya. Hal lain yang baru gue tahu setelah mengenalnya adalah hobinya mengoleksi barang-barang jadul, seperti kamera analog, HP Blackberry, dan HP Sony Ericsson. Semua barang-barang lama yang dimilikinya itu memiliki makna yang sangat dalam untuknya. Padahal, menurut gue yang dilakukannya itu terkadang membuang-buang uang saja.
“Sha, kamu lagi ngapain? Masih lama ngga browsing nya?”
“Ngga tahu nih, aku belum ketemu barangnya, Ray.”
“Barang? Kamu cari barang apa?”
“Aku cari Blackberry Javeline 8900, yang pake trackball itu lho, kamu tahu kan?”
“Iya, aku tahu. Tapi, kamu ngapain cari HP lagi? Ini udah zaman kapan lho Sha, orang-orang udah pake Android... IOS... kamu kan masih punya juga yang Blackberry Gemini 8520. Masih bisa nyala juga kan? Kenapa musti beli lagi?”
“Masih, tapi sekarang lagi habis baterainya. Aku belum sempet beli lagi. Dulu, sebenarnya itu aku pengen yang Javeline, bukan Gemini. Tapi, mahal banget, jadi ngga kebeli. Mumpung sekarang udah mampu beli, aku mau beli.”
“Yaudah, kamu beli aja deh sekarang. Kamu lagi buka-buka e-commerce kan daritadi?”
“Iya, ini aku sambil cari dua-duanya, Ray. Sabar ya...”
Sepotong memori akan sebuah barang miliknya pun masih jelas terekam dalam ingatan gue. Semua hal tentang dia, memiliki ruang penyimpanan tersendiri dalam otak gue, yang sepertinya unlimited deh... she’s so rare.
Tiba-tiba, ingatan gue terburai kala HP disaku celana gue berdering memunculkan namanya, Saoirse. Sungguh, gue lega bukan main, akhirnya akan ada kabar juga. Rasanya, gue ingin sekali merubah voice call ini menjadi video call. Rayhan nya Saoirse kangen dia banget! Tapi, gue sadar diri, sepertinya gue akan mendadak cerewet kalau langsung bertatap muka dengannya, seperti biasa-biasanya. Pun gue batalkan menekan simbol video dilayar HP.
“Hai, Ray.”
“Hai... kamu kemana aja? Aku...”
“Nyariin ya? Hehehe...”
Dia masih tertawa. Berarti, dugaan gue kalau dia marah sama gue terbukti salah besar. Didalam hati, gue mengucapkan Alhamdulillah berulang-ulang kali.
“Iya, aku kangen. Ngga salah kan aku nyariin fiancee-ku sendiri?”
“Ng... gak. Ngga salah kok. Maaf, aku ngilang seminggu...”
Duh... ngga bisa nih gue kalau nada suara Saoirse terdengar sedih banget seperti ini. Keinginan gue untuk bertemu langsung kayaknya ngga bisa terbendung lagi, pengen peluk dia. Lalu, ajak dia pergi ke taman. Oh iya, dia suka pergi ke taman. Sekalipun ngga ada yang dilakukannya disana, hanya duduk-duduk gabut. Dari kejauhan ini, gue hanya bisa tersenyum, karena belum tahu Saoirse ada dimana sekarang.
“Gapapa, Bébé sekarang ada dimana?”
“Aku udah di rumah kok. Beberapa hari lalu, kamu ke rumah ya? Mba Tresha bilang sama aku. Katanya, kamu contact Mba Tresha sama Mas Ben. Maaf ya, karena aku... kamu jadi harus bolak-balik.”
“Aku ke rumah ya? Kamu tunggu di rumah, okay? Love you, Sha!”
Gue langsung membereskan semua peralatan kerja gue dan membawanya kedalam mobil. Persetan sekarang hampir jam 9 malam. Kalaupun sebentar lagi jadi hujan, ngga akan menyurutkan keinginan terbesar gue untuk bertemu dengannya, tetap akan gue terobos. Kekhawatiran gue berhari-hari tentangnya, akan terbayar sebentar lagi. Doa gue cuma satu, semoga mobil gue ini ngga kenapa-kenapa di perjalanan.
ns 15.158.61.8da2